- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
KIDUNG DI ATAS TANAH JAWI
TS
breaking182
KIDUNG DI ATAS TANAH JAWI
Quote:
Menuliskan cerita yang berbau sejarah tidak gampang. Tulisan ini berdasarkan riset kecil dengan metode wawancara dengan orang yang lebih mengerti dan sumber terpercaya sebatas pengetahuan narasumber. Di samping itu kecintaan saya akan film -film kolosal, sandiwara radio era tahun 90-an tentang kerajaan - kerajaan di tanah Jawa mendorong saya untuk menulis. Tentu saja dengan keterbatasan ilmu pengetahuan yang saya miliki. Kidung Di Atas Tanah Jawi bercerita tentang perjalanan seorang pemuda bernama Arya Gading. Berlatar belakang kerajaan Pajang di bawah pemerintahan Sultan Hadiwijoyo. Cerita ini fiktif belaka. Baca dan nikmati. Salam Olahraga.........
Quote:
Quote:
Konten Sensitif
Quote:
EPISODE 1
GEGER DI PUCANG KEMBAR
gatra 1
gatra 2
gatra 3
gatra 4
gatra 5
gatra 6
gatra 7
gatra 8
gatra 9
gatra 10
gatra 11
gatra 12
gatra 13
gatra 14
gatra 15
gatra 16
gatra 17
gatra 18
gatra 19
gatra 20
gatra 21
gatra 22
gatra 23
gatra 24
gatra 25
gatra 26
gatra 27
gatra 28
gatra 29
gatra 30
gatra 31
gatra 32
gatra 33
gatra 34
gatra 35
gatra 36
gatra 37
gatra 38
gatra 39
gatra 40
gatra 41
gatra 42
gatra 43
gatra 44
gatra 45
gatra 46
gatra 47
gatra 48
gatra 49
Quote:
EPISODE 2
BARA API DI KAKI MERAPI
gatra 1
gatra 2
gatra 3
gatra 4
gatra 5
gatra 6
gatra 7
gatra 8
gatra 9
gatra 10
gatra 11
gatra 12
gatra 13
gatra 14
gatra 15
gatra 16
gatra 17
gatra 18
gatra 19
gatra 20
gatra 21
gatra 22
gatra 23
gatra 24
gatra 25
gatra 26
gatra 27
gatra 28
gatra 29
gatra 30
gatra 31
gatra 32
gatra 33
gatra 34
gatra 35
gatra 36
gatra 37
gatra 38
gatra 39
gatra 40
gatra 41
gatra 42
gatra 43
gatra 44
gatra 45
gatra 46
gatra 47
gatra 48
gatra 49
gatra 50
gatra 51
Quote:
Diubah oleh breaking182 30-12-2022 16:12
69banditos dan 66 lainnya memberi reputasi
67
79.2K
Kutip
621
Balasan
Komentar yang asik ya
Tampilkan semua post
TS
breaking182
#376
gatra 7
Quote:
KETIKA SUKMO AJI dan tumenggung Cokroyuda muncul di hadapannya sambil menghaturkan sembah, Sultan Hdiwijoyo tersenyum lebar. Tapi Sukmo Aji dan tumenggung Cokroyudo tahu bahwa di balik senyum itu tersembunyi kekalutan pikiran, kegundahan hati dan ketidak tenangan. Setelah dua orang senopati Pajang itu mengambil tempat duduk di hadapannya maka berkatalah Sultan Hadiwijoyo akan maksud memanggilnya menghadap.
“Pertama sekali aku ingin mendengar laporan bahwa keadaan di Pajang sampai saat ini bagaimana keadaannya? “
“Pertama sekali saya ingin melapor bahwa keadaan di Pajang yang menjadi tanggung jawab saya, semua dalam aman. Dari utara tak ada lagi kabar-kabar adanya kerusuhan yang berarti. Rasanya sejak para gembong rampok di beberapa tempat sudah kita kikis habis, gerakan mereka boleh dikatakan tumbang musnah Kanjeng Sultan...”
“ Bahkan, petugas telik sandi yang dikirimkan oleh paman Cokroyudo, paman Surotani dan paman Sudiroyudo juga tidak mendapatkan laporan yang mencurigakan “
“Aku gembira mendengar laporanmu Sukmo Aji. Tapi kita sekali-kali tidak boleh berlaku lengah. Meskipun para begal rampok dan gegedug maling telah kita padamkan, aku tiada hentinya meminta semua prajurit Pajang untuk selalu berjaga-jaga dan mengawasi setiap orang yang keluar masuk ke kotaraja. Karena suasana semakin menghangat antara Pajang dan Jipang. Aku rasa ada pihak –pihak tertentu yang sengaja meniup bara dalam sekam agar suasana ini semakin panas dan akhirnya pecah perang sesama saudara sendiri. Namun pagi ini ada berita yang cukup mengejutkan “
Mendengar hal itu Sukmo Aji dan tumenggung Cokroyuda hanya menunduk tidak berani mengangkat kepalanya. Mereka berdua telah mendengar bahwa utusan dari Pasuruan yang membawa upeti telah dicegat dan dirampok di tepi hutan Jati Jajar.
