- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
Susuk Nyi Blorong
TS
piendutt
Susuk Nyi Blorong
Quote:
Susuk Nyi Blorong
Part 1. Tragedi Mengubah Segalanya
Menjadi anak yang bisa melihat dunia lain, itu tidaklah mudah dan tidak seperti yang kalian pikirkan. Cerita ini mengisahkan seorang wanita yang berjuang untuk mengatasi ketakutannya karena diberikan kekuatan untuk bisa melihat hal-hal gaib.
Putri Balqis Kuncoro adalah anak semata wayang keluarga Bima Kuncoro. Seperti anak-anak lainnya, gadis berusia enam tahun itu mendapatkan kasih sayang yang berlimpah dari kedua orang tuanya. Bima adalah Direktur sekaligus pemilik beberapa rumah sakit yang tersebar di berbagai area. Kehidupan gadis itu benar-benar sempurna hingga membuat iri siapa pun yang melihatnya. Namun, suatu hari peristiwa nahas terjadi dan mengubah kehidupan gadis cilik itu.
Kecelakaan mobil beruntun di sebuah jalan mengakibatkan banyak korban jiwa. Tampak seorang gadis cilik sedang menangis sembari memanggil nama kedua orang tuanya.
"Ayah, Ibu ... bangun! Putri takut, Bu," pekiknya seraya mengguncang tubuh kedua orang tuanya yang sudah berlumuran darah.
Cedera di kepala gadis cilik itu membuatnya pusing, hingga tak sadarkan diri. Darah segar terus mengalir dari pelipisnya, hingga suara hiruk-pikuk dari luar mobil yang ternyata petugas keamanan berhasil menemukannya. Gadis cilik itu langsung dilarikan ke rumah sakit terdekat, sedangkan kedua orang tuanya tidak terselamatkan.
Petugas kepolisian langsung menghubungi keluarga lain dari gadis cilik itu, beruntungnya ia masih mempunyai paman yang bernama Krisna Kuncoro. Adik dari sang ayah. Mendapat kabar seperti itu, Krisna beserta seluruh keluarga bergegas ke rumah sakit untuk melihat keadaan sang keponakan. Dokter berkata Putri mengalami syok dan kehilangan banyak darah. Gadis cilik itu juga mengalami trauma dan enggan untuk bangun lagi. Kini, Putri mengalami koma dan terbaring di rumah sakit. Entah kapan, gadis cilik itu bisa terbangun dan tersenyum kembali.
Sejak saat itulah, harta kekayaan Bima Kuncoro jatuh ke tangan Krisna untuk dikelola hingga Putri bangun dari tidur panjangnya.
***
Sekitar lima tahun kemudian.
Suatu pagi, terlihat dua orang perawat tengah sibuk dengan pekerjaannya masing-masing di bangsal rumah sakit. Salah satu dari mereka sedang bertugas mengganti baju pasien.
"Kasihan, ya. Cantik-cantik tapi koma, udah kayak ngurus mayat aja beginian!" gerutu perawat itu.
"Hust! Dilarang ngeluh, kamu nggak tau, ya. Pasien ini anak orang kaya, jangan sampai lecet. Bisa kena marah kita nanti." Perawat yang lain pun mengingatkan.
Setelah selesai mengganti baju, tiba-tiba tangan pasien itu bergerak. Kedua perawat itu pun panik dan dengan segera memanggil Dokter untuk mengecek kondisi gadis yang sudah bertahun-tahun terbaring itu.
"Ini kabar baik, Putri akan segera bangun," serunya bersemangat.
Bersambung.
Written : @piendutt
Sumber : opini pribadi
Part 1. Tragedi Mengubah Segalanya
Menjadi anak yang bisa melihat dunia lain, itu tidaklah mudah dan tidak seperti yang kalian pikirkan. Cerita ini mengisahkan seorang wanita yang berjuang untuk mengatasi ketakutannya karena diberikan kekuatan untuk bisa melihat hal-hal gaib.
Putri Balqis Kuncoro adalah anak semata wayang keluarga Bima Kuncoro. Seperti anak-anak lainnya, gadis berusia enam tahun itu mendapatkan kasih sayang yang berlimpah dari kedua orang tuanya. Bima adalah Direktur sekaligus pemilik beberapa rumah sakit yang tersebar di berbagai area. Kehidupan gadis itu benar-benar sempurna hingga membuat iri siapa pun yang melihatnya. Namun, suatu hari peristiwa nahas terjadi dan mengubah kehidupan gadis cilik itu.
