Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

baccuAvatar border
TS
baccu
Bulan Purnama


Bab 1 – Bulan Temaram


Malam itu aku kembali merenung seperti biasanya. Sepoi angin yang menembus celah dedaunan, memelukku dengan lembut. Cahaya bulan mulai temaram, seolah mengabaikanku. Di seberang jalan tampak beberapa pemuda bercanda tawa. Mereka terseok-seok sembari menggenggam botol minuman keras. Anjing di pekarangan sebelah terus menggonggong berlagak mengusirku.

“Ya ampun”, gumamku dengan lirih.

Aku pun turun dari atap, melewati jendela dan masuk kembali ke dalam kamarku. Jika banyak yang bertanya-tanya? Sudah sewajarnya tiap insan manusia memiliki tempat favorit untuk menyendiri; bagiku atap rumah adalah bilik paling nyaman untuk menenangkan hati yang gundah.

Kupandang jam kuno yang menempel di dinding. Waktu sudah menunjukkan pukul delapan lewat dua puluh dua menit. Sebelum beranjak tidur kulihat sejenak layar ponselku, hanya untuk menambah rasa kesal.

“Udah tidur mungkin ya?” hiburku dalam hati.

Sudah tiga hari ini Lisa, pacarku, tidak membalas pesanku. Bahkan notifikasi untuk menunjukkan ‘sudah dibaca’ pun dia matikan. Memang aku mungkin sedikit keterlaluan saat pergi tanpa pamit dengannya. Dia selalu mengabaikanku, seolah aku tidak ada.

Kami sempat bertengkar lantaran hal yang sebenarnya cukup sepele. Tempo hari lalu kami sudah berencana untuk makan malam bersama di sebuah restoran baru. Namun karena desakan pekerjaan, aku harus lembur hingga terlambat satu jam. Menunggu selama itu bagaikan setahun, atau bahkan sewindu di pikirannya. Saat datang menjemput, dia sudah mengenakan piyama dan menatapku dengan sinis. Walaupun sudah kurayu dengan beribu kalimat, dia tetap enggan untuk beranjak dan mulai berceloteh bagaikan pemuka agama.

Dengan jujur kuutarakan segala alasanku namun tetap saja melewati kedua daun telinganya. Akibat terlalu lelah, aku pun ikut terbawa emosi. Kami sempat adu mulut hingga akhirnya kuputuskan untuk segera pergi dari teras rumahnya tanpa sepatah kata pun. Setelah malam itu, Lisa seolah sudah tak peduli lagi.

“Dag dag dag,” tiba-tiba terdengar suara yang hampir membuat dada ini meledak.

“Anjing! Siapa sih!” timpalku.

Beberapa hari terakhir sering terdengar suara-suara aneh. Terkadang seperti langkah kaki sedang berlari. Kemarin juga ada seseorang yang mengetuk pintu, namun setelah kubuka, tidak ada siapa pun. Ingin rasanya aku pindah, tapi sayang sekali kamar lain sudah terisi penuh.

Kos yang kutinggali ini memang terkenal murah dan juga aman. Selain itu para penghuni juga cuek, justru sebagai nilai tambah menurutku. Letak kamarku ada di lantai tiga, lantai paling atas. Akses menuju ke atap sangat mudah, hanya keluar dari jendela dan memanjat pagar balkon kecil. Hanya ada empat kamar di lantai ini, dengan dua kamar saling berhadapan yang terpisah oleh tangga menuju ke bawah.

Kamar sebelahku dihuni oleh seorang mahasiswa bernama Roni yang jarang pulang. Dia kerap disibukkan dengan kehidupan kampusnya karena mengikuti organisasi. Dua kamar di seberang ditinggali oleh pekerja swasta bernama Rama dan Ipul. Mereka teman sekantor dan sangat suka bermain game online sampai larut.

Walaupun jantung ini masih berlomba, aku tetap berpikir jernih. Mungkin saja ada anak kos lain yang iseng. Kuabaikan bunyi tadi dan memejamkan mata. Berharap hari esok akan sedikit lebih baik dari hari ini.


***


Bersambung...



