- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
Horor Terseram Gaun Pengantin Berdarah


TS
piendutt
Horor Terseram Gaun Pengantin Berdarah

Quote:
Gaun Pengantin Berdarah
Part 1. Kematian Suhadi
Di sebuah rumah berlantai tiga terlihat seorang pria paruh baya duduk di atas kursi roda. Seorang wanita datang membawa selimut kemudian menyilangkan di pundak pria itu.
"Pakai selimut ini, ya, Pa. Biar nggak kedinginan," ujar wanita yang bernama Aini itu.
"I-i-ya ... Ma," sahut pria itu seraya tertatih-tatih karena penyakit stroke yang ia derita.
Angin dingin berembus menerpa tubuh mereka berdua.
"Sebaiknya kita masuk ke rumah saja, Pa. Terasa dingin di sini," ajak sang istri kemudian segera mendorong kursi roda itu memasuki rumah.
Aini menghentikan laju kursi roda tepat di samping meja makan, sudah tersedia beberapa makanan yang tersaji di atas meja.
"Nyah, ini buburnya sudah siap," ujar Mbok Minah, pembantu di rumah besar itu seraya menyodorkan mangkok besar.
"Makasih, Mbok. Anak-anak sudah berangkat semua, ya?"
"Iya, Nyah. Sudah berangkat semua dari pagi."
Aini dengan sabar menyuapi bubur pada suaminya yang sakit itu. Walau kadang pria itu enggan makan, Aini tetap sabar dan terus membujuknya. Ia berusaha untuk tidak membuat pria yang dicintainya itu marah.
Di suatu malam, saat semua orang sedang tidur terlelap. Terlihat, Aini juga tidur di samping suaminya. Mendadak, sesosok wanita bergaun pengantin yang tubuhnya berlumuran darah sudah berada tepat di samping Suhadi, pria yang terkena stroke itu. Sosok itu mendesis, kemudian menggoyangkan kepalanya. Dengan cepat ia langsung mencekik leher Suhadi hingga pria itu tersentak.
"Arcckk, arckk," ronta pria itu dengan mengibaskan kedua tangannya mencari pertolongan.
Aini terbangun karena sentuhan tangan suaminya, sedangkan sosok bergaun pengantin tadi sudah lenyap entah kemana.
"Papa, kenapa belum tidur?" tanyanya seraya menyalakan lampu di samping ranjang untuk mengecek keadaan.
Aini melihat sang suami kesulitan berbicara, seperti ada yang mengganjal di tenggorokannya.
"Papa mau minum, ya?" Wanita itu berdiri untuk mengambil segelas air yang biasa ia letakkan di samping ranjang Suhadi, tetapi airnya sudah habis.
"Papa tunggu bentar, ya. Mama ambilin air dulu di dapur," ujar wanita itu seraya berlalu meninggalkan ruangan itu.
Suhadi melihat sekeliling, ia merasa sangat ketakutan. Ia mengapit selimut erat-erat. Tiba-tiba angin berembus dengan kencang, sosok wanita bergaun pengantin tadi datang kembali. Kini ia membawa belati di tangan, tatapannya sangat tajam seakan-akan ia sedang marah. Lalu dengan segera, ia mendekati Suhadi dan menghujaninya dengan tusukan di sekujur tubuh pria itu. Suhadi mengerang kesakitan, cairan merah pun sudah menggenangi ranjang yang ia tiduri. Sedangkan sang wanita hanya tersenyum puas menikmati pemandangan itu.
Suhadi langsung memuntahkan darah berwarna hitam dari mulutnya, kemudian tubuhnya terguling ke lantai. Aini yang baru saja kembali dari dapur melihat sang suami jatuh dari ranjang, ia pun ikut panik.
“Astagfirullah, Pa. Kenapa ini? Mbok, Dimas, Dinda, tolongin Mama!” teriak wanita itu meminta pertolongan.
“Maafin ... Papa ... Ma,” ucap pria itu tertatih-tatih. Kemudian, mengembuskan napas terakhir.
“Papa?!” pekik Aini karena terkejut seraya mengguncang tubuh suaminya.
Beberapa orang segera datang. “Ada apa ini, Ma? Apa yang terjadi? Loh, Papa?!” teriak Dimas, anak pertama mereka.
Ya Allah, Nyah. Tuan kenapa ini?” Isak Mbok Minah yang sudah bekerja bersama mereka sejak anak keduanya lahir.
“Papa!” Isak mereka semua menangisi kepergian pria itu.
Keesokan harinya, mobil ambulans dan polisi sudah berada di depan rumah mewah itu. Dokter menyatakan bahwa Suhadi mengalami gagal jantung karena tidak ditemukannya bekas penganiayaan pada tubuhnya. Kemudian, jenazahnya segera dikuburkan bersama-sama. Beberapa warga desa sempat bergunjing di belakang keluarga itu.
“Kasihan, ya? Semuda itu sudah meninggal.”
“Padahal kaya raya, tapi uang tidak bisa menyembuhkan penyakitnya.”
“Entah apa yang menimpa keluarga itu, sangat disayangkan!” gerutu mereka semua.