Kecelakaan mobil beruntun di sebuah jalan mengakibatkan banyak korban jiwa. Tampak seorang gadis cilik sedang menangis sembari memanggil nama kedua orang tuanya.
"Ayah, Ibu ... bangun! Putri takut, Bu," pekiknya seraya mengguncang tubuh kedua orang tuanya yang sudah berlumuran darah.
Cedera di kepala gadis cilik itu membuatnya pusing, hingga tak sadarkan diri. Darah segar terus mengalir dari pelipisnya, hingga suara hiruk-pikuk dari luar mobil yang ternyata petugas keamanan berhasil menemukannya. Gadis cilik itu langsung dilarikan ke rumah sakit terdekat, sedangkan kedua orang tuanya tidak terselamatkan.
Petugas kepolisian langsung menghubungi keluarga lain dari gadis cilik itu, beruntungnya ia masih mempunyai paman yang bernama Krisna Kuncoro. Adik dari sang ayah. Mendapat kabar seperti itu, Krisna beserta seluruh keluarga bergegas ke rumah sakit untuk melihat keadaan sang keponakan. Dokter berkata Putri mengalami syok dan kehilangan banyak darah. Gadis cilik itu juga mengalami trauma dan enggan untuk bangun lagi. Kini, Putri mengalami koma dan terbaring di rumah sakit. Entah kapan, gadis cilik itu bisa terbangun dan tersenyum kembali.
Sejak saat itulah, harta kekayaan Bima Kuncoro jatuh ke tangan Krisna untuk dikelola hingga Putri bangun dari tidur panjangnya.
***
Sekitar lima tahun kemudian.
Suatu pagi, terlihat dua orang perawat tengah sibuk dengan pekerjaannya masing-masing di bangsal rumah sakit. Salah satu dari mereka sedang bertugas mengganti baju pasien.
"Kasihan, ya. Cantik-cantik tapi koma, udah kayak ngurus mayat aja beginian!" gerutu perawat itu.
"Hust! Dilarang ngeluh, kamu nggak tau, ya. Pasien ini anak orang kaya, jangan sampai lecet. Bisa kena marah kita nanti." Perawat yang lain pun mengingatkan.
Setelah selesai mengganti baju, tiba-tiba tangan pasien itu bergerak. Kedua perawat itu pun panik dan dengan segera memanggil Dokter untuk mengecek kondisi gadis yang sudah bertahun-tahun terbaring itu.
"Ini kabar baik, Putri akan segera bangun," serunya bersemangat.
Bersambung.
Written : @piendutt
Sumber : opini pribadi
Part 1. Tragedi Mengubah Segalanya
Part 2. Bisa Melihat Arwah Gentayangan
Part 3. Kepulangan Putri ke Rumah
Part 4. Menempuh Pendidikan
Part 5. Sering diganggu Arwah
Part 6. Kecelakaan tak Terduga
Part 7. Kematian Sang Nenek
Part 8. Pertama Kali Berinteraksi dengan Arwah
Part 9. Trik Menemui Putri
Part 10. Membela Putri
Part 11. Pemasangan Susuk
Part 12. Susuk Pemikat Pria
Part 13. Ketakutan Terbesar Putri
Part 14. Bram ingin Melindungi Putri
Part 15. Putri dilukai oleh Donna
Part 16. Petaka
Part 17. Mengiklaskan Segalanya
Diubah oleh piendutt 09-09-2022 04:01
dewiyulli07 dan 20 lainnya memberi reputasi
21
10.1K
Kutip
91
Balasan
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
TS
piendutt
#23
Susuk Nyi Blorong
Quote:
Part 7. Kematian Sang Nenek
Mereka pun duduk santai dan terlibat perbincangan seru membahas sikap orang tua Donna yang sepertinya menyukai kehadiran Bram.
"Eh, Bram, keren kamu! Udah berhasil aja dapat sinyal dari Ibu mertuamu!" ejek Ridwan, teman akrab Bram.
"Apaan, sih?! Orang kita cuman teman semasa kecil, kok! Aku nggak pernah tertarik sama Donna! Sana ambil!" jawab Bram ketus karena tidak suka diledek.
"Gila kamu, Bram! Cewek cantik kayak gitu di sia-siain," celetuk Ridwan.
"Ah, bodo amat!” jawab Bram yang kemudian merasa ingin ke kamar mandi. "Don, aku ke belakang dulu, ya?"
