- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
Jalan Terakhir
TS
neopo
Jalan Terakhir
Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh. Apakabar semua. Setelah sekian lama ga berbagi cerita akhirnya mencoba lagi untuk menulis/membagikan salah satu cerita/kisah/tulisan dari seorang teman. Tentunya saya tidak lupa akan thread sebelumnya yang saya buat, yang berjudul Riding to Jannah yang sementara ini dihentikan dulu karena hilangnya draft yang sudah dibuat dulu. Bahkan sampai beberapa tahun tidak terurus. Tetapi insyaAllah akan kembali di up jika sudah selesai. Bahkan kemarinpun sempat dilanjut, tetapi harddisk yang saya gunakan untuk menyimpan file penting ternyata bad sector dan semua file rusak
Jika kalian sudah bosan atau kurang suka dengan cerita remaja, baik fiksi ataupun true story, kalian boleh skip thread ini Hanya saja menurut saya pribadi, cerita dia cukup membuat saya terhibur. Jadi saya meminta izin untuk share disini, dan dia memperbolehkan. Setelah sekian tahun ga buka kaskus, udah banyak perubahan, jadi kalau berantakan mohon dimaafkan.
Setiap orang pasti pernah mengalami masalah dalam menjalani hidup. Namun setiap masalah selalu menuntut untuk diselesaikan. Karena itulah, menemukan solusi dan bersikap pantang menyerah adalah jawaban untuk setiap masalah.
Kadang kala perjalanan hidup yang membuat seseorang menjadi dewasa. Dewasa dalam hal ini berarti mampu berpikir jernih dan menempatkan perannya dalam berbagai situasi. Selain itu, perjalanan hidup juga bisa menjadi bahan pembelajaran yang menginspirasi. Tidak hanya menginspirasi diri sendiri, tapi juga orang lain.
Langit tidak selalu cerah, perjalanan hidup pun tidak selalu indah. Dari kalimat itu kita harus paham bahwa perjalanan hidup itu tidak selalu mulus. Terkadang kita temukan kerikil dan duri yang mengganggu di jalanan. Rasa sakit, kesedihan, kesusahan dan duka. Apapun yang ada di hadapan kita bukan berarti kita berhenti berjalan dan menyerah. Perjalanan hidup yang berat ataupun perjalanan hidup yang pahit harus kita hadapi dan lalui.
"Hidup itu tentang sebuah perjalanan, caramu menjalaninya, dan caramu memberi arti pada perjalananmu itu." WilzKanadi
Aku tengah menempuh pendidikan sekolah tingkat atas kelas satu. Aku berasal dari keluarga yang bisa dibilang berkecukupan. Aku berasal dari Bandung namun sejak SD aku pindah ke Jakarta karena pekerjaan papaku. Aku merupakan anak pertama dari tiga bersaudara. Aku memiliki postur tubuh dengan tinggi badan 168cm dan berat badan 62kg. Namaku Khairul Purnama, dan ini adalah kisah perjalananku
Akan di update berdasarkan jalan cerita melalui Instagramdan beberapa spoiler untuk next part diperlihatkan disana, tapi itupun jika ga penasaran
Akan di update berdasarkan jalan cerita melalui Instagramdan beberapa spoiler untuk next part diperlihatkan disana, tapi itupun jika ga penasaran
- INDEX -
Masa SMA
Prolog
BAB 1 - Ocehan Seorang Gadis
BAB 2 - Dunia yang Sempit
BAB 3 - Cewek Melengking dan Anak Hilang
BAB 4 - Silsilah Keluarga
BAB 5 - Ma, Arul Kuat Kok
BAB 6 - Teman
BAB 7 - Obat Penenang
BAB 8 - Bandung
BAB 9 - Kebahagiaan dari Masa Lalu
BAB 10 - Perasaan yang Memuncak
BAB 11 - Puncak Amarah
BAB 12 - Yang Pertama
BAB 13 - Berputar Kembali
BAB 14 - Liburan Lagi
BAB 15 - Sebuah Cerita
BAB 16 - Sekolah Lagi
BAB 17 - Jawaban
BAB 18 - Kelemahan
BAB 19 - Rasa Terindah
BAB 20 - Ungkapan Hati
BAB 21 - Double Date?
