Saat mulai memasuki jalan utama yang menuju dusun tempat ku dilahirkan, hari beranjak senja.. Lagi-lagi hujan pun turun mengguyur hutan, persis sama seperti ketika aku dan Ratih pulang ke Jakarta beberapa waktu lalu.. Bedanya, hujan yang turun kali ini tidak disertai angin dan petir yang menyambar saling sahut.. Namun derasnya hujan terlihat jauh lebih lebat, hingga jarak pandang semua orang dalam mobil menjadi pendek..

“Pelan aja jalannya, Bar.. Nyalain juga lampu hazard” Pintaku yang langsung dibalas anggukan kepala oleh sahabatku itu..

“Gile.. Ujannye deres banget.. Liet deh, depan kite putih semue, Dil”

“Makanya gw minta lu jalan pelan aja”

“Ini kite tetep lurus ken, Dil?”

“Lurus, Bar.. Nanti kalo ada belokan ke kanan, lu ikutin aja” Jawabku sambil menoleh ke samping guna memperhatikan jalan..

“Nah itu didepan ade belokan ke kanan.. Ade plang tulisannye juge”

Aku lantas memandang ke depan.. Aneh! Seingatku belokan ke kanan seharusnya masih cukup jauh.. Apa aku yang salah yah? Tapi melihat plang berisi tulisan sederhana nama dusunku, sedikit keyakinan muncul dalam batin.. Mungkin aku yang memang salah perhitungan.. Maklum lah, sudah lama juga aku baru melewati jalan ini lagi..

“Ambil kanan aja, Bar”

Akbar segera membanting stir ke kanan dan melajukan lagi mobilku dengan kecepatan sama.. Saat mobil yang kami tumpangi masuk ke jalur kanan, Rangga putra ku terdengar menangis.. Aku segera menoleh ke belakang dan melihat Aisyah sudah menggendongnya.. Dengan telaten, gadis berhijab itu berusaha menenangkan Rangga.. Namun tetap saja bayi ku itu menangis..

“Rangga mungkin lapar, Ais.. Coba kasih susu formulanya deh” Usulku ke arah Aisyah..

“Air panasnya habis, Pak.. Tadi saya lupa isi di rest area terakhir” Jawab Aisyah dengan wajah menyiratkan rasa bersalah..

“Ya udah ga apa-apa.. Coba dicampur air dingin aja dulu buat sementara, mudah-mudahan Rangga mau”

Aisyah menuruti perintahku dan memanggil ayahnya, untuk mengambilkan botol susu dan segelas air mineral dari dalam tas bayi.. Saat Aisyah memanggil, Pak Sutardi nampak tajam memandang ke samping.. Aku memperhatikan wajah laki-laki paruh baya itu agak tegang menatap ke luar.. Baru lah setelah Aisyah menepuk lututnya, Pak Sutardi langsung tersadar..

Untuk beberapa saat, Rangga diam dengan mulut mungilnya yang sudah dimasuki ujung dot.. Namun hal itu tak berlangsung lama, putra ku itu kembali menangis..

“Rangga ga mau nyusu pakai air dingin pak.. Saya juga udah liet popoknya Rangga masih kering”

Aku terdiam mencoba mencarikan solusi dalam benak sambil terus memandang ke depan.. Tapi fikiranku terasa buntu.. Jika Rangga masih terus menangis karena lapar, mau tidak mau aku harus menemukan rumah penduduk terdekat untuk meminta air hangat..

Baru saja, aku membatin tentang rumah penduduk.. Pandanganku yang saat itu menoleh ke samping, mendadak melihat ada sebuah rumah sederhana sekitar 50 meter dari mobil kami yang masih melaju pelan..

“Bar.. Bar.. Berhenti bentar, Bar” Pintaku pada Akbar dan membuat sahabatku itu menoleh heran..

“Kenape berhenti, emang kite udah nyampe?”

