- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
Horor Terseram Gaun Pengantin Berdarah


TS
piendutt
Horor Terseram Gaun Pengantin Berdarah

Quote:
Gaun Pengantin Berdarah
Part 1. Kematian Suhadi
Di sebuah rumah berlantai tiga terlihat seorang pria paruh baya duduk di atas kursi roda. Seorang wanita datang membawa selimut kemudian menyilangkan di pundak pria itu.
"Pakai selimut ini, ya, Pa. Biar nggak kedinginan," ujar wanita yang bernama Aini itu.
"I-i-ya ... Ma," sahut pria itu seraya tertatih-tatih karena penyakit stroke yang ia derita.
Angin dingin berembus menerpa tubuh mereka berdua.
"Sebaiknya kita masuk ke rumah saja, Pa. Terasa dingin di sini," ajak sang istri kemudian segera mendorong kursi roda itu memasuki rumah.
Aini menghentikan laju kursi roda tepat di samping meja makan, sudah tersedia beberapa makanan yang tersaji di atas meja.
"Nyah, ini buburnya sudah siap," ujar Mbok Minah, pembantu di rumah besar itu seraya menyodorkan mangkok besar.
"Makasih, Mbok. Anak-anak sudah berangkat semua, ya?"
"Iya, Nyah. Sudah berangkat semua dari pagi."
Aini dengan sabar menyuapi bubur pada suaminya yang sakit itu. Walau kadang pria itu enggan makan, Aini tetap sabar dan terus membujuknya. Ia berusaha untuk tidak membuat pria yang dicintainya itu marah.
Di suatu malam, saat semua orang sedang tidur terlelap. Terlihat, Aini juga tidur di samping suaminya. Mendadak, sesosok wanita bergaun pengantin yang tubuhnya berlumuran darah sudah berada tepat di samping Suhadi, pria yang terkena stroke itu. Sosok itu mendesis, kemudian menggoyangkan kepalanya. Dengan cepat ia langsung mencekik leher Suhadi hingga pria itu tersentak.
"Arcckk, arckk," ronta pria itu dengan mengibaskan kedua tangannya mencari pertolongan.
Aini terbangun karena sentuhan tangan suaminya, sedangkan sosok bergaun pengantin tadi sudah lenyap entah kemana.
"Papa, kenapa belum tidur?" tanyanya seraya menyalakan lampu di samping ranjang untuk mengecek keadaan.
Aini melihat sang suami kesulitan berbicara, seperti ada yang mengganjal di tenggorokannya.
"Papa mau minum, ya?" Wanita itu berdiri untuk mengambil segelas air yang biasa ia letakkan di samping ranjang Suhadi, tetapi airnya sudah habis.
"Papa tunggu bentar, ya. Mama ambilin air dulu di dapur," ujar wanita itu seraya berlalu meninggalkan ruangan itu.
Suhadi melihat sekeliling, ia merasa sangat ketakutan. Ia mengapit selimut erat-erat. Tiba-tiba angin berembus dengan kencang, sosok wanita bergaun pengantin tadi datang kembali. Kini ia membawa belati di tangan, tatapannya sangat tajam seakan-akan ia sedang marah. Lalu dengan segera, ia mendekati Suhadi dan menghujaninya dengan tusukan di sekujur tubuh pria itu. Suhadi mengerang kesakitan, cairan merah pun sudah menggenangi ranjang yang ia tiduri. Sedangkan sang wanita hanya tersenyum puas menikmati pemandangan itu.
Suhadi langsung memuntahkan darah berwarna hitam dari mulutnya, kemudian tubuhnya terguling ke lantai. Aini yang baru saja kembali dari dapur melihat sang suami jatuh dari ranjang, ia pun ikut panik.
“Astagfirullah, Pa. Kenapa ini? Mbok, Dimas, Dinda, tolongin Mama!” teriak wanita itu meminta pertolongan.
“Maafin ... Papa ... Ma,” ucap pria itu tertatih-tatih. Kemudian, mengembuskan napas terakhir.
“Papa?!” pekik Aini karena terkejut seraya mengguncang tubuh suaminya.
Beberapa orang segera datang. “Ada apa ini, Ma? Apa yang terjadi? Loh, Papa?!” teriak Dimas, anak pertama mereka.
Ya Allah, Nyah. Tuan kenapa ini?” Isak Mbok Minah yang sudah bekerja bersama mereka sejak anak keduanya lahir.
“Papa!” Isak mereka semua menangisi kepergian pria itu.
Keesokan harinya, mobil ambulans dan polisi sudah berada di depan rumah mewah itu. Dokter menyatakan bahwa Suhadi mengalami gagal jantung karena tidak ditemukannya bekas penganiayaan pada tubuhnya. Kemudian, jenazahnya segera dikuburkan bersama-sama. Beberapa warga desa sempat bergunjing di belakang keluarga itu.
“Kasihan, ya? Semuda itu sudah meninggal.”
“Padahal kaya raya, tapi uang tidak bisa menyembuhkan penyakitnya.”
“Entah apa yang menimpa keluarga itu, sangat disayangkan!” gerutu mereka semua.
Aini dan kedua anaknya menangis di pemakaman, mereka sangat terpukul atas kepergian Suhadi untuk selama-lamanya. Dimas pun menangis tersedu-sedu seraya menatap ke sekeliling pepohonan di pinggir kuburan itu. Namun, netranya terhenti di salah satu pohon yang sangat tinggi. Pria itu melihat sosok ayahnya berdiri tegak di depan pohon tersebut.