“ Utusan dari Pasuruan telah dicegat di tepi hutan Jati Jajar. Itu sangat mengherankan. Jati Jajar sangat dekat dengan kotaraja. Mengapa sampai ada gerombolan rampok yang berani bertindak sedemikian beraninya “
“ Ampun Kanjeng Sultan, mungkin itu keteledoran hamba sehingga hutan yang dekat dengan kotaraja sampai dihuni oleh gerombolan rampok “
Kali ini Tumenggung Cokroyuda yang berbicara. Lelaki paruh baya itu lantas menceritakan bahwa berkali –kali prajurit telik sandi telah menyambangi hutan itu. Tapi tidak ada satupun gerombolan rampok yang bersarang di hutan itu.
“ Betul paman, aku pun heran Jati Jajar memang hutan yang cukup lebat tapi mengapa tiba – tiba disitu ada gerombolan rampok. Aku sedikit berprasangka buruk. Apakah rampok –rampok itu memang sengaja ingin membuat rusuh antara Pajang dan negeri –negeri tahklukan. Merampok upeti dari bang wetan seolah –olah memberikan tanda kepada bang wetan bahwa Pajang tidak bisa melindungi negara – negara bawahannya. Bahkan, di kampung halamannya sendiri“
“ Ampun Kanjeng Sultan, hamba akan nganglang ke hutan Jati Jajar hari ini juga. Barangkali hamba akan menemukan sarang gerombolan itu”
“ Tidak usah terburu –buru Sukmo Aji, kita sementara jangan melakukan tindakan apapun juga. Karena aku yakin gerombolan itu tidak memiliki sarang di Jati Jajar. Aku hanya ingin memerintahkan mu untuk mengawal rombongan dari Pasuruan saat mereka pulang. Kawal utusan –utusan itu sampai melewati hutan Jati Jajar. Aku yakin gerombolan itu akan terpancing dan mencegat kalian semua. Saat itu gulung habis gerombolan itu. Kalau tidak memaksa jangan bunuh mereka. Tangkap dan bawa ke Pajang. Aku ingin tahu sebenarnya maksud mereka apa “
“ Baik Kanjeng Sultan. Hamba akan mengawal utusan dari Pasuruan itu manakala mereka akan pulang “
“ Satu lagi ada hal yang ingin aku tanyakan Sukmo Aji, apakah persiapan untuk pesta rakyat di alun –alun sudah dipersiapkan dengan baik?”
“ Sudah kanjeng sultan, bahkan para tumenggung telah menempatkan prajurit –prajurit pilihan untuk berjaga –jaga di pintu masuk dan pintu keluar “
“ Bagus kalau begitu. Ini cara agar rakyat Pajang tidak ikut larut dalam suasana yang menghangat antara Jipang dan Pajang. Aku tidak mau rakyatku merasa terancam dan ketakutan akan perang yang belum tentu juga akan pecah. Aku sangat tidak ingin ada pertumpahan darah sesama saudara sendiri “
“Sekarang aku perkenankan kau dan paman Cokroyuda untuk meninggalkan paseban ini. Lakukan tugas mu sebaik -baiknya“
Sukmo Aji dan Cokroyuda lantas menghaturkan sembah. Perlahan –lahan dua lelaki itu berjalan meningalkan paseban diiringi oleh pandangan Sultan Hadiwijoyo yang masih duduk di kursinya yang pada sandarannya terdapat ukir –ikuran berbentuk burung elang sedang mengepakkan sayap.
“Pertama sekali aku ingin mendengar laporan bahwa keadaan di Pajang sampai saat ini bagaimana keadaannya? “
“Pertama sekali saya ingin melapor bahwa keadaan di Pajang yang menjadi tanggung jawab saya, semua dalam aman. Dari utara tak ada lagi kabar-kabar adanya kerusuhan yang berarti. Rasanya sejak para gembong rampok di beberapa tempat sudah kita kikis habis, gerakan mereka boleh dikatakan tumbang musnah Kanjeng Sultan...”
“ Bahkan, petugas telik sandi yang dikirimkan oleh paman Cokroyudo, paman Surotani dan paman Sudiroyudo juga tidak mendapatkan laporan yang mencurigakan “
“Aku gembira mendengar laporanmu Sukmo Aji. Tapi kita sekali-kali tidak boleh berlaku lengah. Meskipun para begal rampok dan gegedug maling telah kita padamkan, aku tiada hentinya meminta semua prajurit Pajang untuk selalu berjaga-jaga dan mengawasi setiap orang yang keluar masuk ke kotaraja. Karena suasana semakin menghangat antara Pajang dan Jipang. Aku rasa ada pihak –pihak tertentu yang sengaja meniup bara dalam sekam agar suasana ini semakin panas dan akhirnya pecah perang sesama saudara sendiri. Namun pagi ini ada berita yang cukup mengejutkan “
Mendengar hal itu Sukmo Aji dan tumenggung Cokroyuda hanya menunduk tidak berani mengangkat kepalanya. Mereka berdua telah mendengar bahwa utusan dari Pasuruan yang membawa upeti telah dicegat dan dirampok di tepi hutan Jati Jajar.
