- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
Santet ( Ketamakan Membawa Petaka)
TS
piendutt
Santet ( Ketamakan Membawa Petaka)
Quote:
SANTET
Part 1. Mimpi Buruk
Kriiing! Kriiing!
Sebuah tangan terlihat meraba-raba berusaha menggapai jam weker yang terus berbunyi dan Cumiakkan telinga itu. Sang pemilik tangan pun bangun dari tidurnya.
"Whoaaamm!"
Seorang gadis dengan rambut sebahu menguap sambil mengusap-usap mata, kemudian berjalan sempoyongan menuju ke kamar mandi dan membersihkan diri.
Tidak lama kemudian, gadis itu menuju ke lantai bawah dan melihat seorang pria yang tidak lain adalah sang papa yang bernama Fajar, tengah duduk sambil membaca korang di sofa. Gadis cantik yang masih mengenakan piyama itu bernama Isna. Dia berjalan ke arah dapur sambil mengendus aroma sedap dari masakan wanita berkerudung yang terlihat sedang mencicipi sup buatannya. Wanita itu adalah sang mama yang bernama Fatimah. Kedua orang tuanya Isna memang sedang berlibur karena hari Minggu.
Tanpa menunggu lama, Isna pun langsung melingkarkan tangannya ke pinggul wanita yang dikaguminya itu.
"Mama masak apa? Sedap banget baunya," tanya Isna dengan nada manja.
"Ini sup ceker kesukaan kamu, Sayang,' jawab sang mama.
Mendadak, dari depan pintu dapur. Isna dikejutkan oleh suara lain yang memanggil namanya.
"Isna! Ngapain kamu di situ?"
Isna pun menoleh ke arah pintu, gadis itu terkejut melihat sang mama sedang berdiri tegak seraya menatapnya.
'Tunggu! Jika Mama ada di sana, lalu siapa yang kurangkul ini?' batin Isna.
Gadis itu menelan ludah, keringat dingin pun telah membasahi keningnya. Ia merenggangkan tangan, melepaskan rangkulan tangannya dan perlahan melongok ke atas untuk melihat siapa wanita yang berada di hadapannya.
Seketika, netranya terbelalak saat melihat wanita yang dikira sang mama tadi sudah berubah. Wanita itu berwajah pucat dengan tetesan darah hitam yang mengalir di seluruh wajahnya, matanya pun melotot tajam ke arah Isna.
"Arrrrhhhhhhhh!" Isna berteriak dan terbangun dari tidurnya bersamaan dengan dering jam weker di meja samping tempat tidurnya. Gadis itu terengah-engah, lalu mematikan jam weker yang terus berbunyi itu. Kemudian ia mengatur nafasnya kembali.
"Astagfirullahaladzim! Mimpi apa itu tadi?" Dia masih bertanya-tanya, lalu membersihkan diri dan turun ke lantai bawah.
Bersambung.
Written : @piendutt
Sumber : Opini pribadi
Jangan lupa mampir bawa ya gan, terimakasih.
Part 1. Mimpi Buruk
Kriiing! Kriiing!
Sebuah tangan terlihat meraba-raba berusaha menggapai jam weker yang terus berbunyi dan Cumiakkan telinga itu. Sang pemilik tangan pun bangun dari tidurnya.
"Whoaaamm!"
Seorang gadis dengan rambut sebahu menguap sambil mengusap-usap mata, kemudian berjalan sempoyongan menuju ke kamar mandi dan membersihkan diri.
Tidak lama kemudian, gadis itu menuju ke lantai bawah dan melihat seorang pria yang tidak lain adalah sang papa yang bernama Fajar, tengah duduk sambil membaca korang di sofa. Gadis cantik yang masih mengenakan piyama itu bernama Isna. Dia berjalan ke arah dapur sambil mengendus aroma sedap dari masakan wanita berkerudung yang terlihat sedang mencicipi sup buatannya. Wanita itu adalah sang mama yang bernama Fatimah. Kedua orang tuanya Isna memang sedang berlibur karena hari Minggu.
