neopoAvatar border
TS
neopo
Jalan Terakhir


Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh. Apakabar semua. Setelah sekian lama ga berbagi cerita akhirnya mencoba lagi untuk menulis/membagikan salah satu cerita/kisah/tulisan dari seorang teman. Tentunya saya tidak lupa akan thread sebelumnya yang saya buat, yang berjudul Riding to Jannah yang sementara ini dihentikan dulu karena hilangnya draft yang sudah dibuat dulu. Bahkan sampai beberapa tahun tidak terurus. Tetapi insyaAllah akan kembali di up jika sudah selesai. Bahkan kemarinpun sempat dilanjut, tetapi harddisk yang saya gunakan untuk menyimpan file penting ternyata bad sector dan semua file rusak emoticon-Frown


Jika kalian sudah bosan atau kurang suka dengan cerita remaja, baik fiksi ataupun true story, kalian boleh skip thread ini emoticon-Big Grin Hanya saja menurut saya pribadi, cerita dia cukup membuat saya terhibur. Jadi saya meminta izin untuk share disini, dan dia memperbolehkan. Setelah sekian tahun ga buka kaskus, udah banyak perubahan, jadi kalau berantakan mohon dimaafkan.


Setiap orang pasti pernah mengalami masalah dalam menjalani hidup. Namun setiap masalah selalu menuntut untuk diselesaikan. Karena itulah, menemukan solusi dan bersikap pantang menyerah adalah jawaban untuk setiap masalah.

Kadang kala perjalanan hidup yang membuat seseorang menjadi dewasa. Dewasa dalam hal ini berarti mampu berpikir jernih dan menempatkan perannya dalam berbagai situasi. Selain itu, perjalanan hidup juga bisa menjadi bahan pembelajaran yang menginspirasi. Tidak hanya menginspirasi diri sendiri, tapi juga orang lain.


Langit tidak selalu cerah, perjalanan hidup pun tidak selalu indah. Dari kalimat itu kita harus paham bahwa perjalanan hidup itu tidak selalu mulus. Terkadang kita temukan kerikil dan duri yang mengganggu di jalanan. Rasa sakit, kesedihan, kesusahan dan duka. Apapun yang ada di hadapan kita bukan berarti kita berhenti berjalan dan menyerah. Perjalanan hidup yang berat ataupun perjalanan hidup yang pahit harus kita hadapi dan lalui.


"Hidup itu tentang sebuah perjalanan, caramu menjalaninya, dan caramu memberi arti pada perjalananmu itu." WilzKanadi


Aku tengah menempuh pendidikan sekolah tingkat atas kelas satu. Aku berasal dari keluarga yang bisa dibilang berkecukupan. Aku berasal dari Bandung namun sejak SD aku pindah ke Jakarta karena pekerjaan papaku. Aku merupakan anak pertama dari tiga bersaudara. Aku memiliki postur tubuh dengan tinggi badan 168cm dan berat badan 62kg. Namaku Khairul Purnama, dan ini adalah kisah perjalananku

Akan di update berdasarkan jalan cerita melalui Instagramdan beberapa spoiler untuk next part diperlihatkan disana, tapi itupun jika ga penasaran emoticon-Big Grin


Diubah oleh neopo 02-02-2023 14:58
SupermanBalap
al.galauwi
sukhhoi
sukhhoi dan 12 lainnya memberi reputasi
11
13.3K
120
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
neopoAvatar border
TS
neopo
#39
BAB 18 - Kelemahan
Setelah hari itu, hari-hari disekolahku kembali seperti semula. Keesokan harinya, aku mengecek handphoneku sebelum berangkat sekolah, dan ga ada balasan dari Rima. Bahkan pesanku semalam masih status pending.

“Rim, kamu kemana” batinku

Aku menyimpan Hpku dan langsung menjemput Vika untuk berangkat bareng. Hampir setiap pagi aku mengecek handphone tapi ga ada hasilnya. Rima ga ada kabar sama sekali. Sesekali aku terpikirkan Rima. Aku rindu dia. Namun aku herus tetap fokus pada kehidupanku. Seperti kata orang, kalau jodoh ga kemana.

Disekolah, aku berusaha untuk fokus pada pembelajaranku. Aku menatap kosong kursi yang ada disampingku. Tak lama kepala sekolah masuk dan memberikan pengumuman untuk kelas ini.