“Belom.. Udah lu berhenti aja dulu.. Gue mau minta air panas buat susunya Rangga”

“Mo minte ame siape ujan ujan begini, Dil?” Tanya Akbar lagi meski sudah menepikan mobil di pinggir jalan..

Aku tidak menimpali lagi pertanyaan Akbar, dan meminta tolong Pak Sutardi untuk mengambilkan termos kecil didalam tas bayi..

“Nak Fadil mau kemana?” Tanya Pak Sutardi seraya menyodorkan termos yang aku minta..

“Saya mau minta air panas buat susunya Rangga di rumah depan sana, Pak”

Sesaat, Pak Sutardi mengerutkan kening mendengar ucapanku dan melemparkan pandangannya ke arah depan.. Aku sendiri langsung keluar dengan berbekal sebuah tabloid milik Almarhumah Ratih untuk menutupi kepala dari guyuran hujan.. Dengan setengah berlari, aku membuka bagasi belakang dan mengambil payung dari dalamnya..

Sungguh, hujan diluar ternyata jauh lebih lebat ketimbang dilihat dari dalam mobil.. Bahkan payung ku terasa berat akibat guyuran derasnya air hujan.. Tak mau sekujur tubuhku makin basah, aku langsung berlari kecil kearah ke rumah yang aku tuju.. Sebenarnya aku sempat mendengar panggilan suara Pak Sutardi dari arah mobil, namun karena terdengar samar, aku fikir hanya perasaanku saja..

Setibanya diteras rumah yang beralaskan tanah, aku langsung meletakkan payung.. Rumah yang aku lihat nampak sangat sederhana.. Dindingnya masih terbuat dari bilik bambu yang dibeberapa bagian sudah nampak berlubang.. Dua tiang kayu yang menopang kanopi rumah terbuat dari bilah bilah bambu tua penyanggah genting kusam, juga nampak keropos..

Aku sempat menyeka sisa-sisa cipratan air hujan dikedua lengan dan memandangi suasana rumah yang dari luar nampak sangat gelap dan sunyi.. Sejenak aku tertegun memikirkan, rasa-rasanya aku baru pertama kali melihat rumah ini.. Seingatku sepanjang perjalanan menuju dusun, tidak ada rumah penduduk yang terpisah sendiri ditepian hutan belantara.. Kebanyakan rumah didusun ku selalu berkelompok.. Setidaknya ada dua rumah yang pasti dibangun bersampingan, meski rumah lain sedikit lebih jauh jaraknya..

Lagipula, dari dalam rumah yang pintunya sudah keropos nampak gelap gulita.. Tak ada penerangan sama sekali yang terlihat dari luar.. Seandainya rumah ini memang rumah kosong, sungguh sangat disayangkan.. Karena aku sedang sangat butuh sekali bantuan seseorang..

Aku perlahan berjalan mendekati sebuah lubang didinding bambu disebelah pintu rumah.. Niatku untuk mengintip guna melihat keadaan dalam rumah.. Namun begitu wajahku sesaat lagi akan menempel di dinding bilik, tiba-tiba sebuah cahaya temaram muncul dari dalam..

Aku langsung mundur dan kembali ke depan pintu karena khawatir si penghuni rumah mengetahui tindakanku.. Aku tahu cahaya temaram dari dalam rumah itu berasal dari lampu tempel bersumbu dan berbahan bakar minyak tanah.. Hampir sebagian rumah didusun ku masih menggunakan lampu tersebut sebagai alat penerangan..

Satu sisi aku masih merasa sedikit cemas sebab takut ketahuan tadi hendak mengintip.. Namun rasa lega dalam batinku jauh lebih besar lagi, mengetahui rumah yang aku singgahi ternyata benar berpenghuni..

Saat aku hendak mengetuk pintu rumah sederhana tersebut, telinga ku menangkap sayup-sayup suara seorang wanita sedang mendendangkan tembang sunda dengan suara merdu dari dalam.. Aku tersenyum, menyadari bahwa si penghuni ternyata adalah seorang perempuan.. Terlebih aku bisa melihat bayangannya dari celah retakan pintu depan..

