- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
Horor Terseram Gaun Pengantin Berdarah
TS
piendutt
Horor Terseram Gaun Pengantin Berdarah
Quote:
Gaun Pengantin Berdarah
Part 1. Kematian Suhadi
Di sebuah rumah berlantai tiga terlihat seorang pria paruh baya duduk di atas kursi roda. Seorang wanita datang membawa selimut kemudian menyilangkan di pundak pria itu.
"Pakai selimut ini, ya, Pa. Biar nggak kedinginan," ujar wanita yang bernama Aini itu.
"I-i-ya ... Ma," sahut pria itu seraya tertatih-tatih karena penyakit stroke yang ia derita.
Angin dingin berembus menerpa tubuh mereka berdua.
"Sebaiknya kita masuk ke rumah saja, Pa. Terasa dingin di sini," ajak sang istri kemudian segera mendorong kursi roda itu memasuki rumah.
Aini menghentikan laju kursi roda tepat di samping meja makan, sudah tersedia beberapa makanan yang tersaji di atas meja.
"Nyah, ini buburnya sudah siap," ujar Mbok Minah, pembantu di rumah besar itu seraya menyodorkan mangkok besar.
"Makasih, Mbok. Anak-anak sudah berangkat semua, ya?"
"Iya, Nyah. Sudah berangkat semua dari pagi."
Aini dengan sabar menyuapi bubur pada suaminya yang sakit itu. Walau kadang pria itu enggan makan, Aini tetap sabar dan terus membujuknya. Ia berusaha untuk tidak membuat pria yang dicintainya itu marah.
Di suatu malam, saat semua orang sedang tidur terlelap. Terlihat, Aini juga tidur di samping suaminya. Mendadak, sesosok wanita bergaun pengantin yang tubuhnya berlumuran darah sudah berada tepat di samping Suhadi, pria yang terkena stroke itu. Sosok itu mendesis, kemudian menggoyangkan kepalanya. Dengan cepat ia langsung mencekik leher Suhadi hingga pria itu tersentak.
"Arcckk, arckk," ronta pria itu dengan mengibaskan kedua tangannya mencari pertolongan.
Aini terbangun karena sentuhan tangan suaminya, sedangkan sosok bergaun pengantin tadi sudah lenyap entah kemana.
"Papa, kenapa belum tidur?" tanyanya seraya menyalakan lampu di samping ranjang untuk mengecek keadaan.
Aini melihat sang suami kesulitan berbicara, seperti ada yang mengganjal di tenggorokannya.
"Papa mau minum, ya?" Wanita itu berdiri untuk mengambil segelas air yang biasa ia letakkan di samping ranjang Suhadi, tetapi airnya sudah habis.
"Papa tunggu bentar, ya. Mama ambilin air dulu di dapur," ujar wanita itu seraya berlalu meninggalkan ruangan itu.
Suhadi melihat sekeliling, ia merasa sangat ketakutan. Ia mengapit selimut erat-erat. Tiba-tiba angin berembus dengan kencang, sosok wanita bergaun pengantin tadi datang kembali. Kini ia membawa belati di tangan, tatapannya sangat tajam seakan-akan ia sedang marah. Lalu dengan segera, ia mendekati Suhadi dan menghujaninya dengan tusukan di sekujur tubuh pria itu. Suhadi mengerang kesakitan, cairan merah pun sudah menggenangi ranjang yang ia tiduri. Sedangkan sang wanita hanya tersenyum puas menikmati pemandangan itu.
Suhadi langsung memuntahkan darah berwarna hitam dari mulutnya, kemudian tubuhnya terguling ke lantai. Aini yang baru saja kembali dari dapur melihat sang suami jatuh dari ranjang, ia pun ikut panik.
“Astagfirullah, Pa. Kenapa ini? Mbok, Dimas, Dinda, tolongin Mama!” teriak wanita itu meminta pertolongan.
“Maafin ... Papa ... Ma,” ucap pria itu tertatih-tatih. Kemudian, mengembuskan napas terakhir.
“Papa?!” pekik Aini karena terkejut seraya mengguncang tubuh suaminya.
Beberapa orang segera datang. “Ada apa ini, Ma? Apa yang terjadi? Loh, Papa?!” teriak Dimas, anak pertama mereka.
Ya Allah, Nyah. Tuan kenapa ini?” Isak Mbok Minah yang sudah bekerja bersama mereka sejak anak keduanya lahir.
“Papa!” Isak mereka semua menangisi kepergian pria itu.
Keesokan harinya, mobil ambulans dan polisi sudah berada di depan rumah mewah itu. Dokter menyatakan bahwa Suhadi mengalami gagal jantung karena tidak ditemukannya bekas penganiayaan pada tubuhnya. Kemudian, jenazahnya segera dikuburkan bersama-sama. Beberapa warga desa sempat bergunjing di belakang keluarga itu.
“Kasihan, ya? Semuda itu sudah meninggal.”
“Padahal kaya raya, tapi uang tidak bisa menyembuhkan penyakitnya.”
“Entah apa yang menimpa keluarga itu, sangat disayangkan!” gerutu mereka semua.
Aini dan kedua anaknya menangis di pemakaman, mereka sangat terpukul atas kepergian Suhadi untuk selama-lamanya. Dimas pun menangis tersedu-sedu seraya menatap ke sekeliling pepohonan di pinggir kuburan itu. Namun, netranya terhenti di salah satu pohon yang sangat tinggi. Pria itu melihat sosok ayahnya berdiri tegak di depan pohon tersebut.
“Papa,” panggil pria itu.
