- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
Santet ( Ketamakan Membawa Petaka)
TS
piendutt
Santet ( Ketamakan Membawa Petaka)
Quote:
SANTET
Part 1. Mimpi Buruk
Kriiing! Kriiing!
Sebuah tangan terlihat meraba-raba berusaha menggapai jam weker yang terus berbunyi dan Cumiakkan telinga itu. Sang pemilik tangan pun bangun dari tidurnya.
"Whoaaamm!"
Seorang gadis dengan rambut sebahu menguap sambil mengusap-usap mata, kemudian berjalan sempoyongan menuju ke kamar mandi dan membersihkan diri.
Tidak lama kemudian, gadis itu menuju ke lantai bawah dan melihat seorang pria yang tidak lain adalah sang papa yang bernama Fajar, tengah duduk sambil membaca korang di sofa. Gadis cantik yang masih mengenakan piyama itu bernama Isna. Dia berjalan ke arah dapur sambil mengendus aroma sedap dari masakan wanita berkerudung yang terlihat sedang mencicipi sup buatannya. Wanita itu adalah sang mama yang bernama Fatimah. Kedua orang tuanya Isna memang sedang berlibur karena hari Minggu.
Tanpa menunggu lama, Isna pun langsung melingkarkan tangannya ke pinggul wanita yang dikaguminya itu.
"Mama masak apa? Sedap banget baunya," tanya Isna dengan nada manja.
"Ini sup ceker kesukaan kamu, Sayang,' jawab sang mama.
Mendadak, dari depan pintu dapur. Isna dikejutkan oleh suara lain yang memanggil namanya.
"Isna! Ngapain kamu di situ?"
Isna pun menoleh ke arah pintu, gadis itu terkejut melihat sang mama sedang berdiri tegak seraya menatapnya.
'Tunggu! Jika Mama ada di sana, lalu siapa yang kurangkul ini?' batin Isna.
Gadis itu menelan ludah, keringat dingin pun telah membasahi keningnya. Ia merenggangkan tangan, melepaskan rangkulan tangannya dan perlahan melongok ke atas untuk melihat siapa wanita yang berada di hadapannya.
Seketika, netranya terbelalak saat melihat wanita yang dikira sang mama tadi sudah berubah. Wanita itu berwajah pucat dengan tetesan darah hitam yang mengalir di seluruh wajahnya, matanya pun melotot tajam ke arah Isna.
"Arrrrhhhhhhhh!" Isna berteriak dan terbangun dari tidurnya bersamaan dengan dering jam weker di meja samping tempat tidurnya. Gadis itu terengah-engah, lalu mematikan jam weker yang terus berbunyi itu. Kemudian ia mengatur nafasnya kembali.
"Astagfirullahaladzim! Mimpi apa itu tadi?" Dia masih bertanya-tanya, lalu membersihkan diri dan turun ke lantai bawah.
Bersambung.
Written : @piendutt
Sumber : Opini pribadi
Jangan lupa mampir bawa ya gan, terimakasih.
Part 1. Mimpi Buruk
Kriiing! Kriiing!
Sebuah tangan terlihat meraba-raba berusaha menggapai jam weker yang terus berbunyi dan Cumiakkan telinga itu. Sang pemilik tangan pun bangun dari tidurnya.
"Whoaaamm!"
Seorang gadis dengan rambut sebahu menguap sambil mengusap-usap mata, kemudian berjalan sempoyongan menuju ke kamar mandi dan membersihkan diri.
Tidak lama kemudian, gadis itu menuju ke lantai bawah dan melihat seorang pria yang tidak lain adalah sang papa yang bernama Fajar, tengah duduk sambil membaca korang di sofa. Gadis cantik yang masih mengenakan piyama itu bernama Isna. Dia berjalan ke arah dapur sambil mengendus aroma sedap dari masakan wanita berkerudung yang terlihat sedang mencicipi sup buatannya. Wanita itu adalah sang mama yang bernama Fatimah. Kedua orang tuanya Isna memang sedang berlibur karena hari Minggu.
