- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
Santet ( Ketamakan Membawa Petaka)
TS
piendutt
Santet ( Ketamakan Membawa Petaka)
Quote:
SANTET
Part 1. Mimpi Buruk
Kriiing! Kriiing!
Sebuah tangan terlihat meraba-raba berusaha menggapai jam weker yang terus berbunyi dan Cumiakkan telinga itu. Sang pemilik tangan pun bangun dari tidurnya.
"Whoaaamm!"
Seorang gadis dengan rambut sebahu menguap sambil mengusap-usap mata, kemudian berjalan sempoyongan menuju ke kamar mandi dan membersihkan diri.
Tidak lama kemudian, gadis itu menuju ke lantai bawah dan melihat seorang pria yang tidak lain adalah sang papa yang bernama Fajar, tengah duduk sambil membaca korang di sofa. Gadis cantik yang masih mengenakan piyama itu bernama Isna. Dia berjalan ke arah dapur sambil mengendus aroma sedap dari masakan wanita berkerudung yang terlihat sedang mencicipi sup buatannya. Wanita itu adalah sang mama yang bernama Fatimah. Kedua orang tuanya Isna memang sedang berlibur karena hari Minggu.
Tanpa menunggu lama, Isna pun langsung melingkarkan tangannya ke pinggul wanita yang dikaguminya itu.
"Mama masak apa? Sedap banget baunya," tanya Isna dengan nada manja.
"Ini sup ceker kesukaan kamu, Sayang,' jawab sang mama.
Mendadak, dari depan pintu dapur. Isna dikejutkan oleh suara lain yang memanggil namanya.
"Isna! Ngapain kamu di situ?"
Isna pun menoleh ke arah pintu, gadis itu terkejut melihat sang mama sedang berdiri tegak seraya menatapnya.
'Tunggu! Jika Mama ada di sana, lalu siapa yang kurangkul ini?' batin Isna.
Gadis itu menelan ludah, keringat dingin pun telah membasahi keningnya. Ia merenggangkan tangan, melepaskan rangkulan tangannya dan perlahan melongok ke atas untuk melihat siapa wanita yang berada di hadapannya.
Seketika, netranya terbelalak saat melihat wanita yang dikira sang mama tadi sudah berubah. Wanita itu berwajah pucat dengan tetesan darah hitam yang mengalir di seluruh wajahnya, matanya pun melotot tajam ke arah Isna.
"Arrrrhhhhhhhh!" Isna berteriak dan terbangun dari tidurnya bersamaan dengan dering jam weker di meja samping tempat tidurnya. Gadis itu terengah-engah, lalu mematikan jam weker yang terus berbunyi itu. Kemudian ia mengatur nafasnya kembali.
"Astagfirullahaladzim! Mimpi apa itu tadi?" Dia masih bertanya-tanya, lalu membersihkan diri dan turun ke lantai bawah.
Bersambung.
Written : @piendutt
Sumber : Opini pribadi
Jangan lupa mampir bawa ya gan, terimakasih.
Part 1. Mimpi Buruk
Kriiing! Kriiing!
Sebuah tangan terlihat meraba-raba berusaha menggapai jam weker yang terus berbunyi dan Cumiakkan telinga itu. Sang pemilik tangan pun bangun dari tidurnya.
"Whoaaamm!"
Seorang gadis dengan rambut sebahu menguap sambil mengusap-usap mata, kemudian berjalan sempoyongan menuju ke kamar mandi dan membersihkan diri.
Tidak lama kemudian, gadis itu menuju ke lantai bawah dan melihat seorang pria yang tidak lain adalah sang papa yang bernama Fajar, tengah duduk sambil membaca korang di sofa. Gadis cantik yang masih mengenakan piyama itu bernama Isna. Dia berjalan ke arah dapur sambil mengendus aroma sedap dari masakan wanita berkerudung yang terlihat sedang mencicipi sup buatannya. Wanita itu adalah sang mama yang bernama Fatimah. Kedua orang tuanya Isna memang sedang berlibur karena hari Minggu.
