- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
Horor Terseram Gaun Pengantin Berdarah


TS
piendutt
Horor Terseram Gaun Pengantin Berdarah

Quote:
Gaun Pengantin Berdarah
Part 1. Kematian Suhadi
Di sebuah rumah berlantai tiga terlihat seorang pria paruh baya duduk di atas kursi roda. Seorang wanita datang membawa selimut kemudian menyilangkan di pundak pria itu.
"Pakai selimut ini, ya, Pa. Biar nggak kedinginan," ujar wanita yang bernama Aini itu.
"I-i-ya ... Ma," sahut pria itu seraya tertatih-tatih karena penyakit stroke yang ia derita.
Angin dingin berembus menerpa tubuh mereka berdua.
"Sebaiknya kita masuk ke rumah saja, Pa. Terasa dingin di sini," ajak sang istri kemudian segera mendorong kursi roda itu memasuki rumah.
Aini menghentikan laju kursi roda tepat di samping meja makan, sudah tersedia beberapa makanan yang tersaji di atas meja.
"Nyah, ini buburnya sudah siap," ujar Mbok Minah, pembantu di rumah besar itu seraya menyodorkan mangkok besar.
"Makasih, Mbok. Anak-anak sudah berangkat semua, ya?"
"Iya, Nyah. Sudah berangkat semua dari pagi."
Aini dengan sabar menyuapi bubur pada suaminya yang sakit itu. Walau kadang pria itu enggan makan, Aini tetap sabar dan terus membujuknya. Ia berusaha untuk tidak membuat pria yang dicintainya itu marah.
Di suatu malam, saat semua orang sedang tidur terlelap. Terlihat, Aini juga tidur di samping suaminya. Mendadak, sesosok wanita bergaun pengantin yang tubuhnya berlumuran darah sudah berada tepat di samping Suhadi, pria yang terkena stroke itu. Sosok itu mendesis, kemudian menggoyangkan kepalanya. Dengan cepat ia langsung mencekik leher Suhadi hingga pria itu tersentak.
"Arcckk, arckk," ronta pria itu dengan mengibaskan kedua tangannya mencari pertolongan.
Aini terbangun karena sentuhan tangan suaminya, sedangkan sosok bergaun pengantin tadi sudah lenyap entah kemana.
"Papa, kenapa belum tidur?" tanyanya seraya menyalakan lampu di samping ranjang untuk mengecek keadaan.
Aini melihat sang suami kesulitan berbicara, seperti ada yang mengganjal di tenggorokannya.
"Papa mau minum, ya?" Wanita itu berdiri untuk mengambil segelas air yang biasa ia letakkan di samping ranjang Suhadi, tetapi airnya sudah habis.
"Papa tunggu bentar, ya. Mama ambilin air dulu di dapur," ujar wanita itu seraya berlalu meninggalkan ruangan itu.
Suhadi melihat sekeliling, ia merasa sangat ketakutan. Ia mengapit selimut erat-erat. Tiba-tiba angin berembus dengan kencang, sosok wanita bergaun pengantin tadi datang kembali. Kini ia membawa belati di tangan, tatapannya sangat tajam seakan-akan ia sedang marah. Lalu dengan segera, ia mendekati Suhadi dan menghujaninya dengan tusukan di sekujur tubuh pria itu. Suhadi mengerang kesakitan, cairan merah pun sudah menggenangi ranjang yang ia tiduri. Sedangkan sang wanita hanya tersenyum puas menikmati pemandangan itu.
Suhadi langsung memuntahkan darah berwarna hitam dari mulutnya, kemudian tubuhnya terguling ke lantai. Aini yang baru saja kembali dari dapur melihat sang suami jatuh dari ranjang, ia pun ikut panik.
“Astagfirullah, Pa. Kenapa ini? Mbok, Dimas, Dinda, tolongin Mama!” teriak wanita itu meminta pertolongan.
“Maafin ... Papa ... Ma,” ucap pria itu tertatih-tatih. Kemudian, mengembuskan napas terakhir.
“Papa?!” pekik Aini karena terkejut seraya mengguncang tubuh suaminya.
Beberapa orang segera datang. “Ada apa ini, Ma? Apa yang terjadi? Loh, Papa?!” teriak Dimas, anak pertama mereka.
Ya Allah, Nyah. Tuan kenapa ini?” Isak Mbok Minah yang sudah bekerja bersama mereka sejak anak keduanya lahir.
“Papa!” Isak mereka semua menangisi kepergian pria itu.
Keesokan harinya, mobil ambulans dan polisi sudah berada di depan rumah mewah itu. Dokter menyatakan bahwa Suhadi mengalami gagal jantung karena tidak ditemukannya bekas penganiayaan pada tubuhnya. Kemudian, jenazahnya segera dikuburkan bersama-sama. Beberapa warga desa sempat bergunjing di belakang keluarga itu.
“Kasihan, ya? Semuda itu sudah meninggal.”
“Padahal kaya raya, tapi uang tidak bisa menyembuhkan penyakitnya.”
“Entah apa yang menimpa keluarga itu, sangat disayangkan!” gerutu mereka semua.
