Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

abangruliAvatar border
TS
abangruli
The Second Session 2 - The Killing Rain . Mystic - Love - Humanity

Note from Author
Salam! Gue ucapin banyak terima kasih buat yang masih melanjutkan baca kisah tentang Danang dan Rhea. Sorry banget untuk dua chapter awal sempat gue masukin di The Second yang pertama. Soalnya waktu itu gue belum sempat bikin cover dll, hehe...

Nah berhubung sekarang dah sempat bikin cover, akhirnya gue bisa secara resmi memboyong The Second – Session 2 ke trit baru. Session kedua ini gue cukup lama nyari inspirasinya. Soalnya gue gak mau terjebak kembali menyamai alur cerita lama, jadi terpaksa nyari sesuatu yang rada-rada shocking. Harus cukup heboh untuk bisa membawa nuansa baru ke cerita Danang dan Rhea ini.

Apa itu?
Ya dengan ada Killing Rain.
Apa itu Killing Rain?
Ah ente kebanyakan nanya nih.. hehe.. Baca aja di tiga chapter awal. Yang jelas di cerita kali ini, tetap ada nuansa magis dengan adanya sosok Wulan (ternyata dulu pernah jadi pacarnya Danang lhooo... Haaaa?! Kok bisaaa.....).
Tetap ada romansa full of love dengan hadirnya Rhea.
Tetap ada unsur horror karena adanya Emon. Lho? Maaf salah. Maksudnya ada unsur komed dengan adanya Emon. Yaa.. kalau ente bisa liat mukanya Emon, emang jadi komedi seram sih.. wkwkwkw..
Dan ditambah lagi ada tokoh baru yang kemaren hanya cameo sekarang jadi bakal sering muncul. Siapakah dia??
Jeng jeng..
Upin Ipin!
Haaaaa???
Ya bukanlah!
Tapii... Yoga! Si anak indigo!
Tau lah kalo indigo gini senengnya apa.. liat demit dan kawan-kawannya! Hehehe..
So! Siap-siap ngerasain manis asem asin di cerita ini!

Akhirul kalam,
Selamat ‘menyaksikan’ yaa!
Ruli Amirullah


Bagi yang belum baca The Second Session 1.. klik dibawah ini yaa
The Second Session 1 - Jadikan Aku yang Kedua


The Second
Session 2 – The Killing Rain

Spoiler for Chapter 1 - Back to the Past:


Index
Chapter 2 - Live From New York
Chapter 3 - The Killing Rain
Chapter 4 - Death Experience
Chapter 5 - Kesurupan
Chapter 6 - Mata dibalas Mata
Chapter 7 - Chaos
Chapter 8 - Contingency Plan
Chapter 9 - Kemelut di Tengah Kemelut
Chapter 10 - Please Welcome, Khamaya!
Chapter 11 - Mengundi Nasib
Chapter 12 - Vision
Chapter 13 - First Rain
Chapter 14 - Between Dream and Rhea
Chapter 15 - Dilema
Chapter 16 - Ready to Take Off
Chapter 17 - Melayang di Tengah Maut
Chapter 18 - Walking in Dream
Chapter 19 - In The Middle of The War
Chapter 20 - Missing
Chapter 21 - Yoga
Chapter 22 - Sleeping with The Enemy
Chapter 23 - Who is Mya?
Chapter 24 – I Miss You Rhea
Chapter 25 - Telepati
Chapter 26 - Next Level of Telephaty
Announcement New Index & Format
Diubah oleh abangruli 02-06-2021 13:27
oktavp
nyahprenjak
kedubes
kedubes dan 30 lainnya memberi reputasi
27
21.2K
793
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
abangruliAvatar border
TS
abangruli
#136
Chapter 43 - Gelap

Aku terkejut, Rhea tercekat dan Emon terlihat begitu ngeri. Anehnya aku bisa melihat mereka semua dalam satu pandangan. Bahkan ternyata aku juga bisa melihat tiga peluru sedang melesat keluar dari moncong pistol. Aneh. Aku teringat pernah membaca suatu artikel, katanya menjelang kematian pandangan seseorang menjadi lebih tajam..

Jadi... Oh Tuhan. Inikah akhir hidupku? Ingin rasanya aku memejamkan mata dan menyongsong kematian dalam gelap. Gak mampu aku menyaksikan butiran butiran peluru menembus kepalaku. Oh tragis sekali!
Eh tapi...
Kenapa peluru itu belum mengoyak keningku? Kenapa suara pun tak ada selain dengung yang sangat monoton?
Aku kembali memperhatikan. Aneh. Peluru itu masih ada, tapi jalannya pelan sekali. Rhea, Emon, si cowok Arab juga bagai patung yang tak bergerak. Sebenarnya mereka bergerak tapi sangat lambat. Mereka seperti berteriak, mulut mereka terbuka lebar tapi hanya dengung yang aku dengar.