Tidak lama kemudian, Aini pingsan karena tidak sanggup menahan rasa sesak di dada karena kehilangan pria yang sangat dicintainya.
“Mama, Ma! Bangun, Ma. Kak Dimas, bantuin!” teriak Dinda meminta tolong.
Dimas dan adiknya langsung membawa sang ibu ke rumah sakit, dokter pun langsung memeriksa kondisi tubuhnya. Dokter mengatakan bahwa Aini hanya kelelahan dan butuh banyak istirahat, Dimas pun merasa lega. Kini mereka berdua masih setia menunggu hingga sang ibu siuman.
Tak berapa lama kemudian, Aini pun siuman. Setelah memastikan kondisi sang ibu baik-baik saja, Dimas pun membawa wanita separuh baya tersebut untuk pulang.
Sesampainya di depan rumah, Dimas tersentak karena melihat sesosok pria di lantai dua tepatnya di kamar ibunya. Padahal jelas-jelas tidak ada pria lain yang hidup di rumah itu selain dia dan ayahnya.
“Ayo, masuk, Den!” pinta Mbok Minah yang mengagetkan pria itu.
“Eh, iya, Mbok,” ujar Dimas dan melihat ke lantai dua lagi, tetapi sosok pria tadi sudah lenyap.
Dinda membawa ibunya untuk beristirahat di kamar, begitu pun dengan Dimas yang merasa sangat lelah. Mungkin karena ia belum bisa menerima kepergian sang ayah, makanya pria itu selalu terbayang-bayang sosok ayahnya. Pria itu berbaring sebentar di ranjang agar lelahnya berkurang.
Dimas terbangun di malam hari, ia melihat jam pukul 11:30. Pria itu sampai lupa menunaikan ibadah salat. Ia pergi ke kamar mandi dan ingin berwudu. Pria itu membuka keran air, tetapi ternyata tidak ada air yang keluar sama sekali. “Kenapa tiba-tiba rusak, ya?” gumamnya.
Pria itu menuruni tangga dan ingin ke kamar mandi yang terletak di samping dapur, tetapi ia dikagetkan dengan adiknya yang masih duduk di meja makan.
“Kebiasaan kamu, Din. Kalau malam selalu keluyuran,” ucap pria itu yang tahu kebiasaan adiknya, lalu berjalan menatap wanita itu.
Betapa terkejutnya dia, melihat wajah Dinda dipenuhi belatung dan berdarah. “Astagfirullah, siapa kamu?!” teriak Dimas seraya berjalan mundur.
Lalu wanita itu berdiri dan hendak mencekik Dimas.
“Tidak! Pergi kamu! Jangan dekati aku! Tolong ...! Archh ...!” teriak Dimas langsung terbangun dari tidurnya.
“Ya Allah, Kak. Mimpi apa, sih, sampai teriak-teriak? Cepetan bangun, jangan tidur di waktu Magrib,” pinta Dinda yang saat itu membangunkan kakaknya.
“Astagfirullah al-azim, mimpi apa itu tadi?” gumam Dimas seraya mengatur napasnya kembali.
Pria itu segera berwudu dan pergi ke masjid yang tidak jauh dari rumahnya. Setelah salat, pria itu berjalan kembali ke rumah. Saat melewati sebuah kebun pisang milik tetangga.
Kesrek! Kesrek!
Sebuah suara mengagetkan pria itu.
“Suara apa itu?” gumamnya.
Kesrek! Kesrek!
Lagi-lagi suara itu terdengar, membuat pria berumur 27 tahun yang belum menikah itu penasaran. Ia menatap jauh ke pohon-pohon pisang yang mulai berbuah itu.
Sebuah sosok yang terbalut kain putih tiba-tiba muncul dan langsung menatapnya dengan wajah yang menghitam.
“Woi, Dim!” ujar temannya mengagetkan pria itu.
“Ya Allah, jantungku. Sialan kamu, Ron,” umpat pria itu pada temannya.
“Ngapain kamu mandengin tu pohon pisang? Kamu mau nyolong?” ejeknya.
“Dasar kamu, dikira aku nggak mampu beli apa?” bantah Dimas.
“Udah. Yuk, pulang. Bukannya besok kita harus kerja?” ujar Roni.
“Besok aku belum bisa masuk ke kantor. Kamu urusin dulu, ya. Aku mau dampingin Ibu aku dulu,” sahut Dimas.
“Oke, laksanakan, Bos!” ujar pria itu yang menjabat sebagai wakil manajer di perusahaan Dimas.
Mereka berpisah di persimpangan jalan. Dimas memasuki rumahnya. Entah mengapa kini rumah berlantai tiga itu terlihat sedikit menakutkan. Dimas merasa sering diganggu hal-hal yang tidak bisa dijelaskan oleh akal dan pikiran.
Di meja makan, mereka semua berkumpul.
“Dimas, Mama minta maaf ya karena hal ini, pekerjaan kamu jadi berlipat ganda,” ujar ibunya.
“Mama nggak usah khawatir, yang penting Mama jaga kesehatan, ya,” sahut Dimas.
“Bentar lagi kan aku juga udah mau lulus, Ma. Ntar aku bantuin Kak Dimas, deh.” Celetuk Dinda.
“Kamu mau bantuin apa? Main mulu kerjaannya,” bantah Dimas.
“Aku kan juga bisa serius, Kak,” ucap wanita itu tak mau kalah.
Aini hanya menggeleng melihat kedua anaknya berdebat.
Bersambung.