Aini dan kedua anaknya menangis di pemakaman, mereka sangat terpukul atas kepergian Suhadi untuk selama-lamanya. Dimas pun menangis tersedu-sedu seraya menatap ke sekeliling pepohonan di pinggir kuburan itu. Namun, netranya terhenti di salah satu pohon yang sangat tinggi. Pria itu melihat sosok ayahnya berdiri tegak di depan pohon tersebut.
“Papa,” panggil pria itu.
Tidak lama kemudian, Aini pingsan karena tidak sanggup menahan rasa sesak di dada karena kehilangan pria yang sangat dicintainya.
“Mama, Ma! Bangun, Ma. Kak Dimas, bantuin!” teriak Dinda meminta tolong.
Dimas dan adiknya langsung membawa sang ibu ke rumah sakit, dokter pun langsung memeriksa kondisi tubuhnya. Dokter mengatakan bahwa Aini hanya kelelahan dan butuh banyak istirahat, Dimas pun merasa lega. Kini mereka berdua masih setia menunggu hingga sang ibu siuman.
Tak berapa lama kemudian, Aini pun siuman. Setelah memastikan kondisi sang ibu baik-baik saja, Dimas pun membawa wanita separuh baya tersebut untuk pulang.
Sesampainya di depan rumah, Dimas tersentak karena melihat sesosok pria di lantai dua tepatnya di kamar ibunya. Padahal jelas-jelas tidak ada pria lain yang hidup di rumah itu selain dia dan ayahnya.
“Ayo, masuk, Den!” pinta Mbok Minah yang mengagetkan pria itu.
“Eh, iya, Mbok,” ujar Dimas dan melihat ke lantai dua lagi, tetapi sosok pria tadi sudah lenyap.
Dinda membawa ibunya untuk beristirahat di kamar, begitu pun dengan Dimas yang merasa sangat lelah. Mungkin karena ia belum bisa menerima kepergian sang ayah, makanya pria itu selalu terbayang-bayang sosok ayahnya. Pria itu berbaring sebentar di ranjang agar lelahnya berkurang.
Dimas terbangun di malam hari, ia melihat jam pukul 11:30. Pria itu sampai lupa menunaikan ibadah salat. Ia pergi ke kamar mandi dan ingin berwudu. Pria itu membuka keran air, tetapi ternyata tidak ada air yang keluar sama sekali. “Kenapa tiba-tiba rusak, ya?” gumamnya.
Pria itu menuruni tangga dan ingin ke kamar mandi yang terletak di samping dapur, tetapi ia dikagetkan dengan adiknya yang masih duduk di meja makan.
“Kebiasaan kamu, Din. Kalau malam selalu keluyuran,” ucap pria itu yang tahu kebiasaan adiknya, lalu berjalan menatap wanita itu.
Betapa terkejutnya dia, melihat wajah Dinda dipenuhi belatung dan berdarah. “Astagfirullah, siapa kamu?!” teriak Dimas seraya berjalan mundur.
Lalu wanita itu berdiri dan hendak mencekik Dimas.
“Tidak! Pergi kamu! Jangan dekati aku! Tolong ...! Archh ...!” teriak Dimas langsung terbangun dari tidurnya.
“Ya Allah, Kak. Mimpi apa, sih, sampai teriak-teriak? Cepetan bangun, jangan tidur di waktu Magrib,” pinta Dinda yang saat itu membangunkan kakaknya.
“Astagfirullah al-azim, mimpi apa itu tadi?” gumam Dimas seraya mengatur napasnya kembali.
Pria itu segera berwudu dan pergi ke masjid yang tidak jauh dari rumahnya. Setelah salat, pria itu berjalan kembali ke rumah. Saat melewati sebuah kebun pisang milik tetangga.
Kesrek! Kesrek!
Sebuah suara mengagetkan pria itu.
“Suara apa itu?” gumamnya.
Kesrek! Kesrek!
Lagi-lagi suara itu terdengar, membuat pria berumur 27 tahun yang belum menikah itu penasaran. Ia menatap jauh ke pohon-pohon pisang yang mulai berbuah itu.
Sebuah sosok yang terbalut kain putih tiba-tiba muncul dan langsung menatapnya dengan wajah yang menghitam.
“Woi, Dim!” ujar temannya mengagetkan pria itu.
“Ya Allah, jantungku. Sialan kamu, Ron,” umpat pria itu pada temannya.
“Ngapain kamu mandengin tu pohon pisang? Kamu mau nyolong?” ejeknya.
“Dasar kamu, dikira aku nggak mampu beli apa?” bantah Dimas.
“Udah. Yuk, pulang. Bukannya besok kita harus kerja?” ujar Roni.
“Besok aku belum bisa masuk ke kantor. Kamu urusin dulu, ya. Aku mau dampingin Ibu aku dulu,” sahut Dimas.
“Oke, laksanakan, Bos!” ujar pria itu yang menjabat sebagai wakil manajer di perusahaan Dimas.
Mereka berpisah di persimpangan jalan. Dimas memasuki rumahnya. Entah mengapa kini rumah berlantai tiga itu terlihat sedikit menakutkan. Dimas merasa sering diganggu hal-hal yang tidak bisa dijelaskan oleh akal dan pikiran.
Di meja makan, mereka semua berkumpul.