Aini dan kedua anaknya menangis di pemakaman, mereka sangat terpukul atas kepergian Suhadi untuk selama-lamanya. Dimas pun menangis tersedu-sedu seraya menatap ke sekeliling pepohonan di pinggir kuburan itu. Namun, netranya terhenti di salah satu pohon yang sangat tinggi. Pria itu melihat sosok ayahnya berdiri tegak di depan pohon tersebut.
“Papa,” panggil pria itu.
Tidak lama kemudian, Aini pingsan karena tidak sanggup menahan rasa sesak di dada karena kehilangan pria yang sangat dicintainya.
“Mama, Ma! Bangun, Ma. Kak Dimas, bantuin!” teriak Dinda meminta tolong.
Dimas dan adiknya langsung membawa sang ibu ke rumah sakit, dokter pun langsung memeriksa kondisi tubuhnya. Dokter mengatakan bahwa Aini hanya kelelahan dan butuh banyak istirahat, Dimas pun merasa lega. Kini mereka berdua masih setia menunggu hingga sang ibu siuman.
Tak berapa lama kemudian, Aini pun siuman. Setelah memastikan kondisi sang ibu baik-baik saja, Dimas pun membawa wanita separuh baya tersebut untuk pulang.
Sesampainya di depan rumah, Dimas tersentak karena melihat sesosok pria di lantai dua tepatnya di kamar ibunya. Padahal jelas-jelas tidak ada pria lain yang hidup di rumah itu selain dia dan ayahnya.
“Ayo, masuk, Den!” pinta Mbok Minah yang mengagetkan pria itu.
“Eh, iya, Mbok,” ujar Dimas dan melihat ke lantai dua lagi, tetapi sosok pria tadi sudah lenyap.
Dinda membawa ibunya untuk beristirahat di kamar, begitu pun dengan Dimas yang merasa sangat lelah. Mungkin karena ia belum bisa menerima kepergian sang ayah, makanya pria itu selalu terbayang-bayang sosok ayahnya. Pria itu berbaring sebentar di ranjang agar lelahnya berkurang.
Dimas terbangun di malam hari, ia melihat jam pukul 11:30. Pria itu sampai lupa menunaikan ibadah salat. Ia pergi ke kamar mandi dan ingin berwudu. Pria itu membuka keran air, tetapi ternyata tidak ada air yang keluar sama sekali. “Kenapa tiba-tiba rusak, ya?” gumamnya.
Pria itu menuruni tangga dan ingin ke kamar mandi yang terletak di samping dapur, tetapi ia dikagetkan dengan adiknya yang masih duduk di meja makan.
“Kebiasaan kamu, Din. Kalau malam selalu keluyuran,” ucap pria itu yang tahu kebiasaan adiknya, lalu berjalan menatap wanita itu.
Betapa terkejutnya dia, melihat wajah Dinda dipenuhi belatung dan berdarah. “Astagfirullah, siapa kamu?!” teriak Dimas seraya berjalan mundur.
Lalu wanita itu berdiri dan hendak mencekik Dimas.
“Tidak! Pergi kamu! Jangan dekati aku! Tolong ...! Archh ...!” teriak Dimas langsung terbangun dari tidurnya.
“Ya Allah, Kak. Mimpi apa, sih, sampai teriak-teriak? Cepetan bangun, jangan tidur di waktu Magrib,” pinta Dinda yang saat itu membangunkan kakaknya.
“Astagfirullah al-azim, mimpi apa itu tadi?” gumam Dimas seraya mengatur napasnya kembali.
Pria itu segera berwudu dan pergi ke masjid yang tidak jauh dari rumahnya. Setelah salat, pria itu berjalan kembali ke rumah. Saat melewati sebuah kebun pisang milik tetangga.
Kesrek! Kesrek!
Sebuah suara mengagetkan pria itu.
“Suara apa itu?” gumamnya.
Kesrek! Kesrek!
Lagi-lagi suara itu terdengar, membuat pria berumur 27 tahun yang belum menikah itu penasaran. Ia menatap jauh ke pohon-pohon pisang yang mulai berbuah itu.
Sebuah sosok yang terbalut kain putih tiba-tiba muncul dan langsung menatapnya dengan wajah yang menghitam.
“Woi, Dim!” ujar temannya mengagetkan pria itu.
“Ya Allah, jantungku. Sialan kamu, Ron,” umpat pria itu pada temannya.
“Ngapain kamu mandengin tu pohon pisang? Kamu mau nyolong?” ejeknya.
“Dasar kamu, dikira aku nggak mampu beli apa?” bantah Dimas.
“Udah. Yuk, pulang. Bukannya besok kita harus kerja?” ujar Roni.
“Besok aku belum bisa masuk ke kantor. Kamu urusin dulu, ya. Aku mau dampingin Ibu aku dulu,” sahut Dimas.
“Oke, laksanakan, Bos!” ujar pria itu yang menjabat sebagai wakil manajer di perusahaan Dimas.
Mereka berpisah di persimpangan jalan. Dimas memasuki rumahnya. Entah mengapa kini rumah berlantai tiga itu terlihat sedikit menakutkan. Dimas merasa sering diganggu hal-hal yang tidak bisa dijelaskan oleh akal dan pikiran.
