- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
Horor Terseram Gaun Pengantin Berdarah
TS
piendutt
Horor Terseram Gaun Pengantin Berdarah
Quote:
Gaun Pengantin Berdarah
Part 1. Kematian Suhadi
Di sebuah rumah berlantai tiga terlihat seorang pria paruh baya duduk di atas kursi roda. Seorang wanita datang membawa selimut kemudian menyilangkan di pundak pria itu.
"Pakai selimut ini, ya, Pa. Biar nggak kedinginan," ujar wanita yang bernama Aini itu.
"I-i-ya ... Ma," sahut pria itu seraya tertatih-tatih karena penyakit stroke yang ia derita.
Angin dingin berembus menerpa tubuh mereka berdua.
"Sebaiknya kita masuk ke rumah saja, Pa. Terasa dingin di sini," ajak sang istri kemudian segera mendorong kursi roda itu memasuki rumah.
Aini menghentikan laju kursi roda tepat di samping meja makan, sudah tersedia beberapa makanan yang tersaji di atas meja.
"Nyah, ini buburnya sudah siap," ujar Mbok Minah, pembantu di rumah besar itu seraya menyodorkan mangkok besar.
"Makasih, Mbok. Anak-anak sudah berangkat semua, ya?"
"Iya, Nyah. Sudah berangkat semua dari pagi."
Aini dengan sabar menyuapi bubur pada suaminya yang sakit itu. Walau kadang pria itu enggan makan, Aini tetap sabar dan terus membujuknya. Ia berusaha untuk tidak membuat pria yang dicintainya itu marah.
Di suatu malam, saat semua orang sedang tidur terlelap. Terlihat, Aini juga tidur di samping suaminya. Mendadak, sesosok wanita bergaun pengantin yang tubuhnya berlumuran darah sudah berada tepat di samping Suhadi, pria yang terkena stroke itu. Sosok itu mendesis, kemudian menggoyangkan kepalanya. Dengan cepat ia langsung mencekik leher Suhadi hingga pria itu tersentak.
"Arcckk, arckk," ronta pria itu dengan mengibaskan kedua tangannya mencari pertolongan.
Aini terbangun karena sentuhan tangan suaminya, sedangkan sosok bergaun pengantin tadi sudah lenyap entah kemana.
"Papa, kenapa belum tidur?" tanyanya seraya menyalakan lampu di samping ranjang untuk mengecek keadaan.
Aini melihat sang suami kesulitan berbicara, seperti ada yang mengganjal di tenggorokannya.
"Papa mau minum, ya?" Wanita itu berdiri untuk mengambil segelas air yang biasa ia letakkan di samping ranjang Suhadi, tetapi airnya sudah habis.
"Papa tunggu bentar, ya. Mama ambilin air dulu di dapur," ujar wanita itu seraya berlalu meninggalkan ruangan itu.
Suhadi melihat sekeliling, ia merasa sangat ketakutan. Ia mengapit selimut erat-erat. Tiba-tiba angin berembus dengan kencang, sosok wanita bergaun pengantin tadi datang kembali. Kini ia membawa belati di tangan, tatapannya sangat tajam seakan-akan ia sedang marah. Lalu dengan segera, ia mendekati Suhadi dan menghujaninya dengan tusukan di sekujur tubuh pria itu. Suhadi mengerang kesakitan, cairan merah pun sudah menggenangi ranjang yang ia tiduri. Sedangkan sang wanita hanya tersenyum puas menikmati pemandangan itu.
Suhadi langsung memuntahkan darah berwarna hitam dari mulutnya, kemudian tubuhnya terguling ke lantai. Aini yang baru saja kembali dari dapur melihat sang suami jatuh dari ranjang, ia pun ikut panik.
“Astagfirullah, Pa. Kenapa ini? Mbok, Dimas, Dinda, tolongin Mama!” teriak wanita itu meminta pertolongan.
“Maafin ... Papa ... Ma,” ucap pria itu tertatih-tatih. Kemudian, mengembuskan napas terakhir.
“Papa?!” pekik Aini karena terkejut seraya mengguncang tubuh suaminya.
Beberapa orang segera datang. “Ada apa ini, Ma? Apa yang terjadi? Loh, Papa?!” teriak Dimas, anak pertama mereka.
Ya Allah, Nyah. Tuan kenapa ini?” Isak Mbok Minah yang sudah bekerja bersama mereka sejak anak keduanya lahir.
“Papa!” Isak mereka semua menangisi kepergian pria itu.
Keesokan harinya, mobil ambulans dan polisi sudah berada di depan rumah mewah itu. Dokter menyatakan bahwa Suhadi mengalami gagal jantung karena tidak ditemukannya bekas penganiayaan pada tubuhnya. Kemudian, jenazahnya segera dikuburkan bersama-sama. Beberapa warga desa sempat bergunjing di belakang keluarga itu.
“Kasihan, ya? Semuda itu sudah meninggal.”
“Padahal kaya raya, tapi uang tidak bisa menyembuhkan penyakitnya.”