“Hari ini bapak mengumumkan tentang Rezzy anak baru kelas ini. Secara resmi dia dikeluarkan oleh sekolah secara tidak hormat karena beberapa kasus. Bapak harap, kalian belajar sungguh-sungguh demi masa depan yang lebih baik
“Sampah” ucapku
“Kenapa?” tanya kepsek padaku
“SAMPAH” ucapku sedikit meninggi
“Maksud kamu apa?” tanya kepsek
“Bapak tau ga alasan kenapa dia seperti itu?” tanyaku
“Karena dia lagi-lagi melakukan tindak kriminal yang ga bisa di tolerir. Omnya yang berbicara langsung pada saya” kata beliau
“Yah, omongan orang dipercaya. Tanya langsung sama orangnya. Nanya ke orang lain sama aja bohong pak” ucapku terkekeh
“Jaga bicara kamu Khairul” bentak kepsek


Aku berdiri dan berjalan mendekati kepala sekolah

“Bapak ga tau kan dia kenapa bisa sampai kaya gitu? Bapak sendiri pernah nanya langsung ke orangnya? Engga kan? Saya dan teman saya menjadi saksi ketika dia ditangkap polisi. Saya yang dengar langsung ceritanya” ucapku
“ . . . “ kepsek hanya terdiam
“Kalau bapak sendiri saja tidak bisa mendengar cerita langsung dari muridnya, untuk apa jadi kepsek pak” ucapku
“Dia sendiri saja ga pernah cerita” katanya
“Memang, tapi apa pernah kepikiran pada bapak untuk tanya langsung alasannya, atau setidaknya kehidupan sehari-harinya” ucapku
“Lalu mau kamu apa sekarang?” tanyanya
“Bapak tanya saya? Saya ga bisa apa-apa pak. Tapi saya ga terima kalau ada orang yang di hina tanpa tau asal usulnya” uacpku sambil kembali ke kursiku.


Setelah itu beliau ga bicara lagi dan pamit pada guru yang sedang mengajar. Sampai jam istirahat, aku ga banyak bicara lagi. Aku masih merasa kesal dengan ucapan pak kepsek yang bilang kalau Ezi dikeluarkan secara ga hormat. Sebuah sikap yang akan menunjukkan kalau Ezi bukan orang baik.

“Kenapa lo?” tanya Vika tiba-tiba datang
“Gapapa, kenapa?” tanyaku
“Lo marah-marah lagi katanya” ucap Vika
“Ya gue marah. Kenapa?”
“Soal Ezi?” tanyanya


Aku mengangguk tanpa bicara

“Kepsek macam apa itu” ucapku
“Beliau kepala sekolah Rul. Kita bisa apa” ucap Vika
“Ya memang. Secara jabatan. Tapi sebagai orang yang harus bisa menyayomi muridnya, beliau ga bisa” ucapku sedikit meninggi
“Lo harus sabar Rul. Jangan emosi” kata Vika sambil mengusap punggungku


Aku mengepalkan tanganku sampai tanganku gemetar

“Jangan emosi. Sabar. Kalau lo emosi lagi, itu bikin gue takut” ucap Vika sambil menatapku

Aku menatap tajam Vika ketika ia memegang tanganku. Matanya nampak berkaca-kaca seperti air mata yang hendak keluar tapi ia tahan. Aku menghela nafas. Setakut itukah Vika sampai seperti ini?

“Maaf Vik. Gue ga bermaksud” ucapku
“Gue gamau lo dapat masalah yang membuat gue harus kehilangan lo disekolah ini” kata Vika tiba-tiba
“Gue minta maaf. Lo bener, debat pake hawa nafsu ga akan ada habisnya” ucapku
“Sekarang kita ke kantin yuk” ajak Vika
“Gue ga laper Vik” ucapku
“Ish nurut aja ngapa” katanya sambil menarikku


Setibanya di kantin, Hamid dan Windy sudah menunggu disna. Aku duduk tanpa berkata apapun, sementara Vika membawakan satu mangkok nasi soto untukku

“Nih lo makan” kata Vika
“Ga laper Vik” ucapku
“Habisin” kat Vika


Dengan sedikit terpaksa aku makan tanpa banyak bicara. Tak butuh waktu lama, makanan itu habis. Mereka bertiga hanya melihatku dengan sedikit tertawa

“Katanya ga laper” ucap Windy, aku hanya diam
“Jangan lupa bayar, haha” kata Vika
“Lah, kirain lo yang bayar” ucapku
“Iya iya gue yang bayar. Lo makan yang banyak” katanya
“Traktir gue juga dong Vik, haha” ucap Hamid
“Udah cukup ah” kata Vika