“Papa,” panggil pria itu.
Tidak lama kemudian, Aini pingsan karena tidak sanggup menahan rasa sesak di dada karena kehilangan pria yang sangat dicintainya.
“Mama, Ma! Bangun, Ma. Kak Dimas, bantuin!” teriak Dinda meminta tolong.
Dimas dan adiknya langsung membawa sang ibu ke rumah sakit, dokter pun langsung memeriksa kondisi tubuhnya. Dokter mengatakan bahwa Aini hanya kelelahan dan butuh banyak istirahat, Dimas pun merasa lega. Kini mereka berdua masih setia menunggu hingga sang ibu siuman.
Tak berapa lama kemudian, Aini pun siuman. Setelah memastikan kondisi sang ibu baik-baik saja, Dimas pun membawa wanita separuh baya tersebut untuk pulang.
Sesampainya di depan rumah, Dimas tersentak karena melihat sesosok pria di lantai dua tepatnya di kamar ibunya. Padahal jelas-jelas tidak ada pria lain yang hidup di rumah itu selain dia dan ayahnya.
“Ayo, masuk, Den!” pinta Mbok Minah yang mengagetkan pria itu.
“Eh, iya, Mbok,” ujar Dimas dan melihat ke lantai dua lagi, tetapi sosok pria tadi sudah lenyap.
Dinda membawa ibunya untuk beristirahat di kamar, begitu pun dengan Dimas yang merasa sangat lelah. Mungkin karena ia belum bisa menerima kepergian sang ayah, makanya pria itu selalu terbayang-bayang sosok ayahnya. Pria itu berbaring sebentar di ranjang agar lelahnya berkurang.
Dimas terbangun di malam hari, ia melihat jam pukul 11:30. Pria itu sampai lupa menunaikan ibadah salat. Ia pergi ke kamar mandi dan ingin berwudu. Pria itu membuka keran air, tetapi ternyata tidak ada air yang keluar sama sekali. “Kenapa tiba-tiba rusak, ya?” gumamnya.
Pria itu menuruni tangga dan ingin ke kamar mandi yang terletak di samping dapur, tetapi ia dikagetkan dengan adiknya yang masih duduk di meja makan.
“Kebiasaan kamu, Din. Kalau malam selalu keluyuran,” ucap pria itu yang tahu kebiasaan adiknya, lalu berjalan menatap wanita itu.
Betapa terkejutnya dia, melihat wajah Dinda dipenuhi belatung dan berdarah. “Astagfirullah, siapa kamu?!” teriak Dimas seraya berjalan mundur.
Lalu wanita itu berdiri dan hendak mencekik Dimas.
“Tidak! Pergi kamu! Jangan dekati aku! Tolong ...! Archh ...!” teriak Dimas langsung terbangun dari tidurnya.
“Ya Allah, Kak. Mimpi apa, sih, sampai teriak-teriak? Cepetan bangun, jangan tidur di waktu Magrib,” pinta Dinda yang saat itu membangunkan kakaknya.
“Astagfirullah al-azim, mimpi apa itu tadi?” gumam Dimas seraya mengatur napasnya kembali.
Pria itu segera berwudu dan pergi ke masjid yang tidak jauh dari rumahnya. Setelah salat, pria itu berjalan kembali ke rumah. Saat melewati sebuah kebun pisang milik tetangga.
Kesrek! Kesrek!
Sebuah suara mengagetkan pria itu.
“Suara apa itu?” gumamnya.
Kesrek! Kesrek!
Lagi-lagi suara itu terdengar, membuat pria berumur 27 tahun yang belum menikah itu penasaran. Ia menatap jauh ke pohon-pohon pisang yang mulai berbuah itu.
Sebuah sosok yang terbalut kain putih tiba-tiba muncul dan langsung menatapnya dengan wajah yang menghitam.
“Woi, Dim!” ujar temannya mengagetkan pria itu.
“Ya Allah, jantungku. Sialan kamu, Ron,” umpat pria itu pada temannya.
“Ngapain kamu mandengin tu pohon pisang? Kamu mau nyolong?” ejeknya.
“Dasar kamu, dikira aku nggak mampu beli apa?” bantah Dimas.
“Udah. Yuk, pulang. Bukannya besok kita harus kerja?” ujar Roni.
“Besok aku belum bisa masuk ke kantor. Kamu urusin dulu, ya. Aku mau dampingin Ibu aku dulu,” sahut Dimas.
“Oke, laksanakan, Bos!” ujar pria itu yang menjabat sebagai wakil manajer di perusahaan Dimas.
Mereka berpisah di persimpangan jalan. Dimas memasuki rumahnya. Entah mengapa kini rumah berlantai tiga itu terlihat sedikit menakutkan. Dimas merasa sering diganggu hal-hal yang tidak bisa dijelaskan oleh akal dan pikiran.
Di meja makan, mereka semua berkumpul.
“Dimas, Mama minta maaf ya karena hal ini, pekerjaan kamu jadi berlipat ganda,” ujar ibunya.
“Mama nggak usah khawatir, yang penting Mama jaga kesehatan, ya,” sahut Dimas.