Tanpa menunggu lama, Isna pun langsung melingkarkan tangannya ke pinggul wanita yang dikaguminya itu.
"Mama masak apa? Sedap banget baunya," tanya Isna dengan nada manja.
"Ini sup ceker kesukaan kamu, Sayang,' jawab sang mama.
Mendadak, dari depan pintu dapur. Isna dikejutkan oleh suara lain yang memanggil namanya.
"Isna! Ngapain kamu di situ?"
Isna pun menoleh ke arah pintu, gadis itu terkejut melihat sang mama sedang berdiri tegak seraya menatapnya.
'Tunggu! Jika Mama ada di sana, lalu siapa yang kurangkul ini?' batin Isna.
Gadis itu menelan ludah, keringat dingin pun telah membasahi keningnya. Ia merenggangkan tangan, melepaskan rangkulan tangannya dan perlahan melongok ke atas untuk melihat siapa wanita yang berada di hadapannya.
Seketika, netranya terbelalak saat melihat wanita yang dikira sang mama tadi sudah berubah. Wanita itu berwajah pucat dengan tetesan darah hitam yang mengalir di seluruh wajahnya, matanya pun melotot tajam ke arah Isna.
"Arrrrhhhhhhhh!" Isna berteriak dan terbangun dari tidurnya bersamaan dengan dering jam weker di meja samping tempat tidurnya. Gadis itu terengah-engah, lalu mematikan jam weker yang terus berbunyi itu. Kemudian ia mengatur nafasnya kembali.
"Astagfirullahaladzim! Mimpi apa itu tadi?" Dia masih bertanya-tanya, lalu membersihkan diri dan turun ke lantai bawah.
Bersambung.
Written : @piendutt
Sumber : Opini pribadi
Jangan lupa mampir bawa ya gan, terimakasih.
Bab selanjutnya 👇
Part 1. Mimpi Buruk
Part 2. Ibu-ibu Arisan
Part 3. Musibah
Part 4. Perkenalan
Part 5. Mengobati Fatimah
Part 6. Kiriman Santet
Part 7. Cinta pada Pandangan Pertama
Part 8. Isna Terkena Santet
Part 9. Sang Dalang
Part 10. Percobaan Pembunuhan
Diubah oleh piendutt 05-10-2022 07:16
terbitcomyt dan 20 lainnya memberi reputasi
21
10.4K
Kutip
111
Balasan
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
TS
piendutt
#47
Santet
Quote:
Part 10. Percobaan Pembunuhan
Putra mendekati gadis yang disukainya itu dan meletakkan kantong plastik berisi buah-buahan di atas meja yang berada di samping ranjang.
"Gimana keadaan kamu, Isna?" tanya pria itu memecah keheningan.
"Udah agak mendingan, Mas. Makasih udah nolongin aku lagi," sahut Isna lirih.
Sementara, dari luar kamar, datanglah seorang pria yang langsung memeluk Isna.
"Kamu kenapa bisa sampai kayak gini, Isna?! Mas khawatir sama kamu!" ucap pria itu seraya membelai rambut Isna.
"Mas Prima, kok udah pulang? Katanya masih lama di luar Jawa?" sahut Isna.
"Mas langsung minta izin dari kantor dan segera pulang begitu Papa memberi kabar tentang keadaanmu!"
“Sama Mbak Lastri dan Zara juga?” tanya Isna bersemangat.
“Iya, dong! Mbakmu itu terus merengek minta pulang karena khawatir sama kamu!”
"Ehemmm," Putra berdehem memberi isyarat agar pria yang tidak dikenalnya itu segera melepaskan pelukan dari tubuh Isna.
"Dia siapa, Isna?" tanya Prima sambil menatap tajam ke arah Putra.
"Oh, ini Mas Putra, keponakannya Tante Fatma. Mas Putra, ini kenalin ... Mas Prima, kakak kandung aku," ujar Isna dengan tersenyum kecil.