Lalu, bagaimana kelanjutannya. Tunggu di thread selanjutnya. Ramaikan thread ini biar Ratu Horor cepat-cepat melanjutkan ceritanya sampai tamat. 😎
Written : Piendutt
Sumber : Opini pribadi
Part selanjutnya 👇
Part 2. Dihantui Terus Menerus
Part 3. Bertemu Sang Penyelamat
Part 4. Berkunjung ke Rumah Dinda
Part 5. Fakta Dibalik Buku Harian
Part 6. Menjenguk Aini
Part 7. Dikejar Setan
Part 8. Melawan Arwah Gaun Pengantin
Part 9. Bantuan dari Herman
Part 1. Kematian Suhadi
Di sebuah rumah berlantai tiga terlihat seorang pria paruh baya duduk di atas kursi roda. Seorang wanita datang membawa selimut kemudian menyilangkan di pundak pria itu.
"Pakai selimut ini, ya, Pa. Biar nggak kedinginan," ujar wanita yang bernama Aini itu.
"I-i-ya ... Ma," sahut pria itu seraya tertatih-tatih karena penyakit stroke yang ia derita.
Angin dingin berembus menerpa tubuh mereka berdua.
"Sebaiknya kita masuk ke rumah saja, Pa. Terasa dingin di sini," ajak sang istri kemudian segera mendorong kursi roda itu memasuki rumah.
Aini menghentikan laju kursi roda tepat di samping meja makan, sudah tersedia beberapa makanan yang tersaji di atas meja.
"Nyah, ini buburnya sudah siap," ujar Mbok Minah, pembantu di rumah besar itu seraya menyodorkan mangkok besar.
"Makasih, Mbok. Anak-anak sudah berangkat semua, ya?"
"Iya, Nyah. Sudah berangkat semua dari pagi."
Aini dengan sabar menyuapi bubur pada suaminya yang sakit itu. Walau kadang pria itu enggan makan, Aini tetap sabar dan terus membujuknya. Ia berusaha untuk tidak membuat pria yang dicintainya itu marah.
Di suatu malam, saat semua orang sedang tidur terlelap. Terlihat, Aini juga tidur di samping suaminya. Mendadak, sesosok wanita bergaun pengantin yang tubuhnya berlumuran darah sudah berada tepat di samping Suhadi, pria yang terkena stroke itu. Sosok itu mendesis, kemudian menggoyangkan kepalanya. Dengan cepat ia langsung mencekik leher Suhadi hingga pria itu tersentak.
"Arcckk, arckk," ronta pria itu dengan mengibaskan kedua tangannya mencari pertolongan.
Aini terbangun karena sentuhan tangan suaminya, sedangkan sosok bergaun pengantin tadi sudah lenyap entah kemana.
"Papa, kenapa belum tidur?" tanyanya seraya menyalakan lampu di samping ranjang untuk mengecek keadaan.
Aini melihat sang suami kesulitan berbicara, seperti ada yang mengganjal di tenggorokannya.
"Papa mau minum, ya?" Wanita itu berdiri untuk mengambil segelas air yang biasa ia letakkan di samping ranjang Suhadi, tetapi airnya sudah habis.
"Papa tunggu bentar, ya. Mama ambilin air dulu di dapur," ujar wanita itu seraya berlalu meninggalkan ruangan itu.
Suhadi melihat sekeliling, ia merasa sangat ketakutan. Ia mengapit selimut erat-erat. Tiba-tiba angin berembus dengan kencang, sosok wanita bergaun pengantin tadi datang kembali. Kini ia membawa belati di tangan, tatapannya sangat tajam seakan-akan ia sedang marah. Lalu dengan segera, ia mendekati Suhadi dan menghujaninya dengan tusukan di sekujur tubuh pria itu. Suhadi mengerang kesakitan, cairan merah pun sudah menggenangi ranjang yang ia tiduri. Sedangkan sang wanita hanya tersenyum puas menikmati pemandangan itu.
Suhadi langsung memuntahkan darah berwarna hitam dari mulutnya, kemudian tubuhnya terguling ke lantai. Aini yang baru saja kembali dari dapur melihat sang suami jatuh dari ranjang, ia pun ikut panik.
“Astagfirullah, Pa. Kenapa ini? Mbok, Dimas, Dinda, tolongin Mama!” teriak wanita itu meminta pertolongan.
“Maafin ... Papa ... Ma,” ucap pria itu tertatih-tatih. Kemudian, mengembuskan napas terakhir.
“Papa?!” pekik Aini karena terkejut seraya mengguncang tubuh suaminya.
Beberapa orang segera datang. “Ada apa ini, Ma? Apa yang terjadi? Loh, Papa?!” teriak Dimas, anak pertama mereka.
Ya Allah, Nyah. Tuan kenapa ini?” Isak Mbok Minah yang sudah bekerja bersama mereka sejak anak keduanya lahir.
“Papa!” Isak mereka semua menangisi kepergian pria itu.
Keesokan harinya, mobil ambulans dan polisi sudah berada di depan rumah mewah itu. Dokter menyatakan bahwa Suhadi mengalami gagal jantung karena tidak ditemukannya bekas penganiayaan pada tubuhnya. Kemudian, jenazahnya segera dikuburkan bersama-sama. Beberapa warga desa sempat bergunjing di belakang keluarga itu.
“Kasihan, ya? Semuda itu sudah meninggal.”
“Padahal kaya raya, tapi uang tidak bisa menyembuhkan penyakitnya.”
“Entah apa yang menimpa keluarga itu, sangat disayangkan!” gerutu mereka semua.
