- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
Horor Terseram Gaun Pengantin Berdarah
TS
piendutt
Horor Terseram Gaun Pengantin Berdarah
Quote:
Gaun Pengantin Berdarah
Part 1. Kematian Suhadi
Di sebuah rumah berlantai tiga terlihat seorang pria paruh baya duduk di atas kursi roda. Seorang wanita datang membawa selimut kemudian menyilangkan di pundak pria itu.
"Pakai selimut ini, ya, Pa. Biar nggak kedinginan," ujar wanita yang bernama Aini itu.
"I-i-ya ... Ma," sahut pria itu seraya tertatih-tatih karena penyakit stroke yang ia derita.
Angin dingin berembus menerpa tubuh mereka berdua.
"Sebaiknya kita masuk ke rumah saja, Pa. Terasa dingin di sini," ajak sang istri kemudian segera mendorong kursi roda itu memasuki rumah.
Aini menghentikan laju kursi roda tepat di samping meja makan, sudah tersedia beberapa makanan yang tersaji di atas meja.
"Nyah, ini buburnya sudah siap," ujar Mbok Minah, pembantu di rumah besar itu seraya menyodorkan mangkok besar.
"Makasih, Mbok. Anak-anak sudah berangkat semua, ya?"
"Iya, Nyah. Sudah berangkat semua dari pagi."
Aini dengan sabar menyuapi bubur pada suaminya yang sakit itu. Walau kadang pria itu enggan makan, Aini tetap sabar dan terus membujuknya. Ia berusaha untuk tidak membuat pria yang dicintainya itu marah.
Di suatu malam, saat semua orang sedang tidur terlelap. Terlihat, Aini juga tidur di samping suaminya. Mendadak, sesosok wanita bergaun pengantin yang tubuhnya berlumuran darah sudah berada tepat di samping Suhadi, pria yang terkena stroke itu. Sosok itu mendesis, kemudian menggoyangkan kepalanya. Dengan cepat ia langsung mencekik leher Suhadi hingga pria itu tersentak.
"Arcckk, arckk," ronta pria itu dengan mengibaskan kedua tangannya mencari pertolongan.
Aini terbangun karena sentuhan tangan suaminya, sedangkan sosok bergaun pengantin tadi sudah lenyap entah kemana.
"Papa, kenapa belum tidur?" tanyanya seraya menyalakan lampu di samping ranjang untuk mengecek keadaan.
Aini melihat sang suami kesulitan berbicara, seperti ada yang mengganjal di tenggorokannya.
"Papa mau minum, ya?" Wanita itu berdiri untuk mengambil segelas air yang biasa ia letakkan di samping ranjang Suhadi, tetapi airnya sudah habis.
"Papa tunggu bentar, ya. Mama ambilin air dulu di dapur," ujar wanita itu seraya berlalu meninggalkan ruangan itu.
Suhadi melihat sekeliling, ia merasa sangat ketakutan. Ia mengapit selimut erat-erat. Tiba-tiba angin berembus dengan kencang, sosok wanita bergaun pengantin tadi datang kembali. Kini ia membawa belati di tangan, tatapannya sangat tajam seakan-akan ia sedang marah. Lalu dengan segera, ia mendekati Suhadi dan menghujaninya dengan tusukan di sekujur tubuh pria itu. Suhadi mengerang kesakitan, cairan merah pun sudah menggenangi ranjang yang ia tiduri. Sedangkan sang wanita hanya tersenyum puas menikmati pemandangan itu.
Suhadi langsung memuntahkan darah berwarna hitam dari mulutnya, kemudian tubuhnya terguling ke lantai. Aini yang baru saja kembali dari dapur melihat sang suami jatuh dari ranjang, ia pun ikut panik.
“Astagfirullah, Pa. Kenapa ini? Mbok, Dimas, Dinda, tolongin Mama!” teriak wanita itu meminta pertolongan.
“Maafin ... Papa ... Ma,” ucap pria itu tertatih-tatih. Kemudian, mengembuskan napas terakhir.
“Papa?!” pekik Aini karena terkejut seraya mengguncang tubuh suaminya.
Beberapa orang segera datang. “Ada apa ini, Ma? Apa yang terjadi? Loh, Papa?!” teriak Dimas, anak pertama mereka.
Ya Allah, Nyah. Tuan kenapa ini?” Isak Mbok Minah yang sudah bekerja bersama mereka sejak anak keduanya lahir.
“Papa!” Isak mereka semua menangisi kepergian pria itu.
Keesokan harinya, mobil ambulans dan polisi sudah berada di depan rumah mewah itu. Dokter menyatakan bahwa Suhadi mengalami gagal jantung karena tidak ditemukannya bekas penganiayaan pada tubuhnya. Kemudian, jenazahnya segera dikuburkan bersama-sama. Beberapa warga desa sempat bergunjing di belakang keluarga itu.
“Kasihan, ya? Semuda itu sudah meninggal.”
“Padahal kaya raya, tapi uang tidak bisa menyembuhkan penyakitnya.”
“Entah apa yang menimpa keluarga itu, sangat disayangkan!” gerutu mereka semua.