Quote:


Diubah oleh baccu 04-10-2022 07:40
indrag057
indri507
bukhorigan
bukhorigan dan 10 lainnya memberi reputasi
11
4.5K
101
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
baccuAvatar border
TS
baccu
#22
Bab 8 – Terima Kasih
Bab 8 – Terima Kasih


Spoiler for Lagu pengiring:


Kedua bola mataku tak henti-hentinya mengulang membaca halaman itu. Dengan perlahan kubaca setiap kalimat, bahkan kata, dari awal sampai akhir. Namun seluruh syaraf otak ini masih tidak percaya pada kebenaran yang tertuang pada buku harian milik Lisa. Sebuah kenyataan pahit yang bahkan aku sendiri tidak percaya apakah memang benar-benar sudah terjadi. Namun satu hal yang pasti, tulisan tangan ini memang miliknya, Lisa sendiri yang menulisnya. Dalam satu halaman kertas yang sedikit lusuh akibat tetesan air mata, bisa kulihat tangannya gemetar saat menulisnya.

Quote:


Masih belum percaya dengan apa yang kubaca, aku membalik halaman selanjutnya.

Quote:


Tertegun sejenak, mataku memandang keluar jendela. Entah mengapa ada perasaan aneh yang menghantui dan waktu seolah terhenti. Langit begitu biru dihiasi awan Cumiar seputih salju. Terdengar saut-sautan burung berkicau.

Kuhela nafas dalam-dalam dan beranjak berdiri. Jika ragaku sudah tiada, mengapa jiwaku masih berkelana? Pikiranku berkecamuk tidak karuan antara menerima kenyataan dan mengingat kembali seluruh kejadian.

Aku berjalan mondar-mandir di kamar Lisa yang kosong ini sembari menengadahkan wajah ke atas, kemudian kembali duduk. Kuputuskan untuk melanjutkan membaca buku hariannya.

Quote:


Tak terasa aku kembali menitikan air mata, namun rasanya hampa. Ada perasaan menyesal yang begitu dalam, lebih gelap dari samudra. Seandainya malam itu aku berkata jujur kepadanya, mungkin tidak seperti ini jadinya. Dengan terisak, aku kuatkan untuk melanjutkan membaca halaman berikutnya hingga berhenti pada beberapa halaman terbaru karena ada sesuatu yang berbeda.

Quote:


Quote:


Kali ini aku sedikit tersenyum membaca tulisannya. Akhirnya setelah sekian lama dia kembali membuka lembaran baru. Aku yakin hal seperti ini tidaklah mudah, terlebih lagi Lisa adalah anak pertama yang harus menjadi tulang punggung keluarga. Aku yakin pria yang ingin melamarnya juga akan berpikiran yang sama denganku, mengurangi beban yang dipikulnya agar bisa memperoleh kebahagiaan sepantasnya.

Aku terpaku sejenak, Lisa menuliskan bahwa dia akan mengunjungiku dan hari ini adalah 7 November, yang berarti pagi ini mereka semua pergi ke makamku. Segera aku melayang keluar jendela dan menyusuri jalan. Kebetulan makam kota tak begitu jauh, mungkin hanya butuh 15 menit jika berkendara menggunakan bus umum.

Setiba di makam aku mencari-cari Lisa sambil berkeliling. Tak lama kemudian terlihat sebuah sedan putih datang dan berhenti. Tampak seorang pria turun disusul oleh Lisa beserta ibu dan adiknya. Mereka sepertinya mampir untuk membeli bunga mawar dan melati karena kini bisa kulihat ibunya menenteng keranjang dari rotan. Kuperhatikan mereka dari jauh dan aku yakin mereka tidak bisa melihatku.

Mereka berjalan dengan pelan dan Lisa sesekali tersenyum sambil mengobrol dengan pacarnya, kemudian berhenti di sebuah makam. Aku pun segera mendekati mereka dan berdiri di belakang. Lisa berlutut sembari membersihkan daun-daun kering yang menutupi tanah. Adiknya mengeluarkan sebotol air dari dalam tas dan menyiram nisan yang kini bisa kubaca bertuliskan namaku, Brian Purnomo. Pria tersebut ikut berlutut di sebelah Lisa.

“Hai Brian. Maaf baru berkunjung lagi,” kata Lisa sembari membersihkan batu nisan dengan tangannya.

Aku memutar dan berdiri di depannya. Bisa kulihat wajah Lisa yang sendu namun tersenyum.

“Kenalin, ini Chandra. Dia baru aja melamarku dan pengen ketemu kamu.”

Mataku berpaling ke sosok pria tepat di samping Lisa. Jika dilihat sekilas memang harus kuakui, dia sedikit mirip denganku.

“Halo bro. Lisa udah banyak cerita,” dia tersenyum memandang ke arah tubuhku yang terpendam 6 kaki di bawah tanah. “Makasih udah jagain Lisa selama ini. Sekarang izinkan aku yang jaga dia dari sekarang.”

