- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
Santet ( Ketamakan Membawa Petaka)
TS
piendutt
Santet ( Ketamakan Membawa Petaka)
Quote:
SANTET
Part 1. Mimpi Buruk
Kriiing! Kriiing!
Sebuah tangan terlihat meraba-raba berusaha menggapai jam weker yang terus berbunyi dan Cumiakkan telinga itu. Sang pemilik tangan pun bangun dari tidurnya.
"Whoaaamm!"
Seorang gadis dengan rambut sebahu menguap sambil mengusap-usap mata, kemudian berjalan sempoyongan menuju ke kamar mandi dan membersihkan diri.
Tidak lama kemudian, gadis itu menuju ke lantai bawah dan melihat seorang pria yang tidak lain adalah sang papa yang bernama Fajar, tengah duduk sambil membaca korang di sofa. Gadis cantik yang masih mengenakan piyama itu bernama Isna. Dia berjalan ke arah dapur sambil mengendus aroma sedap dari masakan wanita berkerudung yang terlihat sedang mencicipi sup buatannya. Wanita itu adalah sang mama yang bernama Fatimah. Kedua orang tuanya Isna memang sedang berlibur karena hari Minggu.
Tanpa menunggu lama, Isna pun langsung melingkarkan tangannya ke pinggul wanita yang dikaguminya itu.
"Mama masak apa? Sedap banget baunya," tanya Isna dengan nada manja.
"Ini sup ceker kesukaan kamu, Sayang,' jawab sang mama.
Mendadak, dari depan pintu dapur. Isna dikejutkan oleh suara lain yang memanggil namanya.
"Isna! Ngapain kamu di situ?"
Isna pun menoleh ke arah pintu, gadis itu terkejut melihat sang mama sedang berdiri tegak seraya menatapnya.
'Tunggu! Jika Mama ada di sana, lalu siapa yang kurangkul ini?' batin Isna.
Gadis itu menelan ludah, keringat dingin pun telah membasahi keningnya. Ia merenggangkan tangan, melepaskan rangkulan tangannya dan perlahan melongok ke atas untuk melihat siapa wanita yang berada di hadapannya.
Seketika, netranya terbelalak saat melihat wanita yang dikira sang mama tadi sudah berubah. Wanita itu berwajah pucat dengan tetesan darah hitam yang mengalir di seluruh wajahnya, matanya pun melotot tajam ke arah Isna.
"Arrrrhhhhhhhh!" Isna berteriak dan terbangun dari tidurnya bersamaan dengan dering jam weker di meja samping tempat tidurnya. Gadis itu terengah-engah, lalu mematikan jam weker yang terus berbunyi itu. Kemudian ia mengatur nafasnya kembali.
"Astagfirullahaladzim! Mimpi apa itu tadi?" Dia masih bertanya-tanya, lalu membersihkan diri dan turun ke lantai bawah.
Bersambung.
Written : @piendutt
Sumber : Opini pribadi
Jangan lupa mampir bawa ya gan, terimakasih.
Part 1. Mimpi Buruk
Kriiing! Kriiing!
Sebuah tangan terlihat meraba-raba berusaha menggapai jam weker yang terus berbunyi dan Cumiakkan telinga itu. Sang pemilik tangan pun bangun dari tidurnya.
"Whoaaamm!"
Seorang gadis dengan rambut sebahu menguap sambil mengusap-usap mata, kemudian berjalan sempoyongan menuju ke kamar mandi dan membersihkan diri.
Tidak lama kemudian, gadis itu menuju ke lantai bawah dan melihat seorang pria yang tidak lain adalah sang papa yang bernama Fajar, tengah duduk sambil membaca korang di sofa. Gadis cantik yang masih mengenakan piyama itu bernama Isna. Dia berjalan ke arah dapur sambil mengendus aroma sedap dari masakan wanita berkerudung yang terlihat sedang mencicipi sup buatannya. Wanita itu adalah sang mama yang bernama Fatimah. Kedua orang tuanya Isna memang sedang berlibur karena hari Minggu.
Tanpa menunggu lama, Isna pun langsung melingkarkan tangannya ke pinggul wanita yang dikaguminya itu.
"Mama masak apa? Sedap banget baunya," tanya Isna dengan nada manja.
"Ini sup ceker kesukaan kamu, Sayang,' jawab sang mama.
Mendadak, dari depan pintu dapur. Isna dikejutkan oleh suara lain yang memanggil namanya.
"Isna! Ngapain kamu di situ?"