Tanpa menunggu lama, Isna pun langsung melingkarkan tangannya ke pinggul wanita yang dikaguminya itu.
"Mama masak apa? Sedap banget baunya," tanya Isna dengan nada manja.
"Ini sup ceker kesukaan kamu, Sayang,' jawab sang mama.
Mendadak, dari depan pintu dapur. Isna dikejutkan oleh suara lain yang memanggil namanya.
"Isna! Ngapain kamu di situ?"
Isna pun menoleh ke arah pintu, gadis itu terkejut melihat sang mama sedang berdiri tegak seraya menatapnya.
'Tunggu! Jika Mama ada di sana, lalu siapa yang kurangkul ini?' batin Isna.
Gadis itu menelan ludah, keringat dingin pun telah membasahi keningnya. Ia merenggangkan tangan, melepaskan rangkulan tangannya dan perlahan melongok ke atas untuk melihat siapa wanita yang berada di hadapannya.
Seketika, netranya terbelalak saat melihat wanita yang dikira sang mama tadi sudah berubah. Wanita itu berwajah pucat dengan tetesan darah hitam yang mengalir di seluruh wajahnya, matanya pun melotot tajam ke arah Isna.
"Arrrrhhhhhhhh!" Isna berteriak dan terbangun dari tidurnya bersamaan dengan dering jam weker di meja samping tempat tidurnya. Gadis itu terengah-engah, lalu mematikan jam weker yang terus berbunyi itu. Kemudian ia mengatur nafasnya kembali.
"Astagfirullahaladzim! Mimpi apa itu tadi?" Dia masih bertanya-tanya, lalu membersihkan diri dan turun ke lantai bawah.
Bersambung.
Written : @piendutt
Sumber : Opini pribadi
Jangan lupa mampir bawa ya gan, terimakasih.
Bab selanjutnya 👇
Part 1. Mimpi Buruk
Part 2. Ibu-ibu Arisan
Part 3. Musibah
Part 4. Perkenalan
Part 5. Mengobati Fatimah
Part 6. Kiriman Santet
Part 7. Cinta pada Pandangan Pertama
Part 8. Isna Terkena Santet
Part 9. Sang Dalang
Part 10. Percobaan Pembunuhan
Diubah oleh piendutt 05-10-2022 07:16
terbitcomyt dan 20 lainnya memberi reputasi
21
10.4K
Kutip
111
Balasan
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
TS
piendutt
#22
Santet
Quote:
Part 5. Mengobati Fatimah
Fajar bersama Putra dan Isna pun tiba di depan kamar Fatimah. Tampak keraguan pada raut wajah Fajar, sesaat sebelum dia membuka pintu kamar itu.
Cekrek! Krieeet!
Pintu pun terbuka dan seketika mata Putra terbelalak melihat hal ganjil di hadapannya.
"Astagfirullahaladzim!” pekik Putra yang kaget melihat sesosok wanita duduk di samping ranjang Fatimah. Rambut wanita itu acak-acakan dan mukanya hitam pekat. Bola matanya terlihat melotot dan seperti mau keluar. Sosok itu bergeming dan hanya menatap ke arah Fatimah dengan tatapan tajam.
"Ada apa, Mas?!" tanya Isna yang keheranan dengan sikap Putra.
"Iya, kenapa, Nak?! Kok, kaget gitu?" Fajar ikut bertanya sambil melangkah masuk, tetapi Putra menghalanginya.
"Om sama Isna, jangan masuk dulu!" sahut Putra yang masih menatap ke sosok yang masih menatap tajam ke arah Fatimah itu.
"Sebenarnya, ada apa, sih?!" sahut Isna seraya memutar bola matanya berkeliling ke seluruh kamar. Namun, dalam penglihatannya, tidak ada yang aneh.