“Dimas, Mama minta maaf ya karena hal ini, pekerjaan kamu jadi berlipat ganda,” ujar ibunya.
“Mama nggak usah khawatir, yang penting Mama jaga kesehatan, ya,” sahut Dimas.
“Bentar lagi kan aku juga udah mau lulus, Ma. Ntar aku bantuin Kak Dimas, deh.” Celetuk Dinda.
“Kamu mau bantuin apa? Main mulu kerjaannya,” bantah Dimas.
“Aku kan juga bisa serius, Kak,” ucap wanita itu tak mau kalah.
Aini hanya menggeleng melihat kedua anaknya berdebat.
Bersambung.
Lalu, bagaimana kelanjutannya. Tunggu di thread selanjutnya. Ramaikan thread ini biar Ratu Horor cepat-cepat melanjutkan ceritanya sampai tamat. 😎
Written : Piendutt
Sumber : Opini pribadi
Part selanjutnya 👇
Part 2. Dihantui Terus Menerus
Part 3. Bertemu Sang Penyelamat
Part 4. Berkunjung ke Rumah Dinda
Part 5. Fakta Dibalik Buku Harian
Part 6. Menjenguk Aini
Part 7. Dikejar Setan
Part 8. Melawan Arwah Gaun Pengantin
Part 9. Bantuan dari Herman
Part 1. Kematian Suhadi
Di sebuah rumah berlantai tiga terlihat seorang pria paruh baya duduk di atas kursi roda. Seorang wanita datang membawa selimut kemudian menyilangkan di pundak pria itu.
"Pakai selimut ini, ya, Pa. Biar nggak kedinginan," ujar wanita yang bernama Aini itu.
"I-i-ya ... Ma," sahut pria itu seraya tertatih-tatih karena penyakit stroke yang ia derita.
Angin dingin berembus menerpa tubuh mereka berdua.
"Sebaiknya kita masuk ke rumah saja, Pa. Terasa dingin di sini," ajak sang istri kemudian segera mendorong kursi roda itu memasuki rumah.
Aini menghentikan laju kursi roda tepat di samping meja makan, sudah tersedia beberapa makanan yang tersaji di atas meja.
"Nyah, ini buburnya sudah siap," ujar Mbok Minah, pembantu di rumah besar itu seraya menyodorkan mangkok besar.
"Makasih, Mbok. Anak-anak sudah berangkat semua, ya?"
"Iya, Nyah. Sudah berangkat semua dari pagi."
Aini dengan sabar menyuapi bubur pada suaminya yang sakit itu. Walau kadang pria itu enggan makan, Aini tetap sabar dan terus membujuknya. Ia berusaha untuk tidak membuat pria yang dicintainya itu marah.
Di suatu malam, saat semua orang sedang tidur terlelap. Terlihat, Aini juga tidur di samping suaminya. Mendadak, sesosok wanita bergaun pengantin yang tubuhnya berlumuran darah sudah berada tepat di samping Suhadi, pria yang terkena stroke itu. Sosok itu mendesis, kemudian menggoyangkan kepalanya. Dengan cepat ia langsung mencekik leher Suhadi hingga pria itu tersentak.
"Arcckk, arckk," ronta pria itu dengan mengibaskan kedua tangannya mencari pertolongan.
Aini terbangun karena sentuhan tangan suaminya, sedangkan sosok bergaun pengantin tadi sudah lenyap entah kemana.
"Papa, kenapa belum tidur?" tanyanya seraya menyalakan lampu di samping ranjang untuk mengecek keadaan.
Aini melihat sang suami kesulitan berbicara, seperti ada yang mengganjal di tenggorokannya.
"Papa mau minum, ya?" Wanita itu berdiri untuk mengambil segelas air yang biasa ia letakkan di samping ranjang Suhadi, tetapi airnya sudah habis.
"Papa tunggu bentar, ya. Mama ambilin air dulu di dapur," ujar wanita itu seraya berlalu meninggalkan ruangan itu.
Suhadi melihat sekeliling, ia merasa sangat ketakutan. Ia mengapit selimut erat-erat. Tiba-tiba angin berembus dengan kencang, sosok wanita bergaun pengantin tadi datang kembali. Kini ia membawa belati di tangan, tatapannya sangat tajam seakan-akan ia sedang marah. Lalu dengan segera, ia mendekati Suhadi dan menghujaninya dengan tusukan di sekujur tubuh pria itu. Suhadi mengerang kesakitan, cairan merah pun sudah menggenangi ranjang yang ia tiduri. Sedangkan sang wanita hanya tersenyum puas menikmati pemandangan itu.
Suhadi langsung memuntahkan darah berwarna hitam dari mulutnya, kemudian tubuhnya terguling ke lantai. Aini yang baru saja kembali dari dapur melihat sang suami jatuh dari ranjang, ia pun ikut panik.
“Astagfirullah, Pa. Kenapa ini? Mbok, Dimas, Dinda, tolongin Mama!” teriak wanita itu meminta pertolongan.
“Maafin ... Papa ... Ma,” ucap pria itu tertatih-tatih. Kemudian, mengembuskan napas terakhir.
“Papa?!” pekik Aini karena terkejut seraya mengguncang tubuh suaminya.