Aini dan kedua anaknya menangis di pemakaman, mereka sangat terpukul atas kepergian Suhadi untuk selama-lamanya. Dimas pun menangis tersedu-sedu seraya menatap ke sekeliling pepohonan di pinggir kuburan itu. Namun, netranya terhenti di salah satu pohon yang sangat tinggi. Pria itu melihat sosok ayahnya berdiri tegak di depan pohon tersebut.
“Papa,” panggil pria itu.
Tidak lama kemudian, Aini pingsan karena tidak sanggup menahan rasa sesak di dada karena kehilangan pria yang sangat dicintainya.
“Mama, Ma! Bangun, Ma. Kak Dimas, bantuin!” teriak Dinda meminta tolong.
Dimas dan adiknya langsung membawa sang ibu ke rumah sakit, dokter pun langsung memeriksa kondisi tubuhnya. Dokter mengatakan bahwa Aini hanya kelelahan dan butuh banyak istirahat, Dimas pun merasa lega. Kini mereka berdua masih setia menunggu hingga sang ibu siuman.
Tak berapa lama kemudian, Aini pun siuman. Setelah memastikan kondisi sang ibu baik-baik saja, Dimas pun membawa wanita separuh baya tersebut untuk pulang.
Sesampainya di depan rumah, Dimas tersentak karena melihat sesosok pria di lantai dua tepatnya di kamar ibunya. Padahal jelas-jelas tidak ada pria lain yang hidup di rumah itu selain dia dan ayahnya.
“Ayo, masuk, Den!” pinta Mbok Minah yang mengagetkan pria itu.
“Eh, iya, Mbok,” ujar Dimas dan melihat ke lantai dua lagi, tetapi sosok pria tadi sudah lenyap.
Dinda membawa ibunya untuk beristirahat di kamar, begitu pun dengan Dimas yang merasa sangat lelah. Mungkin karena ia belum bisa menerima kepergian sang ayah, makanya pria itu selalu terbayang-bayang sosok ayahnya. Pria itu berbaring sebentar di ranjang agar lelahnya berkurang.
Dimas terbangun di malam hari, ia melihat jam pukul 11:30. Pria itu sampai lupa menunaikan ibadah salat. Ia pergi ke kamar mandi dan ingin berwudu. Pria itu membuka keran air, tetapi ternyata tidak ada air yang keluar sama sekali. “Kenapa tiba-tiba rusak, ya?” gumamnya.
Pria itu menuruni tangga dan ingin ke kamar mandi yang terletak di samping dapur, tetapi ia dikagetkan dengan adiknya yang masih duduk di meja makan.
“Kebiasaan kamu, Din. Kalau malam selalu keluyuran,” ucap pria itu yang tahu kebiasaan adiknya, lalu berjalan menatap wanita itu.
Betapa terkejutnya dia, melihat wajah Dinda dipenuhi belatung dan berdarah. “Astagfirullah, siapa kamu?!” teriak Dimas seraya berjalan mundur.
Lalu wanita itu berdiri dan hendak mencekik Dimas.
“Tidak! Pergi kamu! Jangan dekati aku! Tolong ...! Archh ...!” teriak Dimas langsung terbangun dari tidurnya.
“Ya Allah, Kak. Mimpi apa, sih, sampai teriak-teriak? Cepetan bangun, jangan tidur di waktu Magrib,” pinta Dinda yang saat itu membangunkan kakaknya.
“Astagfirullah al-azim, mimpi apa itu tadi?” gumam Dimas seraya mengatur napasnya kembali.
Pria itu segera berwudu dan pergi ke masjid yang tidak jauh dari rumahnya. Setelah salat, pria itu berjalan kembali ke rumah. Saat melewati sebuah kebun pisang milik tetangga.
Kesrek! Kesrek!
Sebuah suara mengagetkan pria itu.
“Suara apa itu?” gumamnya.
Kesrek! Kesrek!
Lagi-lagi suara itu terdengar, membuat pria berumur 27 tahun yang belum menikah itu penasaran. Ia menatap jauh ke pohon-pohon pisang yang mulai berbuah itu.
Sebuah sosok yang terbalut kain putih tiba-tiba muncul dan langsung menatapnya dengan wajah yang menghitam.
“Woi, Dim!” ujar temannya mengagetkan pria itu.
“Ya Allah, jantungku. Sialan kamu, Ron,” umpat pria itu pada temannya.
“Ngapain kamu mandengin tu pohon pisang? Kamu mau nyolong?” ejeknya.
“Dasar kamu, dikira aku nggak mampu beli apa?” bantah Dimas.
“Udah. Yuk, pulang. Bukannya besok kita harus kerja?” ujar Roni.
“Besok aku belum bisa masuk ke kantor. Kamu urusin dulu, ya. Aku mau dampingin Ibu aku dulu,” sahut Dimas.
“Oke, laksanakan, Bos!” ujar pria itu yang menjabat sebagai wakil manajer di perusahaan Dimas.
Mereka berpisah di persimpangan jalan. Dimas memasuki rumahnya. Entah mengapa kini rumah berlantai tiga itu terlihat sedikit menakutkan. Dimas merasa sering diganggu hal-hal yang tidak bisa dijelaskan oleh akal dan pikiran.
Di meja makan, mereka semua berkumpul.
“Dimas, Mama minta maaf ya karena hal ini, pekerjaan kamu jadi berlipat ganda,” ujar ibunya.
“Mama nggak usah khawatir, yang penting Mama jaga kesehatan, ya,” sahut Dimas.