Hei, apakah waktu melambat?? Iya. Sepertinya waktu memang melambat. Bahkan getaran suara pun merambat sangat pelan. Lucunya, pikiranku tidak melambat. Eh.. tunggu.. Berarti aku bisa menghindar dari terjangan peluru? Seperti adegan di film matrik dimana sang jagoan menekukkan badannya ke belakang saat ditembak dan peluru hanya melintas di atas tubuhnya.
Aha! Ide bagus!
Aku mencoba menekukkan badanku seperti hendak kayang dan.. Damn! Aku lupa kalau aku sedang kerasukan dan tak mampu mengendalikan tubuhku sendiri. Huhuhu... matilah aku! Tamat sudah riwayatku. Adegan slow motion ini justru memperparah penyiksaan batinku. Aku dengan sangat jelas bisa menyaksikan peluru merayap senti demi senti ke arahku. Dan aku hanya bisa diam. Bengong. Pasrah.

Ini bagai dieksekusi mati, tapi dengan perlahan. Dan perasaanku campur aduk tak karuan. Setelah ini apa?! What is the next level of life? Surga? Neraka?

Ingin nangis sekaligus takut. Teringat dosa dosa yang telah tercipta sekaligus teringat amal amal yang aku lewatkan.. Oh.. kini semuanya telah terlambat.

Apa yang bisa kulakukan sekarang? Sepertinya aku memang hanya bisa pasrah. Kupandang wajah Rhea untuk terakhir kalinya. Cantik. Bahkan dalam kondisi berteriak ketakutan, rona cantiknya begitu terlihat. Sedih rasanya harus meninggalkan Rhea. Mungkinkah aku bertemu dengannya kelak di surga?

Kualihkan pandangan ke Emon. Sebenarnya aku ingin terus memandang Rhea hingga ajal tiba, tapi posisi Emon yang rada ajaib membuatku ingin melihatnya. Wajahnya memandangku dengan penuh ngeri. Wajar. Mulutnya terbuka lebar juga wajar. Begitu pula matanya yang melotot. Yang agak aneh adalah tangannya. Emon mengangkat tangannya ke atas sambil mengacungkan jari telunjuk. Seperti murid yang ingin menjawab pertanyaan gurunya. Apa yang ingin dia jawab? Atau kenapa dia menunjuk ke langit? Ada apa di langit? Dengan tajam dan luasnya penglihatanku, aku bisa dengan mudah melihat langit. Mencari sesuatu yang Emon tunjuk.

Nothing, tak ada siapapun. Tak ada burung, tak ada pesawat, tak ada komet, tak ada apapun. Bulan dan bintangpun entah kemana. Sepi. Andai ada sesuatu, pastilah itu Tuhan sang penguasa langit dan bumi...

Eh tunggu. Tuhan?! Oh God.. iya! Tuhan. Mungkin itu maksud Emon. Ia ingin menjelang ajalku aku ingat padaNya! Aku teringat, bahwa setiap muslim harus berusaha mengucapkan dua kalimat syahadat di detik detik terakhir hidupnya.

Jantungku bergemuruh. Iya. Aku harus bisa mengucapkan syahadat saat sang malaikat maut mendekat. Semoga hal itu akan memudahkanku pindah ke episode berikutnya dalam kehidupanku. Mengurangi rasa sakit yang mendera, mengurangi rasa takut yang membayang.

Ketiga butir peluru, walau memang pelan, tapi sudah semakin dekat ke keningku. Aku pun mulai mengetuk pintuNYA.. Aku nyerah ya Allah. Ku serahkan hidupku padaMu. Lalu kuucapkan dua kalimat syahadat. Dengan sepenuh jiwa. Tepat disaat kuucapkan kalimat itu, disaat itu pula.....

...BUM!

Tiba- tiba aku merasa ada ledakan sekaligus lonjakan keras dalam tubuhku. Adegan slow motion berubah menjadi gerakan yang cepat. Suara monoton berubah menjadi aneka teriakan yang jelas. Ternyata Rhea memanggil namaku dan Emon memang berteriak agar aku 'nyebut'..

Ledakan itu membuat aku terpelanting ke belakang sementara bayang hitam terlihat terlontar dari tubuhku. Khamaya. Entah mengapa aku tahu bahwa bayang hitam itu adalah Khamaya. Desing peluru kemudian terdengar sekaligus terasa saat melewati atas kepalaku. Ketiga peluru itu hanya berjarak dua atau tiga centi dari kepalaku. Oh Tuhan. Nyaris sekali!

Aku terhempas keras di aspal. Tanpa ada sebutir peluru pun yang mampir di kepalaku. Syukurlah. Tapi punggung ini terasa sungguh nyeri. Rhea dan Emon berlari ke tubuhku yang terkapar. Mereka berdua jongkok disekitarku. Tanganku digenggam. Rhea bahkan mengelus keningku.

Aku tersenyum melihat keduanya. Memastikan bahwa aku baik baik saja. Kemudian aku merasa pusing. Setelah itu gelap. Sepertinya aku pingsan. Tapi aku yakin, kali ini aku pingsan sambil tersenyum...

[Bersambung]
kyaikanjeng77
diditper
kedubes
kedubes dan 9 lainnya memberi reputasi
10
Tutup