“ Utusan dari Pasuruan telah dicegat di tepi hutan Jati Jajar. Itu sangat mengherankan. Jati Jajar sangat dekat dengan kotaraja. Mengapa sampai ada gerombolan rampok yang berani bertindak sedemikian beraninya “
“ Ampun Kanjeng Sultan, mungkin itu keteledoran hamba sehingga hutan yang dekat dengan kotaraja sampai dihuni oleh gerombolan rampok “
Kali ini Tumenggung Cokroyuda yang berbicara. Lelaki paruh baya itu lantas menceritakan bahwa berkali –kali prajurit telik sandi telah menyambangi hutan itu. Tapi tidak ada satupun gerombolan rampok yang bersarang di hutan itu.
“ Betul paman, aku pun heran Jati Jajar memang hutan yang cukup lebat tapi mengapa tiba – tiba disitu ada gerombolan rampok. Aku sedikit berprasangka buruk. Apakah rampok –rampok itu memang sengaja ingin membuat rusuh antara Pajang dan negeri –negeri tahklukan. Merampok upeti dari bang wetan seolah –olah memberikan tanda kepada bang wetan bahwa Pajang tidak bisa melindungi negara – negara bawahannya. Bahkan, di kampung halamannya sendiri“
“ Ampun Kanjeng Sultan, hamba akan nganglang ke hutan Jati Jajar hari ini juga. Barangkali hamba akan menemukan sarang gerombolan itu”
“ Tidak usah terburu –buru Sukmo Aji, kita sementara jangan melakukan tindakan apapun juga. Karena aku yakin gerombolan itu tidak memiliki sarang di Jati Jajar. Aku hanya ingin memerintahkan mu untuk mengawal rombongan dari Pasuruan saat mereka pulang. Kawal utusan –utusan itu sampai melewati hutan Jati Jajar. Aku yakin gerombolan itu akan terpancing dan mencegat kalian semua. Saat itu gulung habis gerombolan itu. Kalau tidak memaksa jangan bunuh mereka. Tangkap dan bawa ke Pajang. Aku ingin tahu sebenarnya maksud mereka apa “
“ Baik Kanjeng Sultan. Hamba akan mengawal utusan dari Pasuruan itu manakala mereka akan pulang “
“ Satu lagi ada hal yang ingin aku tanyakan Sukmo Aji, apakah persiapan untuk pesta rakyat di alun –alun sudah dipersiapkan dengan baik?”
“ Sudah kanjeng sultan, bahkan para tumenggung telah menempatkan prajurit –prajurit pilihan untuk berjaga –jaga di pintu masuk dan pintu keluar “
“ Bagus kalau begitu. Ini cara agar rakyat Pajang tidak ikut larut dalam suasana yang menghangat antara Jipang dan Pajang. Aku tidak mau rakyatku merasa terancam dan ketakutan akan perang yang belum tentu juga akan pecah. Aku sangat tidak ingin ada pertumpahan darah sesama saudara sendiri “
“Sekarang aku perkenankan kau dan paman Cokroyuda untuk meninggalkan paseban ini. Lakukan tugas mu sebaik -baiknya“
Sukmo Aji dan Cokroyuda lantas menghaturkan sembah. Perlahan –lahan dua lelaki itu berjalan meningalkan paseban diiringi oleh pandangan Sultan Hadiwijoyo yang masih duduk di kursinya yang pada sandarannya terdapat ukir –ikuran berbentuk burung elang sedang mengepakkan sayap.
Quote:
DI LUAR KESIBUKAN yang sedang berlangsung di alun –alun Pajang, dua orang melintas perlahan-lahan. Keduanya telah menitipkan kuda mereka kepada seseorang yang belum mereka kenal sama sekali. Tetapi dengan berbagai macam alasan, mereka berusaha untuk dapat meyakinkan kepada orang yang dititipinya, bahwa kehadirannya semata-mata didorong oleh keinginannya untuk melihat perhelatan pesta rakyat di alun –alun Pajang.
“Tetapi aku belum mengenal kalian,” desis orang itu.
Sejenak keduanya berpandangan. Salah seorang dari mereka pun kemudian mengambil sesuatu dari kantong ikat pinggang kulitnya.
“Aku mempunyai uang sedikit. Barangkali dapat kau pergunakan untuk mengupah anak-anak agar besok dapat mencari rumput buat kudaku.”
“Tetapi kenapa kau titipkan kudaku di sini?”
“Itu lebih baik daripada aku membawanya kian kemari.”
