- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
Santet ( Ketamakan Membawa Petaka)
TS
piendutt
Santet ( Ketamakan Membawa Petaka)
Quote:
SANTET
Part 1. Mimpi Buruk
Kriiing! Kriiing!
Sebuah tangan terlihat meraba-raba berusaha menggapai jam weker yang terus berbunyi dan Cumiakkan telinga itu. Sang pemilik tangan pun bangun dari tidurnya.
"Whoaaamm!"
Seorang gadis dengan rambut sebahu menguap sambil mengusap-usap mata, kemudian berjalan sempoyongan menuju ke kamar mandi dan membersihkan diri.
Tidak lama kemudian, gadis itu menuju ke lantai bawah dan melihat seorang pria yang tidak lain adalah sang papa yang bernama Fajar, tengah duduk sambil membaca korang di sofa. Gadis cantik yang masih mengenakan piyama itu bernama Isna. Dia berjalan ke arah dapur sambil mengendus aroma sedap dari masakan wanita berkerudung yang terlihat sedang mencicipi sup buatannya. Wanita itu adalah sang mama yang bernama Fatimah. Kedua orang tuanya Isna memang sedang berlibur karena hari Minggu.
Tanpa menunggu lama, Isna pun langsung melingkarkan tangannya ke pinggul wanita yang dikaguminya itu.
"Mama masak apa? Sedap banget baunya," tanya Isna dengan nada manja.
"Ini sup ceker kesukaan kamu, Sayang,' jawab sang mama.
Mendadak, dari depan pintu dapur. Isna dikejutkan oleh suara lain yang memanggil namanya.
"Isna! Ngapain kamu di situ?"
Isna pun menoleh ke arah pintu, gadis itu terkejut melihat sang mama sedang berdiri tegak seraya menatapnya.
'Tunggu! Jika Mama ada di sana, lalu siapa yang kurangkul ini?' batin Isna.
Gadis itu menelan ludah, keringat dingin pun telah membasahi keningnya. Ia merenggangkan tangan, melepaskan rangkulan tangannya dan perlahan melongok ke atas untuk melihat siapa wanita yang berada di hadapannya.
Seketika, netranya terbelalak saat melihat wanita yang dikira sang mama tadi sudah berubah. Wanita itu berwajah pucat dengan tetesan darah hitam yang mengalir di seluruh wajahnya, matanya pun melotot tajam ke arah Isna.
"Arrrrhhhhhhhh!" Isna berteriak dan terbangun dari tidurnya bersamaan dengan dering jam weker di meja samping tempat tidurnya. Gadis itu terengah-engah, lalu mematikan jam weker yang terus berbunyi itu. Kemudian ia mengatur nafasnya kembali.
"Astagfirullahaladzim! Mimpi apa itu tadi?" Dia masih bertanya-tanya, lalu membersihkan diri dan turun ke lantai bawah.
Bersambung.
Written : @piendutt
Sumber : Opini pribadi
Jangan lupa mampir bawa ya gan, terimakasih.
Part 1. Mimpi Buruk
Kriiing! Kriiing!
Sebuah tangan terlihat meraba-raba berusaha menggapai jam weker yang terus berbunyi dan Cumiakkan telinga itu. Sang pemilik tangan pun bangun dari tidurnya.
"Whoaaamm!"
Seorang gadis dengan rambut sebahu menguap sambil mengusap-usap mata, kemudian berjalan sempoyongan menuju ke kamar mandi dan membersihkan diri.
Tidak lama kemudian, gadis itu menuju ke lantai bawah dan melihat seorang pria yang tidak lain adalah sang papa yang bernama Fajar, tengah duduk sambil membaca korang di sofa. Gadis cantik yang masih mengenakan piyama itu bernama Isna. Dia berjalan ke arah dapur sambil mengendus aroma sedap dari masakan wanita berkerudung yang terlihat sedang mencicipi sup buatannya. Wanita itu adalah sang mama yang bernama Fatimah. Kedua orang tuanya Isna memang sedang berlibur karena hari Minggu.
Tanpa menunggu lama, Isna pun langsung melingkarkan tangannya ke pinggul wanita yang dikaguminya itu.
"Mama masak apa? Sedap banget baunya," tanya Isna dengan nada manja.
"Ini sup ceker kesukaan kamu, Sayang,' jawab sang mama.