“Bentar lagi kan aku juga udah mau lulus, Ma. Ntar aku bantuin Kak Dimas, deh.” Celetuk Dinda.
“Kamu mau bantuin apa? Main mulu kerjaannya,” bantah Dimas.
“Aku kan juga bisa serius, Kak,” ucap wanita itu tak mau kalah.
Aini hanya menggeleng melihat kedua anaknya berdebat.
Bersambung.
Lalu, bagaimana kelanjutannya. Tunggu di thread selanjutnya. Ramaikan thread ini biar Ratu Horor cepat-cepat melanjutkan ceritanya sampai tamat. 😎
Written : Piendutt
Sumber : Opini pribadi
Part selanjutnya 👇
Part 2. Dihantui Terus Menerus
Part 3. Bertemu Sang Penyelamat
Part 4. Berkunjung ke Rumah Dinda
Part 5. Fakta Dibalik Buku Harian
Part 6. Menjenguk Aini
Part 7. Dikejar Setan
Part 8. Melawan Arwah Gaun Pengantin
Part 9. Bantuan dari Herman
Part 1. Kematian Suhadi
Di sebuah rumah berlantai tiga terlihat seorang pria paruh baya duduk di atas kursi roda. Seorang wanita datang membawa selimut kemudian menyilangkan di pundak pria itu.
"Pakai selimut ini, ya, Pa. Biar nggak kedinginan," ujar wanita yang bernama Aini itu.
"I-i-ya ... Ma," sahut pria itu seraya tertatih-tatih karena penyakit stroke yang ia derita.
Angin dingin berembus menerpa tubuh mereka berdua.
"Sebaiknya kita masuk ke rumah saja, Pa. Terasa dingin di sini," ajak sang istri kemudian segera mendorong kursi roda itu memasuki rumah.
Aini menghentikan laju kursi roda tepat di samping meja makan, sudah tersedia beberapa makanan yang tersaji di atas meja.
"Nyah, ini buburnya sudah siap," ujar Mbok Minah, pembantu di rumah besar itu seraya menyodorkan mangkok besar.
"Makasih, Mbok. Anak-anak sudah berangkat semua, ya?"
"Iya, Nyah. Sudah berangkat semua dari pagi."
Aini dengan sabar menyuapi bubur pada suaminya yang sakit itu. Walau kadang pria itu enggan makan, Aini tetap sabar dan terus membujuknya. Ia berusaha untuk tidak membuat pria yang dicintainya itu marah.
Di suatu malam, saat semua orang sedang tidur terlelap. Terlihat, Aini juga tidur di samping suaminya. Mendadak, sesosok wanita bergaun pengantin yang tubuhnya berlumuran darah sudah berada tepat di samping Suhadi, pria yang terkena stroke itu. Sosok itu mendesis, kemudian menggoyangkan kepalanya. Dengan cepat ia langsung mencekik leher Suhadi hingga pria itu tersentak.
"Arcckk, arckk," ronta pria itu dengan mengibaskan kedua tangannya mencari pertolongan.
Aini terbangun karena sentuhan tangan suaminya, sedangkan sosok bergaun pengantin tadi sudah lenyap entah kemana.
"Papa, kenapa belum tidur?" tanyanya seraya menyalakan lampu di samping ranjang untuk mengecek keadaan.
Aini melihat sang suami kesulitan berbicara, seperti ada yang mengganjal di tenggorokannya.
"Papa mau minum, ya?" Wanita itu berdiri untuk mengambil segelas air yang biasa ia letakkan di samping ranjang Suhadi, tetapi airnya sudah habis.
"Papa tunggu bentar, ya. Mama ambilin air dulu di dapur," ujar wanita itu seraya berlalu meninggalkan ruangan itu.
Suhadi melihat sekeliling, ia merasa sangat ketakutan. Ia mengapit selimut erat-erat. Tiba-tiba angin berembus dengan kencang, sosok wanita bergaun pengantin tadi datang kembali. Kini ia membawa belati di tangan, tatapannya sangat tajam seakan-akan ia sedang marah. Lalu dengan segera, ia mendekati Suhadi dan menghujaninya dengan tusukan di sekujur tubuh pria itu. Suhadi mengerang kesakitan, cairan merah pun sudah menggenangi ranjang yang ia tiduri. Sedangkan sang wanita hanya tersenyum puas menikmati pemandangan itu.
Suhadi langsung memuntahkan darah berwarna hitam dari mulutnya, kemudian tubuhnya terguling ke lantai. Aini yang baru saja kembali dari dapur melihat sang suami jatuh dari ranjang, ia pun ikut panik.
“Astagfirullah, Pa. Kenapa ini? Mbok, Dimas, Dinda, tolongin Mama!” teriak wanita itu meminta pertolongan.
“Maafin ... Papa ... Ma,” ucap pria itu tertatih-tatih. Kemudian, mengembuskan napas terakhir.
“Papa?!” pekik Aini karena terkejut seraya mengguncang tubuh suaminya.
Beberapa orang segera datang. “Ada apa ini, Ma? Apa yang terjadi? Loh, Papa?!” teriak Dimas, anak pertama mereka.
Ya Allah, Nyah. Tuan kenapa ini?” Isak Mbok Minah yang sudah bekerja bersama mereka sejak anak keduanya lahir.
“Papa!” Isak mereka semua menangisi kepergian pria itu.