Orang itu masih bingung. Namun tiba-tiba saja ia mengangguk-angguk ketika salah seorang dari kedua orang itu melemparkan uang kepadanya. Terlalu banyak dari dugaan yang tumbuh di hatinya.
“Aku kira kau memerlukan uang itu,” desis orang itu.
Sejenak orang yang semula ragu-ragu itu memandangi kedua orang yang terlalu baik kepadanya itu, yang melemparkan uang terlalu banyak jika dinilai dengan sekedar menitipkan dua ekor kuda meskipun ia harus mencari rumput untuk memberi makan kuda-kuda itu.
“Apakah masih kurang?” bertanya salah seorang dari kedua penunggang kuda itu.
“Apakah kau akan menambah lagi?”
“Gila,” geram yang lain, “kau terlalu tamak.”
Namun sikap itu justru menumbuhkan sesuatu di dalam hati pemilik rumah yang terhitung seorang yang miskin itu. Ketamakan benar-benar telah mencengkamnya, sehingga ia pun kemudian berkata, “Sebaiknya kalian menambah sedikit lagi, agar aku dapat mencarikan rumput segar bagi kudamu selama lima hari.”
“Itu terlalu banyak.”
“Ki Sanak. Sebenarnya kalian berdua menimbulkan kecurigaan padaku. Karena itu, kuda kalian di halamanku ini akan dapat menimbulkan banyak kesulitan. Karena itu, berilah sedikit uang tambahan. Aku akan mempertanggung-jawabkan semuanya.”
“Gila. Itu sudah cukup.”
“Mungkin ada tetangga yang melihat kedua kudamu ini. Mereka pun menjadi curiga seperti aku, lalu mereka pergi melaporkannya kepada para pengawal. Nah, sebelum mereka melaporkan kuda-kudamu, aku dapat mencegahnya dengan memberikan sebagian dari pemberianmu itu.”
“Itu adalah kegilaan yang tidak pantas,” tiba-tiba salah seorang dari kedua orang berkuda itu menarik pisau belati dari bawah bajunya. Sambil melekatkan ujung pisau itu di leher pemilik rumah itu ia berkata, “Kau mencoba memeras kami. Tetapi kami bukan orang yang terlalu baik hati. Jika terjadi sesuatu dengan kami di sini, maka sumbernya pasti kau. Ketahuilah, kami berdua mempunyai seribu kawan yang berkeliaran di Pajang. Masing-masing mengetahui keadaan dan kemungkinan yang terjadi dengan kawan-kawannya. Jika aku tidak berkumpul pada saatnya, maka mereka mengetahuinya, siapakah yang harus ditangkap, diseret di belakang kaki kuda, dan kemudian dilemparkan ke dalam kedung Srengenge untuk dijadikan makanan buaya. Bukan hanya kau, tetapi aku tahu, kau mempunyai anak yang masih kecil-kecil. Nah, tulangnya tentu masih lunak, dan tentu menyenangkan sekali bagi buaya-buaya raksasa di kedung itu.”
Wajah orang itu tiba-tiba menjadi pucat. Ketika ujung pisau itu menyentuh kulitnya, ia mundur selangkah.
“Jangan, jangan.”
“Kau orang yang sangat tamak. Nah, katakan sekali lagi bahwa kau minta uang tambahan.”
“Tidak. Tidak. Itu sudah cukup.”
“Jangan mencoba melaporkan kehadiranku di sini, jika kau masih sayang kepada nyawamu, anak-anakmu yang masih kecil-kecil dan isterimu.”
“Tidak. Aku tidak akan melaporkannya.”
Kedua orang itu saling berpandangan sejenak, lalu, “Kami akan pergi. Setiap saat kami akan datang untuk mengambil kuda kami. Tetapi selama itu, orang-orang kami akan selalu mengawasimu. Ingat. Nyawamu, nyawa anak-anak dan isterimu. Aku masih baik karena aku tidak minta uang itu kembali.”
Kedua orang itu pun kemudian pergi. Tetapi sorot matanya penuh dengan ancaman, sehingga pemilik rumah itu menjadi semakin pucat. Namun ia benar-benar telah dicengkam oleh ketakutan, sehingga ia tidak berani berbuat apa pun juga. Meskipun sebenarnya memang ada kecurigaan di hatinya, tetapi ia tidak mempunyai keberanian untuk menyampaikan hal itu kepada para pengawal. Bahkan kemudian ia telah berusaha menyembunyikan kedua ekor kuda itu di longkangan belakang sehingga tidak seorang pun yang akan dapat melihat. Kepada isterinya ia berpesan, agar tidak mengatakan apa pun juga tentang kedua ekor kuda itu kepada tetangga-tetangganya, dan bahkan anaknya yang masih kecil pun dipesannya juga, agar ia tidak berceritera kepada kawan-kawannya tentang kuda-kuda itu.