“Entah apa yang menimpa keluarga itu, sangat disayangkan!” gerutu mereka semua.
Aini dan kedua anaknya menangis di pemakaman, mereka sangat terpukul atas kepergian Suhadi untuk selama-lamanya. Dimas pun menangis tersedu-sedu seraya menatap ke sekeliling pepohonan di pinggir kuburan itu. Namun, netranya terhenti di salah satu pohon yang sangat tinggi. Pria itu melihat sosok ayahnya berdiri tegak di depan pohon tersebut.
“Papa,” panggil pria itu.
Tidak lama kemudian, Aini pingsan karena tidak sanggup menahan rasa sesak di dada karena kehilangan pria yang sangat dicintainya.
“Mama, Ma! Bangun, Ma. Kak Dimas, bantuin!” teriak Dinda meminta tolong.
Dimas dan adiknya langsung membawa sang ibu ke rumah sakit, dokter pun langsung memeriksa kondisi tubuhnya. Dokter mengatakan bahwa Aini hanya kelelahan dan butuh banyak istirahat, Dimas pun merasa lega. Kini mereka berdua masih setia menunggu hingga sang ibu siuman.
Tak berapa lama kemudian, Aini pun siuman. Setelah memastikan kondisi sang ibu baik-baik saja, Dimas pun membawa wanita separuh baya tersebut untuk pulang.
Sesampainya di depan rumah, Dimas tersentak karena melihat sesosok pria di lantai dua tepatnya di kamar ibunya. Padahal jelas-jelas tidak ada pria lain yang hidup di rumah itu selain dia dan ayahnya.
“Ayo, masuk, Den!” pinta Mbok Minah yang mengagetkan pria itu.
“Eh, iya, Mbok,” ujar Dimas dan melihat ke lantai dua lagi, tetapi sosok pria tadi sudah lenyap.
Dinda membawa ibunya untuk beristirahat di kamar, begitu pun dengan Dimas yang merasa sangat lelah. Mungkin karena ia belum bisa menerima kepergian sang ayah, makanya pria itu selalu terbayang-bayang sosok ayahnya. Pria itu berbaring sebentar di ranjang agar lelahnya berkurang.
Dimas terbangun di malam hari, ia melihat jam pukul 11:30. Pria itu sampai lupa menunaikan ibadah salat. Ia pergi ke kamar mandi dan ingin berwudu. Pria itu membuka keran air, tetapi ternyata tidak ada air yang keluar sama sekali. “Kenapa tiba-tiba rusak, ya?” gumamnya.
Pria itu menuruni tangga dan ingin ke kamar mandi yang terletak di samping dapur, tetapi ia dikagetkan dengan adiknya yang masih duduk di meja makan.
“Kebiasaan kamu, Din. Kalau malam selalu keluyuran,” ucap pria itu yang tahu kebiasaan adiknya, lalu berjalan menatap wanita itu.
Betapa terkejutnya dia, melihat wajah Dinda dipenuhi belatung dan berdarah. “Astagfirullah, siapa kamu?!” teriak Dimas seraya berjalan mundur.
Lalu wanita itu berdiri dan hendak mencekik Dimas.
“Tidak! Pergi kamu! Jangan dekati aku! Tolong ...! Archh ...!” teriak Dimas langsung terbangun dari tidurnya.
“Ya Allah, Kak. Mimpi apa, sih, sampai teriak-teriak? Cepetan bangun, jangan tidur di waktu Magrib,” pinta Dinda yang saat itu membangunkan kakaknya.
“Astagfirullah al-azim, mimpi apa itu tadi?” gumam Dimas seraya mengatur napasnya kembali.
Pria itu segera berwudu dan pergi ke masjid yang tidak jauh dari rumahnya. Setelah salat, pria itu berjalan kembali ke rumah. Saat melewati sebuah kebun pisang milik tetangga.
Kesrek! Kesrek!
Sebuah suara mengagetkan pria itu.
“Suara apa itu?” gumamnya.
Kesrek! Kesrek!
Lagi-lagi suara itu terdengar, membuat pria berumur 27 tahun yang belum menikah itu penasaran. Ia menatap jauh ke pohon-pohon pisang yang mulai berbuah itu.
Sebuah sosok yang terbalut kain putih tiba-tiba muncul dan langsung menatapnya dengan wajah yang menghitam.
“Woi, Dim!” ujar temannya mengagetkan pria itu.
“Ya Allah, jantungku. Sialan kamu, Ron,” umpat pria itu pada temannya.
“Ngapain kamu mandengin tu pohon pisang? Kamu mau nyolong?” ejeknya.
“Dasar kamu, dikira aku nggak mampu beli apa?” bantah Dimas.
“Udah. Yuk, pulang. Bukannya besok kita harus kerja?” ujar Roni.
“Besok aku belum bisa masuk ke kantor. Kamu urusin dulu, ya. Aku mau dampingin Ibu aku dulu,” sahut Dimas.
“Oke, laksanakan, Bos!” ujar pria itu yang menjabat sebagai wakil manajer di perusahaan Dimas.