Isna pun menoleh ke arah pintu, gadis itu terkejut melihat sang mama sedang berdiri tegak seraya menatapnya.
'Tunggu! Jika Mama ada di sana, lalu siapa yang kurangkul ini?' batin Isna.
Gadis itu menelan ludah, keringat dingin pun telah membasahi keningnya. Ia merenggangkan tangan, melepaskan rangkulan tangannya dan perlahan melongok ke atas untuk melihat siapa wanita yang berada di hadapannya.
Seketika, netranya terbelalak saat melihat wanita yang dikira sang mama tadi sudah berubah. Wanita itu berwajah pucat dengan tetesan darah hitam yang mengalir di seluruh wajahnya, matanya pun melotot tajam ke arah Isna.
"Arrrrhhhhhhhh!" Isna berteriak dan terbangun dari tidurnya bersamaan dengan dering jam weker di meja samping tempat tidurnya. Gadis itu terengah-engah, lalu mematikan jam weker yang terus berbunyi itu. Kemudian ia mengatur nafasnya kembali.
"Astagfirullahaladzim! Mimpi apa itu tadi?" Dia masih bertanya-tanya, lalu membersihkan diri dan turun ke lantai bawah.
Bersambung.
Written : @piendutt
Sumber : Opini pribadi
Jangan lupa mampir bawa ya gan, terimakasih.
Bab selanjutnya 👇
Part 1. Mimpi Buruk
Part 2. Ibu-ibu Arisan
Part 3. Musibah
Part 4. Perkenalan
Part 5. Mengobati Fatimah
Part 6. Kiriman Santet
Part 7. Cinta pada Pandangan Pertama
Part 8. Isna Terkena Santet
Part 9. Sang Dalang
Part 10. Percobaan Pembunuhan
Diubah oleh piendutt 05-10-2022 07:16
terbitcomyt dan 20 lainnya memberi reputasi
21
10.4K
Kutip
111
Balasan
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
TS
piendutt
#15
Santet
Quote:
Part 4. Perkenalan
Suatu malam setelah selesai bekerja, Isna berjalan pulang sendirian. Saat itu, dia merasa seperti diikuti oleh seseorang. Namun, saat Isna membalikkan badan, tidak terlihat siapa pun di belakangnya. Tiba-tiba saja bulu kuduknya berdiri dan dia pun mempercepat langkah. Beberapa langkah kemudian, Isna dikejutkan dengan sebuah sentuhan di pundaknya.
"Astagfirullah!" pekik Isna kaget.
"Eh, maaf kalau aku ngagetin kamu," sahut pria yang beberapa hari lalu membeli nasi di restorannya. Isna masih mengingat pria tampan itu.
"Huhh! Aku kira siapa," ujar Isna sembari mengelus dada, berusaha mengatur napasnya kembali.
"Namaku Putra. Nama kamu siapa?" tanya pria itu seraya menjulurkan tangan.
"Namaku Isna. Maaf, ya, bukan mahram," tolak Isna sambil mengatupkan kedua tangannya di dada.
Putra tersenyum kecil dan merasa salut dengan pendirian gadis cantik yang ada di hadapannya itu.
"Apa rumah kamu di dekat sini?" tanya Putra lagi.
"Ehm, iya ... di depan situ, Mas?"
"Berarti deket, dong! Aku tinggal di rumah Bi Fatma. Kamu kenal tidak?”
"Oh ... Tante Fatma. Iya, beliau temen arisan mamaku," sahut Isna seraya menunduk karena teringat kejadian beberapa bulan yang lalu.
Saat itu, Fatma datang ke rumah Isna sambil marah-marah dan mengembalikan semua uang arisan Fatimah. Bi Fatma bahkan mengatakan bahwa dirinya tidak sudi lagi bergaul dengan orang yang memuja iblis sambil menunjuk muka mamanya Isna. Kata-kata itu masih teringat dengan jelas di pikiran Isna.
Sementara itu, sesosok makhluk bertubuh besar dan hitam dengan mata memerah terlihat mengawasi Isna dan Putra dari balik sebuah pohon besar.
Putra yang memiliki kemampuan melihat makhluk astral itu pun segera mengambil beberapa kerikil, lalu membaca doa. Setelah itu, dilemparkannya kerikil tadi ke arah makhluk yang sedang menatapnya itu. Seketika makhluk itu pergi dan menghilang. Isna tersentak mendengar suara di semak-semak.
"Apa itu?" ucapnya melirik ke sumber suara.