Di meja makan, mereka semua berkumpul.
“Dimas, Mama minta maaf ya karena hal ini, pekerjaan kamu jadi berlipat ganda,” ujar ibunya.
“Mama nggak usah khawatir, yang penting Mama jaga kesehatan, ya,” sahut Dimas.
“Bentar lagi kan aku juga udah mau lulus, Ma. Ntar aku bantuin Kak Dimas, deh.” Celetuk Dinda.
“Kamu mau bantuin apa? Main mulu kerjaannya,” bantah Dimas.
“Aku kan juga bisa serius, Kak,” ucap wanita itu tak mau kalah.
Aini hanya menggeleng melihat kedua anaknya berdebat.
Bersambung.
Lalu, bagaimana kelanjutannya. Tunggu di thread selanjutnya. Ramaikan thread ini biar Ratu Horor cepat-cepat melanjutkan ceritanya sampai tamat. 😎
Written : Piendutt
Sumber : Opini pribadi
Part selanjutnya 👇
Part 2. Dihantui Terus Menerus
Part 3. Bertemu Sang Penyelamat
Part 4. Berkunjung ke Rumah Dinda
Part 5. Fakta Dibalik Buku Harian
Part 6. Menjenguk Aini
Part 7. Dikejar Setan
Part 8. Melawan Arwah Gaun Pengantin
Part 9. Bantuan dari Herman
Part 1. Kematian Suhadi
Di sebuah rumah berlantai tiga terlihat seorang pria paruh baya duduk di atas kursi roda. Seorang wanita datang membawa selimut kemudian menyilangkan di pundak pria itu.
"Pakai selimut ini, ya, Pa. Biar nggak kedinginan," ujar wanita yang bernama Aini itu.
"I-i-ya ... Ma," sahut pria itu seraya tertatih-tatih karena penyakit stroke yang ia derita.
Angin dingin berembus menerpa tubuh mereka berdua.
"Sebaiknya kita masuk ke rumah saja, Pa. Terasa dingin di sini," ajak sang istri kemudian segera mendorong kursi roda itu memasuki rumah.
Aini menghentikan laju kursi roda tepat di samping meja makan, sudah tersedia beberapa makanan yang tersaji di atas meja.
"Nyah, ini buburnya sudah siap," ujar Mbok Minah, pembantu di rumah besar itu seraya menyodorkan mangkok besar.
"Makasih, Mbok. Anak-anak sudah berangkat semua, ya?"
"Iya, Nyah. Sudah berangkat semua dari pagi."
Aini dengan sabar menyuapi bubur pada suaminya yang sakit itu. Walau kadang pria itu enggan makan, Aini tetap sabar dan terus membujuknya. Ia berusaha untuk tidak membuat pria yang dicintainya itu marah.
Di suatu malam, saat semua orang sedang tidur terlelap. Terlihat, Aini juga tidur di samping suaminya. Mendadak, sesosok wanita bergaun pengantin yang tubuhnya berlumuran darah sudah berada tepat di samping Suhadi, pria yang terkena stroke itu. Sosok itu mendesis, kemudian menggoyangkan kepalanya. Dengan cepat ia langsung mencekik leher Suhadi hingga pria itu tersentak.
"Arcckk, arckk," ronta pria itu dengan mengibaskan kedua tangannya mencari pertolongan.
Aini terbangun karena sentuhan tangan suaminya, sedangkan sosok bergaun pengantin tadi sudah lenyap entah kemana.
"Papa, kenapa belum tidur?" tanyanya seraya menyalakan lampu di samping ranjang untuk mengecek keadaan.
Aini melihat sang suami kesulitan berbicara, seperti ada yang mengganjal di tenggorokannya.
"Papa mau minum, ya?" Wanita itu berdiri untuk mengambil segelas air yang biasa ia letakkan di samping ranjang Suhadi, tetapi airnya sudah habis.
"Papa tunggu bentar, ya. Mama ambilin air dulu di dapur," ujar wanita itu seraya berlalu meninggalkan ruangan itu.
Suhadi melihat sekeliling, ia merasa sangat ketakutan. Ia mengapit selimut erat-erat. Tiba-tiba angin berembus dengan kencang, sosok wanita bergaun pengantin tadi datang kembali. Kini ia membawa belati di tangan, tatapannya sangat tajam seakan-akan ia sedang marah. Lalu dengan segera, ia mendekati Suhadi dan menghujaninya dengan tusukan di sekujur tubuh pria itu. Suhadi mengerang kesakitan, cairan merah pun sudah menggenangi ranjang yang ia tiduri. Sedangkan sang wanita hanya tersenyum puas menikmati pemandangan itu.
Suhadi langsung memuntahkan darah berwarna hitam dari mulutnya, kemudian tubuhnya terguling ke lantai. Aini yang baru saja kembali dari dapur melihat sang suami jatuh dari ranjang, ia pun ikut panik.
“Astagfirullah, Pa. Kenapa ini? Mbok, Dimas, Dinda, tolongin Mama!” teriak wanita itu meminta pertolongan.