Mereka berpisah di persimpangan jalan. Dimas memasuki rumahnya. Entah mengapa kini rumah berlantai tiga itu terlihat sedikit menakutkan. Dimas merasa sering diganggu hal-hal yang tidak bisa dijelaskan oleh akal dan pikiran.
Di meja makan, mereka semua berkumpul.
“Dimas, Mama minta maaf ya karena hal ini, pekerjaan kamu jadi berlipat ganda,” ujar ibunya.
“Mama nggak usah khawatir, yang penting Mama jaga kesehatan, ya,” sahut Dimas.
“Bentar lagi kan aku juga udah mau lulus, Ma. Ntar aku bantuin Kak Dimas, deh.” Celetuk Dinda.
“Kamu mau bantuin apa? Main mulu kerjaannya,” bantah Dimas.
“Aku kan juga bisa serius, Kak,” ucap wanita itu tak mau kalah.
Aini hanya menggeleng melihat kedua anaknya berdebat.
Bersambung.
Lalu, bagaimana kelanjutannya. Tunggu di thread selanjutnya. Ramaikan thread ini biar Ratu Horor cepat-cepat melanjutkan ceritanya sampai tamat. 😎
Written : Piendutt
Sumber : Opini pribadi
Part selanjutnya 👇
Part 2. Dihantui Terus Menerus
Part 3. Bertemu Sang Penyelamat
Part 4. Berkunjung ke Rumah Dinda
Part 5. Fakta Dibalik Buku Harian
Part 6. Menjenguk Aini
Part 7. Dikejar Setan
Part 8. Melawan Arwah Gaun Pengantin
Part 9. Bantuan dari Herman
Part 1. Kematian Suhadi
Di sebuah rumah berlantai tiga terlihat seorang pria paruh baya duduk di atas kursi roda. Seorang wanita datang membawa selimut kemudian menyilangkan di pundak pria itu.
"Pakai selimut ini, ya, Pa. Biar nggak kedinginan," ujar wanita yang bernama Aini itu.
"I-i-ya ... Ma," sahut pria itu seraya tertatih-tatih karena penyakit stroke yang ia derita.
Angin dingin berembus menerpa tubuh mereka berdua.
"Sebaiknya kita masuk ke rumah saja, Pa. Terasa dingin di sini," ajak sang istri kemudian segera mendorong kursi roda itu memasuki rumah.
Aini menghentikan laju kursi roda tepat di samping meja makan, sudah tersedia beberapa makanan yang tersaji di atas meja.
"Nyah, ini buburnya sudah siap," ujar Mbok Minah, pembantu di rumah besar itu seraya menyodorkan mangkok besar.
"Makasih, Mbok. Anak-anak sudah berangkat semua, ya?"
"Iya, Nyah. Sudah berangkat semua dari pagi."
Aini dengan sabar menyuapi bubur pada suaminya yang sakit itu. Walau kadang pria itu enggan makan, Aini tetap sabar dan terus membujuknya. Ia berusaha untuk tidak membuat pria yang dicintainya itu marah.
Di suatu malam, saat semua orang sedang tidur terlelap. Terlihat, Aini juga tidur di samping suaminya. Mendadak, sesosok wanita bergaun pengantin yang tubuhnya berlumuran darah sudah berada tepat di samping Suhadi, pria yang terkena stroke itu. Sosok itu mendesis, kemudian menggoyangkan kepalanya. Dengan cepat ia langsung mencekik leher Suhadi hingga pria itu tersentak.
"Arcckk, arckk," ronta pria itu dengan mengibaskan kedua tangannya mencari pertolongan.
Aini terbangun karena sentuhan tangan suaminya, sedangkan sosok bergaun pengantin tadi sudah lenyap entah kemana.
"Papa, kenapa belum tidur?" tanyanya seraya menyalakan lampu di samping ranjang untuk mengecek keadaan.
Aini melihat sang suami kesulitan berbicara, seperti ada yang mengganjal di tenggorokannya.
"Papa mau minum, ya?" Wanita itu berdiri untuk mengambil segelas air yang biasa ia letakkan di samping ranjang Suhadi, tetapi airnya sudah habis.
"Papa tunggu bentar, ya. Mama ambilin air dulu di dapur," ujar wanita itu seraya berlalu meninggalkan ruangan itu.
Suhadi melihat sekeliling, ia merasa sangat ketakutan. Ia mengapit selimut erat-erat. Tiba-tiba angin berembus dengan kencang, sosok wanita bergaun pengantin tadi datang kembali. Kini ia membawa belati di tangan, tatapannya sangat tajam seakan-akan ia sedang marah. Lalu dengan segera, ia mendekati Suhadi dan menghujaninya dengan tusukan di sekujur tubuh pria itu. Suhadi mengerang kesakitan, cairan merah pun sudah menggenangi ranjang yang ia tiduri. Sedangkan sang wanita hanya tersenyum puas menikmati pemandangan itu.
Suhadi langsung memuntahkan darah berwarna hitam dari mulutnya, kemudian tubuhnya terguling ke lantai. Aini yang baru saja kembali dari dapur melihat sang suami jatuh dari ranjang, ia pun ikut panik.