Perempuan itu berambut hitam panjang dengan kebaya merah sedang duduk membelakangi pintu sambil menyisir rambutnya.. Karena posisi perempuan itu sedang duduk membelakangi, otomatis aku tidak bisa melihat wajahnya.. Namun, jika mendengar suaranya, aku menduga sosok didalam sana masihlah berusia muda..

Tak mau berlama-lama berada diluar dan khawatir Rangga masih terus menangis didalam mobil, aku perlahan mengetuk pintu sebanyak dua kali ketukan..

“Assalammualaikum, punten Nyai”

Belum dua detik aku selesai memberi salam, tiba-tiba ruangan didalam kembali gelap.. Lampu yang awalnya menerangi berubah padam.. Suara senandungan tembang Sunda dari perempuan didalam ikut lenyap..

Aku mengerutkan kening karena heran.. Namun aku sengaja befikiran positif.. Mungkin api diujung sumbu lampu padam tertiup angin dan saat ini si penghuni sedang berjalan menuju pintu untuk segera membukanya.. Namun yang ku tunggu-tunggu tak juga terjadi.. Jangan kan muncul, suara langkah kaki si penghuni rumah pun tak terdengar sama sekali..

Sedikit lega rasa hatiku, begitu melihat pintu rumah dihadapanku berderit terbuka sedikit.. Ternyata sedari tadi pintu itu memang tak terkunci dari dalam.. Lewat celah kecil pintu yang terbuka, aku sama sekali tak melihat siapapun didalam rumah.. Serba gelap yang aku lihat..

Meski tengkukku mulai terasa dingin dan bulu kuduk perlahan meremang, aku memberanikan diri untuk mendorong pintu dan berniat masuk ke dalam rumah..

“Assala...”

Belum sempurna aku mengucap salam dan melangkah masuk, tiba-tiba tanganku dicekal seseorang dari samping.. Aku terkejut setengah mati, karena memang perasaanku sedang tegang-tegangnya melihat segala keanehan barusan.. Namun aku bisa bernafas lega saat mengetahui ternyata orang yang mencekal pergelangan tanganku saat ini adalah Pak Sutardi..

Pandangan mata laki-laki itu tersorot tajam menatapku.. Lalu bertambah tajam memandangi kegelapan dalam rumah dari sedikit celah pintu yang terbuka..

“Nak Fadil mau apa?” Tanya Pak Sutardi dengan wajah tegang masih menatap ke depan..

“Saya mau minta air panas sama yang punya rumah, Pak.. Tadi saya lihat dalam rumahnya terang.. Ada perempuan pakai kebaya merah lagi nembang sambil duduk sisirin rambut panjangnya pak”

Pak Sutardi menoleh ke arahku lalu menghela nafas panjang.. Masih sama-sama berdiri didepan pintu, kami masing-masing terdiam untuk beberapa saat..

“Kita masuk sama-sama ke dalam.. Nanti Nak Fadil lihat sendiri keadaan dalam rumah, biar Nak Fadil yakin”

Aku mengiyakan ucapan Pak Sutardi.. Lalu mengambil Hp dan menyalakan lampu flash untuk membantu penerangan.. Pak Sutardi terdengar mengucap salam dan mulai melangkah masuk.. Aku mengikuti beliau satu langkah dibelakang.. Terasa hawa dalam rumah begitu lembab.. Baunya pun bercampur dan tercium tak enak.. Yang tertangkap dihidungku adalah bau antara harum bunga kamboja dan bau busuk menjadi satu..

Suasana dalam rumah nampak gelap, namun aku masih bisa melihat benda benda tua tertutupi debu tebal tergeletak tak beraturan diatas meja berwarna kusam.. Sesekali wajahku tersangkut jaring laba-laba yang menandakan rumah ini sudah dalam keadaan kosong untuk waktu lama.. Jika memang kosong, lalu siapa yang aku lihat dan aku dengar tadi menembangkan lagu sunda didalam rumah ini?