"Isna, kamu punya sapu lidi nggak?" tanya Putra.
"Punya. Kenapa emangnya?"
"Bisa tolong ambilkan beberapa lidi yang masih bersih?"
"Yaudah, tunggu bentar!" Isna pun bergegas pergi ke kamarnya dan mengambil sapu lidi yang biasa digunakannya untuk membersihkan kasur, kemudian segera kembali ke kamar sang mama.
"Ini, Mas!” Isna pun memberikan sapu lidi itu pada Putra.
Putra menerima sapu lidi itu, lalu membaca doa. Setelah itu, dia melangkah perlahan menuju ke depan ranjang milik Fatimah yang terlihat terbaring lemas di sana. Tanpa menunggu lama, Putra pun langsung memukul-mukul ranjang itu beberapa kali menggunakan sapu lidi tadi.
Sosok wanita yang berwajah hitam itu seperti terkejut, lalu menatap Putra sambil mendesis marah. Ia pun menyeringai dan memperlihatkan giginya yang bertaring.
Putra tidak memedulikannya dan masih sibuk menggebuk ranjang itu dengan sapu lidi sampai akhirnya sosok itu berubah menjadi angin dan lenyap dari sana, melewati Fajar dan Isna.
"Angin apa ini?" tanya Fajar yang merasakan embusan angin dingin yang baru saja melewati tubuhnya.
"Iya, Pa, angin dari mana ini?" Isna ikut heran.
Fatimah yang sejak tadi tertidur, tiba-tiba terbangun mendengar kegaduhan itu.
"Maaf, Tante, Putra mengganggu waktu istirahat Tante," ujar Putra menyapa wanita berkerudung itu.
"Eh, iya, nggak apa-apa, Nak. Kamu siapa, ya?"
"Saya Putra, keponakannya Bi Fatma," jawabnya.
"Oh, kamu pasti keponakannya yang dari kota itu! Mbak Fatma dulu sering cerita banyak tentang kamu," ujar wanita itu seraya beranjak duduk, dibantu oleh Fajar.
"Mas Putra, tadi itu apa? Apa ada sesuatu di kamar ini?" tanya Isna yang masih penasaran.
"Isna, kamu ngomong apa, Sayang?" sela Fatimah yang tidak pernah percaya bahwa setan bisa melukai manusia.
"Mama tau nggak? Rumah kita itu nggak beres! Aku merasa, selama ini kita hidup dengan makhluk lain di sini," tegas Isna yang sudah tidak tahan dengan semua keanehan yang terjadi padanya.
"Jangan suudzon, Isna! Bukannya Mama selalu mengajari kamu, jangan berpikir yang tidak-tidak!” bantah Fatimah.
"Tapi Ma –!" Ucapan Isna terhenti karena Fajar berbicara.
"Udah-udah! Kok, malah berdebat, sih? Malu dilihat Putra itu," ujar Fajar melerai perdebatan anak dan istrinya itu.
"Oh, maaf, ya! Beginilah keluarga kami, Nak. Ada kalanya kami juga berdebat seperti ini," ujar Fatimah.
"Iya, Tante," sahut Putra dan tersenyum.
"Kamu ke sini disuruh Mbak Fatma, ya?" tanya wanita itu pada Putra.
"Enggak, kok, Tante. Niat Putra sendiri untuk menjenguk Tante."
"Oh gitu."
Putra melihat tangan dan kaki Fatimah yang bengkak serta mengeluarkan nanah. Dia pun membayangkan betapa sakitnya itu, tetapi wanita berkerudung itu sama sekali tidak terlihat kesakitan apalagi mengeluh. Putra berpikir, andai orang lain yang mendapat penyakit seperti itu, pasti sudah berteriak-teriak minta tolong.
Fatimah melihat Putra yang mematung dan memperhatikan kakinya yang membengkak.