Beberapa orang segera datang. “Ada apa ini, Ma? Apa yang terjadi? Loh, Papa?!” teriak Dimas, anak pertama mereka.
Ya Allah, Nyah. Tuan kenapa ini?” Isak Mbok Minah yang sudah bekerja bersama mereka sejak anak keduanya lahir.
“Papa!” Isak mereka semua menangisi kepergian pria itu.
Keesokan harinya, mobil ambulans dan polisi sudah berada di depan rumah mewah itu. Dokter menyatakan bahwa Suhadi mengalami gagal jantung karena tidak ditemukannya bekas penganiayaan pada tubuhnya. Kemudian, jenazahnya segera dikuburkan bersama-sama. Beberapa warga desa sempat bergunjing di belakang keluarga itu.
“Kasihan, ya? Semuda itu sudah meninggal.”
“Padahal kaya raya, tapi uang tidak bisa menyembuhkan penyakitnya.”
“Entah apa yang menimpa keluarga itu, sangat disayangkan!” gerutu mereka semua.
Aini dan kedua anaknya menangis di pemakaman, mereka sangat terpukul atas kepergian Suhadi untuk selama-lamanya. Dimas pun menangis tersedu-sedu seraya menatap ke sekeliling pepohonan di pinggir kuburan itu. Namun, netranya terhenti di salah satu pohon yang sangat tinggi. Pria itu melihat sosok ayahnya berdiri tegak di depan pohon tersebut.
“Papa,” panggil pria itu.
Tidak lama kemudian, Aini pingsan karena tidak sanggup menahan rasa sesak di dada karena kehilangan pria yang sangat dicintainya.
“Mama, Ma! Bangun, Ma. Kak Dimas, bantuin!” teriak Dinda meminta tolong.
Dimas dan adiknya langsung membawa sang ibu ke rumah sakit, dokter pun langsung memeriksa kondisi tubuhnya. Dokter mengatakan bahwa Aini hanya kelelahan dan butuh banyak istirahat, Dimas pun merasa lega. Kini mereka berdua masih setia menunggu hingga sang ibu siuman.
Tak berapa lama kemudian, Aini pun siuman. Setelah memastikan kondisi sang ibu baik-baik saja, Dimas pun membawa wanita separuh baya tersebut untuk pulang.
Sesampainya di depan rumah, Dimas tersentak karena melihat sesosok pria di lantai dua tepatnya di kamar ibunya. Padahal jelas-jelas tidak ada pria lain yang hidup di rumah itu selain dia dan ayahnya.
“Ayo, masuk, Den!” pinta Mbok Minah yang mengagetkan pria itu.
“Eh, iya, Mbok,” ujar Dimas dan melihat ke lantai dua lagi, tetapi sosok pria tadi sudah lenyap.
Dinda membawa ibunya untuk beristirahat di kamar, begitu pun dengan Dimas yang merasa sangat lelah. Mungkin karena ia belum bisa menerima kepergian sang ayah, makanya pria itu selalu terbayang-bayang sosok ayahnya. Pria itu berbaring sebentar di ranjang agar lelahnya berkurang.
Dimas terbangun di malam hari, ia melihat jam pukul 11:30. Pria itu sampai lupa menunaikan ibadah salat. Ia pergi ke kamar mandi dan ingin berwudu. Pria itu membuka keran air, tetapi ternyata tidak ada air yang keluar sama sekali. “Kenapa tiba-tiba rusak, ya?” gumamnya.
Pria itu menuruni tangga dan ingin ke kamar mandi yang terletak di samping dapur, tetapi ia dikagetkan dengan adiknya yang masih duduk di meja makan.
“Kebiasaan kamu, Din. Kalau malam selalu keluyuran,” ucap pria itu yang tahu kebiasaan adiknya, lalu berjalan menatap wanita itu.
Betapa terkejutnya dia, melihat wajah Dinda dipenuhi belatung dan berdarah. “Astagfirullah, siapa kamu?!” teriak Dimas seraya berjalan mundur.
Lalu wanita itu berdiri dan hendak mencekik Dimas.
“Tidak! Pergi kamu! Jangan dekati aku! Tolong ...! Archh ...!” teriak Dimas langsung terbangun dari tidurnya.
“Ya Allah, Kak. Mimpi apa, sih, sampai teriak-teriak? Cepetan bangun, jangan tidur di waktu Magrib,” pinta Dinda yang saat itu membangunkan kakaknya.
“Astagfirullah al-azim, mimpi apa itu tadi?” gumam Dimas seraya mengatur napasnya kembali.
Pria itu segera berwudu dan pergi ke masjid yang tidak jauh dari rumahnya. Setelah salat, pria itu berjalan kembali ke rumah. Saat melewati sebuah kebun pisang milik tetangga.
Kesrek! Kesrek!
Sebuah suara mengagetkan pria itu.
“Suara apa itu?” gumamnya.
Kesrek! Kesrek!
Lagi-lagi suara itu terdengar, membuat pria berumur 27 tahun yang belum menikah itu penasaran. Ia menatap jauh ke pohon-pohon pisang yang mulai berbuah itu.
Sebuah sosok yang terbalut kain putih tiba-tiba muncul dan langsung menatapnya dengan wajah yang menghitam.