Aini dan kedua anaknya menangis di pemakaman, mereka sangat terpukul atas kepergian Suhadi untuk selama-lamanya. Dimas pun menangis tersedu-sedu seraya menatap ke sekeliling pepohonan di pinggir kuburan itu. Namun, netranya terhenti di salah satu pohon yang sangat tinggi. Pria itu melihat sosok ayahnya berdiri tegak di depan pohon tersebut.
“Papa,” panggil pria itu.
Tidak lama kemudian, Aini pingsan karena tidak sanggup menahan rasa sesak di dada karena kehilangan pria yang sangat dicintainya.
“Mama, Ma! Bangun, Ma. Kak Dimas, bantuin!” teriak Dinda meminta tolong.
Dimas dan adiknya langsung membawa sang ibu ke rumah sakit, dokter pun langsung memeriksa kondisi tubuhnya. Dokter mengatakan bahwa Aini hanya kelelahan dan butuh banyak istirahat, Dimas pun merasa lega. Kini mereka berdua masih setia menunggu hingga sang ibu siuman.
Tak berapa lama kemudian, Aini pun siuman. Setelah memastikan kondisi sang ibu baik-baik saja, Dimas pun membawa wanita separuh baya tersebut untuk pulang.
Sesampainya di depan rumah, Dimas tersentak karena melihat sesosok pria di lantai dua tepatnya di kamar ibunya. Padahal jelas-jelas tidak ada pria lain yang hidup di rumah itu selain dia dan ayahnya.
“Ayo, masuk, Den!” pinta Mbok Minah yang mengagetkan pria itu.
“Eh, iya, Mbok,” ujar Dimas dan melihat ke lantai dua lagi, tetapi sosok pria tadi sudah lenyap.
Dinda membawa ibunya untuk beristirahat di kamar, begitu pun dengan Dimas yang merasa sangat lelah. Mungkin karena ia belum bisa menerima kepergian sang ayah, makanya pria itu selalu terbayang-bayang sosok ayahnya. Pria itu berbaring sebentar di ranjang agar lelahnya berkurang.
Dimas terbangun di malam hari, ia melihat jam pukul 11:30. Pria itu sampai lupa menunaikan ibadah salat. Ia pergi ke kamar mandi dan ingin berwudu. Pria itu membuka keran air, tetapi ternyata tidak ada air yang keluar sama sekali. “Kenapa tiba-tiba rusak, ya?” gumamnya.
Pria itu menuruni tangga dan ingin ke kamar mandi yang terletak di samping dapur, tetapi ia dikagetkan dengan adiknya yang masih duduk di meja makan.
“Kebiasaan kamu, Din. Kalau malam selalu keluyuran,” ucap pria itu yang tahu kebiasaan adiknya, lalu berjalan menatap wanita itu.
Betapa terkejutnya dia, melihat wajah Dinda dipenuhi belatung dan berdarah. “Astagfirullah, siapa kamu?!” teriak Dimas seraya berjalan mundur.
Lalu wanita itu berdiri dan hendak mencekik Dimas.
“Tidak! Pergi kamu! Jangan dekati aku! Tolong ...! Archh ...!” teriak Dimas langsung terbangun dari tidurnya.
“Ya Allah, Kak. Mimpi apa, sih, sampai teriak-teriak? Cepetan bangun, jangan tidur di waktu Magrib,” pinta Dinda yang saat itu membangunkan kakaknya.
“Astagfirullah al-azim, mimpi apa itu tadi?” gumam Dimas seraya mengatur napasnya kembali.
Pria itu segera berwudu dan pergi ke masjid yang tidak jauh dari rumahnya. Setelah salat, pria itu berjalan kembali ke rumah. Saat melewati sebuah kebun pisang milik tetangga.
Kesrek! Kesrek!
Sebuah suara mengagetkan pria itu.
“Suara apa itu?” gumamnya.
Kesrek! Kesrek!
Lagi-lagi suara itu terdengar, membuat pria berumur 27 tahun yang belum menikah itu penasaran. Ia menatap jauh ke pohon-pohon pisang yang mulai berbuah itu.
Sebuah sosok yang terbalut kain putih tiba-tiba muncul dan langsung menatapnya dengan wajah yang menghitam.
“Woi, Dim!” ujar temannya mengagetkan pria itu.
“Ya Allah, jantungku. Sialan kamu, Ron,” umpat pria itu pada temannya.
“Ngapain kamu mandengin tu pohon pisang? Kamu mau nyolong?” ejeknya.
“Dasar kamu, dikira aku nggak mampu beli apa?” bantah Dimas.
“Udah. Yuk, pulang. Bukannya besok kita harus kerja?” ujar Roni.
“Besok aku belum bisa masuk ke kantor. Kamu urusin dulu, ya. Aku mau dampingin Ibu aku dulu,” sahut Dimas.
“Oke, laksanakan, Bos!” ujar pria itu yang menjabat sebagai wakil manajer di perusahaan Dimas.
Mereka berpisah di persimpangan jalan. Dimas memasuki rumahnya. Entah mengapa kini rumah berlantai tiga itu terlihat sedikit menakutkan. Dimas merasa sering diganggu hal-hal yang tidak bisa dijelaskan oleh akal dan pikiran.
Di meja makan, mereka semua berkumpul.
“Dimas, Mama minta maaf ya karena hal ini, pekerjaan kamu jadi berlipat ganda,” ujar ibunya.
“Mama nggak usah khawatir, yang penting Mama jaga kesehatan, ya,” sahut Dimas.
“Bentar lagi kan aku juga udah mau lulus, Ma. Ntar aku bantuin Kak Dimas, deh.” Celetuk Dinda.
“Kamu mau bantuin apa? Main mulu kerjaannya,” bantah Dimas.