“Astagfirullah, Pa. Kenapa ini? Mbok, Dimas, Dinda, tolongin Mama!” teriak wanita itu meminta pertolongan.
“Maafin ... Papa ... Ma,” ucap pria itu tertatih-tatih. Kemudian, mengembuskan napas terakhir.
“Papa?!” pekik Aini karena terkejut seraya mengguncang tubuh suaminya.
Beberapa orang segera datang. “Ada apa ini, Ma? Apa yang terjadi? Loh, Papa?!” teriak Dimas, anak pertama mereka.
Ya Allah, Nyah. Tuan kenapa ini?” Isak Mbok Minah yang sudah bekerja bersama mereka sejak anak keduanya lahir.
“Papa!” Isak mereka semua menangisi kepergian pria itu.
Keesokan harinya, mobil ambulans dan polisi sudah berada di depan rumah mewah itu. Dokter menyatakan bahwa Suhadi mengalami gagal jantung karena tidak ditemukannya bekas penganiayaan pada tubuhnya. Kemudian, jenazahnya segera dikuburkan bersama-sama. Beberapa warga desa sempat bergunjing di belakang keluarga itu.
“Kasihan, ya? Semuda itu sudah meninggal.”
“Padahal kaya raya, tapi uang tidak bisa menyembuhkan penyakitnya.”
“Entah apa yang menimpa keluarga itu, sangat disayangkan!” gerutu mereka semua.
Aini dan kedua anaknya menangis di pemakaman, mereka sangat terpukul atas kepergian Suhadi untuk selama-lamanya. Dimas pun menangis tersedu-sedu seraya menatap ke sekeliling pepohonan di pinggir kuburan itu. Namun, netranya terhenti di salah satu pohon yang sangat tinggi. Pria itu melihat sosok ayahnya berdiri tegak di depan pohon tersebut.
“Papa,” panggil pria itu.
Tidak lama kemudian, Aini pingsan karena tidak sanggup menahan rasa sesak di dada karena kehilangan pria yang sangat dicintainya.
“Mama, Ma! Bangun, Ma. Kak Dimas, bantuin!” teriak Dinda meminta tolong.
Dimas dan adiknya langsung membawa sang ibu ke rumah sakit, dokter pun langsung memeriksa kondisi tubuhnya. Dokter mengatakan bahwa Aini hanya kelelahan dan butuh banyak istirahat, Dimas pun merasa lega. Kini mereka berdua masih setia menunggu hingga sang ibu siuman.
Tak berapa lama kemudian, Aini pun siuman. Setelah memastikan kondisi sang ibu baik-baik saja, Dimas pun membawa wanita separuh baya tersebut untuk pulang.
Sesampainya di depan rumah, Dimas tersentak karena melihat sesosok pria di lantai dua tepatnya di kamar ibunya. Padahal jelas-jelas tidak ada pria lain yang hidup di rumah itu selain dia dan ayahnya.
“Ayo, masuk, Den!” pinta Mbok Minah yang mengagetkan pria itu.
“Eh, iya, Mbok,” ujar Dimas dan melihat ke lantai dua lagi, tetapi sosok pria tadi sudah lenyap.
Dinda membawa ibunya untuk beristirahat di kamar, begitu pun dengan Dimas yang merasa sangat lelah. Mungkin karena ia belum bisa menerima kepergian sang ayah, makanya pria itu selalu terbayang-bayang sosok ayahnya. Pria itu berbaring sebentar di ranjang agar lelahnya berkurang.
Dimas terbangun di malam hari, ia melihat jam pukul 11:30. Pria itu sampai lupa menunaikan ibadah salat. Ia pergi ke kamar mandi dan ingin berwudu. Pria itu membuka keran air, tetapi ternyata tidak ada air yang keluar sama sekali. “Kenapa tiba-tiba rusak, ya?” gumamnya.
Pria itu menuruni tangga dan ingin ke kamar mandi yang terletak di samping dapur, tetapi ia dikagetkan dengan adiknya yang masih duduk di meja makan.
“Kebiasaan kamu, Din. Kalau malam selalu keluyuran,” ucap pria itu yang tahu kebiasaan adiknya, lalu berjalan menatap wanita itu.
Betapa terkejutnya dia, melihat wajah Dinda dipenuhi belatung dan berdarah. “Astagfirullah, siapa kamu?!” teriak Dimas seraya berjalan mundur.
Lalu wanita itu berdiri dan hendak mencekik Dimas.
“Tidak! Pergi kamu! Jangan dekati aku! Tolong ...! Archh ...!” teriak Dimas langsung terbangun dari tidurnya.
“Ya Allah, Kak. Mimpi apa, sih, sampai teriak-teriak? Cepetan bangun, jangan tidur di waktu Magrib,” pinta Dinda yang saat itu membangunkan kakaknya.
“Astagfirullah al-azim, mimpi apa itu tadi?” gumam Dimas seraya mengatur napasnya kembali.