“Bentar lagi kan aku juga udah mau lulus, Ma. Ntar aku bantuin Kak Dimas, deh.” Celetuk Dinda.
“Kamu mau bantuin apa? Main mulu kerjaannya,” bantah Dimas.
“Aku kan juga bisa serius, Kak,” ucap wanita itu tak mau kalah.
Aini hanya menggeleng melihat kedua anaknya berdebat.
Bersambung.
Lalu, bagaimana kelanjutannya. Tunggu di thread selanjutnya. Ramaikan thread ini biar Ratu Horor cepat-cepat melanjutkan ceritanya sampai tamat. 😎
Written : Piendutt
Sumber : Opini pribadi
Part selanjutnya 👇
Part 2. Dihantui Terus Menerus
Part 3. Bertemu Sang Penyelamat
Part 4. Berkunjung ke Rumah Dinda
Part 5. Fakta Dibalik Buku Harian
Part 6. Menjenguk Aini
Part 7. Dikejar Setan
Part 8. Melawan Arwah Gaun Pengantin
Part 9. Bantuan dari Herman
Part 1. Kematian Suhadi
Di sebuah rumah berlantai tiga terlihat seorang pria paruh baya duduk di atas kursi roda. Seorang wanita datang membawa selimut kemudian menyilangkan di pundak pria itu.
"Pakai selimut ini, ya, Pa. Biar nggak kedinginan," ujar wanita yang bernama Aini itu.
"I-i-ya ... Ma," sahut pria itu seraya tertatih-tatih karena penyakit stroke yang ia derita.
Angin dingin berembus menerpa tubuh mereka berdua.
"Sebaiknya kita masuk ke rumah saja, Pa. Terasa dingin di sini," ajak sang istri kemudian segera mendorong kursi roda itu memasuki rumah.
Aini menghentikan laju kursi roda tepat di samping meja makan, sudah tersedia beberapa makanan yang tersaji di atas meja.
"Nyah, ini buburnya sudah siap," ujar Mbok Minah, pembantu di rumah besar itu seraya menyodorkan mangkok besar.
"Makasih, Mbok. Anak-anak sudah berangkat semua, ya?"
"Iya, Nyah. Sudah berangkat semua dari pagi."
Aini dengan sabar menyuapi bubur pada suaminya yang sakit itu. Walau kadang pria itu enggan makan, Aini tetap sabar dan terus membujuknya. Ia berusaha untuk tidak membuat pria yang dicintainya itu marah.
Di suatu malam, saat semua orang sedang tidur terlelap. Terlihat, Aini juga tidur di samping suaminya. Mendadak, sesosok wanita bergaun pengantin yang tubuhnya berlumuran darah sudah berada tepat di samping Suhadi, pria yang terkena stroke itu. Sosok itu mendesis, kemudian menggoyangkan kepalanya. Dengan cepat ia langsung mencekik leher Suhadi hingga pria itu tersentak.
"Arcckk, arckk," ronta pria itu dengan mengibaskan kedua tangannya mencari pertolongan.
Aini terbangun karena sentuhan tangan suaminya, sedangkan sosok bergaun pengantin tadi sudah lenyap entah kemana.
"Papa, kenapa belum tidur?" tanyanya seraya menyalakan lampu di samping ranjang untuk mengecek keadaan.
Aini melihat sang suami kesulitan berbicara, seperti ada yang mengganjal di tenggorokannya.
"Papa mau minum, ya?" Wanita itu berdiri untuk mengambil segelas air yang biasa ia letakkan di samping ranjang Suhadi, tetapi airnya sudah habis.
"Papa tunggu bentar, ya. Mama ambilin air dulu di dapur," ujar wanita itu seraya berlalu meninggalkan ruangan itu.
Suhadi melihat sekeliling, ia merasa sangat ketakutan. Ia mengapit selimut erat-erat. Tiba-tiba angin berembus dengan kencang, sosok wanita bergaun pengantin tadi datang kembali. Kini ia membawa belati di tangan, tatapannya sangat tajam seakan-akan ia sedang marah. Lalu dengan segera, ia mendekati Suhadi dan menghujaninya dengan tusukan di sekujur tubuh pria itu. Suhadi mengerang kesakitan, cairan merah pun sudah menggenangi ranjang yang ia tiduri. Sedangkan sang wanita hanya tersenyum puas menikmati pemandangan itu.
Suhadi langsung memuntahkan darah berwarna hitam dari mulutnya, kemudian tubuhnya terguling ke lantai. Aini yang baru saja kembali dari dapur melihat sang suami jatuh dari ranjang, ia pun ikut panik.
“Astagfirullah, Pa. Kenapa ini? Mbok, Dimas, Dinda, tolongin Mama!” teriak wanita itu meminta pertolongan.
“Maafin ... Papa ... Ma,” ucap pria itu tertatih-tatih. Kemudian, mengembuskan napas terakhir.
“Papa?!” pekik Aini karena terkejut seraya mengguncang tubuh suaminya.
Beberapa orang segera datang. “Ada apa ini, Ma? Apa yang terjadi? Loh, Papa?!” teriak Dimas, anak pertama mereka.
Ya Allah, Nyah. Tuan kenapa ini?” Isak Mbok Minah yang sudah bekerja bersama mereka sejak anak keduanya lahir.