"Nak Putra," panggilnya lirih dan membuyarkan lamunan pria itu.
"Eh, iya, Tante."
"Maaf, Tante tidak bisa menyambutmu dengan baik," ujar wanita itu dengan tersenyum.
Melihat senyuman wanita yang terlihat tegar meski tengah terluka itu, semakin membuat Putra merasa iba dan niatnya untuk menolong wanita itu semakin besar. Dia berjanji dalam hatinya untuk menolong mamanya Isna, bagaimanapun caranya.
"Tante, apa luka ini terasa sakit?" Putra mengalihkan topik pembicaraan.
"Ehmm, tak ada luka yang tak sakit, Nak, tapi Tante masih bisa menahannya kok," ujar wanita itu dan memegang tangan suaminya yang sudah tidak bisa menahan air matanya.
"Saya yakin, kedatangan saya ke sini semua atas kehendak Allah, dan semoga setelah ini, Tante dan keluarga ini bisa hidup normal lagi," ujar Putra yang juga tidak kuasa menahan tangis.
Fatimah berlinang air mata. Selama ini dia memang menahan sakit dan perih. Namun, dia menyimpannya sendiri karena tidak ingin menyusahkan anak dan suaminya. Fatimah begitu terharu setelah mendengar perkataan Putra dan entah mengapa, dia ingin meluapkan semua yang dirasakannya selama ini. Isna pun ikut menangis memeluk sang mama.
"Terimakasih, ya, Nak. Tante merasa sedikit lega sekarang, walau Tante sakit seperti ini, Tante nggak mau merepotkan Isna dan suami Tante," ucap wanita itu memeluk Fajar dan Isna yang sudah berlinang air mata.
"Mama, yang sabar, ya," ucap Isna padanya. Fatimah pun mengangguk.
"Baiklah kalau begitu, saya akan mencoba mengurangi rasa sakit yang Tante derita," ujar Putra membuat mereka semua tercengang.
"Benarkan itu, Nak?" tanya Fatimah tidak percaya. Putra pun hanya mengangguk.
"Isna, bisa tolong ambilkan segelas air putih?" pinta Putra.
"Iya bisa, bentar, ya, Mas," ujar Isna dan bergegas mengambil segelas air putih lalu memberikannya pada Putra.
Putra segera membaca doa dan beberapa kali tangannya mengusap gelas itu.
"Bismillahirrahmanirrahim."
"Om, tolong suruh Tante minum air ini sedikit, lalu sisanya tolong usapkan ke tangan dan kaki Tante yang bengkak," pinta Putra seraya memberikan gelas itu ke Fajar.
"Ayo diminum, Ma," ucap Fajar dan membantu istrinya minum, lalu sisa air itu diusapkannya pada tangan dan kaki sang istri yang membengkak.
"Tante, tolong ditahan, ya, ini akan sedikit sakit."
"Iya, Nak."
Tidak berapa lama, keluarlah asap putih dari tangan dan kaki Fatimah yang bengkak itu dan membuat wanita itu mengerang kesakitan. Fajar dan Isna memegangi tubuh Fatimah dengan perasaan iba.
"Tahan, ya, Ma," ujar Fajar yang masih setia di sampingnya.
Setelah asap itu menghilang, tepat pada area yang membengkak itu muncul lubang-lubang kecil yang mirip lubang tempat tinggal semut dan dari dalam lubang itu keluar belatung dalam jumlah yang tidak dapat dipercaya.
"Astagfirullah!" Serempak mereka mengucap istighfar karena tidak percaya dengan apa yang mereka lihat.
Belatung-belatung itu keluar dan jatuh ke lantai, lalu seketika terbakar menjadi abu.
Akhirnya, bengkak di tangan dan kaki Fatimah pun perlahan kempes bersamaan dengan terbakarnya belatung-belatung itu.
"Apa itu tadi?! Bagaimana bisa belatung itu hidup di tubuh Mama selama ini?!” ujar Isna yang masih heran.