"Oh, iya, kamu masih ingat toiletnya nggak? Kalau nggak, aku anterin!" jawab Donna menawarkan diri.
"Nggak usah! Aku masih ingat, kok!" jawab Bram sambil melangkah pergi.
Saat Bram hampir sampai di kamar mandi yang terletak di bawah tangga menuju lantai atas, dia berpapasan dengan Putri yang tengah berjalan menuju kamarnya.
"Astagfirullah!" sahut Putri terkejut setelah bertatap muka dengan Bram. Gadis itu terkejut bukan lantaran melihat Bram seorang. Namun, tepat di belakang pemuda itu ada seorang Nenek yang kepalanya berlumuran darah.
"Kamu nggak apa-apa, kan?!" tanya Bram yang kemudian mengamati wajah Putri dengan teliti . "Loh?! Bukannya kamu ...."
"Iya! Aku nggak apa-apa, kok!" sahut Putri.
"Kok, kamu ada di sini?" tanya Bram penasaran. Belum sempat Putri menjawab, Mbok Inah datang.
"Loh, Non Putri? Kok, belum ke atas?"
"Iya, Mbok. Ini saya lagi mau ke atas," sahutnya seraya berjalan menaiki tangga.
"Aden ini … mau ke mana, ya?" Mbok Inah bertanya pada Bram.
"Oh, saya mau ke kamar mandi, Mbok. Tapi, lupa jalannya," ujar Bram sembari terkekeh.
"Itu pintu kamar mandinya, Den. Mbok pamit dulu.” Wanita itu menunjukkan arah ke kamar mandi, kemudian berlalu pergi.
Putri yang masih berjalan di tangga teringat dengan wajah Nenek yang tadi berada di belakang tubuh Bram. Wanita itu pun segera berbalik menuruni tangga dan menunggu Bram keluar dari kamar mandi.
Saat Bram sudah selesai dari kamar mandi, dia terkejut melihat Putri sudah berdiri di samping pintu, menunggunya.
"Eh, kamu … punya Nenek, ya? Coba kamu telepon beliau. Tanyakan keadaannya gimana?" ujar Putri begitu melihat Bram. Dia langsung meninggalkan pemuda itu usai menyampaikan firasatnya. Tentu saja sikap wanita itu membuat Bram kebingungan.
"Eh, tunggu! Maksudnya apa?!"
Putri terus berlalu tanpa menghiraukan Bram yang terlihat bingung.
***
Bram kembali menemui teman-temannya. Namun, ia masih merenung memikirkan perkataan Putri tadi.
"Kok, dia bisa tau kalau aku punya Nenek, ya? 'Kan, aneh," gumam pemuda itu bermonolog.
Tidak berapa lama kemudian, ponsel milik Bram berbunyi. Sebuah panggilan masuk dari papanya. Ada apa?
"Iya, Pa. Kenapa?" tanya pemuda berhidung mancung itu dengan nada datar.
"Bram, kamu cepat ke Rumah sakit! Nenek Ratih kecelakaan!"
Apa?! Serius Pa?! Bram ke sana sekarang!" Bram pun menutup panggilan itu dan bergegas mengemasi barang-barangnya. Donna penasaran mendengar teriakan Bram.
"Ada apa Bram?"
"Aku harus ke Rumah sakit sekarang, Nenekku kecelakaan. Aku pamit dulu, ya!" ucap pemuda itu seraya menutup tasnya.
"Hah?! Gitu, ya? Aku anterin kamu, ya, Bram?" pinta Donna menawarkan diri.
"Nggak usah, Don. Kamu lanjutin presentasi aja. Besok kita ketemu di Rumah sakit, ya! Bye semua!" kata Bram berpamitan, lalu pergi dengan terburu-buru.
"Hati-hati, Bro," sahut Ridwan. Bram mengangguk sambil berlalu pergi.
"Wah, kasihan si Bram. Setelah kematian ibunya, hanya neneknya yang dia punya. Kalau sampai neneknya meninggal, dia bakal kesepian," pungkas Ridwan sambil membetulkan kacamatanya.
"Bukanya … Bram masih punya Kakak perempuan, ya?" ujar Clara, teman Donna.
"Dia mah nggak bisa dipanggil perempuan! Berandal aja pantasnya! Orang dia jarang pulang. Kerjanya nge-band mulu, ama temen-temennya," jelas Ridwan.