Setelah jam istirahat selesai, aku langsung kembali ke kelas. Tak lupa aku juga mengucapkan terima kasih pada Vika. Sepulang sekolah, aku berjalan menuju parkiran untuk menunggu Vika disana. Tapi saat aku sampai gerbang, aku melihat Vika sedang berjalan bersama teman-temannya menuju luar gerbang. Apa Vika ada kerja kelompok dulu? Atau keperluan lain? Beberapa pertanyaan muncul dibenakku. Sampai aku membawa motorku keluar gerbang, dan aku lihat Vika masuk kedalam mobil, tapi aku tidak tahu itu siapa. Karena kaca mobil itu terlihat gelap. Berarti hari ini aku pulang sendiri.

Satu dua hari kedepan, aku tetap berangkat bareng Vika. Dikantin pun tetap bareng-bareng, meskipun aku jadi kurang ngobrol. Aku juga ga pernah nanya siapa orang yang jemput Vika, karena buat apa juga. Dan ketika pulang, aku selalu mendapati Vika ga ada dikelasnya. Kata temennya, Vika udah pulang duluan. Sampai pada hari kamis, saat aku menghampiri rumah Vika, dari kejauhan aku melihat dia sudah dijemput oleh seseorang menggunakan mobil yang sama saat Vika dijemput kemarin. Tanpa mempedulikannya aku langsung berangkat ke sekolah, tapi tidak langsung. Aku putuskan untuk nongkrong di warung sampai Vika datang lebih dulu.

Saat jam istirahat, aku berniat untuk diam dikelas saja. Kalaupun jajan, aku meminta tolong sama Sinta atau Fajar untuk titip. Biasanya saat aku ga ke kantin, Vika nyamper ke kelas. Tapi saat ini engga. Dia sudah asik ngobrol bareng Hamid dan Windy bertiga. Berarti bisa disimpulkan kalau yang jemput Vika bukan seseorang yang berasal dari sekolah ini. Tiba-tiba Hamid datang ke kelasku.

“Ga ke kantin lo? Ditungguin juga” kata Hamid
“Engga, males gue” ucapku
“Kenapa? Ada masalah lagi? Terakhir kaya gini waktu kita berantem di kelas dulu” tanya Hamid
“Engga kok Mid. Emang lagi ga mood aja gue” jawabku sambil menutupi kepalaku dengan jaket


Setelah itu Hamid mengerti kalau aku lagi ga mau diganggu. Dia langsung pamit, dan bilang untuk cerita saja kalau ada masalah. Tiba-tiba aku teringat Rima. Yang sudah beberapa hari ga ada kabar. Sebelumnya kami memang SMS hanya malam hari saat aku sudah selesai dengan urusan sekolah dan PR. Tapi belakangan ini nomornya ga pernah aktif.

Kadang aku memeriksa HP berharap ada SMS darinya. Tapi hanya dari ketiga sahabatku saja dan itupun ga aku balas. Minggu ini rasanya sepi. Rima yang ga ada kabar, Vika yang udah ga bareng lagi, padahal baru dua hari saja, tapi udah ngerasa beda banget aja. Mungkin kalau Vika masih bisa aku temui. Tapi entah kenapa aku menjadi sungkan untuk ketemu dia. Dia juga ga main kerumah lagi. Pikiranku kembali terpaku pada Rima. Fotonya saja aku ga punya, tapi aku masih ingat wajahnya.

Hari sabtu aku putuskan untuk dirumah saja. Seharusnya hari ini ada latihan basket. Tapi entah kenapa aku ga mood hari ini. Vika yang sudah SMSpun tak aku balas. Aku bahkan mematikan Hpku.

“Aa, makan dulu” ucap Ani
“Nanti aja” jawabku
“Sekarang a” paksa Ani
“Iya iya” aku bangun dan menuju pintu kamar.


Saat Ani keluar dari kamar, aku langsung menutup pintu kamar dan menguncinya

“Aa iih makan dulu” kata Ani
“Iya nanti aa makan kalau laper” ucapku
“Ish, mamaaa . . . aa susah makan” Ani teriak sambil pergi


Sampai sore hari aku berdiam diri di kamar. Mama beberapa kali mengetuk pintu kamarku tapi aku bilang aku lagi ga enak badan. Keliatan kalau mama juga udah mulai khawatir. Aku membuka Hpku untuk terakhir kalinya, dan SMS ke Rima mengatakan bahwa aku rindu dia. Ga ada SMS masuk dari siapapun, termasuk teman-temanku. Aku putuskan untuk mematikan handphoneku

“Rimaaa, kamu dimana sih” ucapku dalam hati sambil menatap langit-langit kamar.