“Papa!” Isak mereka semua menangisi kepergian pria itu.
Keesokan harinya, mobil ambulans dan polisi sudah berada di depan rumah mewah itu. Dokter menyatakan bahwa Suhadi mengalami gagal jantung karena tidak ditemukannya bekas penganiayaan pada tubuhnya. Kemudian, jenazahnya segera dikuburkan bersama-sama. Beberapa warga desa sempat bergunjing di belakang keluarga itu.
“Kasihan, ya? Semuda itu sudah meninggal.”
“Padahal kaya raya, tapi uang tidak bisa menyembuhkan penyakitnya.”
“Entah apa yang menimpa keluarga itu, sangat disayangkan!” gerutu mereka semua.
Aini dan kedua anaknya menangis di pemakaman, mereka sangat terpukul atas kepergian Suhadi untuk selama-lamanya. Dimas pun menangis tersedu-sedu seraya menatap ke sekeliling pepohonan di pinggir kuburan itu. Namun, netranya terhenti di salah satu pohon yang sangat tinggi. Pria itu melihat sosok ayahnya berdiri tegak di depan pohon tersebut.
“Papa,” panggil pria itu.
Tidak lama kemudian, Aini pingsan karena tidak sanggup menahan rasa sesak di dada karena kehilangan pria yang sangat dicintainya.
“Mama, Ma! Bangun, Ma. Kak Dimas, bantuin!” teriak Dinda meminta tolong.
Dimas dan adiknya langsung membawa sang ibu ke rumah sakit, dokter pun langsung memeriksa kondisi tubuhnya. Dokter mengatakan bahwa Aini hanya kelelahan dan butuh banyak istirahat, Dimas pun merasa lega. Kini mereka berdua masih setia menunggu hingga sang ibu siuman.
Tak berapa lama kemudian, Aini pun siuman. Setelah memastikan kondisi sang ibu baik-baik saja, Dimas pun membawa wanita separuh baya tersebut untuk pulang.
Sesampainya di depan rumah, Dimas tersentak karena melihat sesosok pria di lantai dua tepatnya di kamar ibunya. Padahal jelas-jelas tidak ada pria lain yang hidup di rumah itu selain dia dan ayahnya.
“Ayo, masuk, Den!” pinta Mbok Minah yang mengagetkan pria itu.
“Eh, iya, Mbok,” ujar Dimas dan melihat ke lantai dua lagi, tetapi sosok pria tadi sudah lenyap.
Dinda membawa ibunya untuk beristirahat di kamar, begitu pun dengan Dimas yang merasa sangat lelah. Mungkin karena ia belum bisa menerima kepergian sang ayah, makanya pria itu selalu terbayang-bayang sosok ayahnya. Pria itu berbaring sebentar di ranjang agar lelahnya berkurang.
Dimas terbangun di malam hari, ia melihat jam pukul 11:30. Pria itu sampai lupa menunaikan ibadah salat. Ia pergi ke kamar mandi dan ingin berwudu. Pria itu membuka keran air, tetapi ternyata tidak ada air yang keluar sama sekali. “Kenapa tiba-tiba rusak, ya?” gumamnya.
Pria itu menuruni tangga dan ingin ke kamar mandi yang terletak di samping dapur, tetapi ia dikagetkan dengan adiknya yang masih duduk di meja makan.
“Kebiasaan kamu, Din. Kalau malam selalu keluyuran,” ucap pria itu yang tahu kebiasaan adiknya, lalu berjalan menatap wanita itu.
Betapa terkejutnya dia, melihat wajah Dinda dipenuhi belatung dan berdarah. “Astagfirullah, siapa kamu?!” teriak Dimas seraya berjalan mundur.
Lalu wanita itu berdiri dan hendak mencekik Dimas.
“Tidak! Pergi kamu! Jangan dekati aku! Tolong ...! Archh ...!” teriak Dimas langsung terbangun dari tidurnya.
“Ya Allah, Kak. Mimpi apa, sih, sampai teriak-teriak? Cepetan bangun, jangan tidur di waktu Magrib,” pinta Dinda yang saat itu membangunkan kakaknya.
“Astagfirullah al-azim, mimpi apa itu tadi?” gumam Dimas seraya mengatur napasnya kembali.
Pria itu segera berwudu dan pergi ke masjid yang tidak jauh dari rumahnya. Setelah salat, pria itu berjalan kembali ke rumah. Saat melewati sebuah kebun pisang milik tetangga.
Kesrek! Kesrek!
Sebuah suara mengagetkan pria itu.
“Suara apa itu?” gumamnya.
Kesrek! Kesrek!
Lagi-lagi suara itu terdengar, membuat pria berumur 27 tahun yang belum menikah itu penasaran. Ia menatap jauh ke pohon-pohon pisang yang mulai berbuah itu.
Sebuah sosok yang terbalut kain putih tiba-tiba muncul dan langsung menatapnya dengan wajah yang menghitam.
“Woi, Dim!” ujar temannya mengagetkan pria itu.
“Ya Allah, jantungku. Sialan kamu, Ron,” umpat pria itu pada temannya.
“Ngapain kamu mandengin tu pohon pisang? Kamu mau nyolong?” ejeknya.
“Dasar kamu, dikira aku nggak mampu beli apa?” bantah Dimas.