Pria itu segera berwudu dan pergi ke masjid yang tidak jauh dari rumahnya. Setelah salat, pria itu berjalan kembali ke rumah. Saat melewati sebuah kebun pisang milik tetangga.
Kesrek! Kesrek!
Sebuah suara mengagetkan pria itu.
“Suara apa itu?” gumamnya.
Kesrek! Kesrek!
Lagi-lagi suara itu terdengar, membuat pria berumur 27 tahun yang belum menikah itu penasaran. Ia menatap jauh ke pohon-pohon pisang yang mulai berbuah itu.
Sebuah sosok yang terbalut kain putih tiba-tiba muncul dan langsung menatapnya dengan wajah yang menghitam.
“Woi, Dim!” ujar temannya mengagetkan pria itu.
“Ya Allah, jantungku. Sialan kamu, Ron,” umpat pria itu pada temannya.
“Ngapain kamu mandengin tu pohon pisang? Kamu mau nyolong?” ejeknya.
“Dasar kamu, dikira aku nggak mampu beli apa?” bantah Dimas.
“Udah. Yuk, pulang. Bukannya besok kita harus kerja?” ujar Roni.
“Besok aku belum bisa masuk ke kantor. Kamu urusin dulu, ya. Aku mau dampingin Ibu aku dulu,” sahut Dimas.
“Oke, laksanakan, Bos!” ujar pria itu yang menjabat sebagai wakil manajer di perusahaan Dimas.
Mereka berpisah di persimpangan jalan. Dimas memasuki rumahnya. Entah mengapa kini rumah berlantai tiga itu terlihat sedikit menakutkan. Dimas merasa sering diganggu hal-hal yang tidak bisa dijelaskan oleh akal dan pikiran.
Di meja makan, mereka semua berkumpul.
“Dimas, Mama minta maaf ya karena hal ini, pekerjaan kamu jadi berlipat ganda,” ujar ibunya.
“Mama nggak usah khawatir, yang penting Mama jaga kesehatan, ya,” sahut Dimas.
“Bentar lagi kan aku juga udah mau lulus, Ma. Ntar aku bantuin Kak Dimas, deh.” Celetuk Dinda.
“Kamu mau bantuin apa? Main mulu kerjaannya,” bantah Dimas.
“Aku kan juga bisa serius, Kak,” ucap wanita itu tak mau kalah.
Aini hanya menggeleng melihat kedua anaknya berdebat.
Bersambung.
Lalu, bagaimana kelanjutannya. Tunggu di thread selanjutnya. Ramaikan thread ini biar Ratu Horor cepat-cepat melanjutkan ceritanya sampai tamat. 😎
Written : Piendutt
Sumber : Opini pribadi
Part selanjutnya 👇
Part 2. Dihantui Terus Menerus
Part 3. Bertemu Sang Penyelamat
Part 4. Berkunjung ke Rumah Dinda
Part 5. Fakta Dibalik Buku Harian
Part 6. Menjenguk Aini
Part 7. Dikejar Setan
Part 8. Melawan Arwah Gaun Pengantin
Part 9. Bantuan dari Herman
Diubah oleh piendutt 08-11-2022 09:17
motherparker699 dan 16 lainnya memberi reputasi
15
7.4K
Kutip
92
Balasan
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
TS
piendutt
#23
Gaun Pengantin Berdarah
Quote:
Part 3. Bertemu Sang Penyelamat
Dinda tersadar dari pingsan. “Tidaakk! Jauhi aku!” teriaknya seketika.
“Kamu sudah bangun?” tanya Afgan.
“Bukannya kamu cowok yang aku tabrak di perpus tadi, ya?” tanya Dinda balik.
Pria itu mengangguk, lalu memberi wanita itu sebotol air putih. “Minum ini, biar agak tenang pikiranmu,” pinta pria itu.
Dinda segera minum dan tampak melihat sekeliling. Wanita itu masih ketakutan.
“Nggak usah takut, mereka udah pergi, kok,” ujar Afgan tiba-tiba.
“Jadi, kamu juga bisa melihat mereka?” tanya Dinda.
“Iya, sejak kecil aku sudah bisa melihat mereka, jadi aku sudah biasa,” sahut pria itu.
“Tapi kenapa mereka mendatangiku? Aku nggak pernah buat masalah dengan mereka,” isak Dinda seraya merunduk lesu.
“Biasanya, jika ada arwah yang menghantui manusia, itu berarti ada sebuah keterkaitan,” sahut Afgan.
“Maksudnya apa? Aku belum paham.”
“Kalau nggak balas dendam, ya, bisa juga kiriman orang lain, hanya dua kemungkinan itu,” jelas Afgan.
Dinda merasa masih tidak percaya.
'Dendam ... aneh. Siapa juga yang punya dendam sama aku,' batinnya berkata.
Beberapa saat kemudian, ponsel Dinda berbunyi. “Iya, La. Ini aku di ruang kesehatan.”
“Kalau gitu aku pergi, ya. Temen kamu mau datang, ‘kan?” ucap Afgan seraya ingin pergi, tetapi wanita itu menahannya.