BAB 22 - Jalan Buntu
BAB 23 - Maaf
BAB 24 - Liburan Penutup
BAB 25 - MOS (Part 1)
BAB 26 - MOS (Part 2)
BAB 27 - Sebuah Tragedi
BAB 28 - Tujuan
Masa Kuliah
BAB 29
BAB 30
BAB 31
BAB 32
BAB 33
BAB 34
BAB 35
BAB 36
BAB 37
BAB 38
BAB 39
BAB 40
BAB 41
Masa SMA
Prolog
BAB 1 - Ocehan Seorang Gadis
BAB 2 - Dunia yang Sempit
BAB 3 - Cewek Melengking dan Anak Hilang
BAB 4 - Silsilah Keluarga
BAB 5 - Ma, Arul Kuat Kok
BAB 6 - Teman
BAB 7 - Obat Penenang
BAB 8 - Bandung
BAB 9 - Kebahagiaan dari Masa Lalu
BAB 10 - Perasaan yang Memuncak
BAB 11 - Puncak Amarah
BAB 12 - Yang Pertama
BAB 13 - Berputar Kembali
BAB 14 - Liburan Lagi
BAB 15 - Sebuah Cerita
BAB 16 - Sekolah Lagi
BAB 17 - Jawaban
BAB 18 - Kelemahan
BAB 19 - Rasa Terindah
BAB 20 - Ungkapan Hati
BAB 21 - Double Date?
BAB 22 - Jalan Buntu
BAB 23 - Maaf
BAB 24 - Liburan Penutup
BAB 25 - MOS (Part 1)
BAB 26 - MOS (Part 2)
BAB 27 - Sebuah Tragedi
BAB 28 - Tujuan
Masa Kuliah
BAB 29
BAB 30
BAB 31
BAB 32
BAB 33
BAB 34
BAB 35
BAB 36
BAB 37
BAB 38
BAB 39
BAB 40
BAB 41
Diubah oleh neopo 02-02-2023 14:58
sukhhoi dan 12 lainnya memberi reputasi
11
13.3K
120
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
TS
neopo
#53
BAB 27 - Sebuah Tragedi
Aku dan Vika kaget mendengar ucapan ibu. Ibu hanya tertawa sementara si kembar juga nampak melongo mendengar pernyataan tadi.
“Em I iya ma” ucap Vika sedikit gugup
“Kamu itu udah kaya anak mama sendiri” ucap mama sambil mengelus kepala Vika
“Mama jadi ngerasa punya anak perempuan lagi hehe” kata mama
“Kenapa ma? Kok tumben-tumbennya?” ucapku
“Gapapa kok, Vika sama si kembar keliatan deket banget, Vika juga ga jarang kan bantuin belajar si kembar” kata mama
“Iya ma” jawabku malah ikut gugup
“Yasudah, kalau gitu mama berangkat dulu ya” kata mama disertai salam
Vika tiba-tiba terdiam. Memang ucapan mama menjadi hal yang ga pernah aku sangka sebelumnya.
“Kenapa neng?” tanyaku
“Gapapa kok a, kaget aja hehe” kata Vika
“Kayanya mamah ngerestui hehe” goda Ani
“Sekolah aja belum lulus, Ni” ucapku
“Yaaa namanya juga lampu hijau a” kata Ana
“Yaa doain aja hehe” ucapku
Vika hanya tersenyum sambil mendorong kecil pundakku. Tapi sebenarnya akupun senang. Mama berarti sudah menyetujui hubunganku dengan Vika. Meskipun begitu aku tetap harus memenuhi janjiku bahwa nilaiku ga akan sampai turun.
Hari-hari berlalu. Aku mulai disibukkan kembali dengan rutinitas belajar. Aku juga mulai mencari-cari info seputaran kampus yang menjadi targetku.
“Gila, kelas tiga mapelnya makin ga ngotak” kata Sinta
“Lah, elu kan biasanya dapet nilai bagus” ucapku
“Yaiya sih, tapi baru kali ini gue ngerasa cape banget belajar” katanya
“Ya mungkin lu terlalu over belajar jadi cape” ucapku
“Ah engga kok. Gue belajar dirumah juga cuma malem. Pulang les” katanya
“Eh buset dah. Pagi sampe sore sekolah, terus les, terus malem belajar, ga olab tu otak?” ucapku
“Hehe, gimana. Nyokap gue pengen banget gue jadi dokter. Ya gue juga sih” katanya
“Ga yakin gue” ucapku
“Kenapa emang?” tanyanya
“Emang ada pasien yang mau dirawat sama dokter yang galak?” ucapku
“Ish gitu amat si lo” katanya sambil meninju bahuku
“Bercanda Sin”
Pada jam istirahat, aku berniat ke kantin untuk mengisi perutku. Disana aku ga melihat Vika, Windy ataupun Hamid. Sepertinya mereka semua punya kesibukan baru.