“Udah. Yuk, pulang. Bukannya besok kita harus kerja?” ujar Roni.
“Besok aku belum bisa masuk ke kantor. Kamu urusin dulu, ya. Aku mau dampingin Ibu aku dulu,” sahut Dimas.
“Oke, laksanakan, Bos!” ujar pria itu yang menjabat sebagai wakil manajer di perusahaan Dimas.
Mereka berpisah di persimpangan jalan. Dimas memasuki rumahnya. Entah mengapa kini rumah berlantai tiga itu terlihat sedikit menakutkan. Dimas merasa sering diganggu hal-hal yang tidak bisa dijelaskan oleh akal dan pikiran.
Di meja makan, mereka semua berkumpul.
“Dimas, Mama minta maaf ya karena hal ini, pekerjaan kamu jadi berlipat ganda,” ujar ibunya.
“Mama nggak usah khawatir, yang penting Mama jaga kesehatan, ya,” sahut Dimas.
“Bentar lagi kan aku juga udah mau lulus, Ma. Ntar aku bantuin Kak Dimas, deh.” Celetuk Dinda.
“Kamu mau bantuin apa? Main mulu kerjaannya,” bantah Dimas.
“Aku kan juga bisa serius, Kak,” ucap wanita itu tak mau kalah.
Aini hanya menggeleng melihat kedua anaknya berdebat.
Bersambung.
Lalu, bagaimana kelanjutannya. Tunggu di thread selanjutnya. Ramaikan thread ini biar Ratu Horor cepat-cepat melanjutkan ceritanya sampai tamat. 😎
Written : Piendutt
Sumber : Opini pribadi
Part selanjutnya 👇
Part 2. Dihantui Terus Menerus
Part 3. Bertemu Sang Penyelamat
Part 4. Berkunjung ke Rumah Dinda
Part 5. Fakta Dibalik Buku Harian
Part 6. Menjenguk Aini
Part 7. Dikejar Setan
Part 8. Melawan Arwah Gaun Pengantin
Part 9. Bantuan dari Herman
Diubah oleh piendutt 08-11-2022 09:17
motherparker699 dan 16 lainnya memberi reputasi
15
7.4K
Kutip
92
Balasan
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
TS
piendutt
#35
Gaun Pengantin Berdarah
Quote:
Part 6. Menjenguk Aini
Afgan menutup buku harian itu dengan mata yang sudah berkaca-kaca.
“Apa yang ditulis di buku harian itu?” tanya Dimas ikut penasaran.
“Kurasa kamu harus membacanya sendiri, ini sangat menyakitkan,” ucap Afgan mulai menangis.
Dimas mengambil buku itu dan membacanya. Beberapa saat kemudian.
“Ini nggak mungkin, ayahku bukan orang seperti itu!” teriak Dimas tak percaya dengan isi di dalam buku itu.
“Kurasa arwah itu datang karena punya dendam pada ayahmu,” sahut Afgan.
“Tapi ayahku sudah meninggal, kenapa mereka malah menyerang kami?” tanya Dimas.
“Itulah yang harus kita pecahkan, jika saja kita bisa menemukan anaknya Dewi itu, mungkin semua akan terjawab. Pasti anak itu ada hubungannya dengan arwah Dewi yang menghantui keluargamu,” jelas Afgan.
“Tapi di mana aku harus mencari wanita itu? Aku aja tidak tahu dia di mana,” ucap Dimas semakin bingung dengan situasinya sekarang.
“Kamu nggak perlu mencarinya karena dia akan datang sendiri kepadamu,” ujar Afgan.
“Lalu, apa yang harus aku lakukan?” tanya Dimas.
“Ceritakan isi buku ini pada ibumu, beliau juga harus tau masa lalu suaminya, dan semoga kita bisa mendapatkan sedikit informasi mengenai kematian ayahmu,” pinta Afgan.
“Baiklah kalau begitu,” balas Dimas setuju.
***
Di sebuah rumah berdinding kayu, seorang pria berjalan di kegelapan. Ia mengeluarkan kunci rumah dan membuka pintu.
“Bapak sudah pulang?” tanya Afgan pada seorang pria yang duduk di depan meja makan.
“Iya, Bapak baru aja pulang. Kamu sudah makan belum?” tanya pria berkumis tipis itu.
“Sudah, kok, Pak,” ujar pria itu dan duduk di sofa sambil melepas sepatunya.
Tiba-tiba sekelebat bayangan melewati jendela rumah mereka. Pria yang duduk di depan meja makan tahu itu.
“Sudah berapa kali Bapak bilang, jangan berurusan dengan mereka, apa kamu masih tak mendengarkan?!” bentak pria itu yang biasa dipanggil Herman. Ia tidak ingin lagi anaknya tersangkut masalah dan harus berurusan dengan ‘hantu’.
“Pak, teman Afgan sedang kesusahan. Mereka satu keluarga diganggu sama arwah, aku hanya mencoba membantu, Pak,” bantah Afgan.
“Dapat apa?! Itu urusan mereka, kamu nggak usah ikut campur, apa kamu nggak ingat apa yang terjadi pada ibu kamu?” ucap pria itu.
“Afgan ingat, Pak. Sangat jelas, bahkan kejadian itu seperti baru kemarin terjadi, Afgan sudah besar, Pak. Sudah bisa menjaga diri sendiri, Bapak nggak perlu khawatir!” bentak Afgan.