“Woi, Dim!” ujar temannya mengagetkan pria itu.
“Ya Allah, jantungku. Sialan kamu, Ron,” umpat pria itu pada temannya.
“Ngapain kamu mandengin tu pohon pisang? Kamu mau nyolong?” ejeknya.
“Dasar kamu, dikira aku nggak mampu beli apa?” bantah Dimas.
“Udah. Yuk, pulang. Bukannya besok kita harus kerja?” ujar Roni.
“Besok aku belum bisa masuk ke kantor. Kamu urusin dulu, ya. Aku mau dampingin Ibu aku dulu,” sahut Dimas.
“Oke, laksanakan, Bos!” ujar pria itu yang menjabat sebagai wakil manajer di perusahaan Dimas.
Mereka berpisah di persimpangan jalan. Dimas memasuki rumahnya. Entah mengapa kini rumah berlantai tiga itu terlihat sedikit menakutkan. Dimas merasa sering diganggu hal-hal yang tidak bisa dijelaskan oleh akal dan pikiran.
Di meja makan, mereka semua berkumpul.
“Dimas, Mama minta maaf ya karena hal ini, pekerjaan kamu jadi berlipat ganda,” ujar ibunya.
“Mama nggak usah khawatir, yang penting Mama jaga kesehatan, ya,” sahut Dimas.
“Bentar lagi kan aku juga udah mau lulus, Ma. Ntar aku bantuin Kak Dimas, deh.” Celetuk Dinda.
“Kamu mau bantuin apa? Main mulu kerjaannya,” bantah Dimas.
“Aku kan juga bisa serius, Kak,” ucap wanita itu tak mau kalah.
Aini hanya menggeleng melihat kedua anaknya berdebat.
Bersambung.
Lalu, bagaimana kelanjutannya. Tunggu di thread selanjutnya. Ramaikan thread ini biar Ratu Horor cepat-cepat melanjutkan ceritanya sampai tamat. 😎
Written : Piendutt
Sumber : Opini pribadi
Part selanjutnya 👇
Part 2. Dihantui Terus Menerus
Part 3. Bertemu Sang Penyelamat
Part 4. Berkunjung ke Rumah Dinda
Part 5. Fakta Dibalik Buku Harian
Part 6. Menjenguk Aini
Part 7. Dikejar Setan
Part 8. Melawan Arwah Gaun Pengantin
Part 9. Bantuan dari Herman
Diubah oleh piendutt 08-11-2022 09:17



motherparker699 dan 16 lainnya memberi reputasi
15
7.5K
Kutip
92
Balasan


Komentar yang asik ya
Tampilkan semua post


TS
piendutt
#42
Gaun Pengantin Berdarah

Quote:
Part 8. Melawan Arwah Gaun Pengantin
Afgan bermimpi berada di tanah perkuburan. Pria itu melihat sebuah batu nisan bertuliskan 'Suhadi'. Kemudian, tiba-tiba tanah kuburan itu terbelah menjadi dua. Bangkitlah sesosok pocong dari sana. “Selamatkan keluargaku, aku mohon,” ucap pocong itu dan mendatangi Afgan.
“Archhhh!” teriak pria itu terbangun dari tidurnya.
“Astagfirullah, pertanda apa itu? Siapa Suhadi itu? Sepertinya aku pernah mendengar nama itu,” gumam Afgan.
***
Suatu hari di rumah Aini. Anak-anaknya belum pulang semua. Wanita itu sedang menyiram bunga di halaman belakang. Hari itu juga Mbok Minah sedang pulang ke kampung karena anaknya sakit.
Kesrek! Kesrek!
“Suara apa itu?” gumam Aini dan melihat ke semak-semak samping halaman rumahnya. Tak terlihat apa pun. Lalu matanya berkeliling ke atas pohon yang rimbun itu.
“Astagfirullah,” ucap wanita itu setelah melihat sesosok wanita bergaun pengantin duduk bertengger di ranting pohon itu. Wajah wanita itu berlumuran darah.
Aini yang masih terkejut pun langsung masuk ke rumah dan menelepon Dimas.
***
Dimas yang mendapatkan telepon dari ibunya ikut cemas dan bergegas pulang.
Aini duduk sendiri di ruang tamu, tangannya berkeringat. Wanita itu melihat sekeliling, ia terkejut saat pintu rumahnya mendadak diketuk beberapa kali.
“Apa itu Dimas? Kenapa cepat sekali?” gumam Aini seraya berjalan mendekati pintu untuk membukanya.
Ketika pintu terbuka, Dinda sudah berdiri di sana. “Dinda, kok, kamu sudah pulang, Sayang?” tanya Aini, tetapi tak dijawab oleh wanita itu.
Dinda justru menatap wajah Aini dan langsung mencekik wanita itu.
“Ackkk! Ackkk! Lepasin, Dinda,” rintih wanita berkerudung itu.
Dinda berubah wujud menjadi wanita bergaun pengantin yang tubuhnya berlumuran darah. “Kalian harus mati di tanganku!” teriak wanita itu.
Sebuah mobil sudah terparkir di depan rumah berlantai tiga itu. Dimas segera keluar dari mobil dan melihat pintu rumahnya terbuka.
“Ma! Mama di mana?!” teriak pria itu.