Putra tampak sangat malu karena ternyata pria itu adalah kakak kandung Isna yang selama ini belum pernah dikenalnya. Dia pun berjalan mendekat seraya mengulurkan tangan.
"Saya Putra, Mas," ujarnya berkenalan.
"Iya, aku Prima, kakaknya Isna," sahut Prima.
Isna tersenyum melihat Putra yang terlihat menahan malu. Prima pun keheranan menatap kedua orang itu.
"Apa kalian pacaran, ya? Kok, malu-malu gini?" celetuk Prima.
"Mas Prim, apaan sih?!" bantah Isna malu-malu.
"Saya tuh, sudah mengutarakan isi hati saya pada adiknya Mas Prima ini, tapi sampai sekarang belum dijawab juga," sergah Putra tanpa basa-basi.
"Isna, jangan jual mahal, deh! Nanti nggak laku, loh!" ejek Prima kemudian tertawa renyah.
"Apaan sih, Mas?!” Rona wajah Isna pun mulai memerah karena menahan malu.
Beberapa saat kemudian, terlihat Lastri datang sambil menggendong Zara.
"Isna, cepat sembuh, ya, Sayang! Maaf, Mbak Lastri nggak ada di sampingmu saat kamu sakit.”
"Iya, Mbak Lastri. Nggak apa-apa, kok.”
"Kita sudah nggak diperlukan lagi kok, Ma! Sudah ada yang jagain Isna kalau dia lagi sakit," ejek Prima seraya menatap ke Putra.
"Mas Prim?!" bentak Isna seraya meruncingkan bibirnya.
"Papa! Kenapa ikut campur urusan anak muda? Ini gendong Zara dulu! Mama mau bantu-bantu di dapur," ucap Lastri seraya memberikan bayinya pada Prima.
"Yaudah, aku tinggalin kalian berdua, ya," ujar Prima dan pergi bermain dengan Zara.
Putra duduk di samping ranjang Isna, netranya menatap gadis di depannya itu yang sibuk menyembunyikan rasa malunya. Spontan, Putra memegang tangan Isna.
"Aku ingin meminta jawaban. Aku nggak kuat nahan penasaran," ucap Putra.
Isna melepaskan tangan pria itu dan membuat Putra terlihat kecewa.
"Memangnya … siapa yang bisa menolak pria sebaik Mas," jawabnya sambil tersenyum.
Putra yang tadinya murung, langsung tersenyum lebar. Pria itu langsung berbalik untuk memeluk tubuh Isna.
"Makasih, ya, Isna! Makasih karena mau menerima aku," ujar Putra seraya membelai rambut gadis yang sudah menerima cintanya itu.
"Harusnya aku yang berterima kasih karena Mas Putra sudah mau menerima kekuranganku," sahut Isna seraya menepuk bahu pria itu.
"Aku janji akan menjagamu dengan baik dan akan berusaha membuatmu bahagia," tegas pria tampan berhidung mancung itu.
"Iya Mas."
Fajar yang melihat mereka berpelukan dari luar kamar mengurungkan niatnya untuk masuk. Dia pun turut tersenyum puas karena anak perempuannya sudah menemukan jodoh yang baik.
***
Pada hari Minggu, Putra dan Isna berjalan-jalan menikmati udara sejuk di sebuah taman. Mereka berjalan bergandengan tangan, lalu duduk di sebuah kursi. Isna melihat penjual es krim yang baru saja lewat di depan mereka.
"Isna mau es krim?" tanya pria yang kini menjadi kekasihnya itu. Isna pun mengangguk cepat.
"Tunggu di sini, ya! Mas beliin dulu," ujar Putra seraya pergi meninggalkan kekasihnya itu.
Tidak disangka, Rudi sudah membuntuti mereka sejak mereka meninggalkan rumah. Anak semata wayang mendiang Diah itu langsung beraksi begitu memiliki kesempatan untuk membalas dendam atas kematian ibunya. Pria itu keluar dari semak-semak dan mendatangi Isna.
"Mas Rudi," sapa Isna yang memang mengenalnya.