Pandangan mata ku sempat terhenti disebuah photo dalam pigura yang tak sengaja tertendang sepatu.. Aku ambil pigura tersebut yang kacanya sudah pecah dan mengarahkan sinar lampu flash ke bingkai.. Didalamnya terpampang sebuah photo seorang perempuan muda berwajah cukup cantik dengan rambut hitam panjang dan berkebaya merah..

DEGG

Wanita berkebaya merah itu berpenampilan hampir sama dengan wanita yang aku lihat sedang menyisir rambut membelakangi pintu beberapa saat lalu..

“Tadi saya lihat wanita ini didalam rumah, Pak” Ucapku seraya menyodorkan photo ke Pak Sutardi..

Pak Sutardi mengambil bingkai photo, menatapnya sesaat lalu meletakkan benda itu diatas meja.. Disebelah bingkai photo yang baru saja diletakkan Pak Sutardi, aku tertegun melihat sebuah lampu tempel bersumbu pendek.. Aku pegang lampu itu dan ku sentuh ujung sumbunya..

Dingin.. Ujung sumbu itu terasa dingin pertanda tak pernah lagi termakan api..Dalam wadah yang seharusnya berisi minyak tanah pun nampak kosong.. Jelas! Yang aku lihat tadi didalam rumah ini bukanlah manusia sungguhan..

Aku memutuskan untuk berjalan keluar dari rumah itu setelah yakin bahwa yang aku lihat tadi adalah mahluk halus penghuni rumah.. Pak Sutardi mengikuti ku dari belakang dan menarik pintu hingga tertutup kembali..

“Tolong jangan ceritakan pada siapapun soal tadi, Pak” Pintaku ke Pak Sutardi saat kami berdua sudah berjalan beriringan dibawah payung menuju mobil..

Pak Sutardi tersenyum dan menganggukkan kepalanya pertanda ia menerima permintaanku.. Begitu masuk dalam mobil dan kembali duduk disebelah Akbar, aku sempat menoleh ke belakang dan merasa sedikit lega melihat Rangga sudah kembali terlelap tidur digendongan Aisyah..

“Gimane, Dil? Dapet aer panasnye?” Tanya Akbar seperti sengaja meledekku seraya mulai melajukan mobil secara perlahan..

Aku diam tak membalas ledekan Akbar.. Aku memalingkan muka ke samping.. Dari balik kaca mobil berembun, aku kembali menatap rumah kosong itu.. Keningku berkerut karena heran.. Melalui kaca samping ku yang dipenuhi tetesan air, aku melihat pintu rumah kosong itu sudah terbuka cukup lebar.. Seingatku Pak Sutardi sudah menutup rapat pintunya sewaktu aku memutuskan untuk pergi terlebih dahulu..

Guna meyakinkan diri aku tak salah lihat, aku usap jendela mobil yang agak berembun.. Dan saat itu lah pandanganku terpaku.. Dari balik kaca jendela mobil yang nampak mulai terang, aku bisa melihat seorang perempuan dengan sebagian wajah cantik namun pucat tertutupi rambut panjang dan berbaju merah, sedang berdiri mematung didepan pintu, agak menjorok ke dalam rumah kosong tersebut..

Sebagian wajah perempuan yang gambar dirinya aku yakin sama dengan photo usang yang tanpa sengaja tertendang tadi, tertutupi rambut panjang.. Dan begitu rambut tersebut tersibak, sebagian wajah yang hanya tinggal tulang nampak disana..

Aku seketika memalingkan muka ke depan, dengan dua mata terpejam tak mau lagi memandang ke samping.. Beberapa kali tarikan nafas aku hirup dan aku keluarkan secara perlahan.. Dari samping, suara Akbar terdengar memanggilku..

“Dil, Lo kenape?”