Tanpa menunggu lama, Isna pun langsung melingkarkan tangannya ke pinggul wanita yang dikaguminya itu.
"Mama masak apa? Sedap banget baunya," tanya Isna dengan nada manja.
"Ini sup ceker kesukaan kamu, Sayang,' jawab sang mama.
Mendadak, dari depan pintu dapur. Isna dikejutkan oleh suara lain yang memanggil namanya.
"Isna! Ngapain kamu di situ?"
Isna pun menoleh ke arah pintu, gadis itu terkejut melihat sang mama sedang berdiri tegak seraya menatapnya.
'Tunggu! Jika Mama ada di sana, lalu siapa yang kurangkul ini?' batin Isna.
Gadis itu menelan ludah, keringat dingin pun telah membasahi keningnya. Ia merenggangkan tangan, melepaskan rangkulan tangannya dan perlahan melongok ke atas untuk melihat siapa wanita yang berada di hadapannya.
Seketika, netranya terbelalak saat melihat wanita yang dikira sang mama tadi sudah berubah. Wanita itu berwajah pucat dengan tetesan darah hitam yang mengalir di seluruh wajahnya, matanya pun melotot tajam ke arah Isna.
"Arrrrhhhhhhhh!" Isna berteriak dan terbangun dari tidurnya bersamaan dengan dering jam weker di meja samping tempat tidurnya. Gadis itu terengah-engah, lalu mematikan jam weker yang terus berbunyi itu. Kemudian ia mengatur nafasnya kembali.
"Astagfirullahaladzim! Mimpi apa itu tadi?" Dia masih bertanya-tanya, lalu membersihkan diri dan turun ke lantai bawah.
Bersambung.
Written : @piendutt
Sumber : Opini pribadi
Jangan lupa mampir bawa ya gan, terimakasih.
Bab selanjutnya 👇
Part 1. Mimpi Buruk
Part 2. Ibu-ibu Arisan
Part 3. Musibah
Part 4. Perkenalan
Part 5. Mengobati Fatimah
Part 6. Kiriman Santet
Part 7. Cinta pada Pandangan Pertama
Part 8. Isna Terkena Santet
Part 9. Sang Dalang
Part 10. Percobaan Pembunuhan
Diubah oleh piendutt 05-10-2022 07:16
terbitcomyt dan 20 lainnya memberi reputasi
21
10.4K
Kutip
111
Balasan
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
TS
piendutt
#10
Santet
Quote:
Part 2. Ibu-ibu Arisan
Malam harinya, Fajar menjemput Isna untuk pulang ke rumah. Mereka berdua berjalan melewati pekarangan rumah berlantai dua itu. Isna masih enggan untuk melangkah memasuki rumahnya karena masih terbayang-bayang dengan sosok yang dilihatnya tadi sore.
"Kenapa, Isna? Kok, kayak takut gitu?" tanya Fajar ketika melihat raut wajah anaknya cemas.
"Nggak apa-apa, kok, Pa," sahut Isna lirih dan menggandeng tangan sang papa.
Fajar yang merasa aneh dengan sikap putrinya itu pun bertanya tentang bagaimana Isna bisa tersandung dan membuat lututnya berdarah.
Isna pun menjawab pertanyaan sang papa dan beralasan bahwa PR dari sekolah sudah menumpuk hingga membuatnya gagal fokus saat berjalan. Fajar pun tersenyum kecil mendengar alasan anak gadisnya tersebut.
***
Isna masuk ke rumah dan melihat sekelilingnya dengan teliti. Netranya terhenti di depan jendela tempat sosok mengerikan yang berdiri tadi sore. Namun, rupanya sosok itu sudah lenyap. Akhirnya, dia pun bisa menghela napas dengan lega.
"Isna, tadi sudah salat Isya belum?" tanya Fajar membuyarkan lamunannya.
"Sudah, Pa. Di rumah Mbak Lastri tadi," jawabnya.
"Terus, sudah makan belum?"