Keesokan harinya, mobil ambulans dan polisi sudah berada di depan rumah mewah itu. Dokter menyatakan bahwa Suhadi mengalami gagal jantung karena tidak ditemukannya bekas penganiayaan pada tubuhnya. Kemudian, jenazahnya segera dikuburkan bersama-sama. Beberapa warga desa sempat bergunjing di belakang keluarga itu.
“Kasihan, ya? Semuda itu sudah meninggal.”
“Padahal kaya raya, tapi uang tidak bisa menyembuhkan penyakitnya.”
“Entah apa yang menimpa keluarga itu, sangat disayangkan!” gerutu mereka semua.
Aini dan kedua anaknya menangis di pemakaman, mereka sangat terpukul atas kepergian Suhadi untuk selama-lamanya. Dimas pun menangis tersedu-sedu seraya menatap ke sekeliling pepohonan di pinggir kuburan itu. Namun, netranya terhenti di salah satu pohon yang sangat tinggi. Pria itu melihat sosok ayahnya berdiri tegak di depan pohon tersebut.
“Papa,” panggil pria itu.
Tidak lama kemudian, Aini pingsan karena tidak sanggup menahan rasa sesak di dada karena kehilangan pria yang sangat dicintainya.
“Mama, Ma! Bangun, Ma. Kak Dimas, bantuin!” teriak Dinda meminta tolong.
Dimas dan adiknya langsung membawa sang ibu ke rumah sakit, dokter pun langsung memeriksa kondisi tubuhnya. Dokter mengatakan bahwa Aini hanya kelelahan dan butuh banyak istirahat, Dimas pun merasa lega. Kini mereka berdua masih setia menunggu hingga sang ibu siuman.
Tak berapa lama kemudian, Aini pun siuman. Setelah memastikan kondisi sang ibu baik-baik saja, Dimas pun membawa wanita separuh baya tersebut untuk pulang.
Sesampainya di depan rumah, Dimas tersentak karena melihat sesosok pria di lantai dua tepatnya di kamar ibunya. Padahal jelas-jelas tidak ada pria lain yang hidup di rumah itu selain dia dan ayahnya.
“Ayo, masuk, Den!” pinta Mbok Minah yang mengagetkan pria itu.
“Eh, iya, Mbok,” ujar Dimas dan melihat ke lantai dua lagi, tetapi sosok pria tadi sudah lenyap.
Dinda membawa ibunya untuk beristirahat di kamar, begitu pun dengan Dimas yang merasa sangat lelah. Mungkin karena ia belum bisa menerima kepergian sang ayah, makanya pria itu selalu terbayang-bayang sosok ayahnya. Pria itu berbaring sebentar di ranjang agar lelahnya berkurang.
Dimas terbangun di malam hari, ia melihat jam pukul 11:30. Pria itu sampai lupa menunaikan ibadah salat. Ia pergi ke kamar mandi dan ingin berwudu. Pria itu membuka keran air, tetapi ternyata tidak ada air yang keluar sama sekali. “Kenapa tiba-tiba rusak, ya?” gumamnya.
Pria itu menuruni tangga dan ingin ke kamar mandi yang terletak di samping dapur, tetapi ia dikagetkan dengan adiknya yang masih duduk di meja makan.
“Kebiasaan kamu, Din. Kalau malam selalu keluyuran,” ucap pria itu yang tahu kebiasaan adiknya, lalu berjalan menatap wanita itu.
Betapa terkejutnya dia, melihat wajah Dinda dipenuhi belatung dan berdarah. “Astagfirullah, siapa kamu?!” teriak Dimas seraya berjalan mundur.
Lalu wanita itu berdiri dan hendak mencekik Dimas.
“Tidak! Pergi kamu! Jangan dekati aku! Tolong ...! Archh ...!” teriak Dimas langsung terbangun dari tidurnya.
“Ya Allah, Kak. Mimpi apa, sih, sampai teriak-teriak? Cepetan bangun, jangan tidur di waktu Magrib,” pinta Dinda yang saat itu membangunkan kakaknya.
“Astagfirullah al-azim, mimpi apa itu tadi?” gumam Dimas seraya mengatur napasnya kembali.
Pria itu segera berwudu dan pergi ke masjid yang tidak jauh dari rumahnya. Setelah salat, pria itu berjalan kembali ke rumah. Saat melewati sebuah kebun pisang milik tetangga.
Kesrek! Kesrek!
Sebuah suara mengagetkan pria itu.
“Suara apa itu?” gumamnya.
Kesrek! Kesrek!
Lagi-lagi suara itu terdengar, membuat pria berumur 27 tahun yang belum menikah itu penasaran. Ia menatap jauh ke pohon-pohon pisang yang mulai berbuah itu.
Sebuah sosok yang terbalut kain putih tiba-tiba muncul dan langsung menatapnya dengan wajah yang menghitam.
“Woi, Dim!” ujar temannya mengagetkan pria itu.
“Ya Allah, jantungku. Sialan kamu, Ron,” umpat pria itu pada temannya.
“Ngapain kamu mandengin tu pohon pisang? Kamu mau nyolong?” ejeknya.
“Dasar kamu, dikira aku nggak mampu beli apa?” bantah Dimas.
“Udah. Yuk, pulang. Bukannya besok kita harus kerja?” ujar Roni.