“Astagfirullah, Afgan! Bicara apa kamu ini? Bapak hanya khawatir sama kamu, yang kamu lawan ini bukan manusia, melainkan setan. Mereka bisa membunuhmu, Nak,” ujar pria itu khawatir dan kecewa apalagi setelah sang anak membentaknya.
“Afgan ngantuk, mau tidur,” ujar Afgan dan bergegas masuk ke kamar.
Ayahnya tampak sedih dan menghela napas. Ia begitu takut kalau anaknya akan bernasib sama seperti istrinya.
***
Di rumah Aini, wanita itu baru saja membaca buku harian milik suaminya.
“Astagfirullah, kenapa bisa seperti ini?” isak wanita itu tak percaya.
“Jadi, Papa nggak pernah cerita masalah ini ke Mama?” tanya Dimas.
“Nggak pernah, Sayang. Mama malah baru tau setelah baca buku ini,” sahut Aini masih dengan isak tangisnya.
“Apa Mama tau tentang keluarganya Dewi? Kata Afgan dia mempunyai anak perempuan juga,” ujar Dimas.
“Tunggu ... sepertinya Mama ingat sesuatu. Dulu saat Mama hamil kamu, ada seorang anak gadis datang, dia berteriak-teriak memanggil papamu. Dia ingin sekali bertemu, tapi para penjaga di depan rumah mengusir anak gadis itu. Mereka bilang dia hanya pengemis dan saat itu kami semua sibuk karena acara syukuran tujuh bulanan kehamilan Mama,” jelas Aini setelah berhasil mengingat kejadian yang bisa jadi memberi mereka petunjuk.
“Apa Mama mengingat wajah gadis itu?” tanya Dimas.
“Dia berkulit putih, tapi sedikit kotor karena mungkin hidup di jalanan. Entah bagaimana nasib gadis itu sekarang,” gumam Aini. Kemudian, ia meletakkan buku harian tadi di atas meja.
“Ya, udah. Mama istirahat aja dulu. Selamat malam, Ma,” ucap Dimas, lantas pergi dari kamar itu.
“Malam, Sayang,” sahut Aini bersiap tidur.
Di tengah malam saat Aini tidur terlelap, sebuah tangan menarik buku harian milik Suhadi.
Dinda keluar kamar untuk mencari makan. Kelaparan di tengah malam sudah menjadi kebiasaan wanita itu. Kini ia membuka kulkas. Ketika melihat ada sekotak roti yang tinggal separuh di sana, Dinda berkata, “Ah, kebetulan nih, ada roti,” celetuknya seraya mengeluarkan kotak roti itu dan menaruhnya di meja.
Wanita itu menikmati rotinya. Mendadak lampu dapur berkedip-kedip. “Eh, kenapa, nih? Rusak apa, ya?” gumam wanita itu seraya mendongak untuk melihat lampu.
Matanya dikagetkan dengan sesosok pocong yang bergelantungan di langit-langit rumahnya. Sontak saja wanita itu berteriak seraya berdiri.
Bukkk!
Mendadak pocong itu jatuh ke atas meja, matanya yang hitam menatap ke arah Dinda. Wanita itu segera berlari tunggang-langgang, tetapi entah bagaimana caranya pocong itu bangkit dan justru mengikutinya, hingga wanita itu menabrak seseorang.
“Archhh! Tolong-tolong,” isak Dinda seraya menutup mata.
“Non, Non Dinda. Ini Mbok Minah. Non, kenapa?” tanya wanita tua itu padanya.
“Ya Allah, Mbok. Itu ada pocong, Mbok. Tolongin Dinda.” Rintih wanita itu.
“Ya Allah, Non. Di mana?”
“Itu di sana, Mbok,” ujar wanita itu menunjuk ke dalam dapur.
“Coba Mbok Minah cek, ya,” pinta wanita tua itu.
Mereka berdua berjalan perlahan dan melihat ke dalam dapur, tetapi tak ada apa pun.
“Nggak ada apa-apa, kok, Non. Pasti Non berhalusinasi. Udah malam, Non balik ke kamar, ya,” pinta Mbok Minah.
“Tapi, Mbok ... aku benar-benar ngelihat tadi,” bantah Dinda.
Mbok Minah tersenyum. “Ayo, Non. Mbok Minah antar ke kamar,” ajak wanita tua itu. Dinda pergi dengan perasaan aneh. Ia yakin betul dengan apa yang dia lihat.
***
“Assalamualaikum,” ujar beberapa orang dari luar rumah berlantai tiga itu.
“Waalaikumussalam. Eh, kalian udah datang. Ayo, masuk,” pinta Dimas pada teman-temannya yang datang menjenguk Aini.
Mereka bergegas ke kamar wanita itu.
“Salam, Tante,” ucap mereka pada wanita berkerudung yang sedang terduduk di ranjang.
“Duh, kok, repot-repot ke sini, sih? Tante udah baikan, kok. Makasih udah mau mampir,” sahut wanita itu.
“Tante cepat sembuh, ya,” ujar Gisel.
“Iya, biar bisa masakin kita makanan yang enak-enak lagi, Tante,” celetuk Roni.
“Dasar kamu, Ron. Makan mulu pikirannya,” bentak wanita yang berdiri di samping pria itu.