“Maafin ... Papa ... Ma,” ucap pria itu tertatih-tatih. Kemudian, mengembuskan napas terakhir.
“Papa?!” pekik Aini karena terkejut seraya mengguncang tubuh suaminya.
Beberapa orang segera datang. “Ada apa ini, Ma? Apa yang terjadi? Loh, Papa?!” teriak Dimas, anak pertama mereka.
Ya Allah, Nyah. Tuan kenapa ini?” Isak Mbok Minah yang sudah bekerja bersama mereka sejak anak keduanya lahir.
“Papa!” Isak mereka semua menangisi kepergian pria itu.
Keesokan harinya, mobil ambulans dan polisi sudah berada di depan rumah mewah itu. Dokter menyatakan bahwa Suhadi mengalami gagal jantung karena tidak ditemukannya bekas penganiayaan pada tubuhnya. Kemudian, jenazahnya segera dikuburkan bersama-sama. Beberapa warga desa sempat bergunjing di belakang keluarga itu.
“Kasihan, ya? Semuda itu sudah meninggal.”
“Padahal kaya raya, tapi uang tidak bisa menyembuhkan penyakitnya.”
“Entah apa yang menimpa keluarga itu, sangat disayangkan!” gerutu mereka semua.
Aini dan kedua anaknya menangis di pemakaman, mereka sangat terpukul atas kepergian Suhadi untuk selama-lamanya. Dimas pun menangis tersedu-sedu seraya menatap ke sekeliling pepohonan di pinggir kuburan itu. Namun, netranya terhenti di salah satu pohon yang sangat tinggi. Pria itu melihat sosok ayahnya berdiri tegak di depan pohon tersebut.
“Papa,” panggil pria itu.
Tidak lama kemudian, Aini pingsan karena tidak sanggup menahan rasa sesak di dada karena kehilangan pria yang sangat dicintainya.
“Mama, Ma! Bangun, Ma. Kak Dimas, bantuin!” teriak Dinda meminta tolong.
Dimas dan adiknya langsung membawa sang ibu ke rumah sakit, dokter pun langsung memeriksa kondisi tubuhnya. Dokter mengatakan bahwa Aini hanya kelelahan dan butuh banyak istirahat, Dimas pun merasa lega. Kini mereka berdua masih setia menunggu hingga sang ibu siuman.
Tak berapa lama kemudian, Aini pun siuman. Setelah memastikan kondisi sang ibu baik-baik saja, Dimas pun membawa wanita separuh baya tersebut untuk pulang.
Sesampainya di depan rumah, Dimas tersentak karena melihat sesosok pria di lantai dua tepatnya di kamar ibunya. Padahal jelas-jelas tidak ada pria lain yang hidup di rumah itu selain dia dan ayahnya.
“Ayo, masuk, Den!” pinta Mbok Minah yang mengagetkan pria itu.
“Eh, iya, Mbok,” ujar Dimas dan melihat ke lantai dua lagi, tetapi sosok pria tadi sudah lenyap.
Dinda membawa ibunya untuk beristirahat di kamar, begitu pun dengan Dimas yang merasa sangat lelah. Mungkin karena ia belum bisa menerima kepergian sang ayah, makanya pria itu selalu terbayang-bayang sosok ayahnya. Pria itu berbaring sebentar di ranjang agar lelahnya berkurang.
Dimas terbangun di malam hari, ia melihat jam pukul 11:30. Pria itu sampai lupa menunaikan ibadah salat. Ia pergi ke kamar mandi dan ingin berwudu. Pria itu membuka keran air, tetapi ternyata tidak ada air yang keluar sama sekali. “Kenapa tiba-tiba rusak, ya?” gumamnya.
Pria itu menuruni tangga dan ingin ke kamar mandi yang terletak di samping dapur, tetapi ia dikagetkan dengan adiknya yang masih duduk di meja makan.
“Kebiasaan kamu, Din. Kalau malam selalu keluyuran,” ucap pria itu yang tahu kebiasaan adiknya, lalu berjalan menatap wanita itu.
Betapa terkejutnya dia, melihat wajah Dinda dipenuhi belatung dan berdarah. “Astagfirullah, siapa kamu?!” teriak Dimas seraya berjalan mundur.
Lalu wanita itu berdiri dan hendak mencekik Dimas.
“Tidak! Pergi kamu! Jangan dekati aku! Tolong ...! Archh ...!” teriak Dimas langsung terbangun dari tidurnya.
“Ya Allah, Kak. Mimpi apa, sih, sampai teriak-teriak? Cepetan bangun, jangan tidur di waktu Magrib,” pinta Dinda yang saat itu membangunkan kakaknya.
“Astagfirullah al-azim, mimpi apa itu tadi?” gumam Dimas seraya mengatur napasnya kembali.
Pria itu segera berwudu dan pergi ke masjid yang tidak jauh dari rumahnya. Setelah salat, pria itu berjalan kembali ke rumah. Saat melewati sebuah kebun pisang milik tetangga.
Kesrek! Kesrek!
Sebuah suara mengagetkan pria itu.
“Suara apa itu?” gumamnya.
Kesrek! Kesrek!