“Besok aku belum bisa masuk ke kantor. Kamu urusin dulu, ya. Aku mau dampingin Ibu aku dulu,” sahut Dimas.
“Oke, laksanakan, Bos!” ujar pria itu yang menjabat sebagai wakil manajer di perusahaan Dimas.
Mereka berpisah di persimpangan jalan. Dimas memasuki rumahnya. Entah mengapa kini rumah berlantai tiga itu terlihat sedikit menakutkan. Dimas merasa sering diganggu hal-hal yang tidak bisa dijelaskan oleh akal dan pikiran.
Di meja makan, mereka semua berkumpul.
“Dimas, Mama minta maaf ya karena hal ini, pekerjaan kamu jadi berlipat ganda,” ujar ibunya.
“Mama nggak usah khawatir, yang penting Mama jaga kesehatan, ya,” sahut Dimas.
“Bentar lagi kan aku juga udah mau lulus, Ma. Ntar aku bantuin Kak Dimas, deh.” Celetuk Dinda.
“Kamu mau bantuin apa? Main mulu kerjaannya,” bantah Dimas.
“Aku kan juga bisa serius, Kak,” ucap wanita itu tak mau kalah.
Aini hanya menggeleng melihat kedua anaknya berdebat.
Bersambung.
Lalu, bagaimana kelanjutannya. Tunggu di thread selanjutnya. Ramaikan thread ini biar Ratu Horor cepat-cepat melanjutkan ceritanya sampai tamat. 😎
Written : Piendutt
Sumber : Opini pribadi
Part selanjutnya 👇
Part 2. Dihantui Terus Menerus
Part 3. Bertemu Sang Penyelamat
Part 4. Berkunjung ke Rumah Dinda
Part 5. Fakta Dibalik Buku Harian
Part 6. Menjenguk Aini
Part 7. Dikejar Setan
Part 8. Melawan Arwah Gaun Pengantin
Part 9. Bantuan dari Herman
Diubah oleh piendutt 08-11-2022 09:17



motherparker699 dan 16 lainnya memberi reputasi
15
7.5K
Kutip
92
Balasan


Komentar yang asik ya
Tampilkan semua post


TS
piendutt
#30
Gaun Pengantin Berdarah

Quote:
Part 5. Fakta Dibalik Buku Harian
Aini berdiri menatap Afgan. Wanita itu sangat marah.
“Archhh!” teriak wanita itu dan mengempaskan tubuh Afgan.
Meski sudah terbanting kuat, pria itu bangun lagi dan langsung membaca doa. Hingga tubuh Aini terbang ke udara dan terhempas ke lantai. Asap putih keluar dari tubuh wanita itu.
Aini terbatuk memuntahkan darah hitam dari mulutnya, wanita itu langsung pingsan membuat kedua anaknya begitu panik.
“Mama!” teriak kedua anaknya menghampiri wanita tersebut. Mereka lantas membaringkan tubuh wanita berkerudung itu di ranjang.
“Sebenarnya apa yang terjadi pada keluarga kami? Apa kamu bisa menjelaskan pada kami?” tanya Dimas pada Afgan.
Seorang wanita paruh baya tiba-tiba datang. “Loh, Den? Apa yang terjadi? Kenapa Nyonya seperti ini?” tanya Mbok Minah ikut cemas dengan keadaan majikannya yang kini tak sadarkan diri.
“Mbok, tolong ambilkan segelas air, ya,” pinta Afgan pada wanita itu.
“Baiklah, Den. Tunggu sebentar ya.” Wanita itu turun lagi ke dapur dan mengambil air.
Kemudian, pria tersebut mengambil kertas dan pulpen. “Aku tak bisa menjelaskan di rumah ini, besok temui aku di tempat lain dan ini nomor teleponku,” ucap Afgan seraya memberikan selembar kertas berisi nomor teleponnya.
“Baiklah,” sahut Dimas.
“Lalu, bagaimana keadaan ibuku sekarang? Apa dia akan baik-baik saja?” isak Dinda merasa cemas.
“Untuk sekarang dia akan baik-baik saja, tenanglah,” sahut Afgan.
Pria itu melihat sekeliling dan tanpa sengaja menemukan buku harian yang terkunci. Entah kenapa ia sangat penasaran dengan buku harian itu. Lantas Afgan menyentuh buku tersebut.
“Astagfirullah, jadi ini penyebabnya,” ucap pria itu tiba-tiba. Ia terkejut dengan apa yang baru saja diketahuinya.
“Maksud kamu apa?” tanya Dimas.
“Besok, bawa juga buku harian ini, ya. Sekarang simpan dulu baik-baik,” pinta Afgan.
“Baiklah,” sahut Dimas dan tanpa pikir panjang langsung memasukkan buku itu ke tas kerjanya.
Mbok Minah datang dan memberikan segelas air putih pada Aini. Setelah keadaan wanita itu membaik, Afgan berpamitan.
Besoknya setelah bekerja, Dimas dan Afgan bertemu sesuai janji.
“Mana buku harian itu?” tanya Afgan.
Dimas mengeluarkan sebuah buku dari tasnya. “Ini.”
Afgan mengeluarkan segeblok kunci dari dalam tas.
“Astaga, dari mana kamu dapetin kunci sebanyak itu?” ujar Dimas merasa heran.