Entah mengapa ada sedikit kehangatan di lubuk hatiku. Bisa kulihat bahwa dia benar-benar mencintai Lisa dengan tulus.

“Tahun depan kita mau nikah,” Lisa menambahkan.

Aku menjeda nafas kosongku ini, ada secercah keinginan bahwa aku yang seharusnya ada di sana. Namun apa daya, aku harus mengikhlaskannya. Mungkin inilah saatnya agar aku bisa istirahat dengan tenang. Mungkin inilah momen yang ditunggu, yaitu mengikhlaskan Lisa hidup dengan orang lain. Terkadang cinta sejati adalah saat kita turut tersenyum melihat orang yang kita cintai bisa bahagia, walaupun bukan dengan kita.

Lisa memasukkan tangannya ke dalam tas dan mengeluarkan sesuatu.

“Aku kembalikan cincin ini."

Dia menaruh kotak cincin yang tadinya akan kuberikan saat melamarnya di atas tanah makam, tersenyum tipis namun matanya sedikit berkaca-kaca. Aku berlutut berhadapan dengannya. Kugenggam punggung tangannya.

“Terima kasih,” aku berkata kepada Lisa yang tak dapat mendengarku. “Terima kasih buat semuanya. Semoga kamu bisa hidup bahagia.”

Aku tersenyum walaupun Lisa tak pernah tahu. Hamburan bunga mawar merah dan melati jatuh seperti hujan yang wangi. Ibu dan adiknya mengambil dan menaburkan bunga di atas makam ini. Sejenak waktu terasa berjalan begitu lambat. Kupandang kedua bola matanya yang cerah namun sedikit berair. Terlintas dalam benak momen-momen saat aku dan Lisa tertawa berdua. Momen saat dia tersenyum, cemberut dan kesal.

Dalam deretan momen itu, akhirnya aku ingat semuanya sekarang. Malam itu setelah pergi meninggalkan rumahnya, aku mengendarai motorku dengan kencang. Dilanda rasa pedih yang menyayat hati, aku pun kehilangan fokus dan menerobos lampu merah. Sebuah bus dari arah kanan sedang melaju dan kecelakaan pun tak terhindarkan. Aku yang saat itu tidak mengenakan helm pelindung mengalami luka berat di bagian kepala. Sejenak sebelum menghembuskan nafas terakhir, aku memandang langit dan terlihat bulan bersinar. Bagaikan terhipnotis cahaya bulan, hanya ada pancaran putih yang benderang.

Lisa kemudian berdiri mengikuti untuk menabur bunga, disusul oleh Chandra. Aku ikut berdiri dan memandang mereka berdua. Lega sekali rasanya setelah melihatnya sedekat ini. Bisa menggenggam tangannya untuk yang terakhir kalinya. Turut berbahagia oleh kabar yang dibawa mereka berdua.

“Kami pulang dulu ya. Istirahat yang tenang di sana.” Lisa mengucapkan salam perpisahannya dan membalikkan badan.

Mereka semua berjalan keluar dari area makam memunggungiku. Bisa kulihat kebersamaan dan kehangatan mereka. Kali ini hatiku sudah merasa lebih penuh. Aku turut berbahagia melihat Lisa tersenyum. Sejenak Lisa seperti memandang ke arahku sebelum masuk ke dalam mobil dan pergi. Aku terdiam, berdiri di atas makamku sendiri. Sebuah tubuh tergolak lemah di dalamnya. Kupandang langit yang cerah dan berharap setelah ini bisa istirahat dengan tenang.

Kuhabiskan siang itu menyusuri kota yang ramai. Berkunjung ke setiap tempat yang pernah menjadi saksi dan sejarah hidupku yang kian membisu. Tampak orang-orang begitu ceria, kucing jalanan makan dengan lahap, anak-anak berlarian membawa balon yang digenggam di salah satu tangan. Menjelang petang aku kembali ke kos lamaku. Naik ke lantai tiga dan mengetuk pintu, yang padahal kutahu di dalamnya memang kosong.

Dan di sinilah aku malam ini, seperti malam-malam sebelumnya. Duduk di atap memandang langit yang bertabur bintang. Sepoi angin menembus celah dedaunan memelukku dengan lembut namun hangat. Semakin lama bulan mulai menampakkan wajahnya, bersinar terang bagaikan nirwana. Mataku tak bisa lepas dari tatapannya, memandang dengan kosong seolah terhipnotis oleh keagungannya.



*** TAMAT ***

carioverkredit
aymawishy
moonchanger
moonchanger dan 2 lainnya memberi reputasi
3
Tutup