Saat aku membuka mata dan menoleh, bukannya Akbar yang aku lihat duduk disebelah.. Melainkan sosok perempuan dengan wajah pucat tertutupi rambut panjang yang sebagian wajah hanya tinggal tulang.. Perempuan itu tersenyum menyeringai sambil memegangi tangan kananku..

Aku sontak berteriak kencang mencoba melepaskan diri dari cengkraman tangan si perempuan..

“Dil bangun, Dil!” Seru Akbar yang lagi-lagi terdengar ditelingaku, di ikuti suara tangisan Rangga sesudahnya..

Aku membuka maka dan terkejut melihat wajah panik Akbar menoleh ke arah ku.. Aku juga menoleh ke belakang.. Disana, Aisyah, Pak Sutardi juga sama menatap cemas.. Rangga terdengar menangis lagi dalam gendongan Aisyah.. Sementara, Dinar dari kursi paling belakang menatapku dengan wajah bingung..

“Astaghfirullahhaladzim” Ucapku melafalkan istighfar begitu tau bahwa baru saja aku bermimpi buruk..

“Lu kenape pake segale mimpi sih, Dil? Mane teriak-teriak juge lagi.. Bikin orang pada panik”

Aku terdiam sambil menyeka keringat di dahi.. Yang aku alami barusan terasa nyata sekali..

“Istighfar lagi, Nak Fadil.. Baca juga Ayat Kursi buat tenangin diri Nak Fadil” Kata Pak Sutardi dari arah belakang yang aku balas dengan anggukan kepala..

Menyadari mobil yang kami kendarai masih belum melaju, aku menoleh ke arah Akbar..

“Kenapa masih belum jalan, Bar?” Tanya ku heran

“Hujannye tambeh gede, Dil.. Jalannye juge agak rusak.. Gue ga bise liet jelas ke depan”

Aku kembali menoleh ke depan dan memang melihat hujan bertambah lebat.. Jarak pandang kami benar-benar sangat terbatas.. Agak berbahaya jika memaksakan mobil terus melaju.. Namun aku hafal betul rute jalan menuju dusun.. Setelah tikungan kanan tadi, track jalannya hanya tinggal lurus saja..

“Jalan aja, Bar.. Tetep pelan tapi.. Rute kita cuma tinggal lurus aja”

“Yakin lo?”

“Iya.. Gue hafal jalannya koq”

Perlahan, Akbar melepaskan rem tangan dan mulai melajukan mobil secara perlahan.. Kecepatan mobil hanya di 20 km/jam.. Aku kembali menoleh ke belakang dan tersenyum melihat Rangga sudah tak lagi menangis..

Akan tetapi ketika mobil kami kira-kira sudah melaju sekitar 200 meteran, seseorang terdengar memukul keras bagian belakang mobil..

DUGG

DUGGHH

DUGHHH

Awalnya aku menduga hanya pendengaran ku saja yang menangkap suara itu, namun Akbar juga terlihat menoleh ke arahku saat mobil yang ia kemudikan sudah berhenti.. Berarti ia sama mendengar suara pukulan tadi.. Aku langsung melihat kaca spion samping.. Karena kaca spion tertutupi air hujan, aku hanya bisa menangkap bayangan hitam sedang berjalan menuju ke depan..

“Siape, Dil?” Tanya Akbar dengan wajah menyiratkan kekhawatiran..

Aku menggelengkan kepala dan mengambil senter besar dari dalam dashboard.. Fikirku, jika yang memukul mobil kami barusan adalah orang berniat jahat, aku akan gunakan senter itu sebagai senjata..

“Kace mobil jangan lu turunin dulu.. Tunggu sampe orang itu kelihatan mukenye, Dil”

Aku menganggukkan kepala dan menatap tegang ke arah spion mobil, dimana nampak sosok bertubuh tinggi masih berjalan ke arahku..

TOKK

TOKK

Suara ketukan tangan di kaca mobil disebelahku terdengar cukup keras.. Aku masih belum berniat menurunkan kaca mobil, karena sosok itu belum jelas terlihat wajahnya..