"Bukan apa-apa, kok. Ayo pulang! Keburu malam, nih," ajak Putra.
Mereka pun berjalan berdua dan melewati beberapa rumah yang penghuninya sudah terlelap. Tidak ada pembicaraan berarti karena mungkin mereka masih canggung. Namun, ada rasa yang tidak biasa di hati Putra. Pria itu merasa bahwa gadis yang tengah berjalan bersamanya itu sedang menanggung beban hidup yang sulit untuk dijelaskan.
Setelah hampir setengah jam berjalan, mereka pun tiba di tempat tujuan.
"Kamu tinggal di sini?" tanya Putra yang disambut anggukan kepala oleh Isna.
"Aku belum pernah lihat Mas di sini. Apa Mas bukan dari desa sini?"
"Iya, aku memang datang dari kota dan berencana kuliah di sini.”
"Oh gitu, ya. Yaudah, aku masuk dulu, ya," ujar Isna berpamitan seraya berjalan memasuki rumahnya.
Putra masih memandangi gadis berambut sebahu itu, hingga punggungnya tidak lagi terlihat.
Saat Isna membuka pintu rumahnya, Putra melihat sesosok wanita berbaju putih dan berambut panjang sudah berdiri tepat di pintu masuk itu.
"Hah?! Aneh! Kenapa cewek itu dikelilingi banyak arwah?" gumam Putra yang masih mematung di depan rumah berlantai dua itu.
Isna langsung masuk ke kamar, kemudian merebahkan tubuhnya di atas ranjang. Gadis itu mengurai senyum saat teringat dengan wajah Putra yang tampan.
"Eh, Isna! Bangun! Bangun!” ucapnya seraya menepuk pipinya sendiri beberapa kali.
"Isna, kamu nggak boleh tergoda! Jangan lengah! Kerja dulu, baru ngurusin cinta!" gumamnya bermonolog.
"Tapi ... cowok itu emang ganteng, sih," gumamnya sambil terkekeh.
***
Putra baru saja sampai di rumah dan melepas sepatunya. Fatma, sang bibi, mengetahui bahwa keponakannya tadi sempat bertemu Isna.
"Putra, dengerin Bibi! Kamu jangan bergaul sama itu cewek, ya! Ingat itu!” perintah Fatma sinis.
"Maksud Bibi ... si Isna?"
"Iya! Kamu nggak tau apa yang dibilang semua orang tentang keluarga mereka?"
"Memangnya ada apa, Bi?"
"Mereka itu keluarga pemuja iblis! Ibunya aja sampai sakit berbulan-bulan nggak sembuh-sembuh. Dokter mana pun sudah angkat tangan! Pasti itu azab mereka karena laknat sama Allah," cetus Fatma.
"Astagfirullah, Bi! Itu suudzon namanya. Memangnya Bibi tau dari mana?" bantah Putra.
"Banyak yang bilang, kok! Bukan cuman Bibi seorang! Udah, ayo masuk! Udah larut ini!" pinta Fatma dan meninggalkan keponakannya itu.
Putra masih belum bisa memejamkan matanya dan terus merasa gelisah di dalam kamarnya. Pria itu masih mengingat-ingat perkataan bibinya.
***
Suatu hari di Musala, sudah waktunya salat Magrib. Putra tidak sengaja melihat Isna juga sedang menunaikan ibadah. Gadis itu begitu khusyuk bersujud di atas sajadah. Hati Putra pun goyah. Dia mulai meragukan peringatan bibinya beberapa waktu lalu.
"Mana ada pemuja iblis masuknya ke Masjid dan masih terus menunaikan salat juga? Pasti ada yang nggak beres!" gumam Putra yang memang dikaruniai kelebihan dari Sang Mahakuasa, tetapi dia tidak pernah menyombongkan kelebihannya itu.
Jika pun ada orang yang membutuhkan bantuan, barulah dia datang untuk membantu. Kini, hatinya justru semakin tergerak untuk membantu Isna.
***
Pada suatu malam, Putra sengaja datang berkunjung ke rumah Isna saat gadis itu pulang bekerja.
"Assalamu'alaikum," sapa Putra.
"Wa'alaikumsalam! Eh, Mas Putra? Ngapain malam-malam ke sini?" tanya Isna yang saat itu di ruang tamu menghitung penghasilan.
"Boleh kita bicara di dalam?" pinta Putra.
"Oh, baik. Silakan masuk, Mas," ujar Isna mempersilakan pria itu untuk masuk.