Isna teringat ucapan Lastri saat makan malam di rumahnya tadi.
‘Maaf, ya, Isna. Mbak cuma bisa masakin mi buat kamu. Zara rewel terus nggak mau lepas dari gendongan.’
"Isna? Kok, malah bengong?" Perkataan Fajar membuat gadis itu kaget.
"Eh, udah makan juga, Pa," sahut Isna gelagapan. Dia terpaksa berbohong karena papanya itu pasti akan marah jika mengetahui dirinya hanya makan mi saja tadi.
"Yaudah, cepet mandi terus istirahat, ya!" seru sang papa.
Isna mengangguk cepat, kemudian bergegas naik ke kamarnya. Dia membuka pintu dengan perlahan, lalu melihat sekeliling dan melihat jendela kamarnya sudah tertutup kembali. Isna pun lega dan memutuskan untuk mandi, lalu merebahkan tubuhnya yang lelah di atas kasur.
***
Tengah malam yang sunyi, Isna menggeliat di atas ranjang. Perutnya terasa lapar karena tadi hanya makan mi instan. Gadis itu pun terhuyung-huyung keluar dari kamarnya menuju ke dapur. Tiba di dapur, Isna melihat sang mama sedang duduk dan meminum segelas air putih. Isna pun bergegas menuju ke kamar orang tuanya dan melihat sang papa sedang tertidur pulas di atas ranjang sendirian. Barulah Isna lega dan merasa yakin bahwa wanita yang berada di dapur tadi adalah mamanya.
Isna pun segera kembali ke dapur dan berkata, "Ma, bisa bikinin aku makanan nggak? Laper, nih!
Sejenak, Isna keheranan karena sang mama bergeming mendengar rengekannya dan hampir saja dia menjerit ketika merasakan sebuah sentuhan di pundaknya.
“Ngapain kamu di sini, Sayang?" Suara Fatimah membuat Isna tersentak dan melihat ke arah wanita yang semula dia kira mamanya. Ternyata, wanita itu sudah lenyap entah ke mana.
Isna langsung ketakutan dan menangis sejadi-jadinya, membuat Fatimah kebingungan melihat tingkah putrinya itu.
***
Setelah keadaan Isna mulai tenang, Fatimah pun memberikan segelas air minum kepadanya.
"Isna, coba cerita sama Mama. Kenapa tiba-tiba nangis gini, Sayang?"
Sebenarnya gadis itu masih enggan untuk bercerita tentang perihal mimpi buruk dan penampakan sosok misterius yang terus menerornya, tetapi sang mama terus mendesak, hingga akhirnya, Isna pun menceritakan semuanya.
"Ma, beberapa hari ini Isna diganggu roh jahat. Sosok itu sangat menyeramkan, Ma. Aku takut!" isak gadis berambut hitam tersebut.
"Astagfirullah, Isna! Apa kamu sudah meninggalkan salat?" tanya Fatimah cemas.
"Enggak, Ma! Isna nggak pernah ninggalin salat!" bantah gadis itu.
"Isna, percaya sama Mama. Mereka tidak akan pernah mengganggu orang-orang yang tidak meninggalkan salat dan beriman teguh! Mungkin itu hanya pikiran Isna saja. Jangan terlalu dipikirin, ya, Sayang!" tutur Fatimah yang membuat Isna merasa tenang.
Kruuukk!
Percakapan mereka pun terhenti karena perut Isna berbunyi lumayan nyaring saking laparnya. Gadis itu terkekeh.
"Isna laper, ya?" tanya Fatimah dan Isna pun mengangguk cepat.
"Ayo, kita ke dapur! Mama bikinin makanan, Sayang," ujar Fatimah sembari menggandeng anak gadisnya itu.
Fatimah memasak makaroni dengan suwiran ayam serta sedikit sayuran. Isna dengan sabar menunggu sang mama memasak hingga selesai.
"Nih, makan dulu, Sayang!" Fatimah menyodorkan semangkuk makaroni.
Mata Isna berkaca-kaca melihat makaroni itu dan setelah membaca doa, dia pun langsung melahapnya sampai tidak tersisa.