“Jika anak-anak menyebut tentang kuda-kuda hantu itu, maka lidahnya akan berkerut. Semakin lama menjadi semakin pendek, sehingga akhirnya lidah itu akan habis. Nah, jika lidahmu habis, kau tidak akan dapat berbicara lagi,” ayahnya mencoba menakut-nakuti anak-anaknya.
Anak-anak kecil itu mengangguk-angguk. Tetapi mereka memang benar-benar menjadi ketakutan sehingga mereka sama sekali tidak berani menyebut tentang kedua ekor kuda yang berada di longkangan itu.
“Tetapi aku belum mengenal kalian,” desis orang itu.
Sejenak keduanya berpandangan. Salah seorang dari mereka pun kemudian mengambil sesuatu dari kantong ikat pinggang kulitnya.
“Aku mempunyai uang sedikit. Barangkali dapat kau pergunakan untuk mengupah anak-anak agar besok dapat mencari rumput buat kudaku.”
“Tetapi kenapa kau titipkan kudaku di sini?”
“Itu lebih baik daripada aku membawanya kian kemari.”
Orang itu masih bingung. Namun tiba-tiba saja ia mengangguk-angguk ketika salah seorang dari kedua orang itu melemparkan uang kepadanya. Terlalu banyak dari dugaan yang tumbuh di hatinya.
“Aku kira kau memerlukan uang itu,” desis orang itu.
Sejenak orang yang semula ragu-ragu itu memandangi kedua orang yang terlalu baik kepadanya itu, yang melemparkan uang terlalu banyak jika dinilai dengan sekedar menitipkan dua ekor kuda meskipun ia harus mencari rumput untuk memberi makan kuda-kuda itu.
“Apakah masih kurang?” bertanya salah seorang dari kedua penunggang kuda itu.
“Apakah kau akan menambah lagi?”
“Gila,” geram yang lain, “kau terlalu tamak.”
Namun sikap itu justru menumbuhkan sesuatu di dalam hati pemilik rumah yang terhitung seorang yang miskin itu. Ketamakan benar-benar telah mencengkamnya, sehingga ia pun kemudian berkata, “Sebaiknya kalian menambah sedikit lagi, agar aku dapat mencarikan rumput segar bagi kudamu selama lima hari.”
“Itu terlalu banyak.”
“Ki Sanak. Sebenarnya kalian berdua menimbulkan kecurigaan padaku. Karena itu, kuda kalian di halamanku ini akan dapat menimbulkan banyak kesulitan. Karena itu, berilah sedikit uang tambahan. Aku akan mempertanggung-jawabkan semuanya.”
“Gila. Itu sudah cukup.”
“Mungkin ada tetangga yang melihat kedua kudamu ini. Mereka pun menjadi curiga seperti aku, lalu mereka pergi melaporkannya kepada para pengawal. Nah, sebelum mereka melaporkan kuda-kudamu, aku dapat mencegahnya dengan memberikan sebagian dari pemberianmu itu.”
“Itu adalah kegilaan yang tidak pantas,” tiba-tiba salah seorang dari kedua orang berkuda itu menarik pisau belati dari bawah bajunya. Sambil melekatkan ujung pisau itu di leher pemilik rumah itu ia berkata, “Kau mencoba memeras kami. Tetapi kami bukan orang yang terlalu baik hati. Jika terjadi sesuatu dengan kami di sini, maka sumbernya pasti kau. Ketahuilah, kami berdua mempunyai seribu kawan yang berkeliaran di Pajang. Masing-masing mengetahui keadaan dan kemungkinan yang terjadi dengan kawan-kawannya. Jika aku tidak berkumpul pada saatnya, maka mereka mengetahuinya, siapakah yang harus ditangkap, diseret di belakang kaki kuda, dan kemudian dilemparkan ke dalam kedung Srengenge untuk dijadikan makanan buaya. Bukan hanya kau, tetapi aku tahu, kau mempunyai anak yang masih kecil-kecil. Nah, tulangnya tentu masih lunak, dan tentu menyenangkan sekali bagi buaya-buaya raksasa di kedung itu.”
Wajah orang itu tiba-tiba menjadi pucat. Ketika ujung pisau itu menyentuh kulitnya, ia mundur selangkah.
“Jangan, jangan.”
“Kau orang yang sangat tamak. Nah, katakan sekali lagi bahwa kau minta uang tambahan.”
“Tidak. Tidak. Itu sudah cukup.”
“Jangan mencoba melaporkan kehadiranku di sini, jika kau masih sayang kepada nyawamu, anak-anakmu yang masih kecil-kecil dan isterimu.”
“Tidak. Aku tidak akan melaporkannya.”
Kedua orang itu saling berpandangan sejenak, lalu, “Kami akan pergi. Setiap saat kami akan datang untuk mengambil kuda kami. Tetapi selama itu, orang-orang kami akan selalu mengawasimu. Ingat. Nyawamu, nyawa anak-anak dan isterimu. Aku masih baik karena aku tidak minta uang itu kembali.”