Lagi-lagi suara itu terdengar, membuat pria berumur 27 tahun yang belum menikah itu penasaran. Ia menatap jauh ke pohon-pohon pisang yang mulai berbuah itu.
Sebuah sosok yang terbalut kain putih tiba-tiba muncul dan langsung menatapnya dengan wajah yang menghitam.
“Woi, Dim!” ujar temannya mengagetkan pria itu.
“Ya Allah, jantungku. Sialan kamu, Ron,” umpat pria itu pada temannya.
“Ngapain kamu mandengin tu pohon pisang? Kamu mau nyolong?” ejeknya.
“Dasar kamu, dikira aku nggak mampu beli apa?” bantah Dimas.
“Udah. Yuk, pulang. Bukannya besok kita harus kerja?” ujar Roni.
“Besok aku belum bisa masuk ke kantor. Kamu urusin dulu, ya. Aku mau dampingin Ibu aku dulu,” sahut Dimas.
“Oke, laksanakan, Bos!” ujar pria itu yang menjabat sebagai wakil manajer di perusahaan Dimas.
Mereka berpisah di persimpangan jalan. Dimas memasuki rumahnya. Entah mengapa kini rumah berlantai tiga itu terlihat sedikit menakutkan. Dimas merasa sering diganggu hal-hal yang tidak bisa dijelaskan oleh akal dan pikiran.
Di meja makan, mereka semua berkumpul.
“Dimas, Mama minta maaf ya karena hal ini, pekerjaan kamu jadi berlipat ganda,” ujar ibunya.
“Mama nggak usah khawatir, yang penting Mama jaga kesehatan, ya,” sahut Dimas.
“Bentar lagi kan aku juga udah mau lulus, Ma. Ntar aku bantuin Kak Dimas, deh.” Celetuk Dinda.
“Kamu mau bantuin apa? Main mulu kerjaannya,” bantah Dimas.
“Aku kan juga bisa serius, Kak,” ucap wanita itu tak mau kalah.
Aini hanya menggeleng melihat kedua anaknya berdebat.
Bersambung.
Lalu, bagaimana kelanjutannya. Tunggu di thread selanjutnya. Ramaikan thread ini biar Ratu Horor cepat-cepat melanjutkan ceritanya sampai tamat. 😎
Written : Piendutt
Sumber : Opini pribadi
Part selanjutnya 👇
Part 2. Dihantui Terus Menerus
Part 3. Bertemu Sang Penyelamat
Part 4. Berkunjung ke Rumah Dinda
Part 5. Fakta Dibalik Buku Harian
Part 6. Menjenguk Aini
Part 7. Dikejar Setan
Part 8. Melawan Arwah Gaun Pengantin
Part 9. Bantuan dari Herman
Diubah oleh piendutt 08-11-2022 09:17



motherparker699 dan 16 lainnya memberi reputasi
15
7.5K
Kutip
92
Balasan


Komentar yang asik ya
Tampilkan semua post


TS
piendutt
#18
Gaun Pengantin Berdarah

Quote:
Part 2. Dihantui Terus Menerus
Dinda dan ibunya duduk bersama di kamar sembari melipat beberapa baju milik almarhum Suhadi.
“Mama yakin mau nyumbangin baju-baju ini ke yayasan?” tanya Dinda.
“Iya, Sayang. Biar nggak banyak barang di sini, Mama nyimpen baju yang disukai papamu aja,” sahut Aini.
Aini mendadak batuk-batuk.
“Tunggu, ya, Ma. Dinda ambilin air dulu,” ujarnya seraya turun ke dapur.
Aini masih batuk-batuk dan kemudian darah segar keluar dari mulutnya. “Astagfirullah, apa ini?” gumamnya segera mengambil tisu dan mengelap darah itu.
“Ma, ini airnya,” ujar Dinda yang baru datang.
Aini segera menyembunyikan tisu itu, tak ingin Dinda melihatnya. “Makasih, ya, Sayang,” ucapnya seraya meminum air yang diambilkan sang anak. “Mama ke kamar mandi dulu bentar, Sayang,” pintanya dan masuk ke kamar mandi.
Dinda merasa ibunya sedikit aneh. “Kok, Mama aneh banget, sih?” gumam Dinda.
Dimas baru saja pulang dari suatu tempat, ia memarkirkan mobilnya dan mengambil beberapa kue yang ia beli untuk ibu dan adiknya. Saat menutup bagasi mobilnya, seorang pria terlihat duduk di bangku belakang mobil itu. “Kok, kayak ada orang, ya?” gumam Dimas.
Dimas berjalan dan mendekatkan wajahnya ke kaca mobil belakang untuk melihat siapa pria itu.
“Astagfirullah.” Dimas kaget melihat sesosok pria yang matanya hitam dan wajahnya keriput langsung menatapnya.
Dimas mengatur napas seraya mencoba melihat pria itu lagi. Namun, sosok itu sudah lenyap. Dimas segera masuk ke rumah dengan pikiran yang tak karuan.
“Dinda, di mana Mama?” tanya pria itu.
Belum sempat dijawab, Aini datang.
“Mama di sini, Sayang. Kenapa?”