“Temenku kerja di tempat pembuatan kunci, jadi aku cuman minjem sampelnya aja,” sahut pria itu yang masih sibuk mencari kunci yang pas untuk buku harian itu.
Klekk!
“Akhirnya terbuka juga,” ucap pria itu dan mulai membuka buku itu. Membalik halaman demi halaman setelah membaca apa yang tertulis di sana.
Buku itu berisi perjalanan cinta Suhadi sebelum ia berumah tangga dengan Aini. Saat Suhadi masih muda, ia jatuh hati pada seorang wanita dari desa lain yang bernama Dewi. Namun, ayah wanita itu tidak merestui hubungan mereka kalau Suhadi belum bekerja dan bukan orang kaya. Maka Suhadi berpura-pura menjadi pemilik perkebunan teh di desanya agar hubungannya tetap direstui oleh ayah wanita itu.
Akan tetapi, suatu hari ayahnya tahu bahwa Suhadi berbohong tentang kepemilikan kebun teh itu. Dewi dipaksa menikah dengan orang lain, tetapi wanita itu kabur dengan bantuan Suhadi. Mereka berdua lari dan masuk ke hutan.
Hujan lebat disertai petir, membuat mereka berdua harus singgah di sebuah gubuk kecil di tengah hutan yang tak berpenghuni.
“Terima kasih karena sudah menolongku, Mas,” ujar Dewi.
“Aku tidak akan pernah meninggalkanmu sendiri, Dewi. Aku begitu mencintaimu,” balas Hadi. Mereka akhirnya terbawa suasana dan melakukan hubungan layaknya suami-istri.
Di tengah malam yang sunyi, Hadi terbangun karena mendengar beberapa suara. Ternyata itu adalah orang suruhan dari ayahnya Dewi untuk mencari wanita itu.
Suhadi kesulitan melawan karena kalah banyak, pada akhirnya ia dihajar habis-habisan. Kemudian, tubuh Suhadi yang sudah tak bisa melawan lagi dibuang ke sungai dekat hutan itu.
Dewi yang tidak memiliki perlindungan dari Suhadi lagi, pun menjadi korban. Nafsu yang menguasai para lelaki suruhan itu membuat mereka justru merudapaksa Dewi, lalu meninggalkan wanita itu begitu saja.
Dewi menangis sejadi-jadinya. Ia berlari keluar dari hutan itu dan bersembunyi di sebuah desa. Ia memutuskan untuk tinggal di sana dan menyamarkan dirinya agar tak dikenali orang lain. Nasib sial pun menimpa wanita berusia 25 tahun itu. Ternyata ia hamil dan tak tahu harus minta pertanggungjawaban pada siapa.
Akhirnya wanita itu memutuskan untuk melahirkan dan menjaga anaknya sendiri tanpa seorang suami. Lahirlah bayi perempuan yang sangat cantik dari rahim Dewi, tetapi wanita tersebut malah menangis karena anaknya lahir tanpa tahu siapa ayahnya.
Hari berganti hari, bulan berganti bulan, tahun pun berganti tahun. Dewi hidup dengan penderitaan yang harus ia alami ditambah masa lalu buruk yang tak kunjung hilang dari ingatan. Tak jarang orang-orang di sekitar menghinanya karena mempunyai anak tanpa menikah.
Karena hal-hal seperti itu, Dewi sudah beberapa pindah rumah. Namun, dari sekian kalinya, akhirnya ia menetap di salah satu desa dan berjualan sayur di pasar untuk bertahan hidup. Dengan pekerjaannya itu, Dewi bisa menyekolahkan anaknya hingga sekolah dasar.
Suatu hari dia tanpa sadar menjatuhkan piring nasi milik anaknya karena melihat berita di TV yang membuatnya tercengang sekaligus sakit hati.
“Ibu kenapa? Kok, nangis gini?” tanya anak gadis itu tanpa tahu penyebab ibunya tiba-tiba menangis.
Ternyata Suhadi, pria yang sangat dicintainya itu kini menikah dengan Aini, anak dari pemilik perkebunan teh di desa yang mereka tinggali. Kabar itu pun sudah menyebar di media masa karena keluarga Aini kaya raya.
Begitu hancur hati Dewi mendengar kabar itu. Wanita tersebut berpikir bahwa Suhadi sengaja meninggalkannya di hutan karena Aini. Padahal kebenarannya adalah saat tubuh Suhadi dibuang ke sungai, Aini yang saat itu tak sengaja bermain di sungai menemukan pria itu dalam keadaan babak belur dan tak sadarkan diri, tetapi syukurnya Suhadi masih bernapas.
Aini segera membawa Suhadi ke rumahnya dan merawat pria itu sampai sembuh. Karena benturan di kepala Suhadi, pria itu hilang ingatan dan pada akhirnya Aini malah jatuh cinta pada pria itu dan memutuskan untuk menikah.
Baru setahun pernikahan mereka, Suhadi mulai ingat dengan Dewi, kekasihnya dahulu. Pria itu pun mencoba mencari wanita itu ke mana-mana, tetapi tak mendengar kabarnya sama sekali.
Hingga pria itu mulai menuliskan semua kisahnya dalam buku harian ini. Berharap suatu hari nanti, Dewi atau keluarganya bisa mengetahui apa yang sebenarnya terjadi dulu. Namun, ternyata tidak untuk Dewi. Wanita itu merasa sangat marah dan juga sedih karena gara-gara pria itu hidupnya jadi menderita.