“Bu, nasi soto satu” ucapku
“Siap, minumnya apa?” tanya ibu warung
“Es teh manis aja bu” jawabku
Ga butuh waktu lama pesananku tiba. Saat aku sedang menikmati hidanganku, seseorang mengambil gelasku dan dia langsung minum tanpa permisi
“Eh buset Sin, beli lah” ucapku
“Hehe sorry, aus” katanya
“Kaya cewe gue lo. Tiba-tiba ngambil tanpa seizin gue” ucapku
“Hehe, yaudah gue pesenin lagi” katanya
“Ga usah, ga usah” ucapku
“Emang ga jijik lo?” tanyanya
“Tinggal buang sedotannya” ucapku
Setelah selesai makan, aku dan Sinta langsung kembali ke kelas dan dia duduk ditempatnya, yang berada didepanku. Sepulang sekolah, aku menghampiri kelasnya Vika. Dari kaca aku melihat Vika yang sedang beres-beres dan ketika ia melihatku, ia melambaikan tangannya. Ga lama dia langsung menghampiriku
“A, hari ini aku ada kerja kelompok, gapapa kan?” kata Vika
“Oh, ya gapapa. Mau aa tungguin?” tanyaku
“Ga usah a, nanti aku pulang sama Yanti” kata Vika
“Yaudah kalau gitu aa duluan. Neng hati-hati” ucapku
“Iya aa langsung pulang ya” katanya
Aku berjalan menuju parkiran, disana aku melihat Hamid yang lagi ngeluarin motor bareng satu temennya
“Ga bareng Windy lu?” tanyaku
“Engga, gue ada kerkom hehe” kata Hamid
“Kenapa dah semua pada kerkom?” ucapku
“Ya kebetulan aja kali” kata Hamid
Hamidpun berlalu dan aku mengendarai motorku keluar gerbang. Diluar gerbang, aku melihat Windy yang lagi nunggu angkot
“Mau bareng?” ajakku
“Ga bareng Vika?” tanyanya
“Engga, dia lagi kerkom, Hamid juga katanya?” ucapku
“Iya Hamid juga. Tapi gue mau cari novel dulu hehe” kata Windy
“Yaudah ayok dah” ucapku
Aku berangkat bareng Windy menuju toko buku. Setelah menempuh 30 menit perjalanan, kami tiba di pusat toko buku yang terkenal itu. Ada beberapa buku yang plastiknya sudah dibuka sehingga bisa dibaca dengan bebas, namun ada juga yang tertutup rapi dan masih tersegel membuatnya ga bisa dibaca sebelum dibeli. Setelah memutar beberapa menit, kami menuju kasir
“Udah itu aja?” tanyaku
“Udah, yuk. Abis ini kita makan” kata Windy
“Oke deh, kebetulan gue juga laper” ucapku
Setelah itu kami pergi ke tempat makan siap saji yang lokasinya ga jauh darisitu. Windy memesan makanan sementara aku menunggu di meja sambil membaca buku. Ga lama Windy datang membawa nampan yang berisikan pesanan kami.
“Tumben lo baca” kata Windy
“Mumpung ada waktu aja” jawabku
“Gimana lo sama Vika?” tanya Windy
“Baik-baik aja kok. Ngomong-ngomong, abis lulus lo mau kuliah atau kerja?” ucapku
“Kuliah. Gue pengen kuliah di UGM” kata Windy
“Walah, jauh dong ya. LDR dong sama si Hamid” ucapku
“Iya kayanya, lo sendiri mau kemana?” tanya Windy
“Gue pengen ke Bandung, ada PTN yang gue incar” ucapku
“Terus Vika mau kemana?” tanyanya
“Katanya sama sih, tapi gatau. Kalau bareng ya syukur, kalau engga ya saling support aja” ucapku
“Yang terbaik deh buat kalian” kata Windy
Setelah makan, kami ngobrol ringan sambil memesan camilan yang ada di restoran itu. Aku ga tau masa depanku nanti seperti apa. Sebenarnya bagiku menjadi apapun ga masalah. Aku berencana untuk kuliah bisnis nantinya, karena kemungkinannya aku bakal melanjutkan bisnis restoran papa. Cita-citaku sendiripun ingin menjadi seorang pengusaha, tapi itu semua ga mudah.
Aku mungkin mendapat keuntungan sendiri karena papa sudah punya bisnisnya dan aku adalah pewarisnya. Dengan begitu orang mungkin akan menganggapku bisa sukses dengan mudah. Padahal takaran sukses tiap orang itu berbeda-beda.
Ada yang memiliki uang milyaran rupiah, dia sudah bisa dibilang sukses. Ada yang basic dari orang kaya, yang bagi dia sukses itu memiliki uang ratusan milyar rupiah, padahal uang milyaran dia sudah pegang. Orang yang benar-benar mulai dari bawah bisa kok sukses juga. Pasti bisa. Sekalipun dia ga punya koneksi atau terlahir dari keluarga yang biasa saja. Namun memang peran kedua itu sangat berpengaruh dalam cepat atau tidaknya kita mencapai titik akhir.
Bagiku pribadi, menurutku sukses bisa diartikan ketika kita bekerja dan menghasilkan uang, tapi ketika kita bekerja itu, kita ga berasa seperti kerja. Kita merasa bahagia dengan apa yang kita lakukan, dan kita mampu menghasilkan darisitu. Bahkan rasanya kerja itu seperti hari libur. Semua tergantung persepsi masing-masing. Tapi dengan kita bekerja dengan ikhlas, itu sudah menjadi sebuah kemajuan.