Mendadak, dari depan pintu dapur. Isna dikejutkan oleh suara lain yang memanggil namanya.
"Isna! Ngapain kamu di situ?"
Isna pun menoleh ke arah pintu, gadis itu terkejut melihat sang mama sedang berdiri tegak seraya menatapnya.
'Tunggu! Jika Mama ada di sana, lalu siapa yang kurangkul ini?' batin Isna.
Gadis itu menelan ludah, keringat dingin pun telah membasahi keningnya. Ia merenggangkan tangan, melepaskan rangkulan tangannya dan perlahan melongok ke atas untuk melihat siapa wanita yang berada di hadapannya.
Seketika, netranya terbelalak saat melihat wanita yang dikira sang mama tadi sudah berubah. Wanita itu berwajah pucat dengan tetesan darah hitam yang mengalir di seluruh wajahnya, matanya pun melotot tajam ke arah Isna.
"Arrrrhhhhhhhh!" Isna berteriak dan terbangun dari tidurnya bersamaan dengan dering jam weker di meja samping tempat tidurnya. Gadis itu terengah-engah, lalu mematikan jam weker yang terus berbunyi itu. Kemudian ia mengatur nafasnya kembali.
"Astagfirullahaladzim! Mimpi apa itu tadi?" Dia masih bertanya-tanya, lalu membersihkan diri dan turun ke lantai bawah.
Bersambung.
Written : @piendutt
Sumber : Opini pribadi
Jangan lupa mampir bawa ya gan, terimakasih.
Bab selanjutnya 👇
Part 1. Mimpi Buruk
Part 2. Ibu-ibu Arisan
Part 3. Musibah
Part 4. Perkenalan
Part 5. Mengobati Fatimah
Part 6. Kiriman Santet
Part 7. Cinta pada Pandangan Pertama
Part 8. Isna Terkena Santet
Part 9. Sang Dalang
Part 10. Percobaan Pembunuhan
Diubah oleh piendutt 05-10-2022 07:16
terbitcomyt dan 20 lainnya memberi reputasi
21
10.4K
Kutip
111
Balasan
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
TS
piendutt
#28
Santet
Quote:
Part 6. Kiriman Santet
Dua orang pria terlihat sedang duduk dan berbicara dengan serius di ruang tamu yang hanya disinari oleh lampu redup.
"Maksud kamu ... kami disantet?!" pekik Fajar yang tidak percaya dengan penjelasan Putra.
"Tadinya, saya sempat percaya dengan apa yang dibilang orang-orang di sekitar sini, tapi setelah saya bertemu Isna, Om, dan juga Tante, saya baru sadar bahwa kalian bukan orang seperti itu," tutur Putra.
"Lalu, siapa orang yang tega melakukan itu pada keluarga kami? Selama ini kami selalu berusaha berbuat baik pada siapa pun," lirih pria itu.
"Om yang tenang, ya. Pada saatnya nanti, orang itu akan menampakkan dirinya sendiri. Sekarang yang penting, Om jangan dendam dan ganti membalas perbuatan orang itu."
"Om tidak pernah punya pikiran seperti itu, Nak. Andai Om mau, sudah Om balas perlakuan mereka yang sudah menggunjing keluarga Om di luar sana. Tapi, istri Om selalu melarang dan menasehati untuk tidak mendendam pada siapa pun. Biarlah Allah yang membalas mereka," ucap pria itu dengan tegas. Perbincangan mereka terhenti karena Isna datang.
"Kalau gitu, saya pamit, ya, Om? Ini sudah larut malam," ujar Putra berpamitan.
"Iya, terima kasih, ya, Nak!" ujar Fajar dan menyalami Putra.
"Iya, Om," sahutnya mengangguk.
"Ayo, aku antar," sahut Isna dan mengantar pria itu keluar rumah.
Mereka berdua berjalan melewati pekarangan rumah.
"Terimakasih karena sudah menolong mamaku, Mas. Entah bagaimana aku harus membalasnya," ujar Isna.
"Suatu hari nanti, aku akan meminta balasannya," celetuk Putra dan tersenyum.
"Maksud Mas?" Isna tampak bingung.