Baru saja Putra melangkahkan kaki, angin dingin sudah menerpa tubuh pria tampan itu. Putra merasakan aura yang sangat jahat mengelilingi rumah berlantai dua itu. Entah apa penyebabnya. Netranya memandang sekeliling rumah itu dan melihat sesosok wanita berdiri tegak di samping televisi ruang tamu. Putra pun sempat mematung sesaat.
"Mas, ayo duduk! Kok, malah bengong?" ujar Isna mengagetkannya.
"Eh, i-iya." Putra langsung duduk di sofa.
Beberapa saat kemudian, seorang pria datang menemui mereka.
"Siapa ini?" tanya Fajar yang belum pernah melihat Putra sebelumnya.
"Saya Putra, Om. Keponakan Bi Fatma yang tinggal di seberang situ.”
"Oh gitu, ada perlu apa ke sini?" tanya Fajar lagi.
Percakapan mereka terhenti karena Isna datang sambil membawa nampan.
"Ini diminum dulu, Mas.” Isna menyodorkan segelas teh hangat untuk Putra.
"Kalian sudah saling kenal, ya? Atau jangan-jangan dia pacar kamu, Isna?” ucap Fajar tiba-tiba.
Mendengar perkataan Fajar, pria yang baru saja meneguk teh buatan Isna itu pun langsung tersedak.
Uhuk! Uhuk! Uhuk!
"Papa ini ngomong apa, sih! Kita ini baru ketemu kemarin di restoran. Ah, Papa, nih!" sela Isna seraya menunduk malu.
"Maaf, ya. Om nggak tau, soalnya selama ini anak gadis Om ini belum pernah didatangi lelaki," sahut Fajar seraya menatap Putra yang sibuk mengelap tumpahan air teh di kemejanya.
"Iya Om, nggak papa," ujar Putra ikut malu mendengar perkataan Fajar, seolah memberikan sinyal bahwa Isna masih single.
Mereka pun diam sejenak.
"Lalu, ada perlu apa kamu ke sini?" tanya Fajar memecah keheningan.
"Oh iya, sampai lupa. Bolehkah saya menengok mamanya Isna, Om? Katanya, beliau sedang sakit.” Putra pun mengutarakan niatnya.
Isna dan Fajar saling berpandangan. Raut wajah mereka menyiratkan kebingungan mendengar ucapan pria yang baru mereka kenal itu.
"Jika Allah mengizinkan, mungkin saya bisa sedikit membantu meringankan penyakit beliau. Itu pun kalau kalian percaya kepada saya," tutur Putra seraya memandang ke mereka berdua.
"Benarkah kamu bisa membantu istri Om?"
"InsyaAllah, Om. Saya akan mencobanya."
Wajah Fajar dan Isna berseri-seri. Selama ini mereka sudah berputus asa karena tidak ada lagi yang mau membantu mengobati Fatimah. Saat ini, Fajar dan Isna sangat berharap bahwa Putra adalah orang yang dikirimkan Allah sebagai jawaban atas doa-doa mereka selama ini.
"Mari, Mas! Aku anterin ke kamar Mama," ujar Isna bersemangat dan dijawab anggukan oleh Putra.
Bersambung.
Suatu malam setelah selesai bekerja, Isna berjalan pulang sendirian. Saat itu, dia merasa seperti diikuti oleh seseorang. Namun, saat Isna membalikkan badan, tidak terlihat siapa pun di belakangnya. Tiba-tiba saja bulu kuduknya berdiri dan dia pun mempercepat langkah. Beberapa langkah kemudian, Isna dikejutkan dengan sebuah sentuhan di pundaknya.
"Astagfirullah!" pekik Isna kaget.
"Eh, maaf kalau aku ngagetin kamu," sahut pria yang beberapa hari lalu membeli nasi di restorannya. Isna masih mengingat pria tampan itu.
"Huhh! Aku kira siapa," ujar Isna sembari mengelus dada, berusaha mengatur napasnya kembali.
"Namaku Putra. Nama kamu siapa?" tanya pria itu seraya menjulurkan tangan.
"Namaku Isna. Maaf, ya, bukan mahram," tolak Isna sambil mengatupkan kedua tangannya di dada.
Putra tersenyum kecil dan merasa salut dengan pendirian gadis cantik yang ada di hadapannya itu.
"Apa rumah kamu di dekat sini?" tanya Putra lagi.
"Ehm, iya ... di depan situ, Mas?"