"Gara-gara kamu ibuku mati! Aku tidak akan membiarkanmu bahagia!"
Jlebbbb!
Rudi langsung menusuk perut Isna dengan sebilah pisau. Matanya memerah seperti orang yang tengah kerasukan.
"Aahhkk!" rintih Isna menahan sakit di perutnya.
Rudi tersadar saat melihat darah mulai membasahi baju yang dikenakan Isna. Pria itu mulai panik dan bergegas pergi. Dia bahkan tidak tahu apa yang baru saja dilakukannya. Spontan, pria itu membuang pisau yang dipakainya untuk menusuk Isna dan pergi entah ke mana.
***
Putra berjalan santai usai membeli es krim untuk kekasihnya. Dia tersenyum puas seraya menghampiri Isna. Namun, betapa terkejutnya dia saat melihat gadis yang dicintainya itu sudah tersungkur di tanah dengan baju yang berlumuran darah.
Tanpa berpikir panjang, Putra membuang es krim di tangannya dan langsung menolong Isna.
"Apa yang terjadi, Isna?! Kenapa ini?!" Isak Putra yang cemas melihat kekasihnya terluka.
"Mas Ru-Rudi-," Isna langsung pingsan sebelum sempat menyelesaikan ucapannya.
"Isnaaa!!!" teriak Putra.
Isna segera dilarikan ke rumah sakit terdekat dan beruntung, Dokter sigap memberikan pertolongan.
"Apa yang terjadi, Nak Putra?" tanya Fajar yang buru-buru ke rumah sakit setelah mendengar kabar penusukan yang menimpa putrinya.
"Saya nggak tau siapa yang melakukan ini, Om. Tapi, tadi sebelum Isna pingsan, dia sempat menyebut nama 'Mas Rudi'. Apakah Om mengenal orang itu?" tanya Putra.
"Kamu bilang 'Rudi'?! Apa mungkin ... yang dimaksud Isna adalah anak almarhum Mbak Diah?" sahut Fatimah.
"Bisa jadi! Aku akan melaporkan kejadian ini pada polisi. Kalian tunggu di sini, ya," kata Fajar.
Mereka berdua pun mengangguk dan Fajar pun segera pergi menuju ke kantor polisi terdekat.
Polisi langsung datang menyelidiki tempat kejadian perkara usai menerima laporan dari Fajar. Pihak kepolisian pun menyisir lokasi kejadian dan menemukan sebilah pisau yang penuh dengan bercak darah. Polisi juga berhasil mengidentifikasi sidik jari yang menempel pada pisau itu. Benar saja, pelaku penusukan itu adalah Rudi, anak almarhum Diah.
Polisi langsung menangkapnya di sebuah motel yang berada tidak jauh dari lokasi kejadian. Motif Rudi melakukan penusukan itu adalah membalas dendam atas kematian ibunya.
Kini, Rudi harus mendekam di penjara dalam waktu yang lumayan lama karena perbuatannya. Restoran yang dimilikinya pun juga harus ditutup karena tidak ada yang menjalankan bisnis itu lagi.
Dokter keluar dari ruang UGD dan mengatakan kepada keluarga Isna bahwa gadis itu sudah melewati masa kritis. Untung saja Putra membawa kekasihnya itu ke rumah sakit dengan segera. Terlambat sedikit saja, nyawa Isna bisa melayang.
Beberapa waktu berlalu dan Isna mulai membuka mata usai beberapa hari tertidur karena pengaruh obat. Gadis itu melihat kedua orang tuanya di samping ranjangnya.
"Kamu sudah bangun, Sayang?" tanya Fatimah seraya membantu Isna yang ingin bersandar.
"Iya, Ma. Mas Putra mana?" tanya Isna yang tidak melihat Putra di ruangan itu.
"Kamu ini, belum aja sembuh, udah nyariin orang lain," gerutu Fajar.
"Putra masih kuliah, Sayang. Sebentar lagi dia pasti ke sini. jangan khawatir, ya," ujar Fatimah dan Isna pun mengangguk.