"Isna, Minggu ini bisa bantuin Mama nggak? Mama mau ngadain arisan bersama ibu-ibu kompleks sini.”
"Ehmmm, iya, Ma. Ntar Isna bantuin," sahutnya sembari mengelus perutnya yang kekenyangan.
"Anak Mama memang baik.” Fatimah membelai rambut anak gadisnya itu dan tersenyum puas.
***
Isna sedang menuangkan air ke beberapa gelas dan membawanya ke ruang tamu.
"Ini minumannya, Tante. Silakan dinikmati," ujar Isna dengan sopan kepada ibu-ibu yang sudah berkumpul di rumahnya.
"Makasih, Isna Sayang! Anak yang baik," puji salah satu wanita yang berambut ikal seraya mengusap rambut Isna.
Isna tersenyum manis dan bergegas kembali ke dapur.
"Oh iya, denger-denger, Mbak Diah sama Mbak Tari buka restoran juga, ya?" ujar Fatimah membuka obrolan.
"Iya, kami juga ingin sukses seperti Mbak Fatimah, lho! Iya nggak, Mbak Diah?" seru Tari seraya meneguk minumannya.
"Iya, doain kami berdua supaya sukses juga, ya," timpal Diah.
"Pasti, Mbak! Yang penting, jangan mudah menyerah, ya! Ayo, silakan dinikmati ini makanannya! Ini buatan saya sendiri, lho!” Fatimah meletakkan beberapa piring yang berisi pastel, lemper, klepon, putu ayu, risoles, dan beberapa makanan lainnya.
"Wah! Sepertinya enak, nih!" sahut Tari seraya mencicipi kudapan itu.
"Rumah Mbak Fatimah luas juga, ya? Boleh nggak kita melihat-lihat?" tanya salah seorang wanita di sana.
"Oh, boleh saja, Mbak. Mari, saya antar berkeliling!" sahut Fatimah ramah dan beranjak untuk mengantarkan ibu-ibu arisan itu untuk berkeliling di sekitar rumahnya yang memang lumayan luas itu.
***
Suatu malam, di saat semua penghuni rumah sudah tertidur lelap, Isna kembali bermimpi buruk tentang kedua orang tuanya. Tubuhnya berkeringat dan dia terus mengigau, memanggil nama Papa dan mamanya.
Sesaat kemudian, dia terbangun dan mengatur napasnya yang terengah-engah.
"Astagfirullah! Mimpi apa itu tadi?" gumamnya merasa heran.
Mimpi itu terus saja berulang sampai beberapa hari dan membuat gadis berambut sebahu itu menjadi pemurung.
Saat di sekolah, dia sampai tidak fokus ketika teman-temannya memanggil.
"Isna! Isna!" Salah satu temannya memanggil, tetapi gadis itu bergeming dan masih melamun.
"Isnaliyah Anggraini!" ucap temannya dengan lantang.
"Iya,Bu! Hadir!" sahut Isna kaget dikira sedang absen. Semua teman-temannya pun tertawa dan salah satu dari mereka menghampiri.
"Kamu lagi mikirin apa, sih? Aku lihat beberapa hari ini kamu murung terus," tanya Erna, teman sebangku dan juga sahabat karib Isna.
"Nggak apa-apa, kok. Lagi mikirin ujian, aja," sahut Isna beralasan.
"Kamu itu pinter, Is! Ngapain juga mikir ujian? Udah, ah! Yuk, Kita ke kantin aja!" ajak Erna seraya menarik tangan gadis itu.
***
Isna biasa pulang menggunakan angkutan umum, lalu turun di depan sebuah gang dan lanjut berjalan kaki menuju rumahnya. Tiba di persimpangan, dirinya dan Erna pun berpisah karena rumah mereka berbeda arah. Baru saja dia memasuki pekarangan, terlihat kerumunan orang di sana. Gadis itu pun keheranan karena rumah itu biasanya sepi.