Sosok itu mendengar suara Dimas. Dengan segera wanita itu menenggelamkan tubuh Aini ke dalam bak mandi yang sudah diisi air sampai penuh. Aini meronta beberapa kali, tetapi tak ada yang mendengarnya.
Dimas sangat terkejut ketika menemukan ibunya. “Ma! Mama!” teriak pria itu seraya mengangkat tubuh Aini keluar dari air.
“Uhuk! Uhuk! Uhuk!” Aini memuntahkan air yang masuk ke mulutnya.
***
Di kampus, Afgan mencari Dinda yang sedang duduk berbicara dengan Lala.
“Dinda, bisa bicara sebentar?” pinta pria itu.
“Eh, iya. Bisa, kok. Bentar, ya, La,” ujar Dinda dan pergi mengikuti Afgan.
“Bisakah aku ikut denganmu sore ini? Kurasa akan ada sesuatu yang terjadi,” ujar pria itu.
“Maksud kamu apa?” tanya Dinda masih bingung.
“Aku baru ingat kalau ayahmu bernama Suhadi bukan?”
Dinda mengangguk.
“Semalam beliau mendatangiku dan meminta untuk menyelamatkan keluarganya. Aku tak tau apa maksudnya, tapi aku yakin akan terjadi sesuatu,” jelas pria itu.
“Baiklah, aku akan membawamu ke rumahku,” sahut Dinda.
Kemudian, Afgan mengirim pesan kepada ayahnya bahwa ia akan pulang terlambat. Ia harus pergi ke rumah temannya untuk mengurus sesuatu. Pria itu juga meninggalkan alamat rumah Dinda.
Herman begitu cemas dengan keadaan anaknya. Namun, ia masih harus bekerja. Saat ini, ia hanya bisa berdoa untuk keselamatan anaknya itu.
Di kamarnya, Aini kini terbaring lemas dengan baju basah yang masih belum diganti.
“Mbok Minah ke mana, sih, Ma? Kok, nggak jagain Mama?” ucap Dimas.
“Mbok Minah pulang kampung pagi ini, Mama lupa ngomong ke kamu, Sayang,” jawab Aini.
“Mama nggak kenapa-napa, ‘kan? Kenapa Mama bisa berada di dalam air?” tanya Dimas.
“Arwah itu datang lagi, dia mencekik Mama dan menenggelamkan tubuh Mama di air,” isak wanita itu.
“Astagfirullah, sebenarnya apa yang diinginkan arwah itu? Mama nggak usah khawatir, Dimas akan menjaga Mama di sini, sekarang Mama ganti baju dulu, ya,” suruh Dimas.
Wanita itu mengangguk.
Mendadak terdengar suara. “Kak, Ma, kalian di mana?” teriak Dinda.
“Ada apa, Din? Kenapa teriak-teriak?” tanya Dimas.
“Kok, lantainya basah, Kak? Ada apa ini?”
Dimas membawa adiknya keluar dan menceritakan kejadian tadi.
“Ya Allah, Kak. Terus Mama sekarang gimana?”
“Mama lagi ganti baju, sebentar lagi keluar,” ucap Dimas.
“Oh, ya, Kak. Afgan ada di bawah, dia mau ngomong sesuatu sama kita semua,” ujar Dinda.
“Ya udah. Ayo, kita turun,” sahut Dimas dan bergegas turun.
Dinda membuatkan minuman untuk mereka semua. Aini pun sudah ikut turun bergabung dengan mereka.
“Diminum dulu tehnya, Gan,” pinta Dinda seraya menaruh secangkir teh hangat ke depan pria itu.
“Iya, makasih,” sahut Afgan.
“Nak Afgan, jadi benar akan terjadi sesuatu pada kami semua?” tanya Aini penasaran.
“Iya, Tante. Firasat saya mengatakan seperti itu,” sahut Afgan.
“Mungkin kejadian tadi sore ada kaitannya dengan firasatmu,” ucap Dimas tiba-tiba.
“Maksudnya apa?” tanya Afgan yang belum diberitahu.
“Saat aku pulang tadi, aku menemukan mamaku di dalam bak air, seseorang sengaja menenggelamkannya,” ujar Dimas.
“Ya Allah,” ucap Afgan tak percaya.
“Entah apa lagi yang akan kami alami,” keluh Aini.
Mendadak pintu rumah itu terbuka. Wanita berbaju pengantin itu sudah berdiri di sana.
“Siapa itu?” ucap Dimas.
“Berdirilah kalian, tetaplah di belakangku,” pinta Afgan.
Dari arah belakang wanita itu, ada seorang pria berjalan mendekat.
“Papa!” panggil Dinda yang melihat ayahnya berjalan di samping wanita bergaun pengantin itu.
“Apa yang sebenarnya terjadi? Bukannya Papa sudah meninggal?” tanya Dimas penasaran.
“Aku tau sekarang, pasti ada seseorang yang mengendalikan arwah-arwah ini, mereka jarang mengganggu manusia kecuali dikendalikan,” ucap Afgan mengutarakan apa yang dipikirkannya.
“Lalu, siapa yang mengendalikan mereka?” tanya Dinda.
“Itu yang aku tidak tau,” jawab Afgan.