***
Sore harinya, Putra datang ke rumah sakit karena ingin mengetahui kabar kekasihnya sekarang.
Saat tiba di kamar pasien, pria itu langsung memeluk kekasih yang dicintainya itu. Fajar dan Fatimah hanya menggeleng melihat tingkah dua orang yang sedang kasmaran itu.
"Mas, ada orang tuaku di belakang," bisik Isna dan melepaskan pelukan pria itu.
"Oh! Aku sampai lupa! Maaf, Om, Tante," ujar pria itu menahan malu.
"Maafin aku karena nggak bisa menjagamu dengan baik, ini semua salahku," ucap Putra penuh penyesalan.
"Mas ini ngomong apa? Ini, tuh musibah, Mas. Bukan salah Mas," bantah Isna.
"Iya, Nak Putra. Lagian, sekarang pelakunya juga sudah tertangkap. Ternyata selama ini Rudi dan ibunya yang mengirim santet itu ke rumah kami," ujar Fajar.
"Benarkan itu, Pa?" tanya Isna tidak percaya.
"Iya, Sayang. Rudi sudah mengakui semua perbuatannya di kantor polisi," timpal Fatimah.
"Jadi, sekarang keluarga kita sudah aman, ya, Pa?" tanya Isna lagi.
"Insya Allah, Sayang."
"Syukurlah, Om, Tante. Saya ikut senang," ujar Putra.
"Ini semua juga berkat kamu, Nak Putra," ucap Fajar.
Mereka semua pun tersenyum bahagia.
***
Kini, restoran milik Fatimah sudah kembali seperti biasa. Pelanggan yang dulu pergi, kini mulai datang kembali. Keuangan mereka pun juga kembali normal.
Fajar memutuskan untuk membiayai kuliah Isna, agar anaknya kelak memiliki masa depan yang lebih baik. Putra dan Isna berkuliah di kampus yang sama. Pasangan itu menghabiskan hari-hari mereka dengan kebahagiaan.
Beberapa bulan kemudian.
Terlihat Putra sedang menggendong seorang anak berusia satu tahunan di rumah Isna.
"Udah pantes, loh kamu! Kenapa nggak langsung nikah aja?" celetuk Prima seraya mengambil Zara dari gendongan Putra.
"Mas Prim, selalu deh!" bantah Isna yang saat itu juga ada di sana.
"Insya Allah, setelah saya lulus dan bekerja, saya akan langsung melamar Isna, Mas. Kamu yang sabar, ya, Is," ujar Putra dan Isna hanya menunduk malu mendengar ucapan kekasihnya itu.
"Kamu tentu sudah tahu jawaban kami, kan, Nak? Kami semua sudah merestui kalian," ujar Fajar.
"Terimakasih, ya, Om," ucap Putra seraya menggandeng tangan Isna dan tersenyum bahagia.
Kini, keluarga Isna kembali hidup normal dan lebih berbahagia.
Tamat.
***
Sesungguhnya, orang-orang yang menyimpan iri dan dengki adalah orang-orang yang jauh dari Surga.
Allah sudah mengatur rezeki setiap umat-Nya. Janganlah mengeluh dan terus berusaha.
Semoga kisah ini bisa menginspirasi kalian.
Putra mendekati gadis yang disukainya itu dan meletakkan kantong plastik berisi buah-buahan di atas meja yang berada di samping ranjang.
"Gimana keadaan kamu, Isna?" tanya pria itu memecah keheningan.
"Udah agak mendingan, Mas. Makasih udah nolongin aku lagi," sahut Isna lirih.
Sementara, dari luar kamar, datanglah seorang pria yang langsung memeluk Isna.
"Kamu kenapa bisa sampai kayak gini, Isna?! Mas khawatir sama kamu!" ucap pria itu seraya membelai rambut Isna.
"Mas Prima, kok udah pulang? Katanya masih lama di luar Jawa?" sahut Isna.
"Mas langsung minta izin dari kantor dan segera pulang begitu Papa memberi kabar tentang keadaanmu!"