"Berarti deket, dong! Aku tinggal di rumah Bi Fatma. Kamu kenal tidak?”
"Oh ... Tante Fatma. Iya, beliau temen arisan mamaku," sahut Isna seraya menunduk karena teringat kejadian beberapa bulan yang lalu.
Saat itu, Fatma datang ke rumah Isna sambil marah-marah dan mengembalikan semua uang arisan Fatimah. Bi Fatma bahkan mengatakan bahwa dirinya tidak sudi lagi bergaul dengan orang yang memuja iblis sambil menunjuk muka mamanya Isna. Kata-kata itu masih teringat dengan jelas di pikiran Isna.
Sementara itu, sesosok makhluk bertubuh besar dan hitam dengan mata memerah terlihat mengawasi Isna dan Putra dari balik sebuah pohon besar.
Putra yang memiliki kemampuan melihat makhluk astral itu pun segera mengambil beberapa kerikil, lalu membaca doa. Setelah itu, dilemparkannya kerikil tadi ke arah makhluk yang sedang menatapnya itu. Seketika makhluk itu pergi dan menghilang. Isna tersentak mendengar suara di semak-semak.
"Apa itu?" ucapnya melirik ke sumber suara.
"Bukan apa-apa, kok. Ayo pulang! Keburu malam, nih," ajak Putra.
Mereka pun berjalan berdua dan melewati beberapa rumah yang penghuninya sudah terlelap. Tidak ada pembicaraan berarti karena mungkin mereka masih canggung. Namun, ada rasa yang tidak biasa di hati Putra. Pria itu merasa bahwa gadis yang tengah berjalan bersamanya itu sedang menanggung beban hidup yang sulit untuk dijelaskan.
Setelah hampir setengah jam berjalan, mereka pun tiba di tempat tujuan.
"Kamu tinggal di sini?" tanya Putra yang disambut anggukan kepala oleh Isna.
"Aku belum pernah lihat Mas di sini. Apa Mas bukan dari desa sini?"
"Iya, aku memang datang dari kota dan berencana kuliah di sini.”
"Oh gitu, ya. Yaudah, aku masuk dulu, ya," ujar Isna berpamitan seraya berjalan memasuki rumahnya.
Putra masih memandangi gadis berambut sebahu itu, hingga punggungnya tidak lagi terlihat.
Saat Isna membuka pintu rumahnya, Putra melihat sesosok wanita berbaju putih dan berambut panjang sudah berdiri tepat di pintu masuk itu.
"Hah?! Aneh! Kenapa cewek itu dikelilingi banyak arwah?" gumam Putra yang masih mematung di depan rumah berlantai dua itu.
Isna langsung masuk ke kamar, kemudian merebahkan tubuhnya di atas ranjang. Gadis itu mengurai senyum saat teringat dengan wajah Putra yang tampan.
"Eh, Isna! Bangun! Bangun!” ucapnya seraya menepuk pipinya sendiri beberapa kali.
"Isna, kamu nggak boleh tergoda! Jangan lengah! Kerja dulu, baru ngurusin cinta!" gumamnya bermonolog.
"Tapi ... cowok itu emang ganteng, sih," gumamnya sambil terkekeh.
***
Putra baru saja sampai di rumah dan melepas sepatunya. Fatma, sang bibi, mengetahui bahwa keponakannya tadi sempat bertemu Isna.
"Putra, dengerin Bibi! Kamu jangan bergaul sama itu cewek, ya! Ingat itu!” perintah Fatma sinis.
"Maksud Bibi ... si Isna?"
"Iya! Kamu nggak tau apa yang dibilang semua orang tentang keluarga mereka?"
"Memangnya ada apa, Bi?"
"Mereka itu keluarga pemuja iblis! Ibunya aja sampai sakit berbulan-bulan nggak sembuh-sembuh. Dokter mana pun sudah angkat tangan! Pasti itu azab mereka karena laknat sama Allah," cetus Fatma.
"Astagfirullah, Bi! Itu suudzon namanya. Memangnya Bibi tau dari mana?" bantah Putra.
"Banyak yang bilang, kok! Bukan cuman Bibi seorang! Udah, ayo masuk! Udah larut ini!" pinta Fatma dan meninggalkan keponakannya itu.
Putra masih belum bisa memejamkan matanya dan terus merasa gelisah di dalam kamarnya. Pria itu masih mengingat-ingat perkataan bibinya.