Wanita bergaun pengantin itu menatap mereka semua, lalu dengan sadis langsung menarik rambutnya dan mematahkan kepalanya. “Malam ini, kalian semua harus mati,” ucap wanita itu.
Suhadi mengeluarkan lidahnya yang panjang dan juga kuku tangan yang tajam. Mereka berdua segera mendatangi keempat orang itu.
Dimas, Aini, dan Dinda berlarian menghindari kejaran mereka. Afgan berdoa dan membuat arwah itu sedikit pusing. Kepala wanita itu beterbangan ke langit-langit seraya mengeluarkan gigi taringnya seakan mencari mangsa.
Lalu, dengan cepat kepala itu menggigit leher Afgan hingga berdarah. “Ouchhh!” rintih pria itu menahan sakit.
Dimas tak tinggal diam, ia menarik rambut kepala itu dan membantingnya hingga menabrak lemari. Lalu, dengan segera menarik tangan Afgan menjauh.
“Haduh, gimana ini?” ujar Dinda cemas melihat keadaan Afgan.
“Mereka terlalu kuat untukku,” rintih Afgan.
“Apa yang harus kulakukan untuk membantumu?” tanya Dimas.
“Tetaplah bersembunyi di sini, aku akan berusaha melawan mereka,” ujar Afgan.
Bersambung.
Afgan bermimpi berada di tanah perkuburan. Pria itu melihat sebuah batu nisan bertuliskan 'Suhadi'. Kemudian, tiba-tiba tanah kuburan itu terbelah menjadi dua. Bangkitlah sesosok pocong dari sana. “Selamatkan keluargaku, aku mohon,” ucap pocong itu dan mendatangi Afgan.
“Archhhh!” teriak pria itu terbangun dari tidurnya.
“Astagfirullah, pertanda apa itu? Siapa Suhadi itu? Sepertinya aku pernah mendengar nama itu,” gumam Afgan.
***
Suatu hari di rumah Aini. Anak-anaknya belum pulang semua. Wanita itu sedang menyiram bunga di halaman belakang. Hari itu juga Mbok Minah sedang pulang ke kampung karena anaknya sakit.
Kesrek! Kesrek!
“Suara apa itu?” gumam Aini dan melihat ke semak-semak samping halaman rumahnya. Tak terlihat apa pun. Lalu matanya berkeliling ke atas pohon yang rimbun itu.
“Astagfirullah,” ucap wanita itu setelah melihat sesosok wanita bergaun pengantin duduk bertengger di ranting pohon itu. Wajah wanita itu berlumuran darah.
Aini yang masih terkejut pun langsung masuk ke rumah dan menelepon Dimas.
***
Dimas yang mendapatkan telepon dari ibunya ikut cemas dan bergegas pulang.
Aini duduk sendiri di ruang tamu, tangannya berkeringat. Wanita itu melihat sekeliling, ia terkejut saat pintu rumahnya mendadak diketuk beberapa kali.
“Apa itu Dimas? Kenapa cepat sekali?” gumam Aini seraya berjalan mendekati pintu untuk membukanya.
Ketika pintu terbuka, Dinda sudah berdiri di sana. “Dinda, kok, kamu sudah pulang, Sayang?” tanya Aini, tetapi tak dijawab oleh wanita itu.
Dinda justru menatap wajah Aini dan langsung mencekik wanita itu.
“Ackkk! Ackkk! Lepasin, Dinda,” rintih wanita berkerudung itu.
Dinda berubah wujud menjadi wanita bergaun pengantin yang tubuhnya berlumuran darah. “Kalian harus mati di tanganku!” teriak wanita itu.
Sebuah mobil sudah terparkir di depan rumah berlantai tiga itu. Dimas segera keluar dari mobil dan melihat pintu rumahnya terbuka.
“Ma! Mama di mana?!” teriak pria itu.
Sosok itu mendengar suara Dimas. Dengan segera wanita itu menenggelamkan tubuh Aini ke dalam bak mandi yang sudah diisi air sampai penuh. Aini meronta beberapa kali, tetapi tak ada yang mendengarnya.
Dimas sangat terkejut ketika menemukan ibunya. “Ma! Mama!” teriak pria itu seraya mengangkat tubuh Aini keluar dari air.
“Uhuk! Uhuk! Uhuk!” Aini memuntahkan air yang masuk ke mulutnya.
***
Di kampus, Afgan mencari Dinda yang sedang duduk berbicara dengan Lala.
“Dinda, bisa bicara sebentar?” pinta pria itu.
“Eh, iya. Bisa, kok. Bentar, ya, La,” ujar Dinda dan pergi mengikuti Afgan.
“Bisakah aku ikut denganmu sore ini? Kurasa akan ada sesuatu yang terjadi,” ujar pria itu.
“Maksud kamu apa?” tanya Dinda masih bingung.
“Aku baru ingat kalau ayahmu bernama Suhadi bukan?”
Dinda mengangguk.
“Semalam beliau mendatangiku dan meminta untuk menyelamatkan keluarganya. Aku tak tau apa maksudnya, tapi aku yakin akan terjadi sesuatu,” jelas pria itu.
“Baiklah, aku akan membawamu ke rumahku,” sahut Dinda.