“Bisakah kamu menunggu sebentar lagi di sini? Aku takut,” ujar Dinda memelas dengan mata berkaca-kaca.
Afgan menghela napas. “Ya, udah, deh.”
Mereka diam beberapa saat.
“Nama kamu siapa?” tanya Dinda memecahkan keheningan.
“Namaku Afgan, kalau namamu?”
“Aku Dinda,” sahut wanita itu.
Mendadak Lala datang. “Dinda! Din, di mana kamu?” teriak wanita itu memanggil temannya, lalu membuka tirai korden di sana.
“Lala,” ucap Dinda.
Lala segera memeluk temannya tersebut, wanita itu lantas menatap ke pria yang duduk di samping ranjang.
“Afgan, ngapain kamu di sini?” tanya Lala.
“Oh, kalian udah saling kenal, ya?” tanya Dinda.
“Ehm, kalau gitu aku pergi, ya,” ujar pria itu.
“Makasih, ya, Gan,” ucap Dinda.
Pria itu mengangguk dan pergi dari sana.
“Kamu kenapa lagi, Din? Bikin kaget aja,” ujar Lala.
“Oh, cuman sakit perut biasa, kok. Makasih udah mau ke sini,” sahut Dinda berbohong.
***
Aini sedang membereskan barang-barang milik suaminya, lalu ia melihat ada sebuah buku diari yang dikunci di sana.
“Isinya apa, ya?” gumam wanita itu penasaran.
Brakk!!
Mendadak suara pintu mengagetkan wanita berkerudung itu. “Siapa itu?” tanyanya seraya melihat keluar kamar, tetapi ternyata tak ada siapa pun.
Tiba-tiba embusan angin melewati tubuh wanita itu. Bulu kuduknya langsung berdiri. “Kenapa ada angin, ya?” gumam wanita itu tersebut kembali menutup pintu.
Saat ia melihat cermin yang tergantung di dinding kamarnya, sesosok wanita yang matanya berdarah berdiri tepat di belakang Aini.
“Astagfirullah, siapa itu?” Aini seraya berbalik mencari sosok wanita tadi. Namun, tak ada siapa pun.
Aini duduk di kursi seraya mengatur napasnya. Mendadak air keran di kamar mandi terbuka sendiri. Lantas wanita itu berjalan memasuki kamar mandi dan menutup keran itu.
Aini berbalik ingin berjalan, tetapi keran itu kembali terbuka. Wanita tersebut mulai merinding. Ia merasakan ada sesuatu yang aneh di kamar itu.
Wanita itu berbalik dan mematikan keran itu lagi. Mendadak pundaknya dipegang seseorang.
“Nyah,” panggil Mbok Minah.
“Ya Allah, Mbok. Bikin kaget aja,” ujar Aini seraya mengatur napas.
“Maaf, Nyah. Itu buburnya udah mateng. Ayo, makan dulu,” pinta Mbok Minah.
“Iya, Mbok, ayo,” sahut Aini dan menggandeng Mbok Minah agar meninggalkan kamar itu.
***
Di meja makan.
“Mbok, apa perlu kita pindah ke rumah yang lebih kecil aja, ya? Sepertinya rumah ini terlalu besar,” keluh wanita itu.
“Loh? Kenapa, Nyah? Bukannya rumah ini mahar pemberian dari Tuan? Apa Nyonya nggak papa kalau rumah ini dijual?” sahut Mbok Minah.
Aini menghela napas. “Entahlah, Mbok. Aku juga bingung,” ucap wanita itu seraya menyendok bubur.
***
Di kantor, Dimas masih sibuk mengetik, ada beberapa file yang harus ia selesaikan saat itu juga.
Gisel datang menemui pria itu. “Kok, kamu belum pulang, Dim? Udah malam, nih,” ujar wanita itu.
“Bentar lagi, ya. Kamu pulang aja dulu,” ujar Dimas.
“Hem, ya udah,” sahut Gisel dan ingin pergi, mendadak tangannya ditarik Dimas. Pria itu langsung memeluk tubuh kekasihnya itu.
“Maaf, karena akhir-akhir ini aku terlalu sibuk. Jangan marah, ya,” ujar Dimas seraya bermanja-manja di leher kekasihnya.
Wanita itu membelai rambut Dimas. “Iya, aku ngerti, kok. Udah sana, cepet selesain urusan kamu, terus langsung pulang, ya,” pinta wanita itu.
“Siap, Bos,” ujar pria itu seraya mengecup pipi Gisel.
Gisel tersenyum dan meninggalkan tempat itu.
Dimas meneruskan pekerjaannya lagi hingga pria itu lupa waktu. Ia melihat jam dinding sudah pukul sembilan malam dan semua pegawai di sana sudah pulang.
“Haduh, aku telat pulang ini,” ujar pria itu seraya membereskan barang-barang.
Mendadak lampu di kantornya langsung padam. “Haduh, kenapa lagi ini?” gumam pria itu seraya mengeluarkan ponsel dan menyalakan senter dari benda itu.