Isna bergegas masuk dan bertanya pada sang papa yang terlihat tengah berdiri di ruang tamu.
"Pa, ada apa ini?"
"Oh, kamu sudah pulang, Isna?" Bukan menjawab, tetapi sang ayah malah bertanya balik. Raut wajah sang papa yang terlihat khawatir semakin membuat Isna penasaran.
"Mama tadi terkena tumpahan minyak panas saat di restoran. Jadi, langsung Mas bawa ke rumah sakit," jelas Prima, kakak kandung Isna yang juga suami Lastri.
"Apa?! Terus, Mama sekarang di mana?" Isna mulai panik.
"Mamamu lagi istirahat di kamar," sahut Fajar, sang papa.
Tanpa melepaskan tas sekolah yang digendongnya, Isna langsung bergegas menuju kamar sang mama. Gadis itu tertegun melihat sang mama terbaring di ranjang dengan kaki dan tangan yang tampak dibalut perban.
"Mama …," isak Isna membangunkan wanita yang sedang beristirahat itu.
"Oh, Isna sudah pulang? Loh? Kok, malah nangis? Udah, malu dilihat Mbak Lastri nanti," ujarnya menenangkan gadis itu.
"Kok, bisa kena minyak gini, Ma?" Isna mengusap air matanya.
"Yang namanya musibah, kita nggak akan pernah tau, Sayang. Udah, jangan sedih! Nanti beberapa hari ke depan pasti sudah sembuh," ujar wanita itu. Isna mengangguk dan memeluk Fatimah.
***
Malam itu, terlihat beberapa orang sedang menikmati makan malam. Prima dan Lastri, istrinya, juga ada di sana. Anak pertama Fatimah itu masih tidak tega meninggalkan sang mama yang sedang sakit dan memutuskan untuk menginap sementara di rumah itu.
Setelah selesai makan, Lastri mencuci piring-piring yang kotor, sedangkan Isna bertugas membuang sampah di belakang rumah. Gadis itu berjalan dengan membawa sekantong plastik sampah. Tangannya membuka pintu belakang rumah yang menghubungkan dengan lahan kosong tempat biasa dia membuang sampah. Angin dingin langsung menerpa tubuh Isna yang lupa memakai jaket. Dia pun segera melemparkan plastik tersebut pada lubang yang sudah dibuat oleh para warga.
Kresek! Kresek! Kresek!
Isna tersentak kaget mendengar suara itu dan berjalan mundur beberapa langkah. Namun, suara itu semakin terdengar jelas. Pandangan Isna mengedar ke segala penjuru, mencari-cari asal suara tadi. Pandangannya terhenti pada sebuah benda putih yang menggantung pada pohon jambu milik tetangganya. Isna mengusap-usap matanya beberapa kali agar bisa melihat benda putih tersebut.
Saat tengah fokus dengan benda putih menggantung itu, tiba-tiba saja pundaknya dikagetkan oleh sentuhan tangan.
“Astagfirullahaladzim! Kaget aku, Mbak!”
"Ngapain kamu? Ayo, masuk! Di luar dingin tau!" seru Lastri.
"Eh, iya Mbak!" sahut Isna, lalu berjalan mengikuti wanita itu masuk ke rumah.
Bersambung.
Malam harinya, Fajar menjemput Isna untuk pulang ke rumah. Mereka berdua berjalan melewati pekarangan rumah berlantai dua itu. Isna masih enggan untuk melangkah memasuki rumahnya karena masih terbayang-bayang dengan sosok yang dilihatnya tadi sore.
"Kenapa, Isna? Kok, kayak takut gitu?" tanya Fajar ketika melihat raut wajah anaknya cemas.
"Nggak apa-apa, kok, Pa," sahut Isna lirih dan menggandeng tangan sang papa.
Fajar yang merasa aneh dengan sikap putrinya itu pun bertanya tentang bagaimana Isna bisa tersandung dan membuat lututnya berdarah.