“Aku kan juga bisa serius, Kak,” ucap wanita itu tak mau kalah.
Aini hanya menggeleng melihat kedua anaknya berdebat.
Bersambung.
Lalu, bagaimana kelanjutannya. Tunggu di thread selanjutnya. Ramaikan thread ini biar Ratu Horor cepat-cepat melanjutkan ceritanya sampai tamat. 😎
Written : Piendutt
Sumber : Opini pribadi
Part selanjutnya 👇
Part 2. Dihantui Terus Menerus
Part 3. Bertemu Sang Penyelamat
Part 4. Berkunjung ke Rumah Dinda
Part 5. Fakta Dibalik Buku Harian
Part 6. Menjenguk Aini
Part 7. Dikejar Setan
Part 8. Melawan Arwah Gaun Pengantin
Part 9. Bantuan dari Herman
Diubah oleh piendutt 08-11-2022 09:17
motherparker699 dan 16 lainnya memberi reputasi
15
7.5K
Kutip
92
Balasan
Komentar yang asik ya
Tampilkan semua post
TS
piendutt
#45
Gaun Pengantin Berdarah
Quote:
Part 9. Bantuan dari Herman
Afgan mencoba melawan kedua arwah itu lagi. Tiba-tiba Suhadi datang dan mencekik pria itu. Afgan berusaha berdoa, tetapi cekikan itu justru semakin kuat. Tubuh Dewi yang tak berkepala ikut datang menghampiri pria itu.
Mendadak dari pintu rumah, seseorang berteriak. “Allahu akbar! Allahu akbar! Allahu akbar! Wahai kalian makhluk terkutuk, kembalilah ke dunia kalian!” teriak Herman yang baru saja datang.
Suhadi menengok ke arah suara itu dan langsung berganti menyerang Herman. Pria itu mengeluarkan sebuah keris sakti dan membaca doa. Lalu, menusukkan benda tersebut ke tubuh Suhadi dan Dewi. Seketika tubuh mereka berangsur menghilang.
Arwah Dewi yang memakai baju pengantin berdiri tegak di depan mereka semua. “Tolong kami. Ini bukan kemauan kami, kami lelah melakukan semua ini.” isak Dewi membuat semua orang tercengang.
“Lalu, siapa dalang di balik semua ini?” tanya Herman.
“Dia adalah anakku. Kami akan segera kembali ke dia, ikuti kami,” pinta Dewi dan berubah menjadi cahaya putih.
“Ayo, cepat. Ikuti cahaya itu!” pinta Herman.
Mereka bergegas naik ke mobil Dimas dan mengikuti cahaya terang tersebut.
“Jangan sampai kehilangan cahaya itu, ya, Nak,” pinta Herman yang duduk di bangku depan.
“Iya, Pak,” sahut Dimas.
“Sebenarnya cahaya itu mau ke mana?” tanya Aini.
“Kita akan bertemu orang yang sudah mengirim mereka selama ini, Tante,” sahut Afgan.
Cahaya itu berhenti di atap sebuah rumah berlampu redup. Mereka semua mulai menyusup ke dalamnya.
“Kurasa di dalam rumah ini. Ayo, semuanya turun,” pinta Herman.
Cahaya itu kembali masuk ke sebuah peti yang di dalamnya ada tulang belulang yang diselimuti gaun pengantin
“Ouchhh!” Seorang wanita paruh baya memuntahkan cairan hitam karena arwah yang dikirimnya kembali.
“Ibu nggak papa, 'kan?” tanya Sisil pada ibunya.
“Sialan, mereka terlalu kuat,” ucap wanita yang bernama Lilis.
Arwah Suhadi dan Dewi datang menghampiri mereka.
“Lilis, cukup, Ndok. Ibu sekarang sudah bahagia bersama ayahmu, jangan termakan hawa nafsumu, Ndok,” ujar Dewi.
“Aku tidak akan membiarkan mereka hidup dengan tenang setelah membuatku menderita seperti ini, Buk,” bantah Lilis yang ternyata adalah Mbok Minah.
Wanita tua itu mengucapkan beberapa mantra dan membakar buku harian milik Suhadi. Mendadak mayat pria yang masih terbalut kain kafan itu langsung bangkit dengan matanya yang hitam melotot.
Brakkkk!
“Apa itu, Bu?” tanya Sisil merasa seperti mendengar suara pintu dibanting.
Kedua wanita itu keluar dan sudah melihat keluarga Aini di sana.
“Astagfirullah, Mbok Minah. Jadi ini semua ulah Mbok,” ujar Aini tak percaya bahwa perempuan yang dianggapnya adik itu tega melakukan semua ini.
“Berani-beraninya kalian datang kemari!” bentak wanita berumur 45 tahunan itu.
“Hentikan, Mbok. Apa salah kami sama Mbok?” isak Dinda yang menyayangi Mbok Minah seperti ibunya sendiri.
“Salah kalian karena sudah menghancurkan hidupku, aku adalah anak dari Dewi, yang hidupnya dihancurkan oleh ayah kalian!” bentak wanita itu.
“Ayahku tidak bermaksud melakukan itu, ini semua salah paham, Mbok,” timpal Dimas.
“Nasi sudah menjadi bubur dan tidak akan pernah kembali lagi,” ucap wanita itu seraya membaca mantra.
Mendadak arwah Dewi dan mayat Suhadi sudah berdiri tegak di depan wanita itu.
“Bunuh mereka semua!” perintah Lilis pada kedua arwah tersebut.
Afgan dan ayahnya langsung melawan kedua arwah itu.