“Sama Mbak Lastri dan Zara juga?” tanya Isna bersemangat.
“Iya, dong! Mbakmu itu terus merengek minta pulang karena khawatir sama kamu!”
"Ehemmm," Putra berdehem memberi isyarat agar pria yang tidak dikenalnya itu segera melepaskan pelukan dari tubuh Isna.
"Dia siapa, Isna?" tanya Prima sambil menatap tajam ke arah Putra.
"Oh, ini Mas Putra, keponakannya Tante Fatma. Mas Putra, ini kenalin ... Mas Prima, kakak kandung aku," ujar Isna dengan tersenyum kecil.
Putra tampak sangat malu karena ternyata pria itu adalah kakak kandung Isna yang selama ini belum pernah dikenalnya. Dia pun berjalan mendekat seraya mengulurkan tangan.
"Saya Putra, Mas," ujarnya berkenalan.
"Iya, aku Prima, kakaknya Isna," sahut Prima.
Isna tersenyum melihat Putra yang terlihat menahan malu. Prima pun keheranan menatap kedua orang itu.
"Apa kalian pacaran, ya? Kok, malu-malu gini?" celetuk Prima.
"Mas Prim, apaan sih?!" bantah Isna malu-malu.
"Saya tuh, sudah mengutarakan isi hati saya pada adiknya Mas Prima ini, tapi sampai sekarang belum dijawab juga," sergah Putra tanpa basa-basi.
"Isna, jangan jual mahal, deh! Nanti nggak laku, loh!" ejek Prima kemudian tertawa renyah.
"Apaan sih, Mas?!” Rona wajah Isna pun mulai memerah karena menahan malu.
Beberapa saat kemudian, terlihat Lastri datang sambil menggendong Zara.
"Isna, cepat sembuh, ya, Sayang! Maaf, Mbak Lastri nggak ada di sampingmu saat kamu sakit.”
"Iya, Mbak Lastri. Nggak apa-apa, kok.”
"Kita sudah nggak diperlukan lagi kok, Ma! Sudah ada yang jagain Isna kalau dia lagi sakit," ejek Prima seraya menatap ke Putra.
"Mas Prim?!" bentak Isna seraya meruncingkan bibirnya.
"Papa! Kenapa ikut campur urusan anak muda? Ini gendong Zara dulu! Mama mau bantu-bantu di dapur," ucap Lastri seraya memberikan bayinya pada Prima.
"Yaudah, aku tinggalin kalian berdua, ya," ujar Prima dan pergi bermain dengan Zara.
Putra duduk di samping ranjang Isna, netranya menatap gadis di depannya itu yang sibuk menyembunyikan rasa malunya. Spontan, Putra memegang tangan Isna.
"Aku ingin meminta jawaban. Aku nggak kuat nahan penasaran," ucap Putra.
Isna melepaskan tangan pria itu dan membuat Putra terlihat kecewa.
"Memangnya … siapa yang bisa menolak pria sebaik Mas," jawabnya sambil tersenyum.
Putra yang tadinya murung, langsung tersenyum lebar. Pria itu langsung berbalik untuk memeluk tubuh Isna.
"Makasih, ya, Isna! Makasih karena mau menerima aku," ujar Putra seraya membelai rambut gadis yang sudah menerima cintanya itu.
"Harusnya aku yang berterima kasih karena Mas Putra sudah mau menerima kekuranganku," sahut Isna seraya menepuk bahu pria itu.
"Aku janji akan menjagamu dengan baik dan akan berusaha membuatmu bahagia," tegas pria tampan berhidung mancung itu.
"Iya Mas."
Fajar yang melihat mereka berpelukan dari luar kamar mengurungkan niatnya untuk masuk. Dia pun turut tersenyum puas karena anak perempuannya sudah menemukan jodoh yang baik.
***
Pada hari Minggu, Putra dan Isna berjalan-jalan menikmati udara sejuk di sebuah taman. Mereka berjalan bergandengan tangan, lalu duduk di sebuah kursi. Isna melihat penjual es krim yang baru saja lewat di depan mereka.