"Syukurlah, saya sudah meringankan penyakit Tante. Saya harap setelah ini Tante cepat sembuh, ya?”
"Terimakasih, ya, Nak. Tante sangat bersyukur kamu mau membantu Tante. Entah bagaimana Tante harus membalasnya," sahut Fatimah terharu.
"Nggak perlu, Tante. Sudah kewajiban kita semua sebagai umat Islam untuk saling membantu."
"Sungguh mulianya hatimu, Nak. Pasti orang tuamu sangat bangga padamu," ujar Fatimah.
"Iya, jika orang tua saya masih hidup, pasti mereka bangga pada saya," sahut Putra seraya menghela napas.
"Oh, maafkan Tante," ujar Fatimah merasa tidak enak pada Putra.
"Nggak apa-apa Tante. Itu sudah lama, kok. Saya ngeliat Tante persis seperti Ibu saya. Beliau dulu juga sakit sampai akhirnya meninggalkan saya."
"Kamu yang sabar, ya, Nak. Jangan sedih!"
Pria itu mengangguk seraya tersenyum. Lega rasanya sudah bisa membantu keluarga itu. Putra juga merasa senang karena bisa melihat Isna kembali tersenyum.
Bersambung.
Fajar bersama Putra dan Isna pun tiba di depan kamar Fatimah. Tampak keraguan pada raut wajah Fajar, sesaat sebelum dia membuka pintu kamar itu.
Cekrek! Krieeet!
Pintu pun terbuka dan seketika mata Putra terbelalak melihat hal ganjil di hadapannya.
"Astagfirullahaladzim!” pekik Putra yang kaget melihat sesosok wanita duduk di samping ranjang Fatimah. Rambut wanita itu acak-acakan dan mukanya hitam pekat. Bola matanya terlihat melotot dan seperti mau keluar. Sosok itu bergeming dan hanya menatap ke arah Fatimah dengan tatapan tajam.
"Ada apa, Mas?!" tanya Isna yang keheranan dengan sikap Putra.
"Iya, kenapa, Nak?! Kok, kaget gitu?" Fajar ikut bertanya sambil melangkah masuk, tetapi Putra menghalanginya.
"Om sama Isna, jangan masuk dulu!" sahut Putra yang masih menatap ke sosok yang masih menatap tajam ke arah Fatimah itu.
"Sebenarnya, ada apa, sih?!" sahut Isna seraya memutar bola matanya berkeliling ke seluruh kamar. Namun, dalam penglihatannya, tidak ada yang aneh.
"Isna, kamu punya sapu lidi nggak?" tanya Putra.
"Punya. Kenapa emangnya?"
"Bisa tolong ambilkan beberapa lidi yang masih bersih?"
"Yaudah, tunggu bentar!" Isna pun bergegas pergi ke kamarnya dan mengambil sapu lidi yang biasa digunakannya untuk membersihkan kasur, kemudian segera kembali ke kamar sang mama.
"Ini, Mas!” Isna pun memberikan sapu lidi itu pada Putra.
Putra menerima sapu lidi itu, lalu membaca doa. Setelah itu, dia melangkah perlahan menuju ke depan ranjang milik Fatimah yang terlihat terbaring lemas di sana. Tanpa menunggu lama, Putra pun langsung memukul-mukul ranjang itu beberapa kali menggunakan sapu lidi tadi.
Sosok wanita yang berwajah hitam itu seperti terkejut, lalu menatap Putra sambil mendesis marah. Ia pun menyeringai dan memperlihatkan giginya yang bertaring.
Putra tidak memedulikannya dan masih sibuk menggebuk ranjang itu dengan sapu lidi sampai akhirnya sosok itu berubah menjadi angin dan lenyap dari sana, melewati Fajar dan Isna.
"Angin apa ini?" tanya Fajar yang merasakan embusan angin dingin yang baru saja melewati tubuhnya.