"Udah malam! Cepet masuk! Jangan lupa, sebelum tidur baca surat Al-Ikhlas tiga kali, ya, biar kamu nggak diganggu roh halus dan juga biar mimpiin aku," ucap Putra genit sambil berlalu pergi meninggalkan Isna yang kebingungan mendengar ucapan pria tampan itu.
"Dasar genit!" Gadis itu pun tersenyum kecil dan menatap pria itu sebelum kembali masuk ke rumah.
***
Putra berjalan menyusuri pepohonan di pinggir jalan dan tersenyum sendiri mengingat perkataannya pada Isna tadi.
"Haduh! Kok, jadi baper, ya?" gumamnya seraya meringis.
Senyumnya langsung terhenti saat Putra merasakan kehadiran bayangan hitam yang bersembunyi di balik sebuah pohon. Bayangan itu semakin jelas terlihat tinggi besar mirip Genderuwo dan terus menatap Putra dari kejauhan.
"Jika kamu berani mendekatiku, aku akan memusnahkanmu!” ucap Putra dengan lantang.
Sosok itu pun mendesis seperti ular dan meraung. Tiba-tiba saja sosok itu sudah berada di hadapan Putra dan mencekiknya tanpa ampun.
"Audzubillahiminasyaitonirrojim! Bismillahirrahmanirrahim!" ucap Putra seraya membaca beberapa doa membuat tangan Genderuwo itu seperti kepanasan dan terbakar.
Sosok itu mundur beberapa langkah dan sorot matanya yang merah menatap Putra dengan penuh kebencian.
"Kembalilah pada tuanmu! Sampaikan pesanku, aku tidak takut padanya! Jika tuanmu itu macam-macam dengan keluarga Isna, aku yang akan menghadapinya!" ucap Putra dengan lantang. Sosok itu akhirnya pergi dari hadapan Putra.
"Alhamdulillah," ucap Putra lega dan kembali melangkah pulang.
***
Keesokan harinya, Isna yang baru saja kembali dari pasar terlihat membawa tas belanjaan. Langkahnya sedikit tertatih melewati rumah Fatma dan masuk ke gang kecil yang mengarah ke rumahnya.
"Bi, Putra pergi dulu, ya! Udah telat, nih! Ada kelas pagi, Bi," ujar Putra bergegas memakai sepatu dan keluar dari rumah itu.
"Tapi, kamu udah sarapan belum, Putra?" teriak Fatma yang masih memegang serok penggorengan karena sedang menggoreng kerupuk di dapur.
"Ntar aku beli sarapan aja di kantin, Bi! Assalamu’alaikum!"
"Wa'alaikumsalam," sahut Fatma menggeleng melihat kelakuan keponakannya.
Isna mendengar percakapan mereka saat tanpa sengaja berpapasan dengan Putra yang keluar rumah. Pria itu sempat tidak mengira bahwa gadis yang berpapasan dengannya barusan adalah Isna. Dia berbalik arah untuk memastikan.
"Eh, ada Isna!" sapa pria yang memakai tas ransel di punggungnya itu.
"Pagi, Mas," sapa Isna lirih.
"Pagi juga. Kamu habis belanja, ya?"
"Iya, Mas," ucapnya menahan malu karena masih ingat perkataan semalam.
"Yaudah, aku berangkat kuliah dulu,ya! Jangan lupa masak yang enak!" ucap pria berkulit putih itu seraya tersenyum. Isna hanya mengangguk.
Baru beberapa langkah mereka berpisah, Putra kembali menghampiri Isna.
"Apa boleh aku minta nomor HP kamu, Is?" tanya pria itu tiba-tiba.
Isna sejenak terdiam dan menatap pria di hadapannya itu.
"Sini HP-nya, Mas."
Putra langsung mengeluarkan ponselnya dan memberikannya pada Isna. Gadis itu pun segera mengetikkan sejumlah angka, lalu mengembalikannya pada Putra.
"Makasih, ya, Cantik. Ehh, Isna maksudnya," goda Putra.
"Udah sana berangkat, Mas! Nanti telat, loh," ucap Isna mengingatkan pria itu.
"Eh iya, lupa aku! Dadahh, Isna," ujar Putra dan berlalu pergi.
Isna tersenyum menatap pria itu hingga dia pun lupa kalau harus segera pulang ke rumah.
"Haduh, telat ini!”