“Sini, Ma. Aku bawain sesuatu, Mama pasti suka,” ujar pria itu menggiring ibunya.
Mereka duduk di meja makan. Dimas membuka kotak roti itu.
“Wah, kayaknya enak, nih,” celetuk Dinda.
“Hust! Kasih Mama dulu, kebiasaan kamu,” bantah Dimas.
“Ah, Kakak ini selalu pilih kasih,” ujar Dinda cemberut.
“Udah. Ayo, dimakan bareng-bareng, Mbok Minah, sini, Mbok,” panggil wanita itu pada pembantunya.
“Iya, Nyah. Ada apa?”
“Sini, Mbok. Ayo, makan sama-sama,” ajak Aini.
Mereka akhirnya makan kue itu bersama-sama.
***
Besoknya Dimas sudah harus kembali ke kantor. Banyak dari pegawai perusahaan yang memberi karangan bunga untuk berbelasungkawa. Dimas adalah manajer utama di perusahaan yang dulu dijalankan ayahnya. Perusahaan itu berjalan di bidang pembuatan teh karena ayah Dimas mempunyai perkebunan teh yang sangat luas.
“Yang sabar, ya, Dim,” ujar seorang wanita yang menjabat sebagai sekretaris pria itu.
“Iya, Sel. Makasih, ya,” ucap pria itu pada wanita yang ia pacari sejak lama.
Dimas berjalan di sebuah lorong menuju ke tempat pembuatan teh. Dari arah belakang badannya, sebuah kaki baru saja melayang. Pria itu merasakan sesuatu dan berbalik, tetapi tak mendapati apa pun.
***
Di kampus, Dinda juga mendapatkan ucapan bela sungkawa dari teman-temannya.
“Yang sabar, ya, Din,” ucap Lala, teman sebangkunya.
“Makasih, ya, La,” sahut Dinda.
Terdengar beberapa orang ikut berbicara.
“Bener, kan, aku bilang, ayahnya pasti meninggal. Orang kerjanya nggak bener, kok.”
“Iya, ya. Mana mungkin dalam waktu singkat bisa langsung kaya gitu.”
“Pasti mereka pemuja Iblis!” gerutu mereka semua.
Lala ingin berdiri untuk melabrak mereka.
“Udah, La. Nggak papa, jangan diladenin,” pinta Dinda.
“Tapi mereka sudah keterlaluan, Din,” bantah Lala.
“Udah, ntar juga berhenti sendiri. Ke perpustakaan, yuk,” ajak Dinda dan menarik tangan temannya itu.
Lala duduk di kursi, Dinda pergi mencari buku yang ingin ia baca. Wanita itu berjalan dari rak buku satu ke rak buku yang lain. Agak sepi karena beberapa orang sedang berada di kantin. Dinda melihat-lihat buku yang ada di rak itu.
Mendadak sekelebat bayangan hitam baru saja melewatinya. “Siapa itu, La? Itu kamu, ya?” tanya Dinda yang merasa ada seseorang di belakangnya. Namun, tak ada sahutan sama sekali.
Wanita itu kembali mengambil buku yang ia cari. Mendadak sebuah tangan berkulit hitam dan berkuku tajam memegang tangannya.
“Astagfirullah, apa itu?” gumamnya seraya mundur beberapa langkah.
Brukkk!
“Oh, maaf-maaf. Aku nggak sengaja,” ujar Dinda yang menabrak seseorang hingga buku yang orang itu bawa berjatuhan.
“Iya, nggak papa, kok,” ujar pria itu dan mengumpulkan beberapa buku yang jatuh ke lantai.
Dinda ikut membantunya, lalu tangan mereka bersentuhan. “Ya, Allah,” ucap pria itu kaget.
Dinda langsung melepaskan tangannya. “Maaf, ya. Ini bukumu,” sahut wanita itu dan menatap wajah pria di depannya yang kebingungan.
Dinda pergi meninggalkan pria itu.
“Astagfirullah,” ucap pria itu seraya menggeleng karena melihat sesosok wanita bergaun pengantin dan bajunya berlumuran darah mengikuti Dinda dari belakang.
Pria itu ingin menyusul Dinda, tetapi langkahnya terhenti. “Hah, padahal aku sudah berjanji untuk tidak terlibat dalam masalah ini lagi, lagi pula aku tak mengenalnya,” gumam pria itu dan tak jadi menemui Dinda.
“Lama amat, sih, Din. Ke mana aja kamu?” tanya Lala yang melihat temannya itu baru datang.
“Maaf, ya. Kita masuk kelas, yuk. Udah bel, tuh,” pinta Dinda.
Mereka akhirnya berjalan masuk ke kelas.
Di kelas, beberapa kali telinga Dinda seperti ditiup oleh seseorang, padahal tak ada angin sama sekali. Wanita itu merasa kedinginan.
“La, kamu ngerasa dingin nggak?” tanya Dinda.
“Nggak, tuh. Malah panas banget tau,” sahut Lala.
“Aneh. Kok, aku kedinginan gini, ya? Aku ijin ke toilet dulu, ya,” ucap wanita itu.
Lala hanya mengangguk. Dinda berpamitan pada pak dosen untuk pergi ke kamar kecil.