Dimas melihat seorang wanita yang sangat ia kenal. “Sisil? Bagaimana mungkin dia juga ada di sini?” ujar Dimas merasa bingung.
Herman berdoa dan meletakkan tangannya pada kepala pocong itu, hingga pocong tersebut meraung-raung kepanasan. Arwah Dewi terbang ke atap langit. Lilis ikut duduk dan bersemadi, tetapi lawan wanita itu sangat tangguh.
Herman dan Afgan meletakkan tangan mereka di lantai keramik rumah itu. “Allahu akbar!” teriak mereka bersamaan membuat arwah-arwah itu terpental jauh.
Lilis ikut terpental dan kepalanya membentur tembok hingga darah bercucuran dari kepalanya.
“Ibu! Bu, bangun Bu!” isak Sisil meratapi ibunya.
Dimas segera memanggil polisi dan ambulans. Pihak polisi membawa Sisil yang diduga penganut ilmu sesat karena ditemukan beberapa mayat yang digali oleh perempuan itu di rumahnya, sedangkan Lilis nyawanya tidak tertolong karena benturan di kepala wanita tua itu begitu keras sehingga kehabisan darah.
Keluarga Aini menguburkan kembali jenazah Suhadi yang sudah diambil oleh Sisil. Dan tidak lupa menguburkan tulang belulang Dewi berserta gaun pengantin itu di samping kuburan Suhadi. Mereka juga mengubur jenazah Lilis bersamaan dan berdoa dengan harapan arwah mereka kini bisa tenang di alam baka.
Afgan melihat wanita berbaju pengantin itu sedang menggandeng tangan Suhadi dan juga seorang gadis kecil. Mereka menunduk seperti berterima kasih karena sudah ditolong. Kini mereka bisa hidup tenang karena sudah berkumpul lagi.
Dari penyelidikan yang ditemukan bahwa Lilis menggunakan identitas palsu sebagai Minah untuk bisa masuk dan bekerja di rumah Aini. Nama aslinya adalah Lilis.
Wanita itu juga yang telah membuat Suhadi sakit selama ini karena selalu mencampur obatnya dengan racun agar penyakit pria itu tidak kunjung sembuh.
Wanita itu juga yang mengirim beberapa setan datang menghantui keluarga Aini. Dibantu oleh anak semata wayangnya, mereka berdua meneror keluarga itu dengan alasan dendam. Kini Sisil, anaknya harus mendekam di penjara karena perbuatannya.
***
Di rumah Afgan.
“Terima kasih karena mau membantu Afgan, Pak,” ucapnya.
Herman menepuk bahu anaknya. “Tidak ada orang tua yang sanggup melihat anaknya terluka, Bapak malah bangga sama kamu,” ujar pria itu. Mereka berdua pun tersenyum.
***
Di tempat lain. Aini dan kedua anaknya saling berpelukan.
“Ma, kuharap sekarang hidup kita bisa tenang,” ujar Dimas.
“Iya, Sayang. Mama juga,” sahut wanita itu.
“Semoga kita nggak akan diganggu arwah lagi, ya, Ma.” Isak Dinda.
“Iya, Sayang,” ucap wanita itu seraya membelai rambut kedua anaknya.
Dari pintu rumah, datanglah Gisel dan Roni yang sudah ditelepon oleh Dimas.
“Dim, apa itu benar? Jadi Sisil dan Mbok Minah pelakunya?” tanya Roni.
“Iya, Ron. Kami juga nggak menyangka,” sahut Dimas.
Roni tampak sedih dan terpukul, pria itu tak menyangka bahwa wanita yang dicintainya adalah orang yang selama ini mengirim setan untuk menghantui keluarga Aini.
“Kamu yang sabar, ya, Nak Roni,” ujar Aini.
Pria itu mengangguk.
***
Beberapa hari setelah kejadian itu, Dinda kembali menemui Afgan di bawah pohon.
“Ehemm!” Dinda berdeham.
“Eh, kamu, Din,” ujar pria itu.
Dinda ikut duduk di samping Afgan, lalu mengeluarkan sebuah kotak cokelat dari belakang badan.
“Nih, buat kamu. Hari ini kan hari kasih sayang,” celetuk wanita itu.
“Eh, masa, sih? Emangnya hari ini tanggal empat belas Februari, ya?” tanya Afgan yang mengingat hari itu.
“Bukan, kok. Hari ini, hari aku ngasih sayangku ke kamu. Udah, ya. Jangan lupa dimakan,” ucap Dinda dan segera pergi dari sana.
Afgan masih mencerna omongan wanita itu.
“Maksudnya apa itu? Ngasih sayang ke aku? Berarti dia nerima aku, dong. Eh, tunggu, Din! Jangan lari kamu!” teriak Afgan, lalu mengejar wanita itu.
Dinda masih terus berlari menghindari pria itu. Akhirnya wanita itu tertangkap juga dan Afgan langsung memeluknya.
“Jelasin dulu artinya apa? Kamu nerima aku?” tanya pria itu.
“Ih, telmi banget, sih? Iya, aku nerima kamu, Gan,” sahut wanita itu tersenyum manis.
“Oh, syukurlah,” ujar pria itu dan mengecup pipi Dinda.
“Eh, ini di kampus tau, ntar dosen tau,” bantah Dinda.
“Ah, biarin. Aku lagi seneng, kok,” sahut Afgan.
Mereka berdua pun kembali berpelukan.
***
Seorang wanita terlihat sedang menyisir rambutnya yang panjang.
“Ini baju pengantinnya, Kak,” ucap seorang gadis seraya mengeluarkan gaun pengantin dari kotak.