“Ga nyangka lo udah mikir sampe kesana” kata Windy
“Kebetulan lewat doang Win” ucapku
“Gue aja ga sampe kesitu” kata Windy
“Ya pemikiran orang-orang kan beda Win” ucapku
“Iya sih. Eh lo ada yang mau dibungkus? Atau pesen lagi buat dirumah?” tawar Windy
“Wah, traktiran nih” ucapku
“Hehe, boleh lah, sebagai ucapan makasih gue karena udah nemenin” kata Windy
“Eh ngga, bercanda gue. Gue bayar sendiri aja” ucapku
“Udah gapapa, gue bayar dulu ya” kata Windy
“Serius ini?” tanyaku
“Iya hehe” jawab Windy sambil pergi
Ga lama setelah membayar aku langsung mengantar Windy pulang. Saat dalam perjalanan pulang, kami terhambat oleh kemacetan di jalan. Tapi kemacetan itu ga berlangsung lama, dan yang menjadi penyebab kemacetan itu adalah laka lantas.
“Rul, Rul berhenti” ucap Windy sambil menepuk pundakku
“Kenapa Win?” tanyaku
“Itu yang kecelakaan” ucap Windy berat
“Kenapa Win? Iya itu kecela . . . “ ucapanku terpotong
Ucapanku terhenti seketika aku melihat sebuah motor yang ga asing tergeletak di aspal dengan mobil yang keadaannya cukup hancur dibagian depan. Aku langsung menepi dan berlari menuju kerumunan bersama Windy
“Astagfirullah ini beneran Hamid” ucapku
“Kenal sama dia?” tanya warga
“Iya pak, temen sekolah saya” ucapku
“Yaudah, bisa hubungi keluarganya?” tanyanya
“Bisa pak, tolong anter dia ke rumah sakit pak” ucapku
Salah satu warga membawa Hamid menggunakan mobil angkot menuju rumah sakit terdekat. Windy nampak kaku melihat Hamid yang bersimpah darah dikepalanya dengan kondisi yang ga sadarkan diri
“Win, lo mau ikut bareng gue atau pake angkot?” tanyaku
“Gue pake angkot aja” jawab Windy sambil berlalu kedalam angkot kosong itu
Aku mengawal angkot tersebut menuju rumah sakit, dan singkat cerita kami sudah tiba di rumah sakit. Selama perjalanan aku bingung bagaimana mengabari keluarganya sementara aku saja belum pulang dari sekolah yang berarti aku ga bawa HP.
“Gue pulang dulu, mau hubungi keluarganya. Lo tunggu ya” ucapku pada Windy
“I iy iya Rul” jawab Windy terbata-bata
“Udah lo doain semoga dia ga kenapa-kenapa” ucapku mencoba menenangkan Windy, dia hanya mengangguk dalam tangisnya
Akupun pergi kerumah Hamid untuk mengabari keluarganya terlebih dulu. Dirumah hanya ada pembantu dan kak Reva saja. Aku pulang kerumah untuk mengambil handphoneku. Saat dirumah keluargaku keheranan melihatku yang hanya datang mengambil HP kemudian pergi lagi tanpa mengganti seragam. Saat itu juga Vika tiba-tiba datang dan masih mengenakan seragam sekolah
“Mau kemana a?” tanya Vika
“Neng, Hamid kecelakaan, mau ikut ke rumah sakit?” ucapku
“Iya iya mau a” kata Vika mulai panik
“Yaudah ga usah ganti baju, kita berangkat sekarang” ucapku
“Kerumah bentar a, ambil HP” kata Vika
Setelah urusan dirumah selesai kami berangkat menuju rumah sakit. Setibanya dirumah sakit, kak Reva nampak mondar mandir di ruang tunggu bersama Windy yang masih menangis. Vikapun mencoba menenangkan Windy saat itu juga
“Gimana keadaan Hamid?” tanyaku
“ . . . “ kak Reva hanya menggeleng tanpa bilang apapun
Kami semua duduk dan berdoa mendapatkan kabar baik tentang Hamid. Beberapa saat kami menunggu tapi belum juga ada kabar apapun dari dokter ataupun perawat didalam. Kata warga yang mengantar Hamid, ia mendapat kabar bahwa pengendara mobil yang juga mengalami insiden ini bersedia bertanggung jawab. Katanya kronologinya saat itu Hamid sedang melaju cukup kencang dan hendak lurus, tapi ada sebuah mobil yang mau belok di persimpangan masuk gitu aja, padahal pak Ogah setempat sedang mempersilahkan maju untuk jalur yang Hamid lewati.