Aku menyetel radio sampai aku tertidur. Beberapa saat kemudian, aku mendengar ketukan pintu

“Nak, ini ada temen kamu. Buka dong. Kamu belum makan dari pagi” kata mama
“Arul ga enak badan ma” ucapku
“Pintunya jangan dikunci dong. Mama khawatir” kata mama


Aku beranjak dan membuka kunci pintu, kemudian aku duduk dikasur. *Cekrek, pintu terbuka dan mama langsung menatapku dengan penuh kekhawatiran

“Kamu ini kenapa sih, cerita sama mama” kata mama
“Gapapa ma” jawabku
“Yaudah, kalau ga mau cerita, mama ga akan maksa. Tapi mama gatau dia bisa bikin kamu cerita atau engga” kata mama sambil mempersilahkan masuk


Aku menatap kosong kelantai membelakangi pintu tanpa peduli siapa yang datang. Sampai aku mendengar panggilannya.

“Khairul” panggilnya

Suara itu, sangat tidak asing dan aku berbalik. Terlihat sosok perempuan mengenakan jilbab hitam dan masih mengenakan jaket. Dia adalah Vika. Vika berjilbab sekarang?

“Vika?” ucapku
“Lo kenapa?” tanya Vika sambil menghampiriku dan menyalakan lampu kamar


Vika memegang pipiku, kemudian membenarkan rambutku yang berantakan dan mulai panjang. Seperti aku ga memperhatikan penampilanku yang udah kaya gembel ini

“Gapapa” jawabku
“Bohong. Lo kenapa jadi kaya gini? Lo ada masalah?” tanya Vika


Aku menggeleng kecil menatap kosong kedepan

“Kenapa lo ga pernah bales SMS gue?” tanyanya
“Ga mau ganggu lo lagi” ucapku datar
“Kok lo ngomong gitu?” tanya Vika sambil memegang pipiku dan membuatku menatapnya
“Gapapa Vik” jawabku menatapnya dengan tatapan kosong


Tak terasa airmataku menetes dan Vika menyeka airmataku. Entah kenapa beberapa hari ga bersama Vika seperti lama rasanya. Padahal setiap sekolah aku ga bareng dia kecuali waktu istirahat. Ditambah lagi rima yang ga ada kabar. Jadi ini yang namanya rindu? Menahan rindu tanpa berkabar itu menyakitkan.

“Gue mohon jangan kaya gini Vik. Gue ga sanggup liat lo nangis” batinku

Vika memelukku tapi aku ga membalas pelukannya.

“Lo kenapa, cerita sama gue” kata Vika
“Tinggalin gue sendiri” ucapku
“Ga, gamau” ucap Vika masih memelukku
“Tinggalin gue sendiri. Sama kaya kemarin lo pergi” ucapku


Vika terhentak melepas pelukannya. Dia masih memegang kedua pipiku.

“Engga. Gue minta maaf. Gue ga bermaksud buat pergi” katanya

Aku menatapnya lagi dan dia juga menatapku dengan tatapan yang mendalam. Benar, dia menangis. Kalau ada yang bilang senjata cewek itu adalah nangis, mungkin benar. Aku menyeka airmatanya

“Gue ga bisa liat lo nangis, Vik” batinku

Vika tertunduk sambil tangannya berpindah ke pundakku. Aku mengusap kepalanya yang terbungkus jilbab. Lalu ia kembali menatapku

“Lo jelek banget kalau nangis” ucapku
“Bodo” katanya sambil kembali memelukku
“Gue gapapa” jawabku
“Lo sampai kaya gini, menandakan lo ga baik-baik aja” kata Vika


Aku masih teringat tentang kejadian beberapa hari yang lalu, tapi aku ga mau melihat Vika terus menangis. Jika ia sampai menangis, apalagi olehku, itu berarti aku ga bisa menjaga dia

“Gue minta maaf” kata Vika
“Maaf untuk apa?” ucapku
“Gue ga hadir saat lo lagi sendiri” ucap Vika
“Pindah ke balkon ya” ajakku menuju balkon rumah lantai dua


Setelah di balkon, aku mengajak Vika duduk di sofa panjang yang ada disitu.

“Ceritakan semuanya” ucap Vika
oktavp
MFriza85
itkgid
itkgid dan 5 lainnya memberi reputasi
6
Tutup