Dewi membuka laci lemarinya. Masih tersimpan rapi gaun pengantin yang dulu ia kenakan saat melakukan hubungan bersama Suhadi. Wanita itu menangis seraya meremas gaun pengantin itu.
Suatu hari, saat anak gadisnya baru pulang dari sekolah.
“Buk, laper, nih. Hari ini masak apa? Ibuk! Buk!” teriak anak gadis itu melihat ibunya tergantung di dapur dengan mengenakan gaun pengantin.
Dewi meninggalkan sebuah kertas yang bertuliskan alamat di mana orang tua Dewi tinggal, juga sebuah surat bahwa ayah dari anaknya adalah Suhadi. Pria yang sering muncul di TV karena menikahi anak orang kaya itu.
Anak gadis itu menangis dan bingung harus berbuat apa. Setelah kematian ibunya, anak gadis itu sering berteriak-teriak sendiri dan meraung hingga beberapa warga desa memasukkan anak itu ke panti rehabilitasi.
Bersambung.
Aini berdiri menatap Afgan. Wanita itu sangat marah.
“Archhh!” teriak wanita itu dan mengempaskan tubuh Afgan.
Meski sudah terbanting kuat, pria itu bangun lagi dan langsung membaca doa. Hingga tubuh Aini terbang ke udara dan terhempas ke lantai. Asap putih keluar dari tubuh wanita itu.
Aini terbatuk memuntahkan darah hitam dari mulutnya, wanita itu langsung pingsan membuat kedua anaknya begitu panik.
“Mama!” teriak kedua anaknya menghampiri wanita tersebut. Mereka lantas membaringkan tubuh wanita berkerudung itu di ranjang.
“Sebenarnya apa yang terjadi pada keluarga kami? Apa kamu bisa menjelaskan pada kami?” tanya Dimas pada Afgan.
Seorang wanita paruh baya tiba-tiba datang. “Loh, Den? Apa yang terjadi? Kenapa Nyonya seperti ini?” tanya Mbok Minah ikut cemas dengan keadaan majikannya yang kini tak sadarkan diri.
“Mbok, tolong ambilkan segelas air, ya,” pinta Afgan pada wanita itu.
“Baiklah, Den. Tunggu sebentar ya.” Wanita itu turun lagi ke dapur dan mengambil air.
Kemudian, pria tersebut mengambil kertas dan pulpen. “Aku tak bisa menjelaskan di rumah ini, besok temui aku di tempat lain dan ini nomor teleponku,” ucap Afgan seraya memberikan selembar kertas berisi nomor teleponnya.
“Baiklah,” sahut Dimas.
“Lalu, bagaimana keadaan ibuku sekarang? Apa dia akan baik-baik saja?” isak Dinda merasa cemas.
“Untuk sekarang dia akan baik-baik saja, tenanglah,” sahut Afgan.
Pria itu melihat sekeliling dan tanpa sengaja menemukan buku harian yang terkunci. Entah kenapa ia sangat penasaran dengan buku harian itu. Lantas Afgan menyentuh buku tersebut.
“Astagfirullah, jadi ini penyebabnya,” ucap pria itu tiba-tiba. Ia terkejut dengan apa yang baru saja diketahuinya.
“Maksud kamu apa?” tanya Dimas.
“Besok, bawa juga buku harian ini, ya. Sekarang simpan dulu baik-baik,” pinta Afgan.
“Baiklah,” sahut Dimas dan tanpa pikir panjang langsung memasukkan buku itu ke tas kerjanya.
Mbok Minah datang dan memberikan segelas air putih pada Aini. Setelah keadaan wanita itu membaik, Afgan berpamitan.
Besoknya setelah bekerja, Dimas dan Afgan bertemu sesuai janji.
“Mana buku harian itu?” tanya Afgan.
Dimas mengeluarkan sebuah buku dari tasnya. “Ini.”
Afgan mengeluarkan segeblok kunci dari dalam tas.
“Astaga, dari mana kamu dapetin kunci sebanyak itu?” ujar Dimas merasa heran.
“Temenku kerja di tempat pembuatan kunci, jadi aku cuman minjem sampelnya aja,” sahut pria itu yang masih sibuk mencari kunci yang pas untuk buku harian itu.
Klekk!
“Akhirnya terbuka juga,” ucap pria itu dan mulai membuka buku itu. Membalik halaman demi halaman setelah membaca apa yang tertulis di sana.
Buku itu berisi perjalanan cinta Suhadi sebelum ia berumah tangga dengan Aini. Saat Suhadi masih muda, ia jatuh hati pada seorang wanita dari desa lain yang bernama Dewi. Namun, ayah wanita itu tidak merestui hubungan mereka kalau Suhadi belum bekerja dan bukan orang kaya. Maka Suhadi berpura-pura menjadi pemilik perkebunan teh di desanya agar hubungannya tetap direstui oleh ayah wanita itu.
Akan tetapi, suatu hari ayahnya tahu bahwa Suhadi berbohong tentang kepemilikan kebun teh itu. Dewi dipaksa menikah dengan orang lain, tetapi wanita itu kabur dengan bantuan Suhadi. Mereka berdua lari dan masuk ke hutan.
Hujan lebat disertai petir, membuat mereka berdua harus singgah di sebuah gubuk kecil di tengah hutan yang tak berpenghuni.