Kedua orang itu pun kemudian pergi. Tetapi sorot matanya penuh dengan ancaman, sehingga pemilik rumah itu menjadi semakin pucat. Namun ia benar-benar telah dicengkam oleh ketakutan, sehingga ia tidak berani berbuat apa pun juga. Meskipun sebenarnya memang ada kecurigaan di hatinya, tetapi ia tidak mempunyai keberanian untuk menyampaikan hal itu kepada para pengawal. Bahkan kemudian ia telah berusaha menyembunyikan kedua ekor kuda itu di longkangan belakang sehingga tidak seorang pun yang akan dapat melihat. Kepada isterinya ia berpesan, agar tidak mengatakan apa pun juga tentang kedua ekor kuda itu kepada tetangga-tetangganya, dan bahkan anaknya yang masih kecil pun dipesannya juga, agar ia tidak berceritera kepada kawan-kawannya tentang kuda-kuda itu.
“Jika anak-anak menyebut tentang kuda-kuda hantu itu, maka lidahnya akan berkerut. Semakin lama menjadi semakin pendek, sehingga akhirnya lidah itu akan habis. Nah, jika lidahmu habis, kau tidak akan dapat berbicara lagi,” ayahnya mencoba menakut-nakuti anak-anaknya.
Anak-anak kecil itu mengangguk-angguk. Tetapi mereka memang benar-benar menjadi ketakutan sehingga mereka sama sekali tidak berani menyebut tentang kedua ekor kuda yang berada di longkangan itu.
Quote:
DALAM PADA ITU, kedua penunggang kuda itu pun dengan leluasa berada di Pajang. Di siang hari mereka akan berbaur dengan orang –orang di pasar, sedang di malam hari mereka akan muncul untuk melihat perhelatan yang meriah di alun –alun Pajang.
“Kenapa kita harus berada di sini selama lima hari?” bertanya yang seorang.
“Kita diperintahkan oleh Jaran Lanjar untuk mengetahui keadaan di Pajang. Apakah Pajang mulai menyusun kekuatan untuk menggulung Haryo Penangsang. Disamping itu bukankah tugas kita juga mengawasi kapan orang –orang dari Pasuruan itu akan kembali. Jaran Lanjar ingin utusan dari Pasuruan itu di hajar sekali lagi sebelum mereka sampai di Pasuruan. Adipati Pasuruan tentu akan marah dan menganggap Pajang tidak becus menjaga keselamatan utusan dari Pasuruan. Sehingga tidak akan ada lagi kepercayaan pada Pajang “
“Tetapi menurut keterangan yang kami terima, hal itu akan dilakukannya di daerah Jati Jajar lagi.”
“Kita tidak tahu, tempat yang Jaran Lanjar pilih dengan tepat. Jaran Lanjar mengetahui bahwa tingkah lakunya selalu diawasi. Mungkin ia akan mengambil sikap yang tidak terduga-duga untuk melepaskan dirinya dari pengawasan yang tentu tidak akan disukainya.”
Dengan demikian, maka keduanya dengan leluasa dapat menjelajahi kademangan di sekitar kotaraja tanpa dicurigai. Disiang hari mereka lewat seperti kebanyakan orang lewat di jalan-jalan raya dan hanyut dalam perhelatan yang dilakukan di alun –alun Pajang. Di malam hari, dalam kelamnya malam mereka merayap mendekati tembok kedaton, dan hilang bercampur baur dengan orang-orang yang ingin melihat pertunjukan wayang dan tari di alun -alun, dan bahkan kemeriahan di tempat lain karena di kademangan dan sekitarnya, beberapa anak-anak muda dengan sengaja berjalan-jalan dari padukuhan yang satu ke padukuhan yang lain.
Selain sekedar untuk mengisi kemeriahan yang bergejolak di dalam hati, di antara mereka terdapat anak-anak muda yang termasuk para prajurit telik sandi yang sedang mengamati keadaan. Sementara itu, di alun –alun Pajang orang-orang telah berjejal-jejal. Mereka ingin melihat pertunjukan yang akan dipertunjukkan di pendapa. Malam ini mereka akan melihat tari topeng yang akan ditarikan oleh beberapa orang dalang yang sebagian adalah orang-orang dari Pajang sendiri. Ketika pertunjukan di pendapa itu dimulai, dua orang yang berada di halaman bergeser surut. Keduanya kemudian berdiri di bagian belakang sambil bersandar pepohonan. Di sebelah-menyebelah mereka, terdapat beberapa orang yang berjualan bermacam-macam makanan.
“Perhelatan yang meriah, Sultan Hadiwijoyo sangat tenang. Berbeda jauh dengan keadaan di Jipang. Dimana –mana anak –anak muda dan para prajurit setiap hari latihan kanuragan dan mengangkat senjata. Di Pajang orang –orang sibuk berpesta pora seolah –olah tidak menggubris jika sewaktu –waktu Jipang dapat saja menggempur dengan pasukan segelar sepapan” desis salah seorang dari keduanya.
“Karebet sangat jumawa.”