Setelah upaya penyembuhan yang dilakukan oleh Putra, keadaan Fatimah kini berangsur membaik, bahkan wanita itu sudah bisa makan sendiri dan berjalan menggunakan sebilah tongkat. Fajar juga Isna merasa lega dan sangat bersyukur atas kesembuhan Fatimah.
***
Matahari baru saja memancarkan sinarnya dan seorang gadis tampak sibuk di dapur menguleni nasi uduk yang dibuatnya. Aromanya begitu sedap. Gadis itu menata nasi uduk ke dalam wadah kotak beserta lauknya. Ada ayam goreng, kering tempe, mie kuning dan sambal teri pun tidak lupa dimasukkannya sebagai pelengkap.
"Moga aja, Mas Putra suka sama masakanku," gumam gadis cantik itu lirih.
Fatimah bangun dan ingin sekali memasak sarapan untuk suami dan anaknya setelah sekian lama terbaring di tempat tidur. Dia merasa bersalah karena tidak bisa menjalankan kewajibannya sebagai seorang istri dan ibu yang baik. Fatimah pun berjalan perlahan menggunakan sebilah tongkat dan suaminya ikut menuntunnya.
"Ma, nggak usah dipaksain. Mama, kan baru sembuh," ucap pria itu.
"Mama kalau nggak gerak malah sakit, Pa," bantah istrinya.
"Yaudah, pelan-pelan jalannya, Ma."
***
Sesampainya di dapur, Fajar dan Fatimah dikagetkan dengan penampakan dapur yang berantakan. Berbagai peralatan dapur terlihat berserakan di mana-mana.
 "Astagfirullahaladzim! Ada apa ini?" tanya Fatimah kebingungan.
Isna yang menyadari kedua orang tuanya sudah bangun pun bergegas menghampiri mereka.
"Pagi Mama, Papa!" sapanya dengan senyuman lebar tanpa merasa berdosa sama sekali.
"Kamu habis main perang-perangan, Isna?" celetuk Fajar yang melihat seluruh dapur berantakan.
"Aku lagi masak sesuatu, Pa. Maaf, ya, Ma, dapurnya jadi berantakan. Nanti aku beresin, deh!" ujar Isna seraya menenteng sebuah kotak nasi di tangannya.
"Buat siapa nasi itu, Nak?" tanya Fatimah yang melihat kotak nasi itu.
"Ehm, ini buat Mas Putra," ucap Isna seraya merunduk menahan malu.
"Haduh! Papa tereliminasi, nih! Anak Papa udah punya pria lain," ledek Fajar.
"Ah, Papa," rengek Isna menahan malu.
Gadis itu pun pergi ke luar rumah usai berpamitan dengan kedua orang tuanya. Dia sengaja menunggu di gang kecil yang sering dilalui Putra saat hendak berangkat kuliah.
Tidak lama kemudian, pria yang dikaguminya pun terlihat berjalan menyusuri gang. Putra yang melihat Isna pun segera berjalan mendekatinya.
Isna menatap Putra penuh kekaguman. Gadis itu merasa hari ini pria itu terlihat lebih tampan mengenakan kemeja berwarna putih serta kaus dalam berwarna hitam. Isna berdiri mematung dan terus menatap Putra hingga tidak sadar bahwa pria itu pun menatapnya sedari tadi.
Bersambung.
Dua orang pria terlihat sedang duduk dan berbicara dengan serius di ruang tamu yang hanya disinari oleh lampu redup.
"Maksud kamu ... kami disantet?!" pekik Fajar yang tidak percaya dengan penjelasan Putra.
"Tadinya, saya sempat percaya dengan apa yang dibilang orang-orang di sekitar sini, tapi setelah saya bertemu Isna, Om, dan juga Tante, saya baru sadar bahwa kalian bukan orang seperti itu," tutur Putra.
"Lalu, siapa orang yang tega melakukan itu pada keluarga kami? Selama ini kami selalu berusaha berbuat baik pada siapa pun," lirih pria itu.
"Om yang tenang, ya. Pada saatnya nanti, orang itu akan menampakkan dirinya sendiri. Sekarang yang penting, Om jangan dendam dan ganti membalas perbuatan orang itu."
"Om tidak pernah punya pikiran seperti itu, Nak. Andai Om mau, sudah Om balas perlakuan mereka yang sudah menggunjing keluarga Om di luar sana. Tapi, istri Om selalu melarang dan menasehati untuk tidak mendendam pada siapa pun. Biarlah Allah yang membalas mereka," ucap pria itu dengan tegas. Perbincangan mereka terhenti karena Isna datang.