Mobil yang dikemudikan oleh Bram melaju dengan kecepatan tinggi. Pria itu benar-benar mencemaskan keadaan sang nenek. Dia sangat berharap bahwa apa yang menjadi ketakutannya selama ini tidak benar-benar terjadi.
'Semoga Nenek baik-baik saja,' batin Bram.
***
Setengah jam kemudian, Bram sampai di Rumah sakit dan segera menemui sang papa dan juga kakaknya.
"Apa yang sebenarnya terjadi, Pa?!" Bram bertanya dengan cemas.
"Nenek … ditabrak lari, Bram. Mobil yang menabraknya tidak bisa dilacak!" sahut Wahyu, Papa kandung Bram, dengan mata berkaca-kaca.
"Apa Kakak nggak bisa ngejaga Nenek dengan baik?! Kenapa Nenek bisa di jalan raya?! Hah?!" Bram membentak Kakak perempuannya itu.
"Nenek … ingin ke pasar membuat makanan enak untukmu karena dia tahu besok adalah hari ulang tahunmu. Tapi, pas Kakak mau bayar belanjaan, Nenek malah pergi ke jalan raya dan mobil itu …," isak Santi yang tidak sanggup melanjutkan ucapannya karena sedih.
"Sudahlah! Kalian ini jangan bertengkar! Kalian ini di Rumah sakit! Memang ini sudah suratan takdir, kita semua bisa apa?" lerai Wahyu yang berusaha menenangkan kedua anaknya.
Beberapa saat kemudian seorang dokter keluar dari ruang gawat darurat.
"Bagaimana keadaan Ibu saya, Dok?" tanya Wahyu cemas.
"Kami sudah berusaha semaksimal mungkin. Pasien kehilangan banyak darah dan tidak bisa bertahan. Kami mohon maaf. Tabah, ya, Pak," ujar Dokter itu dan berlalu pergi.
Mendengar penjelasan Dokter itu membuat Bram sangat terpukul.
"Neneek! Nggak mungkin Nenek pergi ninggalin Bram!! Nenekk! Kenapa Nenek tinggalin Bram sendirian?" Bram histeris sambil menangis dan berlutut di lantai. Santi yang juga terpukul mendengar berita kematian Nenek Ratih pun berusaha menenangkan sang adik.
***
Keesokan harinya, teman-teman Bram sudah berkumpul di rumahnya untuk melayat. Orang tua Donna pun turut hadir untuk mengucapkan belasungkawa atas kepergian Nenek Ratih yang telah merawat Bram sejak pria itu kehilangan ibunya.
Sementara itu, di luar rumah terlihat beberapa pelayat tengah serius berbincang.
"Yang sabar, ya, Wahyu. Kamu yang kuat," ujar Krisna yang merupakan teman Wahyu sejak sekolah SMA.
"Iya, Kris. Terima kasih sudah mau mampir ke sini," sahut Wahyu.
"Kita ini, kan teman sedari dulu, Yu. Wajarlah kita mampir ke sini," ujar Silvi, istri Krisna.
Donna mendatangi Bram yang duduk di teras depan rumah sambil membawa sebotol air minum.
"Bram, ini minuman buat kamu ... yang tabah, ya," ujar Donna seraya memberikan botol minuman itu pada Bram.
"Iya. Makasih, Don," sahut Bram, lalu meneguk minuman dalam botol itu.
"Lihat anak-anak kita! Ternyata sudah besar, ya," kata Silvi saat melihat sang putri sedang bersama Bram dan terlihat akrab.
"Iya, mereka juga satu kampus, Bram sering cerita tentang Donna," sahut Wahyu membenarkan ucapan Silvi.
"Serius? Ehm, gimana kalau kita jodohkan mereka aja?" usul Silvi bersemangat.
"Mama! Bicara apa, sih?! Ini bukan waktu yang tepat untuk ngomongin masalah itu!" bentak Krisna yang sedikit geram mendengar ucapan sang istri.
"Aku nggak pernah maksain kehendak Bram, karena aku tahu bahwa dia sudah menderita karena kehilangan ibunya. Kalau Bram cocok dengan Donna, biarkan mereka yang memutuskan sendiri," ujar Wahyu bijak. Silvi pun mengangguk meskipun sedikit kecewa mendengar ucapan Wahyu.