"Iya, Pa, angin dari mana ini?" Isna ikut heran.
Fatimah yang sejak tadi tertidur, tiba-tiba terbangun mendengar kegaduhan itu.
"Maaf, Tante, Putra mengganggu waktu istirahat Tante," ujar Putra menyapa wanita berkerudung itu.
"Eh, iya, nggak apa-apa, Nak. Kamu siapa, ya?"
"Saya Putra, keponakannya Bi Fatma," jawabnya.
"Oh, kamu pasti keponakannya yang dari kota itu! Mbak Fatma dulu sering cerita banyak tentang kamu," ujar wanita itu seraya beranjak duduk, dibantu oleh Fajar.
"Mas Putra, tadi itu apa? Apa ada sesuatu di kamar ini?" tanya Isna yang masih penasaran.
"Isna, kamu ngomong apa, Sayang?" sela Fatimah yang tidak pernah percaya bahwa setan bisa melukai manusia.
"Mama tau nggak? Rumah kita itu nggak beres! Aku merasa, selama ini kita hidup dengan makhluk lain di sini," tegas Isna yang sudah tidak tahan dengan semua keanehan yang terjadi padanya.
"Jangan suudzon, Isna! Bukannya Mama selalu mengajari kamu, jangan berpikir yang tidak-tidak!” bantah Fatimah.
"Tapi Ma –!" Ucapan Isna terhenti karena Fajar berbicara.
"Udah-udah! Kok, malah berdebat, sih? Malu dilihat Putra itu," ujar Fajar melerai perdebatan anak dan istrinya itu.
"Oh, maaf, ya! Beginilah keluarga kami, Nak. Ada kalanya kami juga berdebat seperti ini," ujar Fatimah.
"Iya, Tante," sahut Putra dan tersenyum.
"Kamu ke sini disuruh Mbak Fatma, ya?" tanya wanita itu pada Putra.
"Enggak, kok, Tante. Niat Putra sendiri untuk menjenguk Tante."
"Oh gitu."
Putra melihat tangan dan kaki Fatimah yang bengkak serta mengeluarkan nanah. Dia pun membayangkan betapa sakitnya itu, tetapi wanita berkerudung itu sama sekali tidak terlihat kesakitan apalagi mengeluh. Putra berpikir, andai orang lain yang mendapat penyakit seperti itu, pasti sudah berteriak-teriak minta tolong.
Fatimah melihat Putra yang mematung dan memperhatikan kakinya yang membengkak.
"Nak Putra," panggilnya lirih dan membuyarkan lamunan pria itu.
"Eh, iya, Tante."
"Maaf, Tante tidak bisa menyambutmu dengan baik," ujar wanita itu dengan tersenyum.
Melihat senyuman wanita yang terlihat tegar meski tengah terluka itu, semakin membuat Putra merasa iba dan niatnya untuk menolong wanita itu semakin besar. Dia berjanji dalam hatinya untuk menolong mamanya Isna, bagaimanapun caranya.
"Tante, apa luka ini terasa sakit?" Putra mengalihkan topik pembicaraan.
"Ehmm, tak ada luka yang tak sakit, Nak, tapi Tante masih bisa menahannya kok," ujar wanita itu dan memegang tangan suaminya yang sudah tidak bisa menahan air matanya.
"Saya yakin, kedatangan saya ke sini semua atas kehendak Allah, dan semoga setelah ini, Tante dan keluarga ini bisa hidup normal lagi," ujar Putra yang juga tidak kuasa menahan tangis.
Fatimah berlinang air mata. Selama ini dia memang menahan sakit dan perih. Namun, dia menyimpannya sendiri karena tidak ingin menyusahkan anak dan suaminya. Fatimah begitu terharu setelah mendengar perkataan Putra dan entah mengapa, dia ingin meluapkan semua yang dirasakannya selama ini. Isna pun ikut menangis memeluk sang mama.