“Ini siapa, ya? Kok, Tante belum pernah lihat?” ujar Aini menatap wanita itu.
Sisil maju ke depan ingin berkenalan.
“Nama saya Sisil, Tante. Asisten manajer di perusahaan Dimas,” ucap wanita itu berkenalan.
“Dan juga pacar aku, Tante,” celetuk Roni seraya memeluk Sisil.
“Roni, sopan dikit napa?!” bentak wanita tersebut kepada pacarnya.
“Syukurlah, Roni. Tante ikut senang,” ucap Aini.
“Cantik, kan, Tante? Nggak kalah sama Gisel, kan?” celetuk pria itu.
“Apaan, sih, Ron?” bantah Gisel.
“Ya, udah. Kita ngobrol di luar aja, ya. Biarin mamaku istirahat dulu,” pinta Dimas.
“Anggap rumah sendiri, ya,” sahut Aini tersenyum.
Mereka semua pergi meninggalkan Aini.
“Sepertinya wajah wanita itu tidak asing,” gumam Aini seraya melanjutkan tidur siangnya.
Bersambung.
Afgan menutup buku harian itu dengan mata yang sudah berkaca-kaca.
“Apa yang ditulis di buku harian itu?” tanya Dimas ikut penasaran.
“Kurasa kamu harus membacanya sendiri, ini sangat menyakitkan,” ucap Afgan mulai menangis.
Dimas mengambil buku itu dan membacanya. Beberapa saat kemudian.
“Ini nggak mungkin, ayahku bukan orang seperti itu!” teriak Dimas tak percaya dengan isi di dalam buku itu.
“Kurasa arwah itu datang karena punya dendam pada ayahmu,” sahut Afgan.
“Tapi ayahku sudah meninggal, kenapa mereka malah menyerang kami?” tanya Dimas.
“Itulah yang harus kita pecahkan, jika saja kita bisa menemukan anaknya Dewi itu, mungkin semua akan terjawab. Pasti anak itu ada hubungannya dengan arwah Dewi yang menghantui keluargamu,” jelas Afgan.
“Tapi di mana aku harus mencari wanita itu? Aku aja tidak tahu dia di mana,” ucap Dimas semakin bingung dengan situasinya sekarang.
“Kamu nggak perlu mencarinya karena dia akan datang sendiri kepadamu,” ujar Afgan.
“Lalu, apa yang harus aku lakukan?” tanya Dimas.
“Ceritakan isi buku ini pada ibumu, beliau juga harus tau masa lalu suaminya, dan semoga kita bisa mendapatkan sedikit informasi mengenai kematian ayahmu,” pinta Afgan.
“Baiklah kalau begitu,” balas Dimas setuju.
***
Di sebuah rumah berdinding kayu, seorang pria berjalan di kegelapan. Ia mengeluarkan kunci rumah dan membuka pintu.
“Bapak sudah pulang?” tanya Afgan pada seorang pria yang duduk di depan meja makan.
“Iya, Bapak baru aja pulang. Kamu sudah makan belum?” tanya pria berkumis tipis itu.
“Sudah, kok, Pak,” ujar pria itu dan duduk di sofa sambil melepas sepatunya.
Tiba-tiba sekelebat bayangan melewati jendela rumah mereka. Pria yang duduk di depan meja makan tahu itu.
“Sudah berapa kali Bapak bilang, jangan berurusan dengan mereka, apa kamu masih tak mendengarkan?!” bentak pria itu yang biasa dipanggil Herman. Ia tidak ingin lagi anaknya tersangkut masalah dan harus berurusan dengan ‘hantu’.
“Pak, teman Afgan sedang kesusahan. Mereka satu keluarga diganggu sama arwah, aku hanya mencoba membantu, Pak,” bantah Afgan.
“Dapat apa?! Itu urusan mereka, kamu nggak usah ikut campur, apa kamu nggak ingat apa yang terjadi pada ibu kamu?” ucap pria itu.
“Afgan ingat, Pak. Sangat jelas, bahkan kejadian itu seperti baru kemarin terjadi, Afgan sudah besar, Pak. Sudah bisa menjaga diri sendiri, Bapak nggak perlu khawatir!” bentak Afgan.
“Astagfirullah, Afgan! Bicara apa kamu ini? Bapak hanya khawatir sama kamu, yang kamu lawan ini bukan manusia, melainkan setan. Mereka bisa membunuhmu, Nak,” ujar pria itu khawatir dan kecewa apalagi setelah sang anak membentaknya.
“Afgan ngantuk, mau tidur,” ujar Afgan dan bergegas masuk ke kamar.
Ayahnya tampak sedih dan menghela napas. Ia begitu takut kalau anaknya akan bernasib sama seperti istrinya.
***
Di rumah Aini, wanita itu baru saja membaca buku harian milik suaminya.
“Astagfirullah, kenapa bisa seperti ini?” isak wanita itu tak percaya.
“Jadi, Papa nggak pernah cerita masalah ini ke Mama?” tanya Dimas.
“Nggak pernah, Sayang. Mama malah baru tau setelah baca buku ini,” sahut Aini masih dengan isak tangisnya.
“Apa Mama tau tentang keluarganya Dewi? Kata Afgan dia mempunyai anak perempuan juga,” ujar Dimas.