"Kalau gitu, saya pamit, ya, Om? Ini sudah larut malam," ujar Putra berpamitan.
"Iya, terima kasih, ya, Nak!" ujar Fajar dan menyalami Putra.
"Iya, Om," sahutnya mengangguk.
"Ayo, aku antar," sahut Isna dan mengantar pria itu keluar rumah.
Mereka berdua berjalan melewati pekarangan rumah.
"Terimakasih karena sudah menolong mamaku, Mas. Entah bagaimana aku harus membalasnya," ujar Isna.
"Suatu hari nanti, aku akan meminta balasannya," celetuk Putra dan tersenyum.
"Maksud Mas?" Isna tampak bingung.
"Udah malam! Cepet masuk! Jangan lupa, sebelum tidur baca surat Al-Ikhlas tiga kali, ya, biar kamu nggak diganggu roh halus dan juga biar mimpiin aku," ucap Putra genit sambil berlalu pergi meninggalkan Isna yang kebingungan mendengar ucapan pria tampan itu.
"Dasar genit!" Gadis itu pun tersenyum kecil dan menatap pria itu sebelum kembali masuk ke rumah.
***
Putra berjalan menyusuri pepohonan di pinggir jalan dan tersenyum sendiri mengingat perkataannya pada Isna tadi.
"Haduh! Kok, jadi baper, ya?" gumamnya seraya meringis.
Senyumnya langsung terhenti saat Putra merasakan kehadiran bayangan hitam yang bersembunyi di balik sebuah pohon. Bayangan itu semakin jelas terlihat tinggi besar mirip Genderuwo dan terus menatap Putra dari kejauhan.
"Jika kamu berani mendekatiku, aku akan memusnahkanmu!” ucap Putra dengan lantang.
Sosok itu pun mendesis seperti ular dan meraung. Tiba-tiba saja sosok itu sudah berada di hadapan Putra dan mencekiknya tanpa ampun.
"Audzubillahiminasyaitonirrojim! Bismillahirrahmanirrahim!" ucap Putra seraya membaca beberapa doa membuat tangan Genderuwo itu seperti kepanasan dan terbakar.
Sosok itu mundur beberapa langkah dan sorot matanya yang merah menatap Putra dengan penuh kebencian.
"Kembalilah pada tuanmu! Sampaikan pesanku, aku tidak takut padanya! Jika tuanmu itu macam-macam dengan keluarga Isna, aku yang akan menghadapinya!" ucap Putra dengan lantang. Sosok itu akhirnya pergi dari hadapan Putra.
"Alhamdulillah," ucap Putra lega dan kembali melangkah pulang.
***
Keesokan harinya, Isna yang baru saja kembali dari pasar terlihat membawa tas belanjaan. Langkahnya sedikit tertatih melewati rumah Fatma dan masuk ke gang kecil yang mengarah ke rumahnya.
"Bi, Putra pergi dulu, ya! Udah telat, nih! Ada kelas pagi, Bi," ujar Putra bergegas memakai sepatu dan keluar dari rumah itu.
"Tapi, kamu udah sarapan belum, Putra?" teriak Fatma yang masih memegang serok penggorengan karena sedang menggoreng kerupuk di dapur.
"Ntar aku beli sarapan aja di kantin, Bi! Assalamu’alaikum!"
"Wa'alaikumsalam," sahut Fatma menggeleng melihat kelakuan keponakannya.
Isna mendengar percakapan mereka saat tanpa sengaja berpapasan dengan Putra yang keluar rumah. Pria itu sempat tidak mengira bahwa gadis yang berpapasan dengannya barusan adalah Isna. Dia berbalik arah untuk memastikan.
"Eh, ada Isna!" sapa pria yang memakai tas ransel di punggungnya itu.
"Pagi, Mas," sapa Isna lirih.
"Pagi juga. Kamu habis belanja, ya?"
"Iya, Mas," ucapnya menahan malu karena masih ingat perkataan semalam.
"Yaudah, aku berangkat kuliah dulu,ya! Jangan lupa masak yang enak!" ucap pria berkulit putih itu seraya tersenyum. Isna hanya mengangguk.