Isna pun menjawab pertanyaan sang papa dan beralasan bahwa PR dari sekolah sudah menumpuk hingga membuatnya gagal fokus saat berjalan. Fajar pun tersenyum kecil mendengar alasan anak gadisnya tersebut.
***
Isna masuk ke rumah dan melihat sekelilingnya dengan teliti. Netranya terhenti di depan jendela tempat sosok mengerikan yang berdiri tadi sore. Namun, rupanya sosok itu sudah lenyap. Akhirnya, dia pun bisa menghela napas dengan lega.
"Isna, tadi sudah salat Isya belum?" tanya Fajar membuyarkan lamunannya.
"Sudah, Pa. Di rumah Mbak Lastri tadi," jawabnya.
"Terus, sudah makan belum?"
Isna teringat ucapan Lastri saat makan malam di rumahnya tadi.
‘Maaf, ya, Isna. Mbak cuma bisa masakin mi buat kamu. Zara rewel terus nggak mau lepas dari gendongan.’
"Isna? Kok, malah bengong?" Perkataan Fajar membuat gadis itu kaget.
"Eh, udah makan juga, Pa," sahut Isna gelagapan. Dia terpaksa berbohong karena papanya itu pasti akan marah jika mengetahui dirinya hanya makan mi saja tadi.
"Yaudah, cepet mandi terus istirahat, ya!" seru sang papa.
Isna mengangguk cepat, kemudian bergegas naik ke kamarnya. Dia membuka pintu dengan perlahan, lalu melihat sekeliling dan melihat jendela kamarnya sudah tertutup kembali. Isna pun lega dan memutuskan untuk mandi, lalu merebahkan tubuhnya yang lelah di atas kasur.
***
Tengah malam yang sunyi, Isna menggeliat di atas ranjang. Perutnya terasa lapar karena tadi hanya makan mi instan. Gadis itu pun terhuyung-huyung keluar dari kamarnya menuju ke dapur. Tiba di dapur, Isna melihat sang mama sedang duduk dan meminum segelas air putih. Isna pun bergegas menuju ke kamar orang tuanya dan melihat sang papa sedang tertidur pulas di atas ranjang sendirian. Barulah Isna lega dan merasa yakin bahwa wanita yang berada di dapur tadi adalah mamanya.
Isna pun segera kembali ke dapur dan berkata, "Ma, bisa bikinin aku makanan nggak? Laper, nih!
Sejenak, Isna keheranan karena sang mama bergeming mendengar rengekannya dan hampir saja dia menjerit ketika merasakan sebuah sentuhan di pundaknya.
“Ngapain kamu di sini, Sayang?" Suara Fatimah membuat Isna tersentak dan melihat ke arah wanita yang semula dia kira mamanya. Ternyata, wanita itu sudah lenyap entah ke mana.
Isna langsung ketakutan dan menangis sejadi-jadinya, membuat Fatimah kebingungan melihat tingkah putrinya itu.
***
Setelah keadaan Isna mulai tenang, Fatimah pun memberikan segelas air minum kepadanya.
"Isna, coba cerita sama Mama. Kenapa tiba-tiba nangis gini, Sayang?"
Sebenarnya gadis itu masih enggan untuk bercerita tentang perihal mimpi buruk dan penampakan sosok misterius yang terus menerornya, tetapi sang mama terus mendesak, hingga akhirnya, Isna pun menceritakan semuanya.
"Ma, beberapa hari ini Isna diganggu roh jahat. Sosok itu sangat menyeramkan, Ma. Aku takut!" isak gadis berambut hitam tersebut.
"Astagfirullah, Isna! Apa kamu sudah meninggalkan salat?" tanya Fatimah cemas.
"Enggak, Ma! Isna nggak pernah ninggalin salat!" bantah gadis itu.
"Isna, percaya sama Mama. Mereka tidak akan pernah mengganggu orang-orang yang tidak meninggalkan salat dan beriman teguh! Mungkin itu hanya pikiran Isna saja. Jangan terlalu dipikirin, ya, Sayang!" tutur Fatimah yang membuat Isna merasa tenang.
Kruuukk!