“Keluarga anak SMA yang kecelakaan” ucap dokter keluar dari ruangan
“Iya dok, saya kakaknya” ucap kak Reva
“Kondisinya kritis, kita butuh donor darah, tapi yang jadi masalah, golongan darah adek nya terbilang langka. Dan stok darah untuk golongan darah O rhesus negatif sedang tidak ada. Apakah ada yang memiliki golongan darah serupa? Karena untuk golongan darah tersebut hanya bisa menerima donor dari jenis yang sama” tanya dokter
“Saya dok” ucap Vika mengangkat tangannya
Aku kaget ketika Vika mengangkat tangannya. Windypun nampak ga percaya dengan hal itu. Apalagi dokter bilang kalau golongan darah yang Hamid miliki termasuk golongan darah yang langka.
“Baik, kalau gitu ikut saya untuk isi formulir dan mengikuti beberapa tahap pemeriksaan kesehatan” ucap dokter
“Neng, bener gapapa?” tanyaku
“Gapapa a, kasian Hamid. Dia juga udah kaya kakak aku sendiri” ucap Vika
“Makasih banyak ya say” ucap Windy sambil memeluk Vika
“Yaudah kita doain ya, gue masuk dulu. Aa, neng masuk dulu ya” kata Vika
“Makasih banyak ya, kalau Hamid tertolong, gue pasti berhutang budi banget” ucap kak Reva juga ikut memeluk Vika
Merekapun masuk meninggalkan kami semua. Setelah beberapa saat kemudian, Vika keluar ditemani suster.
“Gimana? Udah beres?” tanya kak Reva
“Sudah kak, aku udah donorin darahku, kata dokter aku sehat” kata Vika
Dengan rasa sedikit tenang, kami berharap semoga Hamid bisa melewati masa-masa kritisnya. Vika duduk disamping Windy berusaha menenangkannya, begitupun pada kak Reva. Sementara aku hanya mondar-mandir dengan memikirkan apa yang sedang terjadi di dalam. Kemudian Vika menghampiriku dan duduk disampingku
“Aa” panggilnya
“Kenapa neng?” jawabku
“Aa tenang, pasti baik-baik aja kok” kata Vika
Ga lama kemudian, dokter keluar dan memberitahukan bahwa Hamid baik-baik saja dan sudah melewati masa kritisnya. Ia akan dipindahkan ke ruang ICU sampai keadaannya membaik. Tentu saja yang bisa menengok hanya dua orang saja, maka dari itu aku dan Vika membiarkan kak Reva dan Windy yang menjenguk sementara kami akan menunggu di kantin rumah sakit.
“Aa” panggil Vika
“Kenapa neng?” jawabku
“Gapapa kan aku bantu Hamid?” ucap Vika
“Gapapa kok, aku malah bangga sama neng, tapi . . . “ ucapku terputus
“Tapi kenapa a?” kata Vika
“Kalau pahitnya neng di posisi dia, bakal susah juga ya cari pendonor” ucapku
“Aa kok ngomong gitu, emang mau aku kenapa-kenapa?” kata Vika, aku menggeleng
“Kalau gitu doakan yang baik aja a, aku akan baik-baik aja. Lagipula kata dokter aku sehat kan” kata Vika
“Kalau gitu aa yang bakal lebih jaga neng” ucapku
Vika hanya tersenyum padaku, senyum yang bisa membuatku tenang
“Em I iya ma” ucap Vika sedikit gugup
“Kamu itu udah kaya anak mama sendiri” ucap mama sambil mengelus kepala Vika
“Mama jadi ngerasa punya anak perempuan lagi hehe” kata mama
“Kenapa ma? Kok tumben-tumbennya?” ucapku
“Gapapa kok, Vika sama si kembar keliatan deket banget, Vika juga ga jarang kan bantuin belajar si kembar” kata mama
“Iya ma” jawabku malah ikut gugup
“Yasudah, kalau gitu mama berangkat dulu ya” kata mama disertai salam
Vika tiba-tiba terdiam. Memang ucapan mama menjadi hal yang ga pernah aku sangka sebelumnya.
“Kenapa neng?” tanyaku
“Gapapa kok a, kaget aja hehe” kata Vika
“Kayanya mamah ngerestui hehe” goda Ani
“Sekolah aja belum lulus, Ni” ucapku
“Yaaa namanya juga lampu hijau a” kata Ana
“Yaa doain aja hehe” ucapku
Vika hanya tersenyum sambil mendorong kecil pundakku. Tapi sebenarnya akupun senang. Mama berarti sudah menyetujui hubunganku dengan Vika. Meskipun begitu aku tetap harus memenuhi janjiku bahwa nilaiku ga akan sampai turun.
Hari-hari berlalu. Aku mulai disibukkan kembali dengan rutinitas belajar. Aku juga mulai mencari-cari info seputaran kampus yang menjadi targetku.