***
Suatu hari di Musala, sudah waktunya salat Magrib. Putra tidak sengaja melihat Isna juga sedang menunaikan ibadah. Gadis itu begitu khusyuk bersujud di atas sajadah. Hati Putra pun goyah. Dia mulai meragukan peringatan bibinya beberapa waktu lalu.
"Mana ada pemuja iblis masuknya ke Masjid dan masih terus menunaikan salat juga? Pasti ada yang nggak beres!" gumam Putra yang memang dikaruniai kelebihan dari Sang Mahakuasa, tetapi dia tidak pernah menyombongkan kelebihannya itu.
Jika pun ada orang yang membutuhkan bantuan, barulah dia datang untuk membantu. Kini, hatinya justru semakin tergerak untuk membantu Isna.
***
Pada suatu malam, Putra sengaja datang berkunjung ke rumah Isna saat gadis itu pulang bekerja.
"Assalamu'alaikum," sapa Putra.
"Wa'alaikumsalam! Eh, Mas Putra? Ngapain malam-malam ke sini?" tanya Isna yang saat itu di ruang tamu menghitung penghasilan.
"Boleh kita bicara di dalam?" pinta Putra.
"Oh, baik. Silakan masuk, Mas," ujar Isna mempersilakan pria itu untuk masuk.
Baru saja Putra melangkahkan kaki, angin dingin sudah menerpa tubuh pria tampan itu. Putra merasakan aura yang sangat jahat mengelilingi rumah berlantai dua itu. Entah apa penyebabnya. Netranya memandang sekeliling rumah itu dan melihat sesosok wanita berdiri tegak di samping televisi ruang tamu. Putra pun sempat mematung sesaat.
"Mas, ayo duduk! Kok, malah bengong?" ujar Isna mengagetkannya.
"Eh, i-iya." Putra langsung duduk di sofa.
Beberapa saat kemudian, seorang pria datang menemui mereka.
"Siapa ini?" tanya Fajar yang belum pernah melihat Putra sebelumnya.
"Saya Putra, Om. Keponakan Bi Fatma yang tinggal di seberang situ.”
"Oh gitu, ada perlu apa ke sini?" tanya Fajar lagi.
Percakapan mereka terhenti karena Isna datang sambil membawa nampan.
"Ini diminum dulu, Mas.” Isna menyodorkan segelas teh hangat untuk Putra.
"Kalian sudah saling kenal, ya? Atau jangan-jangan dia pacar kamu, Isna?” ucap Fajar tiba-tiba.
Mendengar perkataan Fajar, pria yang baru saja meneguk teh buatan Isna itu pun langsung tersedak.
Uhuk! Uhuk! Uhuk!
"Papa ini ngomong apa, sih! Kita ini baru ketemu kemarin di restoran. Ah, Papa, nih!" sela Isna seraya menunduk malu.
"Maaf, ya. Om nggak tau, soalnya selama ini anak gadis Om ini belum pernah didatangi lelaki," sahut Fajar seraya menatap Putra yang sibuk mengelap tumpahan air teh di kemejanya.
"Iya Om, nggak papa," ujar Putra ikut malu mendengar perkataan Fajar, seolah memberikan sinyal bahwa Isna masih single.
Mereka pun diam sejenak.
"Lalu, ada perlu apa kamu ke sini?" tanya Fajar memecah keheningan.
"Oh iya, sampai lupa. Bolehkah saya menengok mamanya Isna, Om? Katanya, beliau sedang sakit.” Putra pun mengutarakan niatnya.
Isna dan Fajar saling berpandangan. Raut wajah mereka menyiratkan kebingungan mendengar ucapan pria yang baru mereka kenal itu.
"Jika Allah mengizinkan, mungkin saya bisa sedikit membantu meringankan penyakit beliau. Itu pun kalau kalian percaya kepada saya," tutur Putra seraya memandang ke mereka berdua.
"Benarkah kamu bisa membantu istri Om?"
"InsyaAllah, Om. Saya akan mencobanya."
Wajah Fajar dan Isna berseri-seri. Selama ini mereka sudah berputus asa karena tidak ada lagi yang mau membantu mengobati Fatimah. Saat ini, Fajar dan Isna sangat berharap bahwa Putra adalah orang yang dikirimkan Allah sebagai jawaban atas doa-doa mereka selama ini.
"Mari, Mas! Aku anterin ke kamar Mama," ujar Isna bersemangat dan dijawab anggukan oleh Putra.
Bersambung.
Rainbow555 dan 5 lainnya memberi reputasi
6
Kutip
Balas
Tutup