Sesampainya di sana, Dinda langsung masuk ke salah satu WC dan duduk.
Saat wanita itu mem-plush air WC itu, mendadak menggelindinglah sebuah kepala wanita yang matanya melotot ke arah Dinda.
“Archhhhh!!” teriak Dinda dan segera keluar dari kamar mandi, tetapi sebuah tubuh tak berkepala sedang mengejar wanita itu. Dinda menangis dan terus berlari.
Brukkk!
Hingga wanita itu menabrak seseorang. “ Tolong aku, tolong!” Dinda menatap wajah orang yang dia tabrak, ternyata wajah pria itu hancur.
“Archhhhh!” isak wanita itu seraya menutup wajahnya tak ingin melihat apa pun.
“Hei, ngapain kamu di sini?” tanya pria bernama Afgan itu.
Akan tetapi, Dinda tak menyahut dan malah jatuh pingsan.
“Haduh. Kok, malah pingsan, sih? Gimana ini?” gumamnya dan segera menggendong wanita itu pergi ke ruang kesehatan.
Afgan membaringkan wanita itu di ranjang.
Beberapa sosok terlihat melintas di belakang pria itu. Afgan berbalik. “Jika kalian berani mendekatiku, kumusnahkan kalian!” bentak pria itu.
Sebuah jendela mendadak terbuka sendiri seolah pertanda bahwa sosok itu pergi meninggalkan pria tersebut.
Bersambung.
Dinda dan ibunya duduk bersama di kamar sembari melipat beberapa baju milik almarhum Suhadi.
“Mama yakin mau nyumbangin baju-baju ini ke yayasan?” tanya Dinda.
“Iya, Sayang. Biar nggak banyak barang di sini, Mama nyimpen baju yang disukai papamu aja,” sahut Aini.
Aini mendadak batuk-batuk.
“Tunggu, ya, Ma. Dinda ambilin air dulu,” ujarnya seraya turun ke dapur.
Aini masih batuk-batuk dan kemudian darah segar keluar dari mulutnya. “Astagfirullah, apa ini?” gumamnya segera mengambil tisu dan mengelap darah itu.
“Ma, ini airnya,” ujar Dinda yang baru datang.
Aini segera menyembunyikan tisu itu, tak ingin Dinda melihatnya. “Makasih, ya, Sayang,” ucapnya seraya meminum air yang diambilkan sang anak. “Mama ke kamar mandi dulu bentar, Sayang,” pintanya dan masuk ke kamar mandi.
Dinda merasa ibunya sedikit aneh. “Kok, Mama aneh banget, sih?” gumam Dinda.
Dimas baru saja pulang dari suatu tempat, ia memarkirkan mobilnya dan mengambil beberapa kue yang ia beli untuk ibu dan adiknya. Saat menutup bagasi mobilnya, seorang pria terlihat duduk di bangku belakang mobil itu. “Kok, kayak ada orang, ya?” gumam Dimas.
Dimas berjalan dan mendekatkan wajahnya ke kaca mobil belakang untuk melihat siapa pria itu.
“Astagfirullah.” Dimas kaget melihat sesosok pria yang matanya hitam dan wajahnya keriput langsung menatapnya.
Dimas mengatur napas seraya mencoba melihat pria itu lagi. Namun, sosok itu sudah lenyap. Dimas segera masuk ke rumah dengan pikiran yang tak karuan.
“Dinda, di mana Mama?” tanya pria itu.
Belum sempat dijawab, Aini datang.
“Mama di sini, Sayang. Kenapa?”
“Sini, Ma. Aku bawain sesuatu, Mama pasti suka,” ujar pria itu menggiring ibunya.
Mereka duduk di meja makan. Dimas membuka kotak roti itu.
“Wah, kayaknya enak, nih,” celetuk Dinda.
“Hust! Kasih Mama dulu, kebiasaan kamu,” bantah Dimas.
“Ah, Kakak ini selalu pilih kasih,” ujar Dinda cemberut.
“Udah. Ayo, dimakan bareng-bareng, Mbok Minah, sini, Mbok,” panggil wanita itu pada pembantunya.
“Iya, Nyah. Ada apa?”
“Sini, Mbok. Ayo, makan sama-sama,” ajak Aini.
Mereka akhirnya makan kue itu bersama-sama.
***
Besoknya Dimas sudah harus kembali ke kantor. Banyak dari pegawai perusahaan yang memberi karangan bunga untuk berbelasungkawa. Dimas adalah manajer utama di perusahaan yang dulu dijalankan ayahnya. Perusahaan itu berjalan di bidang pembuatan teh karena ayah Dimas mempunyai perkebunan teh yang sangat luas.
“Yang sabar, ya, Dim,” ujar seorang wanita yang menjabat sebagai sekretaris pria itu.
“Iya, Sel. Makasih, ya,” ucap pria itu pada wanita yang ia pacari sejak lama.
Dimas berjalan di sebuah lorong menuju ke tempat pembuatan teh. Dari arah belakang badannya, sebuah kaki baru saja melayang. Pria itu merasakan sesuatu dan berbalik, tetapi tak mendapati apa pun.