"Terimakasih, ya, Nak. Tante merasa sedikit lega sekarang, walau Tante sakit seperti ini, Tante nggak mau merepotkan Isna dan suami Tante," ucap wanita itu memeluk Fajar dan Isna yang sudah berlinang air mata.
"Mama, yang sabar, ya," ucap Isna padanya. Fatimah pun mengangguk.
"Baiklah kalau begitu, saya akan mencoba mengurangi rasa sakit yang Tante derita," ujar Putra membuat mereka semua tercengang.
"Benarkan itu, Nak?" tanya Fatimah tidak percaya. Putra pun hanya mengangguk.
"Isna, bisa tolong ambilkan segelas air putih?" pinta Putra.
"Iya bisa, bentar, ya, Mas," ujar Isna dan bergegas mengambil segelas air putih lalu memberikannya pada Putra.
Putra segera membaca doa dan beberapa kali tangannya mengusap gelas itu.
"Bismillahirrahmanirrahim."
"Om, tolong suruh Tante minum air ini sedikit, lalu sisanya tolong usapkan ke tangan dan kaki Tante yang bengkak," pinta Putra seraya memberikan gelas itu ke Fajar.
"Ayo diminum, Ma," ucap Fajar dan membantu istrinya minum, lalu sisa air itu diusapkannya pada tangan dan kaki sang istri yang membengkak.
"Tante, tolong ditahan, ya, ini akan sedikit sakit."
"Iya, Nak."
Tidak berapa lama, keluarlah asap putih dari tangan dan kaki Fatimah yang bengkak itu dan membuat wanita itu mengerang kesakitan. Fajar dan Isna memegangi tubuh Fatimah dengan perasaan iba.
"Tahan, ya, Ma," ujar Fajar yang masih setia di sampingnya.
Setelah asap itu menghilang, tepat pada area yang membengkak itu muncul lubang-lubang kecil yang mirip lubang tempat tinggal semut dan dari dalam lubang itu keluar belatung dalam jumlah yang tidak dapat dipercaya.
"Astagfirullah!" Serempak mereka mengucap istighfar karena tidak percaya dengan apa yang mereka lihat.
Belatung-belatung itu keluar dan jatuh ke lantai, lalu seketika terbakar menjadi abu.
Akhirnya, bengkak di tangan dan kaki Fatimah pun perlahan kempes bersamaan dengan terbakarnya belatung-belatung itu.
"Apa itu tadi?! Bagaimana bisa belatung itu hidup di tubuh Mama selama ini?!” ujar Isna yang masih heran.
"Syukurlah, saya sudah meringankan penyakit Tante. Saya harap setelah ini Tante cepat sembuh, ya?”
"Terimakasih, ya, Nak. Tante sangat bersyukur kamu mau membantu Tante. Entah bagaimana Tante harus membalasnya," sahut Fatimah terharu.
"Nggak perlu, Tante. Sudah kewajiban kita semua sebagai umat Islam untuk saling membantu."
"Sungguh mulianya hatimu, Nak. Pasti orang tuamu sangat bangga padamu," ujar Fatimah.
"Iya, jika orang tua saya masih hidup, pasti mereka bangga pada saya," sahut Putra seraya menghela napas.
"Oh, maafkan Tante," ujar Fatimah merasa tidak enak pada Putra.
"Nggak apa-apa Tante. Itu sudah lama, kok. Saya ngeliat Tante persis seperti Ibu saya. Beliau dulu juga sakit sampai akhirnya meninggalkan saya."
"Kamu yang sabar, ya, Nak. Jangan sedih!"
Pria itu mengangguk seraya tersenyum. Lega rasanya sudah bisa membantu keluarga itu. Putra juga merasa senang karena bisa melihat Isna kembali tersenyum.
Bersambung.
Araka dan 9 lainnya memberi reputasi
10
Kutip
Balas
Tutup