"Isna mau es krim?" tanya pria yang kini menjadi kekasihnya itu. Isna pun mengangguk cepat.
"Tunggu di sini, ya! Mas beliin dulu," ujar Putra seraya pergi meninggalkan kekasihnya itu.
Tidak disangka, Rudi sudah membuntuti mereka sejak mereka meninggalkan rumah. Anak semata wayang mendiang Diah itu langsung beraksi begitu memiliki kesempatan untuk membalas dendam atas kematian ibunya. Pria itu keluar dari semak-semak dan mendatangi Isna.
"Mas Rudi," sapa Isna yang memang mengenalnya.
"Gara-gara kamu ibuku mati! Aku tidak akan membiarkanmu bahagia!"
Jlebbbb!
Rudi langsung menusuk perut Isna dengan sebilah pisau. Matanya memerah seperti orang yang tengah kerasukan.
"Aahhkk!" rintih Isna menahan sakit di perutnya.
Rudi tersadar saat melihat darah mulai membasahi baju yang dikenakan Isna. Pria itu mulai panik dan bergegas pergi. Dia bahkan tidak tahu apa yang baru saja dilakukannya. Spontan, pria itu membuang pisau yang dipakainya untuk menusuk Isna dan pergi entah ke mana.
***
Putra berjalan santai usai membeli es krim untuk kekasihnya. Dia tersenyum puas seraya menghampiri Isna. Namun, betapa terkejutnya dia saat melihat gadis yang dicintainya itu sudah tersungkur di tanah dengan baju yang berlumuran darah.
Tanpa berpikir panjang, Putra membuang es krim di tangannya dan langsung menolong Isna.
"Apa yang terjadi, Isna?! Kenapa ini?!" Isak Putra yang cemas melihat kekasihnya terluka.
"Mas Ru-Rudi-," Isna langsung pingsan sebelum sempat menyelesaikan ucapannya.
"Isnaaa!!!" teriak Putra.
Isna segera dilarikan ke rumah sakit terdekat dan beruntung, Dokter sigap memberikan pertolongan.
"Apa yang terjadi, Nak Putra?" tanya Fajar yang buru-buru ke rumah sakit setelah mendengar kabar penusukan yang menimpa putrinya.
"Saya nggak tau siapa yang melakukan ini, Om. Tapi, tadi sebelum Isna pingsan, dia sempat menyebut nama 'Mas Rudi'. Apakah Om mengenal orang itu?" tanya Putra.
"Kamu bilang 'Rudi'?! Apa mungkin ... yang dimaksud Isna adalah anak almarhum Mbak Diah?" sahut Fatimah.
"Bisa jadi! Aku akan melaporkan kejadian ini pada polisi. Kalian tunggu di sini, ya," kata Fajar.
Mereka berdua pun mengangguk dan Fajar pun segera pergi menuju ke kantor polisi terdekat.
Polisi langsung datang menyelidiki tempat kejadian perkara usai menerima laporan dari Fajar. Pihak kepolisian pun menyisir lokasi kejadian dan menemukan sebilah pisau yang penuh dengan bercak darah. Polisi juga berhasil mengidentifikasi sidik jari yang menempel pada pisau itu. Benar saja, pelaku penusukan itu adalah Rudi, anak almarhum Diah.
Polisi langsung menangkapnya di sebuah motel yang berada tidak jauh dari lokasi kejadian. Motif Rudi melakukan penusukan itu adalah membalas dendam atas kematian ibunya.
Kini, Rudi harus mendekam di penjara dalam waktu yang lumayan lama karena perbuatannya. Restoran yang dimilikinya pun juga harus ditutup karena tidak ada yang menjalankan bisnis itu lagi.
Dokter keluar dari ruang UGD dan mengatakan kepada keluarga Isna bahwa gadis itu sudah melewati masa kritis. Untung saja Putra membawa kekasihnya itu ke rumah sakit dengan segera. Terlambat sedikit saja, nyawa Isna bisa melayang.