Kawannya mengerutkan keningnya. Namun ia pun mengangguk.
“Di ujung perbatasan Pajang, di jalan yang melalui pinggir hutan Jati Jajar itu, utusan dari Pasuruan itu akan disergap sekali lagi oleh Jaran Lanjar yang lengkap dengan pasukan yang besar.”
Kawannya mengangguk-angguk. Katanya, “Mudah-mudahan Jaran Lanjar berhasil, sehingga barangkali aku akan mendapatkan kedudukan sebagai bekel di Jipang.”
“Tetapi jika ia gagal dan tertangkap?”
“Tentu tidak. Ia membawa enam puluh orang. Aku ulangi, enam puluh orang. Kau sadari, berapa besarnya pasukannya kali ini?”
“Jaran Lanjar memang tidak bekerja separuh jalan. Agaknya ia akan berhasil. Belum lagi orang yang bernama Raden Panji itu telah menyuruh orang –orang pilihan dari kelompok Kelabang Ijo untuk bergabung.”
Namun yang seorang tiba-tiba saja berkata, “Tetapi tugas kita akan menjadi berat dan menegangkan jika kita kemudian mengetahui bahwa ternyata pasukan yang terdiri dari enam puluh orang itu gagal, dan Jaran Lanjar dapat ditangkap oleh orang-orang Pajang.”
Wajah kawannya pun tiba-tiba berkerut. Katanya, “Tidak. Hanya jika ada keajaiban yang terjadi, maka orang-orang Pasuruan itu akan selamat.”
Kawannya berpaling. Dengan wajah yang bersungguh-sungguh ia berkata, “Aku belum mengenal seorang demi seorang, siapa sajakah yang menjadi pengiring dari orang –orang Pasuruan itu. Namun nampaknya cukup meyakinkan.”
Yang lain mengangguk-angguk. Katanya, “Tetapi enam puluh orang adalah jumlah yang terlalu besar. Sedang dari prajurit Pajang itu tidak mungkin akan mengawal sampai Pasuruan. Mereka pasti hanya akan mengawal sampai menyebrang hutan Jati Jajar. Bahkan, aku sempat mendengar tadi di pasar bahwa jumlah prajurit itu benar-benar tidak lebih dari dua puluh lima orang.”
“Ya. Betapa pun juga kuatnya yang dua puluh lima orang itu,” desis kawannya.
Demikianlah di pendapa acara yang sudah ditentukan berlangsung terus dengan lancar. Sama sekali tidak ada gangguan yang berarti. Seorang demi seorang peran dari lakon yang berlangsung di pendapa naik dan kemudian turun disusul oleh perari-penari yang lain. Bahkan kadang-kadang beberapa orang berdiri bersama-sama di pendapa dalam adegan-adegan yang mengalir dari awal menjelang akhir.
Para penonton kadang-kadang hanyut dalam arus ceritera yang menawan. Meskipun ceritera itu sudah beberapa kali mereka lihat, namun kadang-kadang mereka masih juga disentuh rasa haru di saat-saat Candrakirana terusir dari istana dan mengembara di hutan-hutan. Dan kebencian pun tidak dapat lagi disembunyikan, sehingga beberapa orang menggeram ketika mereka mendengar Sarah memfitnah puteri yang jelita itu.
“Kenapa kita harus berada di sini selama lima hari?” bertanya yang seorang.
“Kita diperintahkan oleh Jaran Lanjar untuk mengetahui keadaan di Pajang. Apakah Pajang mulai menyusun kekuatan untuk menggulung Haryo Penangsang. Disamping itu bukankah tugas kita juga mengawasi kapan orang –orang dari Pasuruan itu akan kembali. Jaran Lanjar ingin utusan dari Pasuruan itu di hajar sekali lagi sebelum mereka sampai di Pasuruan. Adipati Pasuruan tentu akan marah dan menganggap Pajang tidak becus menjaga keselamatan utusan dari Pasuruan. Sehingga tidak akan ada lagi kepercayaan pada Pajang “
“Tetapi menurut keterangan yang kami terima, hal itu akan dilakukannya di daerah Jati Jajar lagi.”
“Kita tidak tahu, tempat yang Jaran Lanjar pilih dengan tepat. Jaran Lanjar mengetahui bahwa tingkah lakunya selalu diawasi. Mungkin ia akan mengambil sikap yang tidak terduga-duga untuk melepaskan dirinya dari pengawasan yang tentu tidak akan disukainya.”
Dengan demikian, maka keduanya dengan leluasa dapat menjelajahi kademangan di sekitar kotaraja tanpa dicurigai. Disiang hari mereka lewat seperti kebanyakan orang lewat di jalan-jalan raya dan hanyut dalam perhelatan yang dilakukan di alun –alun Pajang. Di malam hari, dalam kelamnya malam mereka merayap mendekati tembok kedaton, dan hilang bercampur baur dengan orang-orang yang ingin melihat pertunjukan wayang dan tari di alun -alun, dan bahkan kemeriahan di tempat lain karena di kademangan dan sekitarnya, beberapa anak-anak muda dengan sengaja berjalan-jalan dari padukuhan yang satu ke padukuhan yang lain.