Ia menyalakan sakelar, tetapi tak menyala. “Apa mungkin konslet, ya?” gumam pria itu.
Sekelebat bayangan baru saja melintas.
“Siapa itu?” tanya Dimas seraya mengarahkan senter ke depan, tetapi tak ada apa pun, hanya bangku kosong milik para pegawai yang terlihat.
Dimas segera berjalan dan ingin keluar dari tempat itu. Cahaya senternya menyinari ruang kerja yang kini tak berpenghuni itu. Mendadak sinar senternya seperti menyinari sesuatu berwarna putih.
“Apa itu, ya?” gumam Dimas dan kembali ke tempat semula, tetapi tak ada apa pun. Pria itu berdiri melihat sekeliling yang gelap gulita. Tiba-tiba ia merasa sesuatu sedang berdiri di samping tubuhnya.
Bulu kuduknya berdiri dan perlahan pria itu berbalik sambil menyinari sesuatu itu. Betapa kagetnya dia melihat sesosok pocong sudah berdiri dengan mukanya yang dipenuhi belatung.
“Archhh!” teriak pria itu dan segera berlari meninggalkan kantornya. Ia memencet lift beberapa kali, tetapi lift itu tak mau tertutup. Pocong itu melompat beberapa kali dan sudah hampir sampai ke depan lift.
“Ya Allah, tolong bantu aku, ya Allah,” ucap Dimas dengan sangat cemas.
Akhirnya lift itu pun menutup. Pria itu bisa bernapas dengan lega. Saat lift terbuka, Dimas segera berlari ke parkiran mobil dan pergi meninggalkan tempat itu.
Bersambung.
Dinda tersadar dari pingsan. “Tidaakk! Jauhi aku!” teriaknya seketika.
“Kamu sudah bangun?” tanya Afgan.
“Bukannya kamu cowok yang aku tabrak di perpus tadi, ya?” tanya Dinda balik.
Pria itu mengangguk, lalu memberi wanita itu sebotol air putih. “Minum ini, biar agak tenang pikiranmu,” pinta pria itu.
Dinda segera minum dan tampak melihat sekeliling. Wanita itu masih ketakutan.
“Nggak usah takut, mereka udah pergi, kok,” ujar Afgan tiba-tiba.
“Jadi, kamu juga bisa melihat mereka?” tanya Dinda.
“Iya, sejak kecil aku sudah bisa melihat mereka, jadi aku sudah biasa,” sahut pria itu.
“Tapi kenapa mereka mendatangiku? Aku nggak pernah buat masalah dengan mereka,” isak Dinda seraya merunduk lesu.
“Biasanya, jika ada arwah yang menghantui manusia, itu berarti ada sebuah keterkaitan,” sahut Afgan.
“Maksudnya apa? Aku belum paham.”
“Kalau nggak balas dendam, ya, bisa juga kiriman orang lain, hanya dua kemungkinan itu,” jelas Afgan.
Dinda merasa masih tidak percaya.
'Dendam ... aneh. Siapa juga yang punya dendam sama aku,' batinnya berkata.
Beberapa saat kemudian, ponsel Dinda berbunyi. “Iya, La. Ini aku di ruang kesehatan.”
“Kalau gitu aku pergi, ya. Temen kamu mau datang, ‘kan?” ucap Afgan seraya ingin pergi, tetapi wanita itu menahannya.
“Bisakah kamu menunggu sebentar lagi di sini? Aku takut,” ujar Dinda memelas dengan mata berkaca-kaca.
Afgan menghela napas. “Ya, udah, deh.”
Mereka diam beberapa saat.
“Nama kamu siapa?” tanya Dinda memecahkan keheningan.
“Namaku Afgan, kalau namamu?”
“Aku Dinda,” sahut wanita itu.
Mendadak Lala datang. “Dinda! Din, di mana kamu?” teriak wanita itu memanggil temannya, lalu membuka tirai korden di sana.
“Lala,” ucap Dinda.
Lala segera memeluk temannya tersebut, wanita itu lantas menatap ke pria yang duduk di samping ranjang.
“Afgan, ngapain kamu di sini?” tanya Lala.
“Oh, kalian udah saling kenal, ya?” tanya Dinda.
“Ehm, kalau gitu aku pergi, ya,” ujar pria itu.
“Makasih, ya, Gan,” ucap Dinda.
Pria itu mengangguk dan pergi dari sana.
“Kamu kenapa lagi, Din? Bikin kaget aja,” ujar Lala.
“Oh, cuman sakit perut biasa, kok. Makasih udah mau ke sini,” sahut Dinda berbohong.
***
Aini sedang membereskan barang-barang milik suaminya, lalu ia melihat ada sebuah buku diari yang dikunci di sana.
“Isinya apa, ya?” gumam wanita itu penasaran.
Brakk!!
Mendadak suara pintu mengagetkan wanita berkerudung itu. “Siapa itu?” tanyanya seraya melihat keluar kamar, tetapi ternyata tak ada siapa pun.