***
Di kampus, Dinda juga mendapatkan ucapan bela sungkawa dari teman-temannya.
“Yang sabar, ya, Din,” ucap Lala, teman sebangkunya.
“Makasih, ya, La,” sahut Dinda.
Terdengar beberapa orang ikut berbicara.
“Bener, kan, aku bilang, ayahnya pasti meninggal. Orang kerjanya nggak bener, kok.”
“Iya, ya. Mana mungkin dalam waktu singkat bisa langsung kaya gitu.”
“Pasti mereka pemuja Iblis!” gerutu mereka semua.
Lala ingin berdiri untuk melabrak mereka.
“Udah, La. Nggak papa, jangan diladenin,” pinta Dinda.
“Tapi mereka sudah keterlaluan, Din,” bantah Lala.
“Udah, ntar juga berhenti sendiri. Ke perpustakaan, yuk,” ajak Dinda dan menarik tangan temannya itu.
Lala duduk di kursi, Dinda pergi mencari buku yang ingin ia baca. Wanita itu berjalan dari rak buku satu ke rak buku yang lain. Agak sepi karena beberapa orang sedang berada di kantin. Dinda melihat-lihat buku yang ada di rak itu.
Mendadak sekelebat bayangan hitam baru saja melewatinya. “Siapa itu, La? Itu kamu, ya?” tanya Dinda yang merasa ada seseorang di belakangnya. Namun, tak ada sahutan sama sekali.
Wanita itu kembali mengambil buku yang ia cari. Mendadak sebuah tangan berkulit hitam dan berkuku tajam memegang tangannya.
“Astagfirullah, apa itu?” gumamnya seraya mundur beberapa langkah.
Brukkk!
“Oh, maaf-maaf. Aku nggak sengaja,” ujar Dinda yang menabrak seseorang hingga buku yang orang itu bawa berjatuhan.
“Iya, nggak papa, kok,” ujar pria itu dan mengumpulkan beberapa buku yang jatuh ke lantai.
Dinda ikut membantunya, lalu tangan mereka bersentuhan. “Ya, Allah,” ucap pria itu kaget.
Dinda langsung melepaskan tangannya. “Maaf, ya. Ini bukumu,” sahut wanita itu dan menatap wajah pria di depannya yang kebingungan.
Dinda pergi meninggalkan pria itu.
“Astagfirullah,” ucap pria itu seraya menggeleng karena melihat sesosok wanita bergaun pengantin dan bajunya berlumuran darah mengikuti Dinda dari belakang.
Pria itu ingin menyusul Dinda, tetapi langkahnya terhenti. “Hah, padahal aku sudah berjanji untuk tidak terlibat dalam masalah ini lagi, lagi pula aku tak mengenalnya,” gumam pria itu dan tak jadi menemui Dinda.
“Lama amat, sih, Din. Ke mana aja kamu?” tanya Lala yang melihat temannya itu baru datang.
“Maaf, ya. Kita masuk kelas, yuk. Udah bel, tuh,” pinta Dinda.
Mereka akhirnya berjalan masuk ke kelas.
Di kelas, beberapa kali telinga Dinda seperti ditiup oleh seseorang, padahal tak ada angin sama sekali. Wanita itu merasa kedinginan.
“La, kamu ngerasa dingin nggak?” tanya Dinda.
“Nggak, tuh. Malah panas banget tau,” sahut Lala.
“Aneh. Kok, aku kedinginan gini, ya? Aku ijin ke toilet dulu, ya,” ucap wanita itu.
Lala hanya mengangguk. Dinda berpamitan pada pak dosen untuk pergi ke kamar kecil.
Sesampainya di sana, Dinda langsung masuk ke salah satu WC dan duduk.
Saat wanita itu mem-plush air WC itu, mendadak menggelindinglah sebuah kepala wanita yang matanya melotot ke arah Dinda.
“Archhhhh!!” teriak Dinda dan segera keluar dari kamar mandi, tetapi sebuah tubuh tak berkepala sedang mengejar wanita itu. Dinda menangis dan terus berlari.
Brukkk!
Hingga wanita itu menabrak seseorang. “ Tolong aku, tolong!” Dinda menatap wajah orang yang dia tabrak, ternyata wajah pria itu hancur.
“Archhhhh!” isak wanita itu seraya menutup wajahnya tak ingin melihat apa pun.
“Hei, ngapain kamu di sini?” tanya pria bernama Afgan itu.
Akan tetapi, Dinda tak menyahut dan malah jatuh pingsan.
“Haduh. Kok, malah pingsan, sih? Gimana ini?” gumamnya dan segera menggendong wanita itu pergi ke ruang kesehatan.
Afgan membaringkan wanita itu di ranjang.
Beberapa sosok terlihat melintas di belakang pria itu. Afgan berbalik. “Jika kalian berani mendekatiku, kumusnahkan kalian!” bentak pria itu.
Sebuah jendela mendadak terbuka sendiri seolah pertanda bahwa sosok itu pergi meninggalkan pria tersebut.
Bersambung.



simounlebon dan 5 lainnya memberi reputasi
6
Kutip
Balas
Tutup