“Gila, kelas tiga mapelnya makin ga ngotak” kata Sinta
“Lah, elu kan biasanya dapet nilai bagus” ucapku
“Yaiya sih, tapi baru kali ini gue ngerasa cape banget belajar” katanya
“Ya mungkin lu terlalu over belajar jadi cape” ucapku
“Ah engga kok. Gue belajar dirumah juga cuma malem. Pulang les” katanya
“Eh buset dah. Pagi sampe sore sekolah, terus les, terus malem belajar, ga olab tu otak?” ucapku
“Hehe, gimana. Nyokap gue pengen banget gue jadi dokter. Ya gue juga sih” katanya
“Ga yakin gue” ucapku
“Kenapa emang?” tanyanya
“Emang ada pasien yang mau dirawat sama dokter yang galak?” ucapku
“Ish gitu amat si lo” katanya sambil meninju bahuku
“Bercanda Sin”
Pada jam istirahat, aku berniat ke kantin untuk mengisi perutku. Disana aku ga melihat Vika, Windy ataupun Hamid. Sepertinya mereka semua punya kesibukan baru.
“Bu, nasi soto satu” ucapku
“Siap, minumnya apa?” tanya ibu warung
“Es teh manis aja bu” jawabku
Ga butuh waktu lama pesananku tiba. Saat aku sedang menikmati hidanganku, seseorang mengambil gelasku dan dia langsung minum tanpa permisi
“Eh buset Sin, beli lah” ucapku
“Hehe sorry, aus” katanya
“Kaya cewe gue lo. Tiba-tiba ngambil tanpa seizin gue” ucapku
“Hehe, yaudah gue pesenin lagi” katanya
“Ga usah, ga usah” ucapku
“Emang ga jijik lo?” tanyanya
“Tinggal buang sedotannya” ucapku
Setelah selesai makan, aku dan Sinta langsung kembali ke kelas dan dia duduk ditempatnya, yang berada didepanku. Sepulang sekolah, aku menghampiri kelasnya Vika. Dari kaca aku melihat Vika yang sedang beres-beres dan ketika ia melihatku, ia melambaikan tangannya. Ga lama dia langsung menghampiriku
“A, hari ini aku ada kerja kelompok, gapapa kan?” kata Vika
“Oh, ya gapapa. Mau aa tungguin?” tanyaku
“Ga usah a, nanti aku pulang sama Yanti” kata Vika
“Yaudah kalau gitu aa duluan. Neng hati-hati” ucapku
“Iya aa langsung pulang ya” katanya
Aku berjalan menuju parkiran, disana aku melihat Hamid yang lagi ngeluarin motor bareng satu temennya
“Ga bareng Windy lu?” tanyaku
“Engga, gue ada kerkom hehe” kata Hamid
“Kenapa dah semua pada kerkom?” ucapku
“Ya kebetulan aja kali” kata Hamid
Hamidpun berlalu dan aku mengendarai motorku keluar gerbang. Diluar gerbang, aku melihat Windy yang lagi nunggu angkot
“Mau bareng?” ajakku
“Ga bareng Vika?” tanyanya
“Engga, dia lagi kerkom, Hamid juga katanya?” ucapku
“Iya Hamid juga. Tapi gue mau cari novel dulu hehe” kata Windy
“Yaudah ayok dah” ucapku
Aku berangkat bareng Windy menuju toko buku. Setelah menempuh 30 menit perjalanan, kami tiba di pusat toko buku yang terkenal itu. Ada beberapa buku yang plastiknya sudah dibuka sehingga bisa dibaca dengan bebas, namun ada juga yang tertutup rapi dan masih tersegel membuatnya ga bisa dibaca sebelum dibeli. Setelah memutar beberapa menit, kami menuju kasir
“Udah itu aja?” tanyaku
“Udah, yuk. Abis ini kita makan” kata Windy
“Oke deh, kebetulan gue juga laper” ucapku
Setelah itu kami pergi ke tempat makan siap saji yang lokasinya ga jauh darisitu. Windy memesan makanan sementara aku menunggu di meja sambil membaca buku. Ga lama Windy datang membawa nampan yang berisikan pesanan kami.
“Tumben lo baca” kata Windy
“Mumpung ada waktu aja” jawabku
“Gimana lo sama Vika?” tanya Windy
“Baik-baik aja kok. Ngomong-ngomong, abis lulus lo mau kuliah atau kerja?” ucapku
“Kuliah. Gue pengen kuliah di UGM” kata Windy
“Walah, jauh dong ya. LDR dong sama si Hamid” ucapku
“Iya kayanya, lo sendiri mau kemana?” tanya Windy
“Gue pengen ke Bandung, ada PTN yang gue incar” ucapku
“Terus Vika mau kemana?” tanyanya
“Katanya sama sih, tapi gatau. Kalau bareng ya syukur, kalau engga ya saling support aja” ucapku
“Yang terbaik deh buat kalian” kata Windy
Setelah makan, kami ngobrol ringan sambil memesan camilan yang ada di restoran itu. Aku ga tau masa depanku nanti seperti apa. Sebenarnya bagiku menjadi apapun ga masalah. Aku berencana untuk kuliah bisnis nantinya, karena kemungkinannya aku bakal melanjutkan bisnis restoran papa. Cita-citaku sendiripun ingin menjadi seorang pengusaha, tapi itu semua ga mudah.