“Terima kasih karena sudah menolongku, Mas,” ujar Dewi.
“Aku tidak akan pernah meninggalkanmu sendiri, Dewi. Aku begitu mencintaimu,” balas Hadi. Mereka akhirnya terbawa suasana dan melakukan hubungan layaknya suami-istri.
Di tengah malam yang sunyi, Hadi terbangun karena mendengar beberapa suara. Ternyata itu adalah orang suruhan dari ayahnya Dewi untuk mencari wanita itu.
Suhadi kesulitan melawan karena kalah banyak, pada akhirnya ia dihajar habis-habisan. Kemudian, tubuh Suhadi yang sudah tak bisa melawan lagi dibuang ke sungai dekat hutan itu.
Dewi yang tidak memiliki perlindungan dari Suhadi lagi, pun menjadi korban. Nafsu yang menguasai para lelaki suruhan itu membuat mereka justru merudapaksa Dewi, lalu meninggalkan wanita itu begitu saja.
Dewi menangis sejadi-jadinya. Ia berlari keluar dari hutan itu dan bersembunyi di sebuah desa. Ia memutuskan untuk tinggal di sana dan menyamarkan dirinya agar tak dikenali orang lain. Nasib sial pun menimpa wanita berusia 25 tahun itu. Ternyata ia hamil dan tak tahu harus minta pertanggungjawaban pada siapa.
Akhirnya wanita itu memutuskan untuk melahirkan dan menjaga anaknya sendiri tanpa seorang suami. Lahirlah bayi perempuan yang sangat cantik dari rahim Dewi, tetapi wanita tersebut malah menangis karena anaknya lahir tanpa tahu siapa ayahnya.
Hari berganti hari, bulan berganti bulan, tahun pun berganti tahun. Dewi hidup dengan penderitaan yang harus ia alami ditambah masa lalu buruk yang tak kunjung hilang dari ingatan. Tak jarang orang-orang di sekitar menghinanya karena mempunyai anak tanpa menikah.
Karena hal-hal seperti itu, Dewi sudah beberapa pindah rumah. Namun, dari sekian kalinya, akhirnya ia menetap di salah satu desa dan berjualan sayur di pasar untuk bertahan hidup. Dengan pekerjaannya itu, Dewi bisa menyekolahkan anaknya hingga sekolah dasar.
Suatu hari dia tanpa sadar menjatuhkan piring nasi milik anaknya karena melihat berita di TV yang membuatnya tercengang sekaligus sakit hati.
“Ibu kenapa? Kok, nangis gini?” tanya anak gadis itu tanpa tahu penyebab ibunya tiba-tiba menangis.
Ternyata Suhadi, pria yang sangat dicintainya itu kini menikah dengan Aini, anak dari pemilik perkebunan teh di desa yang mereka tinggali. Kabar itu pun sudah menyebar di media masa karena keluarga Aini kaya raya.
Begitu hancur hati Dewi mendengar kabar itu. Wanita tersebut berpikir bahwa Suhadi sengaja meninggalkannya di hutan karena Aini. Padahal kebenarannya adalah saat tubuh Suhadi dibuang ke sungai, Aini yang saat itu tak sengaja bermain di sungai menemukan pria itu dalam keadaan babak belur dan tak sadarkan diri, tetapi syukurnya Suhadi masih bernapas.
Aini segera membawa Suhadi ke rumahnya dan merawat pria itu sampai sembuh. Karena benturan di kepala Suhadi, pria itu hilang ingatan dan pada akhirnya Aini malah jatuh cinta pada pria itu dan memutuskan untuk menikah.
Baru setahun pernikahan mereka, Suhadi mulai ingat dengan Dewi, kekasihnya dahulu. Pria itu pun mencoba mencari wanita itu ke mana-mana, tetapi tak mendengar kabarnya sama sekali.
Hingga pria itu mulai menuliskan semua kisahnya dalam buku harian ini. Berharap suatu hari nanti, Dewi atau keluarganya bisa mengetahui apa yang sebenarnya terjadi dulu. Namun, ternyata tidak untuk Dewi. Wanita itu merasa sangat marah dan juga sedih karena gara-gara pria itu hidupnya jadi menderita.
Dewi membuka laci lemarinya. Masih tersimpan rapi gaun pengantin yang dulu ia kenakan saat melakukan hubungan bersama Suhadi. Wanita itu menangis seraya meremas gaun pengantin itu.
Suatu hari, saat anak gadisnya baru pulang dari sekolah.
“Buk, laper, nih. Hari ini masak apa? Ibuk! Buk!” teriak anak gadis itu melihat ibunya tergantung di dapur dengan mengenakan gaun pengantin.
Dewi meninggalkan sebuah kertas yang bertuliskan alamat di mana orang tua Dewi tinggal, juga sebuah surat bahwa ayah dari anaknya adalah Suhadi. Pria yang sering muncul di TV karena menikahi anak orang kaya itu.
Anak gadis itu menangis dan bingung harus berbuat apa. Setelah kematian ibunya, anak gadis itu sering berteriak-teriak sendiri dan meraung hingga beberapa warga desa memasukkan anak itu ke panti rehabilitasi.
Bersambung.



simounlebon dan 2 lainnya memberi reputasi
3
Kutip
Balas
Tutup