“Tunggu ... sepertinya Mama ingat sesuatu. Dulu saat Mama hamil kamu, ada seorang anak gadis datang, dia berteriak-teriak memanggil papamu. Dia ingin sekali bertemu, tapi para penjaga di depan rumah mengusir anak gadis itu. Mereka bilang dia hanya pengemis dan saat itu kami semua sibuk karena acara syukuran tujuh bulanan kehamilan Mama,” jelas Aini setelah berhasil mengingat kejadian yang bisa jadi memberi mereka petunjuk.
“Apa Mama mengingat wajah gadis itu?” tanya Dimas.
“Dia berkulit putih, tapi sedikit kotor karena mungkin hidup di jalanan. Entah bagaimana nasib gadis itu sekarang,” gumam Aini. Kemudian, ia meletakkan buku harian tadi di atas meja.
“Ya, udah. Mama istirahat aja dulu. Selamat malam, Ma,” ucap Dimas, lantas pergi dari kamar itu.
“Malam, Sayang,” sahut Aini bersiap tidur.
Di tengah malam saat Aini tidur terlelap, sebuah tangan menarik buku harian milik Suhadi.
Dinda keluar kamar untuk mencari makan. Kelaparan di tengah malam sudah menjadi kebiasaan wanita itu. Kini ia membuka kulkas. Ketika melihat ada sekotak roti yang tinggal separuh di sana, Dinda berkata, “Ah, kebetulan nih, ada roti,” celetuknya seraya mengeluarkan kotak roti itu dan menaruhnya di meja.
Wanita itu menikmati rotinya. Mendadak lampu dapur berkedip-kedip. “Eh, kenapa, nih? Rusak apa, ya?” gumam wanita itu seraya mendongak untuk melihat lampu.
Matanya dikagetkan dengan sesosok pocong yang bergelantungan di langit-langit rumahnya. Sontak saja wanita itu berteriak seraya berdiri.
Bukkk!
Mendadak pocong itu jatuh ke atas meja, matanya yang hitam menatap ke arah Dinda. Wanita itu segera berlari tunggang-langgang, tetapi entah bagaimana caranya pocong itu bangkit dan justru mengikutinya, hingga wanita itu menabrak seseorang.
“Archhh! Tolong-tolong,” isak Dinda seraya menutup mata.
“Non, Non Dinda. Ini Mbok Minah. Non, kenapa?” tanya wanita tua itu padanya.
“Ya Allah, Mbok. Itu ada pocong, Mbok. Tolongin Dinda.” Rintih wanita itu.
“Ya Allah, Non. Di mana?”
“Itu di sana, Mbok,” ujar wanita itu menunjuk ke dalam dapur.
“Coba Mbok Minah cek, ya,” pinta wanita tua itu.
Mereka berdua berjalan perlahan dan melihat ke dalam dapur, tetapi tak ada apa pun.
“Nggak ada apa-apa, kok, Non. Pasti Non berhalusinasi. Udah malam, Non balik ke kamar, ya,” pinta Mbok Minah.
“Tapi, Mbok ... aku benar-benar ngelihat tadi,” bantah Dinda.
Mbok Minah tersenyum. “Ayo, Non. Mbok Minah antar ke kamar,” ajak wanita tua itu. Dinda pergi dengan perasaan aneh. Ia yakin betul dengan apa yang dia lihat.
***
“Assalamualaikum,” ujar beberapa orang dari luar rumah berlantai tiga itu.
“Waalaikumussalam. Eh, kalian udah datang. Ayo, masuk,” pinta Dimas pada teman-temannya yang datang menjenguk Aini.
Mereka bergegas ke kamar wanita itu.
“Salam, Tante,” ucap mereka pada wanita berkerudung yang sedang terduduk di ranjang.
“Duh, kok, repot-repot ke sini, sih? Tante udah baikan, kok. Makasih udah mau mampir,” sahut wanita itu.
“Tante cepat sembuh, ya,” ujar Gisel.
“Iya, biar bisa masakin kita makanan yang enak-enak lagi, Tante,” celetuk Roni.
“Dasar kamu, Ron. Makan mulu pikirannya,” bentak wanita yang berdiri di samping pria itu.
“Ini siapa, ya? Kok, Tante belum pernah lihat?” ujar Aini menatap wanita itu.
Sisil maju ke depan ingin berkenalan.
“Nama saya Sisil, Tante. Asisten manajer di perusahaan Dimas,” ucap wanita itu berkenalan.
“Dan juga pacar aku, Tante,” celetuk Roni seraya memeluk Sisil.
“Roni, sopan dikit napa?!” bentak wanita tersebut kepada pacarnya.
“Syukurlah, Roni. Tante ikut senang,” ucap Aini.
“Cantik, kan, Tante? Nggak kalah sama Gisel, kan?” celetuk pria itu.
“Apaan, sih, Ron?” bantah Gisel.
“Ya, udah. Kita ngobrol di luar aja, ya. Biarin mamaku istirahat dulu,” pinta Dimas.
“Anggap rumah sendiri, ya,” sahut Aini tersenyum.
Mereka semua pergi meninggalkan Aini.
“Sepertinya wajah wanita itu tidak asing,” gumam Aini seraya melanjutkan tidur siangnya.
Bersambung.
pulaukapok dan 3 lainnya memberi reputasi
4
Kutip
Balas