Beberapa waktu berlalu dan Isna mulai membuka mata usai beberapa hari tertidur karena pengaruh obat. Gadis itu melihat kedua orang tuanya di samping ranjangnya.
"Kamu sudah bangun, Sayang?" tanya Fatimah seraya membantu Isna yang ingin bersandar.
"Iya, Ma. Mas Putra mana?" tanya Isna yang tidak melihat Putra di ruangan itu.
"Kamu ini, belum aja sembuh, udah nyariin orang lain," gerutu Fajar.
"Putra masih kuliah, Sayang. Sebentar lagi dia pasti ke sini. jangan khawatir, ya," ujar Fatimah dan Isna pun mengangguk.
***
Sore harinya, Putra datang ke rumah sakit karena ingin mengetahui kabar kekasihnya sekarang.
Saat tiba di kamar pasien, pria itu langsung memeluk kekasih yang dicintainya itu. Fajar dan Fatimah hanya menggeleng melihat tingkah dua orang yang sedang kasmaran itu.
"Mas, ada orang tuaku di belakang," bisik Isna dan melepaskan pelukan pria itu.
"Oh! Aku sampai lupa! Maaf, Om, Tante," ujar pria itu menahan malu.
"Maafin aku karena nggak bisa menjagamu dengan baik, ini semua salahku," ucap Putra penuh penyesalan.
"Mas ini ngomong apa? Ini, tuh musibah, Mas. Bukan salah Mas," bantah Isna.
"Iya, Nak Putra. Lagian, sekarang pelakunya juga sudah tertangkap. Ternyata selama ini Rudi dan ibunya yang mengirim santet itu ke rumah kami," ujar Fajar.
"Benarkan itu, Pa?" tanya Isna tidak percaya.
"Iya, Sayang. Rudi sudah mengakui semua perbuatannya di kantor polisi," timpal Fatimah.
"Jadi, sekarang keluarga kita sudah aman, ya, Pa?" tanya Isna lagi.
"Insya Allah, Sayang."
"Syukurlah, Om, Tante. Saya ikut senang," ujar Putra.
"Ini semua juga berkat kamu, Nak Putra," ucap Fajar.
Mereka semua pun tersenyum bahagia.
***
Kini, restoran milik Fatimah sudah kembali seperti biasa. Pelanggan yang dulu pergi, kini mulai datang kembali. Keuangan mereka pun juga kembali normal.
Fajar memutuskan untuk membiayai kuliah Isna, agar anaknya kelak memiliki masa depan yang lebih baik. Putra dan Isna berkuliah di kampus yang sama. Pasangan itu menghabiskan hari-hari mereka dengan kebahagiaan.
Beberapa bulan kemudian.
Terlihat Putra sedang menggendong seorang anak berusia satu tahunan di rumah Isna.
"Udah pantes, loh kamu! Kenapa nggak langsung nikah aja?" celetuk Prima seraya mengambil Zara dari gendongan Putra.
"Mas Prim, selalu deh!" bantah Isna yang saat itu juga ada di sana.
"Insya Allah, setelah saya lulus dan bekerja, saya akan langsung melamar Isna, Mas. Kamu yang sabar, ya, Is," ujar Putra dan Isna hanya menunduk malu mendengar ucapan kekasihnya itu.
"Kamu tentu sudah tahu jawaban kami, kan, Nak? Kami semua sudah merestui kalian," ujar Fajar.
"Terimakasih, ya, Om," ucap Putra seraya menggandeng tangan Isna dan tersenyum bahagia.
Kini, keluarga Isna kembali hidup normal dan lebih berbahagia.
Tamat.
***
Sesungguhnya, orang-orang yang menyimpan iri dan dengki adalah orang-orang yang jauh dari Surga.
Allah sudah mengatur rezeki setiap umat-Nya. Janganlah mengeluh dan terus berusaha.
Semoga kisah ini bisa menginspirasi kalian.
69banditos dan 4 lainnya memberi reputasi
5
Kutip
Balas
Tutup