Aku mungkin mendapat keuntungan sendiri karena papa sudah punya bisnisnya dan aku adalah pewarisnya. Dengan begitu orang mungkin akan menganggapku bisa sukses dengan mudah. Padahal takaran sukses tiap orang itu berbeda-beda.
Ada yang memiliki uang milyaran rupiah, dia sudah bisa dibilang sukses. Ada yang basic dari orang kaya, yang bagi dia sukses itu memiliki uang ratusan milyar rupiah, padahal uang milyaran dia sudah pegang. Orang yang benar-benar mulai dari bawah bisa kok sukses juga. Pasti bisa. Sekalipun dia ga punya koneksi atau terlahir dari keluarga yang biasa saja. Namun memang peran kedua itu sangat berpengaruh dalam cepat atau tidaknya kita mencapai titik akhir.
Bagiku pribadi, menurutku sukses bisa diartikan ketika kita bekerja dan menghasilkan uang, tapi ketika kita bekerja itu, kita ga berasa seperti kerja. Kita merasa bahagia dengan apa yang kita lakukan, dan kita mampu menghasilkan darisitu. Bahkan rasanya kerja itu seperti hari libur. Semua tergantung persepsi masing-masing. Tapi dengan kita bekerja dengan ikhlas, itu sudah menjadi sebuah kemajuan.
“Ga nyangka lo udah mikir sampe kesana” kata Windy
“Kebetulan lewat doang Win” ucapku
“Gue aja ga sampe kesitu” kata Windy
“Ya pemikiran orang-orang kan beda Win” ucapku
“Iya sih. Eh lo ada yang mau dibungkus? Atau pesen lagi buat dirumah?” tawar Windy
“Wah, traktiran nih” ucapku
“Hehe, boleh lah, sebagai ucapan makasih gue karena udah nemenin” kata Windy
“Eh ngga, bercanda gue. Gue bayar sendiri aja” ucapku
“Udah gapapa, gue bayar dulu ya” kata Windy
“Serius ini?” tanyaku
“Iya hehe” jawab Windy sambil pergi
Ga lama setelah membayar aku langsung mengantar Windy pulang. Saat dalam perjalanan pulang, kami terhambat oleh kemacetan di jalan. Tapi kemacetan itu ga berlangsung lama, dan yang menjadi penyebab kemacetan itu adalah laka lantas.
“Rul, Rul berhenti” ucap Windy sambil menepuk pundakku
“Kenapa Win?” tanyaku
“Itu yang kecelakaan” ucap Windy berat
“Kenapa Win? Iya itu kecela . . . “ ucapanku terpotong
Ucapanku terhenti seketika aku melihat sebuah motor yang ga asing tergeletak di aspal dengan mobil yang keadaannya cukup hancur dibagian depan. Aku langsung menepi dan berlari menuju kerumunan bersama Windy
“Astagfirullah ini beneran Hamid” ucapku
“Kenal sama dia?” tanya warga
“Iya pak, temen sekolah saya” ucapku
“Yaudah, bisa hubungi keluarganya?” tanyanya
“Bisa pak, tolong anter dia ke rumah sakit pak” ucapku
Salah satu warga membawa Hamid menggunakan mobil angkot menuju rumah sakit terdekat. Windy nampak kaku melihat Hamid yang bersimpah darah dikepalanya dengan kondisi yang ga sadarkan diri
“Win, lo mau ikut bareng gue atau pake angkot?” tanyaku
“Gue pake angkot aja” jawab Windy sambil berlalu kedalam angkot kosong itu
Aku mengawal angkot tersebut menuju rumah sakit, dan singkat cerita kami sudah tiba di rumah sakit. Selama perjalanan aku bingung bagaimana mengabari keluarganya sementara aku saja belum pulang dari sekolah yang berarti aku ga bawa HP.