Tiba-tiba embusan angin melewati tubuh wanita itu. Bulu kuduknya langsung berdiri. “Kenapa ada angin, ya?” gumam wanita itu tersebut kembali menutup pintu.
Saat ia melihat cermin yang tergantung di dinding kamarnya, sesosok wanita yang matanya berdarah berdiri tepat di belakang Aini.
“Astagfirullah, siapa itu?” Aini seraya berbalik mencari sosok wanita tadi. Namun, tak ada siapa pun.
Aini duduk di kursi seraya mengatur napasnya. Mendadak air keran di kamar mandi terbuka sendiri. Lantas wanita itu berjalan memasuki kamar mandi dan menutup keran itu.
Aini berbalik ingin berjalan, tetapi keran itu kembali terbuka. Wanita tersebut mulai merinding. Ia merasakan ada sesuatu yang aneh di kamar itu.
Wanita itu berbalik dan mematikan keran itu lagi. Mendadak pundaknya dipegang seseorang.
“Nyah,” panggil Mbok Minah.
“Ya Allah, Mbok. Bikin kaget aja,” ujar Aini seraya mengatur napas.
“Maaf, Nyah. Itu buburnya udah mateng. Ayo, makan dulu,” pinta Mbok Minah.
“Iya, Mbok, ayo,” sahut Aini dan menggandeng Mbok Minah agar meninggalkan kamar itu.
***
Di meja makan.
“Mbok, apa perlu kita pindah ke rumah yang lebih kecil aja, ya? Sepertinya rumah ini terlalu besar,” keluh wanita itu.
“Loh? Kenapa, Nyah? Bukannya rumah ini mahar pemberian dari Tuan? Apa Nyonya nggak papa kalau rumah ini dijual?” sahut Mbok Minah.
Aini menghela napas. “Entahlah, Mbok. Aku juga bingung,” ucap wanita itu seraya menyendok bubur.
***
Di kantor, Dimas masih sibuk mengetik, ada beberapa file yang harus ia selesaikan saat itu juga.
Gisel datang menemui pria itu. “Kok, kamu belum pulang, Dim? Udah malam, nih,” ujar wanita itu.
“Bentar lagi, ya. Kamu pulang aja dulu,” ujar Dimas.
“Hem, ya udah,” sahut Gisel dan ingin pergi, mendadak tangannya ditarik Dimas. Pria itu langsung memeluk tubuh kekasihnya itu.
“Maaf, karena akhir-akhir ini aku terlalu sibuk. Jangan marah, ya,” ujar Dimas seraya bermanja-manja di leher kekasihnya.
Wanita itu membelai rambut Dimas. “Iya, aku ngerti, kok. Udah sana, cepet selesain urusan kamu, terus langsung pulang, ya,” pinta wanita itu.
“Siap, Bos,” ujar pria itu seraya mengecup pipi Gisel.
Gisel tersenyum dan meninggalkan tempat itu.
Dimas meneruskan pekerjaannya lagi hingga pria itu lupa waktu. Ia melihat jam dinding sudah pukul sembilan malam dan semua pegawai di sana sudah pulang.
“Haduh, aku telat pulang ini,” ujar pria itu seraya membereskan barang-barang.
Mendadak lampu di kantornya langsung padam. “Haduh, kenapa lagi ini?” gumam pria itu seraya mengeluarkan ponsel dan menyalakan senter dari benda itu.
Ia menyalakan sakelar, tetapi tak menyala. “Apa mungkin konslet, ya?” gumam pria itu.
Sekelebat bayangan baru saja melintas.
“Siapa itu?” tanya Dimas seraya mengarahkan senter ke depan, tetapi tak ada apa pun, hanya bangku kosong milik para pegawai yang terlihat.
Dimas segera berjalan dan ingin keluar dari tempat itu. Cahaya senternya menyinari ruang kerja yang kini tak berpenghuni itu. Mendadak sinar senternya seperti menyinari sesuatu berwarna putih.
“Apa itu, ya?” gumam Dimas dan kembali ke tempat semula, tetapi tak ada apa pun. Pria itu berdiri melihat sekeliling yang gelap gulita. Tiba-tiba ia merasa sesuatu sedang berdiri di samping tubuhnya.
Bulu kuduknya berdiri dan perlahan pria itu berbalik sambil menyinari sesuatu itu. Betapa kagetnya dia melihat sesosok pocong sudah berdiri dengan mukanya yang dipenuhi belatung.
“Archhh!” teriak pria itu dan segera berlari meninggalkan kantornya. Ia memencet lift beberapa kali, tetapi lift itu tak mau tertutup. Pocong itu melompat beberapa kali dan sudah hampir sampai ke depan lift.
“Ya Allah, tolong bantu aku, ya Allah,” ucap Dimas dengan sangat cemas.
Akhirnya lift itu pun menutup. Pria itu bisa bernapas dengan lega. Saat lift terbuka, Dimas segera berlari ke parkiran mobil dan pergi meninggalkan tempat itu.
Bersambung.
simounlebon dan azznay memberi reputasi
2
Kutip
Balas
Tutup