Baru beberapa langkah mereka berpisah, Putra kembali menghampiri Isna.
"Apa boleh aku minta nomor HP kamu, Is?" tanya pria itu tiba-tiba.
Isna sejenak terdiam dan menatap pria di hadapannya itu.
"Sini HP-nya, Mas."
Putra langsung mengeluarkan ponselnya dan memberikannya pada Isna. Gadis itu pun segera mengetikkan sejumlah angka, lalu mengembalikannya pada Putra.
"Makasih, ya, Cantik. Ehh, Isna maksudnya," goda Putra.
"Udah sana berangkat, Mas! Nanti telat, loh," ucap Isna mengingatkan pria itu.
"Eh iya, lupa aku! Dadahh, Isna," ujar Putra dan berlalu pergi.
Isna tersenyum menatap pria itu hingga dia pun lupa kalau harus segera pulang ke rumah.
"Haduh, telat ini!”
Setelah upaya penyembuhan yang dilakukan oleh Putra, keadaan Fatimah kini berangsur membaik, bahkan wanita itu sudah bisa makan sendiri dan berjalan menggunakan sebilah tongkat. Fajar juga Isna merasa lega dan sangat bersyukur atas kesembuhan Fatimah.
***
Matahari baru saja memancarkan sinarnya dan seorang gadis tampak sibuk di dapur menguleni nasi uduk yang dibuatnya. Aromanya begitu sedap. Gadis itu menata nasi uduk ke dalam wadah kotak beserta lauknya. Ada ayam goreng, kering tempe, mie kuning dan sambal teri pun tidak lupa dimasukkannya sebagai pelengkap.
"Moga aja, Mas Putra suka sama masakanku," gumam gadis cantik itu lirih.
Fatimah bangun dan ingin sekali memasak sarapan untuk suami dan anaknya setelah sekian lama terbaring di tempat tidur. Dia merasa bersalah karena tidak bisa menjalankan kewajibannya sebagai seorang istri dan ibu yang baik. Fatimah pun berjalan perlahan menggunakan sebilah tongkat dan suaminya ikut menuntunnya.
"Ma, nggak usah dipaksain. Mama, kan baru sembuh," ucap pria itu.
"Mama kalau nggak gerak malah sakit, Pa," bantah istrinya.
"Yaudah, pelan-pelan jalannya, Ma."
***
Sesampainya di dapur, Fajar dan Fatimah dikagetkan dengan penampakan dapur yang berantakan. Berbagai peralatan dapur terlihat berserakan di mana-mana.
 "Astagfirullahaladzim! Ada apa ini?" tanya Fatimah kebingungan.
Isna yang menyadari kedua orang tuanya sudah bangun pun bergegas menghampiri mereka.
"Pagi Mama, Papa!" sapanya dengan senyuman lebar tanpa merasa berdosa sama sekali.
"Kamu habis main perang-perangan, Isna?" celetuk Fajar yang melihat seluruh dapur berantakan.
"Aku lagi masak sesuatu, Pa. Maaf, ya, Ma, dapurnya jadi berantakan. Nanti aku beresin, deh!" ujar Isna seraya menenteng sebuah kotak nasi di tangannya.
"Buat siapa nasi itu, Nak?" tanya Fatimah yang melihat kotak nasi itu.
"Ehm, ini buat Mas Putra," ucap Isna seraya merunduk menahan malu.
"Haduh! Papa tereliminasi, nih! Anak Papa udah punya pria lain," ledek Fajar.
"Ah, Papa," rengek Isna menahan malu.
Gadis itu pun pergi ke luar rumah usai berpamitan dengan kedua orang tuanya. Dia sengaja menunggu di gang kecil yang sering dilalui Putra saat hendak berangkat kuliah.
Tidak lama kemudian, pria yang dikaguminya pun terlihat berjalan menyusuri gang. Putra yang melihat Isna pun segera berjalan mendekatinya.
Isna menatap Putra penuh kekaguman. Gadis itu merasa hari ini pria itu terlihat lebih tampan mengenakan kemeja berwarna putih serta kaus dalam berwarna hitam. Isna berdiri mematung dan terus menatap Putra hingga tidak sadar bahwa pria itu pun menatapnya sedari tadi.
Bersambung.
Rainbow555 dan 9 lainnya memberi reputasi
10
Kutip
Balas
Tutup