Percakapan mereka pun terhenti karena perut Isna berbunyi lumayan nyaring saking laparnya. Gadis itu terkekeh.
"Isna laper, ya?" tanya Fatimah dan Isna pun mengangguk cepat.
"Ayo, kita ke dapur! Mama bikinin makanan, Sayang," ujar Fatimah sembari menggandeng anak gadisnya itu.
Fatimah memasak makaroni dengan suwiran ayam serta sedikit sayuran. Isna dengan sabar menunggu sang mama memasak hingga selesai.
"Nih, makan dulu, Sayang!" Fatimah menyodorkan semangkuk makaroni.
Mata Isna berkaca-kaca melihat makaroni itu dan setelah membaca doa, dia pun langsung melahapnya sampai tidak tersisa.
"Isna, Minggu ini bisa bantuin Mama nggak? Mama mau ngadain arisan bersama ibu-ibu kompleks sini.”
"Ehmmm, iya, Ma. Ntar Isna bantuin," sahutnya sembari mengelus perutnya yang kekenyangan.
"Anak Mama memang baik.” Fatimah membelai rambut anak gadisnya itu dan tersenyum puas.
***
Isna sedang menuangkan air ke beberapa gelas dan membawanya ke ruang tamu.
"Ini minumannya, Tante. Silakan dinikmati," ujar Isna dengan sopan kepada ibu-ibu yang sudah berkumpul di rumahnya.
"Makasih, Isna Sayang! Anak yang baik," puji salah satu wanita yang berambut ikal seraya mengusap rambut Isna.
Isna tersenyum manis dan bergegas kembali ke dapur.
"Oh iya, denger-denger, Mbak Diah sama Mbak Tari buka restoran juga, ya?" ujar Fatimah membuka obrolan.
"Iya, kami juga ingin sukses seperti Mbak Fatimah, lho! Iya nggak, Mbak Diah?" seru Tari seraya meneguk minumannya.
"Iya, doain kami berdua supaya sukses juga, ya," timpal Diah.
"Pasti, Mbak! Yang penting, jangan mudah menyerah, ya! Ayo, silakan dinikmati ini makanannya! Ini buatan saya sendiri, lho!” Fatimah meletakkan beberapa piring yang berisi pastel, lemper, klepon, putu ayu, risoles, dan beberapa makanan lainnya.
"Wah! Sepertinya enak, nih!" sahut Tari seraya mencicipi kudapan itu.
"Rumah Mbak Fatimah luas juga, ya? Boleh nggak kita melihat-lihat?" tanya salah seorang wanita di sana.
"Oh, boleh saja, Mbak. Mari, saya antar berkeliling!" sahut Fatimah ramah dan beranjak untuk mengantarkan ibu-ibu arisan itu untuk berkeliling di sekitar rumahnya yang memang lumayan luas itu.
***
Suatu malam, di saat semua penghuni rumah sudah tertidur lelap, Isna kembali bermimpi buruk tentang kedua orang tuanya. Tubuhnya berkeringat dan dia terus mengigau, memanggil nama Papa dan mamanya.
Sesaat kemudian, dia terbangun dan mengatur napasnya yang terengah-engah.
"Astagfirullah! Mimpi apa itu tadi?" gumamnya merasa heran.
Mimpi itu terus saja berulang sampai beberapa hari dan membuat gadis berambut sebahu itu menjadi pemurung.
Saat di sekolah, dia sampai tidak fokus ketika teman-temannya memanggil.
"Isna! Isna!" Salah satu temannya memanggil, tetapi gadis itu bergeming dan masih melamun.
"Isnaliyah Anggraini!" ucap temannya dengan lantang.
"Iya,Bu! Hadir!" sahut Isna kaget dikira sedang absen. Semua teman-temannya pun tertawa dan salah satu dari mereka menghampiri.
"Kamu lagi mikirin apa, sih? Aku lihat beberapa hari ini kamu murung terus," tanya Erna, teman sebangku dan juga sahabat karib Isna.