Kemudian, Afgan mengirim pesan kepada ayahnya bahwa ia akan pulang terlambat. Ia harus pergi ke rumah temannya untuk mengurus sesuatu. Pria itu juga meninggalkan alamat rumah Dinda.
Herman begitu cemas dengan keadaan anaknya. Namun, ia masih harus bekerja. Saat ini, ia hanya bisa berdoa untuk keselamatan anaknya itu.
Di kamarnya, Aini kini terbaring lemas dengan baju basah yang masih belum diganti.
“Mbok Minah ke mana, sih, Ma? Kok, nggak jagain Mama?” ucap Dimas.
“Mbok Minah pulang kampung pagi ini, Mama lupa ngomong ke kamu, Sayang,” jawab Aini.
“Mama nggak kenapa-napa, ‘kan? Kenapa Mama bisa berada di dalam air?” tanya Dimas.
“Arwah itu datang lagi, dia mencekik Mama dan menenggelamkan tubuh Mama di air,” isak wanita itu.
“Astagfirullah, sebenarnya apa yang diinginkan arwah itu? Mama nggak usah khawatir, Dimas akan menjaga Mama di sini, sekarang Mama ganti baju dulu, ya,” suruh Dimas.
Wanita itu mengangguk.
Mendadak terdengar suara. “Kak, Ma, kalian di mana?” teriak Dinda.
“Ada apa, Din? Kenapa teriak-teriak?” tanya Dimas.
“Kok, lantainya basah, Kak? Ada apa ini?”
Dimas membawa adiknya keluar dan menceritakan kejadian tadi.
“Ya Allah, Kak. Terus Mama sekarang gimana?”
“Mama lagi ganti baju, sebentar lagi keluar,” ucap Dimas.
“Oh, ya, Kak. Afgan ada di bawah, dia mau ngomong sesuatu sama kita semua,” ujar Dinda.
“Ya udah. Ayo, kita turun,” sahut Dimas dan bergegas turun.
Dinda membuatkan minuman untuk mereka semua. Aini pun sudah ikut turun bergabung dengan mereka.
“Diminum dulu tehnya, Gan,” pinta Dinda seraya menaruh secangkir teh hangat ke depan pria itu.
“Iya, makasih,” sahut Afgan.
“Nak Afgan, jadi benar akan terjadi sesuatu pada kami semua?” tanya Aini penasaran.
“Iya, Tante. Firasat saya mengatakan seperti itu,” sahut Afgan.
“Mungkin kejadian tadi sore ada kaitannya dengan firasatmu,” ucap Dimas tiba-tiba.
“Maksudnya apa?” tanya Afgan yang belum diberitahu.
“Saat aku pulang tadi, aku menemukan mamaku di dalam bak air, seseorang sengaja menenggelamkannya,” ujar Dimas.
“Ya Allah,” ucap Afgan tak percaya.
“Entah apa lagi yang akan kami alami,” keluh Aini.
Mendadak pintu rumah itu terbuka. Wanita berbaju pengantin itu sudah berdiri di sana.
“Siapa itu?” ucap Dimas.
“Berdirilah kalian, tetaplah di belakangku,” pinta Afgan.
Dari arah belakang wanita itu, ada seorang pria berjalan mendekat.
“Papa!” panggil Dinda yang melihat ayahnya berjalan di samping wanita bergaun pengantin itu.
“Apa yang sebenarnya terjadi? Bukannya Papa sudah meninggal?” tanya Dimas penasaran.
“Aku tau sekarang, pasti ada seseorang yang mengendalikan arwah-arwah ini, mereka jarang mengganggu manusia kecuali dikendalikan,” ucap Afgan mengutarakan apa yang dipikirkannya.
“Lalu, siapa yang mengendalikan mereka?” tanya Dinda.
“Itu yang aku tidak tau,” jawab Afgan.
Wanita bergaun pengantin itu menatap mereka semua, lalu dengan sadis langsung menarik rambutnya dan mematahkan kepalanya. “Malam ini, kalian semua harus mati,” ucap wanita itu.
Suhadi mengeluarkan lidahnya yang panjang dan juga kuku tangan yang tajam. Mereka berdua segera mendatangi keempat orang itu.
Dimas, Aini, dan Dinda berlarian menghindari kejaran mereka. Afgan berdoa dan membuat arwah itu sedikit pusing. Kepala wanita itu beterbangan ke langit-langit seraya mengeluarkan gigi taringnya seakan mencari mangsa.
Lalu, dengan cepat kepala itu menggigit leher Afgan hingga berdarah. “Ouchhh!” rintih pria itu menahan sakit.
Dimas tak tinggal diam, ia menarik rambut kepala itu dan membantingnya hingga menabrak lemari. Lalu, dengan segera menarik tangan Afgan menjauh.
“Haduh, gimana ini?” ujar Dinda cemas melihat keadaan Afgan.
“Mereka terlalu kuat untukku,” rintih Afgan.
“Apa yang harus kulakukan untuk membantumu?” tanya Dimas.
“Tetaplah bersembunyi di sini, aku akan berusaha melawan mereka,” ujar Afgan.
Bersambung.



jayadipana dan 2 lainnya memberi reputasi
3
Kutip
Balas
Tutup