“Wah, bagus banget ini,” ujar wanita itu dengan mata berkaca-kaca.
Kemudian, sang adik membantu kakaknya memakai gaun pengantin itu.
“Pas banget, Kak. Cantik, aku tinggal bentar, ya,” ujar gadis itu, lalu pergi.
Wanita itu berdiri di kaca dan berputar-putar. Mendadak ia tersentak dan matanya berubah hitam.
“Mas, menikahlah denganku,” ucap wanita itu dan langsung tertawa menyeramkan.
Tamat.
Afgan mencoba melawan kedua arwah itu lagi. Tiba-tiba Suhadi datang dan mencekik pria itu. Afgan berusaha berdoa, tetapi cekikan itu justru semakin kuat. Tubuh Dewi yang tak berkepala ikut datang menghampiri pria itu.
Mendadak dari pintu rumah, seseorang berteriak. “Allahu akbar! Allahu akbar! Allahu akbar! Wahai kalian makhluk terkutuk, kembalilah ke dunia kalian!” teriak Herman yang baru saja datang.
Suhadi menengok ke arah suara itu dan langsung berganti menyerang Herman. Pria itu mengeluarkan sebuah keris sakti dan membaca doa. Lalu, menusukkan benda tersebut ke tubuh Suhadi dan Dewi. Seketika tubuh mereka berangsur menghilang.
Arwah Dewi yang memakai baju pengantin berdiri tegak di depan mereka semua. “Tolong kami. Ini bukan kemauan kami, kami lelah melakukan semua ini.” isak Dewi membuat semua orang tercengang.
“Lalu, siapa dalang di balik semua ini?” tanya Herman.
“Dia adalah anakku. Kami akan segera kembali ke dia, ikuti kami,” pinta Dewi dan berubah menjadi cahaya putih.
“Ayo, cepat. Ikuti cahaya itu!” pinta Herman.
Mereka bergegas naik ke mobil Dimas dan mengikuti cahaya terang tersebut.
“Jangan sampai kehilangan cahaya itu, ya, Nak,” pinta Herman yang duduk di bangku depan.
“Iya, Pak,” sahut Dimas.
“Sebenarnya cahaya itu mau ke mana?” tanya Aini.
“Kita akan bertemu orang yang sudah mengirim mereka selama ini, Tante,” sahut Afgan.
Cahaya itu berhenti di atap sebuah rumah berlampu redup. Mereka semua mulai menyusup ke dalamnya.
“Kurasa di dalam rumah ini. Ayo, semuanya turun,” pinta Herman.
Cahaya itu kembali masuk ke sebuah peti yang di dalamnya ada tulang belulang yang diselimuti gaun pengantin
“Ouchhh!” Seorang wanita paruh baya memuntahkan cairan hitam karena arwah yang dikirimnya kembali.
“Ibu nggak papa, 'kan?” tanya Sisil pada ibunya.
“Sialan, mereka terlalu kuat,” ucap wanita yang bernama Lilis.
Arwah Suhadi dan Dewi datang menghampiri mereka.
“Lilis, cukup, Ndok. Ibu sekarang sudah bahagia bersama ayahmu, jangan termakan hawa nafsumu, Ndok,” ujar Dewi.
“Aku tidak akan membiarkan mereka hidup dengan tenang setelah membuatku menderita seperti ini, Buk,” bantah Lilis yang ternyata adalah Mbok Minah.
Wanita tua itu mengucapkan beberapa mantra dan membakar buku harian milik Suhadi. Mendadak mayat pria yang masih terbalut kain kafan itu langsung bangkit dengan matanya yang hitam melotot.
Brakkkk!
“Apa itu, Bu?” tanya Sisil merasa seperti mendengar suara pintu dibanting.
Kedua wanita itu keluar dan sudah melihat keluarga Aini di sana.
“Astagfirullah, Mbok Minah. Jadi ini semua ulah Mbok,” ujar Aini tak percaya bahwa perempuan yang dianggapnya adik itu tega melakukan semua ini.
“Berani-beraninya kalian datang kemari!” bentak wanita berumur 45 tahunan itu.
“Hentikan, Mbok. Apa salah kami sama Mbok?” isak Dinda yang menyayangi Mbok Minah seperti ibunya sendiri.
“Salah kalian karena sudah menghancurkan hidupku, aku adalah anak dari Dewi, yang hidupnya dihancurkan oleh ayah kalian!” bentak wanita itu.
“Ayahku tidak bermaksud melakukan itu, ini semua salah paham, Mbok,” timpal Dimas.
“Nasi sudah menjadi bubur dan tidak akan pernah kembali lagi,” ucap wanita itu seraya membaca mantra.
Mendadak arwah Dewi dan mayat Suhadi sudah berdiri tegak di depan wanita itu.
“Bunuh mereka semua!” perintah Lilis pada kedua arwah tersebut.
Afgan dan ayahnya langsung melawan kedua arwah itu.
Dimas melihat seorang wanita yang sangat ia kenal. “Sisil? Bagaimana mungkin dia juga ada di sini?” ujar Dimas merasa bingung.
Herman berdoa dan meletakkan tangannya pada kepala pocong itu, hingga pocong tersebut meraung-raung kepanasan. Arwah Dewi terbang ke atap langit. Lilis ikut duduk dan bersemadi, tetapi lawan wanita itu sangat tangguh.
Herman dan Afgan meletakkan tangan mereka di lantai keramik rumah itu. “Allahu akbar!” teriak mereka bersamaan membuat arwah-arwah itu terpental jauh.