"Nggak apa-apa, kok. Lagi mikirin ujian, aja," sahut Isna beralasan.
"Kamu itu pinter, Is! Ngapain juga mikir ujian? Udah, ah! Yuk, Kita ke kantin aja!" ajak Erna seraya menarik tangan gadis itu.
***
Isna biasa pulang menggunakan angkutan umum, lalu turun di depan sebuah gang dan lanjut berjalan kaki menuju rumahnya. Tiba di persimpangan, dirinya dan Erna pun berpisah karena rumah mereka berbeda arah. Baru saja dia memasuki pekarangan, terlihat kerumunan orang di sana. Gadis itu pun keheranan karena rumah itu biasanya sepi.
Isna bergegas masuk dan bertanya pada sang papa yang terlihat tengah berdiri di ruang tamu.
"Pa, ada apa ini?"
"Oh, kamu sudah pulang, Isna?" Bukan menjawab, tetapi sang ayah malah bertanya balik. Raut wajah sang papa yang terlihat khawatir semakin membuat Isna penasaran.
"Mama tadi terkena tumpahan minyak panas saat di restoran. Jadi, langsung Mas bawa ke rumah sakit," jelas Prima, kakak kandung Isna yang juga suami Lastri.
"Apa?! Terus, Mama sekarang di mana?" Isna mulai panik.
"Mamamu lagi istirahat di kamar," sahut Fajar, sang papa.
Tanpa melepaskan tas sekolah yang digendongnya, Isna langsung bergegas menuju kamar sang mama. Gadis itu tertegun melihat sang mama terbaring di ranjang dengan kaki dan tangan yang tampak dibalut perban.
"Mama …," isak Isna membangunkan wanita yang sedang beristirahat itu.
"Oh, Isna sudah pulang? Loh? Kok, malah nangis? Udah, malu dilihat Mbak Lastri nanti," ujarnya menenangkan gadis itu.
"Kok, bisa kena minyak gini, Ma?" Isna mengusap air matanya.
"Yang namanya musibah, kita nggak akan pernah tau, Sayang. Udah, jangan sedih! Nanti beberapa hari ke depan pasti sudah sembuh," ujar wanita itu. Isna mengangguk dan memeluk Fatimah.
***
Malam itu, terlihat beberapa orang sedang menikmati makan malam. Prima dan Lastri, istrinya, juga ada di sana. Anak pertama Fatimah itu masih tidak tega meninggalkan sang mama yang sedang sakit dan memutuskan untuk menginap sementara di rumah itu.
Setelah selesai makan, Lastri mencuci piring-piring yang kotor, sedangkan Isna bertugas membuang sampah di belakang rumah. Gadis itu berjalan dengan membawa sekantong plastik sampah. Tangannya membuka pintu belakang rumah yang menghubungkan dengan lahan kosong tempat biasa dia membuang sampah. Angin dingin langsung menerpa tubuh Isna yang lupa memakai jaket. Dia pun segera melemparkan plastik tersebut pada lubang yang sudah dibuat oleh para warga.
Kresek! Kresek! Kresek!
Isna tersentak kaget mendengar suara itu dan berjalan mundur beberapa langkah. Namun, suara itu semakin terdengar jelas. Pandangan Isna mengedar ke segala penjuru, mencari-cari asal suara tadi. Pandangannya terhenti pada sebuah benda putih yang menggantung pada pohon jambu milik tetangganya. Isna mengusap-usap matanya beberapa kali agar bisa melihat benda putih tersebut.
Saat tengah fokus dengan benda putih menggantung itu, tiba-tiba saja pundaknya dikagetkan oleh sentuhan tangan.
“Astagfirullahaladzim! Kaget aku, Mbak!”
"Ngapain kamu? Ayo, masuk! Di luar dingin tau!" seru Lastri.
"Eh, iya Mbak!" sahut Isna, lalu berjalan mengikuti wanita itu masuk ke rumah.
Bersambung.
Rainbow555 dan 5 lainnya memberi reputasi
6
Kutip
Balas
Tutup