“Gue pulang dulu, mau hubungi keluarganya. Lo tunggu ya” ucapku pada Windy
“I iy iya Rul” jawab Windy terbata-bata
“Udah lo doain semoga dia ga kenapa-kenapa” ucapku mencoba menenangkan Windy, dia hanya mengangguk dalam tangisnya
Akupun pergi kerumah Hamid untuk mengabari keluarganya terlebih dulu. Dirumah hanya ada pembantu dan kak Reva saja. Aku pulang kerumah untuk mengambil handphoneku. Saat dirumah keluargaku keheranan melihatku yang hanya datang mengambil HP kemudian pergi lagi tanpa mengganti seragam. Saat itu juga Vika tiba-tiba datang dan masih mengenakan seragam sekolah
“Mau kemana a?” tanya Vika
“Neng, Hamid kecelakaan, mau ikut ke rumah sakit?” ucapku
“Iya iya mau a” kata Vika mulai panik
“Yaudah ga usah ganti baju, kita berangkat sekarang” ucapku
“Kerumah bentar a, ambil HP” kata Vika
Setelah urusan dirumah selesai kami berangkat menuju rumah sakit. Setibanya dirumah sakit, kak Reva nampak mondar mandir di ruang tunggu bersama Windy yang masih menangis. Vikapun mencoba menenangkan Windy saat itu juga
“Gimana keadaan Hamid?” tanyaku
“ . . . “ kak Reva hanya menggeleng tanpa bilang apapun
Kami semua duduk dan berdoa mendapatkan kabar baik tentang Hamid. Beberapa saat kami menunggu tapi belum juga ada kabar apapun dari dokter ataupun perawat didalam. Kata warga yang mengantar Hamid, ia mendapat kabar bahwa pengendara mobil yang juga mengalami insiden ini bersedia bertanggung jawab. Katanya kronologinya saat itu Hamid sedang melaju cukup kencang dan hendak lurus, tapi ada sebuah mobil yang mau belok di persimpangan masuk gitu aja, padahal pak Ogah setempat sedang mempersilahkan maju untuk jalur yang Hamid lewati.
“Keluarga anak SMA yang kecelakaan” ucap dokter keluar dari ruangan
“Iya dok, saya kakaknya” ucap kak Reva
“Kondisinya kritis, kita butuh donor darah, tapi yang jadi masalah, golongan darah adek nya terbilang langka. Dan stok darah untuk golongan darah O rhesus negatif sedang tidak ada. Apakah ada yang memiliki golongan darah serupa? Karena untuk golongan darah tersebut hanya bisa menerima donor dari jenis yang sama” tanya dokter
“Saya dok” ucap Vika mengangkat tangannya
Aku kaget ketika Vika mengangkat tangannya. Windypun nampak ga percaya dengan hal itu. Apalagi dokter bilang kalau golongan darah yang Hamid miliki termasuk golongan darah yang langka.
“Baik, kalau gitu ikut saya untuk isi formulir dan mengikuti beberapa tahap pemeriksaan kesehatan” ucap dokter
“Neng, bener gapapa?” tanyaku
“Gapapa a, kasian Hamid. Dia juga udah kaya kakak aku sendiri” ucap Vika
“Makasih banyak ya say” ucap Windy sambil memeluk Vika
“Yaudah kita doain ya, gue masuk dulu. Aa, neng masuk dulu ya” kata Vika
“Makasih banyak ya, kalau Hamid tertolong, gue pasti berhutang budi banget” ucap kak Reva juga ikut memeluk Vika
Merekapun masuk meninggalkan kami semua. Setelah beberapa saat kemudian, Vika keluar ditemani suster.
“Gimana? Udah beres?” tanya kak Reva
“Sudah kak, aku udah donorin darahku, kata dokter aku sehat” kata Vika
Dengan rasa sedikit tenang, kami berharap semoga Hamid bisa melewati masa-masa kritisnya. Vika duduk disamping Windy berusaha menenangkannya, begitupun pada kak Reva. Sementara aku hanya mondar-mandir dengan memikirkan apa yang sedang terjadi di dalam. Kemudian Vika menghampiriku dan duduk disampingku
“Aa” panggilnya
“Kenapa neng?” jawabku
“Aa tenang, pasti baik-baik aja kok” kata Vika
Ga lama kemudian, dokter keluar dan memberitahukan bahwa Hamid baik-baik saja dan sudah melewati masa kritisnya. Ia akan dipindahkan ke ruang ICU sampai keadaannya membaik. Tentu saja yang bisa menengok hanya dua orang saja, maka dari itu aku dan Vika membiarkan kak Reva dan Windy yang menjenguk sementara kami akan menunggu di kantin rumah sakit.
“Aa” panggil Vika
“Kenapa neng?” jawabku
“Gapapa kan aku bantu Hamid?” ucap Vika
“Gapapa kok, aku malah bangga sama neng, tapi . . . “ ucapku terputus
“Tapi kenapa a?” kata Vika
“Kalau pahitnya neng di posisi dia, bakal susah juga ya cari pendonor” ucapku
“Aa kok ngomong gitu, emang mau aku kenapa-kenapa?” kata Vika, aku menggeleng
“Kalau gitu doakan yang baik aja a, aku akan baik-baik aja. Lagipula kata dokter aku sehat kan” kata Vika
“Kalau gitu aa yang bakal lebih jaga neng” ucapku
Vika hanya tersenyum padaku, senyum yang bisa membuatku tenang
oktavp dan 4 lainnya memberi reputasi
5
Tutup