Selain sekedar untuk mengisi kemeriahan yang bergejolak di dalam hati, di antara mereka terdapat anak-anak muda yang termasuk para prajurit telik sandi yang sedang mengamati keadaan. Sementara itu, di alun –alun Pajang orang-orang telah berjejal-jejal. Mereka ingin melihat pertunjukan yang akan dipertunjukkan di pendapa. Malam ini mereka akan melihat tari topeng yang akan ditarikan oleh beberapa orang dalang yang sebagian adalah orang-orang dari Pajang sendiri. Ketika pertunjukan di pendapa itu dimulai, dua orang yang berada di halaman bergeser surut. Keduanya kemudian berdiri di bagian belakang sambil bersandar pepohonan. Di sebelah-menyebelah mereka, terdapat beberapa orang yang berjualan bermacam-macam makanan.
“Perhelatan yang meriah, Sultan Hadiwijoyo sangat tenang. Berbeda jauh dengan keadaan di Jipang. Dimana –mana anak –anak muda dan para prajurit setiap hari latihan kanuragan dan mengangkat senjata. Di Pajang orang –orang sibuk berpesta pora seolah –olah tidak menggubris jika sewaktu –waktu Jipang dapat saja menggempur dengan pasukan segelar sepapan” desis salah seorang dari keduanya.
“Karebet sangat jumawa.”
Kawannya mengerutkan keningnya. Namun ia pun mengangguk.
“Di ujung perbatasan Pajang, di jalan yang melalui pinggir hutan Jati Jajar itu, utusan dari Pasuruan itu akan disergap sekali lagi oleh Jaran Lanjar yang lengkap dengan pasukan yang besar.”
Kawannya mengangguk-angguk. Katanya, “Mudah-mudahan Jaran Lanjar berhasil, sehingga barangkali aku akan mendapatkan kedudukan sebagai bekel di Jipang.”
“Tetapi jika ia gagal dan tertangkap?”
“Tentu tidak. Ia membawa enam puluh orang. Aku ulangi, enam puluh orang. Kau sadari, berapa besarnya pasukannya kali ini?”
“Jaran Lanjar memang tidak bekerja separuh jalan. Agaknya ia akan berhasil. Belum lagi orang yang bernama Raden Panji itu telah menyuruh orang –orang pilihan dari kelompok Kelabang Ijo untuk bergabung.”
Namun yang seorang tiba-tiba saja berkata, “Tetapi tugas kita akan menjadi berat dan menegangkan jika kita kemudian mengetahui bahwa ternyata pasukan yang terdiri dari enam puluh orang itu gagal, dan Jaran Lanjar dapat ditangkap oleh orang-orang Pajang.”
Wajah kawannya pun tiba-tiba berkerut. Katanya, “Tidak. Hanya jika ada keajaiban yang terjadi, maka orang-orang Pasuruan itu akan selamat.”
Kawannya berpaling. Dengan wajah yang bersungguh-sungguh ia berkata, “Aku belum mengenal seorang demi seorang, siapa sajakah yang menjadi pengiring dari orang –orang Pasuruan itu. Namun nampaknya cukup meyakinkan.”
Yang lain mengangguk-angguk. Katanya, “Tetapi enam puluh orang adalah jumlah yang terlalu besar. Sedang dari prajurit Pajang itu tidak mungkin akan mengawal sampai Pasuruan. Mereka pasti hanya akan mengawal sampai menyebrang hutan Jati Jajar. Bahkan, aku sempat mendengar tadi di pasar bahwa jumlah prajurit itu benar-benar tidak lebih dari dua puluh lima orang.”
“Ya. Betapa pun juga kuatnya yang dua puluh lima orang itu,” desis kawannya.
Demikianlah di pendapa acara yang sudah ditentukan berlangsung terus dengan lancar. Sama sekali tidak ada gangguan yang berarti. Seorang demi seorang peran dari lakon yang berlangsung di pendapa naik dan kemudian turun disusul oleh perari-penari yang lain. Bahkan kadang-kadang beberapa orang berdiri bersama-sama di pendapa dalam adegan-adegan yang mengalir dari awal menjelang akhir.
Para penonton kadang-kadang hanyut dalam arus ceritera yang menawan. Meskipun ceritera itu sudah beberapa kali mereka lihat, namun kadang-kadang mereka masih juga disentuh rasa haru di saat-saat Candrakirana terusir dari istana dan mengembara di hutan-hutan. Dan kebencian pun tidak dapat lagi disembunyikan, sehingga beberapa orang menggeram ketika mereka mendengar Sarah memfitnah puteri yang jelita itu.
Diubah oleh breaking182 01-11-2022 15:57
ashrose dan 17 lainnya memberi reputasi
18
Kutip
Balas