Lilis ikut terpental dan kepalanya membentur tembok hingga darah bercucuran dari kepalanya.
“Ibu! Bu, bangun Bu!” isak Sisil meratapi ibunya.
Dimas segera memanggil polisi dan ambulans. Pihak polisi membawa Sisil yang diduga penganut ilmu sesat karena ditemukan beberapa mayat yang digali oleh perempuan itu di rumahnya, sedangkan Lilis nyawanya tidak tertolong karena benturan di kepala wanita tua itu begitu keras sehingga kehabisan darah.
Keluarga Aini menguburkan kembali jenazah Suhadi yang sudah diambil oleh Sisil. Dan tidak lupa menguburkan tulang belulang Dewi berserta gaun pengantin itu di samping kuburan Suhadi. Mereka juga mengubur jenazah Lilis bersamaan dan berdoa dengan harapan arwah mereka kini bisa tenang di alam baka.
Afgan melihat wanita berbaju pengantin itu sedang menggandeng tangan Suhadi dan juga seorang gadis kecil. Mereka menunduk seperti berterima kasih karena sudah ditolong. Kini mereka bisa hidup tenang karena sudah berkumpul lagi.
Dari penyelidikan yang ditemukan bahwa Lilis menggunakan identitas palsu sebagai Minah untuk bisa masuk dan bekerja di rumah Aini. Nama aslinya adalah Lilis.
Wanita itu juga yang telah membuat Suhadi sakit selama ini karena selalu mencampur obatnya dengan racun agar penyakit pria itu tidak kunjung sembuh.
Wanita itu juga yang mengirim beberapa setan datang menghantui keluarga Aini. Dibantu oleh anak semata wayangnya, mereka berdua meneror keluarga itu dengan alasan dendam. Kini Sisil, anaknya harus mendekam di penjara karena perbuatannya.
***
Di rumah Afgan.
“Terima kasih karena mau membantu Afgan, Pak,” ucapnya.
Herman menepuk bahu anaknya. “Tidak ada orang tua yang sanggup melihat anaknya terluka, Bapak malah bangga sama kamu,” ujar pria itu. Mereka berdua pun tersenyum.
***
Di tempat lain. Aini dan kedua anaknya saling berpelukan.
“Ma, kuharap sekarang hidup kita bisa tenang,” ujar Dimas.
“Iya, Sayang. Mama juga,” sahut wanita itu.
“Semoga kita nggak akan diganggu arwah lagi, ya, Ma.” Isak Dinda.
“Iya, Sayang,” ucap wanita itu seraya membelai rambut kedua anaknya.
Dari pintu rumah, datanglah Gisel dan Roni yang sudah ditelepon oleh Dimas.
“Dim, apa itu benar? Jadi Sisil dan Mbok Minah pelakunya?” tanya Roni.
“Iya, Ron. Kami juga nggak menyangka,” sahut Dimas.
Roni tampak sedih dan terpukul, pria itu tak menyangka bahwa wanita yang dicintainya adalah orang yang selama ini mengirim setan untuk menghantui keluarga Aini.
“Kamu yang sabar, ya, Nak Roni,” ujar Aini.
Pria itu mengangguk.
***
Beberapa hari setelah kejadian itu, Dinda kembali menemui Afgan di bawah pohon.
“Ehemm!” Dinda berdeham.
“Eh, kamu, Din,” ujar pria itu.
Dinda ikut duduk di samping Afgan, lalu mengeluarkan sebuah kotak cokelat dari belakang badan.
“Nih, buat kamu. Hari ini kan hari kasih sayang,” celetuk wanita itu.
“Eh, masa, sih? Emangnya hari ini tanggal empat belas Februari, ya?” tanya Afgan yang mengingat hari itu.
“Bukan, kok. Hari ini, hari aku ngasih sayangku ke kamu. Udah, ya. Jangan lupa dimakan,” ucap Dinda dan segera pergi dari sana.
Afgan masih mencerna omongan wanita itu.
“Maksudnya apa itu? Ngasih sayang ke aku? Berarti dia nerima aku, dong. Eh, tunggu, Din! Jangan lari kamu!” teriak Afgan, lalu mengejar wanita itu.
Dinda masih terus berlari menghindari pria itu. Akhirnya wanita itu tertangkap juga dan Afgan langsung memeluknya.
“Jelasin dulu artinya apa? Kamu nerima aku?” tanya pria itu.
“Ih, telmi banget, sih? Iya, aku nerima kamu, Gan,” sahut wanita itu tersenyum manis.
“Oh, syukurlah,” ujar pria itu dan mengecup pipi Dinda.
“Eh, ini di kampus tau, ntar dosen tau,” bantah Dinda.
“Ah, biarin. Aku lagi seneng, kok,” sahut Afgan.
Mereka berdua pun kembali berpelukan.
***
Seorang wanita terlihat sedang menyisir rambutnya yang panjang.
“Ini baju pengantinnya, Kak,” ucap seorang gadis seraya mengeluarkan gaun pengantin dari kotak.
“Wah, bagus banget ini,” ujar wanita itu dengan mata berkaca-kaca.
Kemudian, sang adik membantu kakaknya memakai gaun pengantin itu.
“Pas banget, Kak. Cantik, aku tinggal bentar, ya,” ujar gadis itu, lalu pergi.
Wanita itu berdiri di kaca dan berputar-putar. Mendadak ia tersentak dan matanya berubah hitam.
“Mas, menikahlah denganku,” ucap wanita itu dan langsung tertawa menyeramkan.
Tamat.
pulaukapok dan jayadipana memberi reputasi
2
Kutip
Balas