Tidak jauh dari rumah Bram, di sebuah tempat parkir, rupanya Putri turut melayat ke rumah Bram. Namun, wanita itu memilih untuk tetap berada di dalam mobil dan melihat dari balik kaca jendela mobil. Dia tertunduk sedih mengingat pertemuannya dengan Nenek Ratih saat wanita renta itu tersesat di Klinik.
Saat Putri mengangkat wajahnya dan menoleh ke kanan, matanya terbelalak melihat seorang nenek yang tiba-tiba saja sudah duduk di sebelahnya.
"Astagfirullah! Ya Allah!" teriaknya sambil memegang dadanya karena kaget.
"Non Putri! Kenapa, Non?!" tanya Mang Ujang yang keheranan melihat majikannya itu berteriak.
Putri menarik napas panjang dan berkata, "Mang, saya keluar bentar, ya,"
Wanita itu langsung turun dari mobil tanpa memedulikan jawaban Mang Ujang, sambil terus berupaya mengatur napasnya yang sempat tersengal karena kaget. Putri terus berjalan menjauhi mobilnya, tetapi sosok itu masih saja mengikuti.
Sementara, Wahyu melihat Putri yang terburu-buru keluar dari mobil yang terparkir tidak jauh dari rumahnya.
"Anak itu siapa, Kris? Sepertinya aku belum pernah melihat dia?" tanya Wahyu yang penasaran karena dia mengenal mobil yang ditumpangi Putri.
"Oh, dia Putri, keponakanku. Kamu nggak ingat Kuncoro, ya? Putri itu anaknya," ujar Krisna menjelaskan.
"Oh Kuncoro! Aku ingat! Wah, kecelakaan itu tidak bisa terlupakan. Beruntung sekali anak itu bisa selamat, tapi ngapain dia di sana sendirian?" tanya Wahyu.
"Kamu nggak tau, ya? Putri itu memang sedikit aneh. Dia jarang bergaul sama orang dan selalu menyendiri!" jawab Silvi dengan ketus.
"Udahlah, Ma! Panggil Donna! Kita harus pulang!" perintah Krisna pada istrinya itu.
***
Putri terus berusaha mengusir arwah yang mengikutinya. Perasaannya bercampur aduk.
"Jangan ngikutin aku! Pergi nggak?! Aku nggak gangguin kalian!" sentaknya pada makhluk tidak kasat mata itu.
Tiba-tiba langkahnya terhenti karena dia merasa seperti ada yang menghentikannya.
"Nak, ini Nenek. Kamu nggak ingat, ya? Kita pernah ketemu waktu di Klinik, Nak," sahut Nenek itu dengan suara lirih, berusaha untuk tidak membuat Putri ketakutan. Namun, Putri tidak ingin menjawabnya karena takut akan terjadi sesuatu nantinya.
"Nenek nggak akan melukai kamu, Nak. Nenek malah mau berterima kasih tentang hari itu," ujar arwah wanita tua itu lagi.
Sejenak Putri tertegun mendengar ucapan Nenek itu. Dia merasa sang nenek memang tidak berniat buruk padanya. Setelah beberapa saat, Putri pun membalikkan badannya.Wanita tua yang berada di depannya itu pun tersenyum.
Itu adalah pertama kalinya Putri berinteraksi dengan makhluk halus dan dia merasa bahwa ternyata hal itu tidak terlalu menakutkan seperti perkiraannya.
Bersambung.
Mereka pun duduk santai dan terlibat perbincangan seru membahas sikap orang tua Donna yang sepertinya menyukai kehadiran Bram.
"Eh, Bram, keren kamu! Udah berhasil aja dapat sinyal dari Ibu mertuamu!" ejek Ridwan, teman akrab Bram.
"Apaan, sih?! Orang kita cuman teman semasa kecil, kok! Aku nggak pernah tertarik sama Donna! Sana ambil!" jawab Bram ketus karena tidak suka diledek.
"Gila kamu, Bram! Cewek cantik kayak gitu di sia-siain," celetuk Ridwan.
"Ah, bodo amat!” jawab Bram yang kemudian merasa ingin ke kamar mandi. "Don, aku ke belakang dulu, ya?"
"Oh, iya, kamu masih ingat toiletnya nggak? Kalau nggak, aku anterin!" jawab Donna menawarkan diri.
"Nggak usah! Aku masih ingat, kok!" jawab Bram sambil melangkah pergi.
Saat Bram hampir sampai di kamar mandi yang terletak di bawah tangga menuju lantai atas, dia berpapasan dengan Putri yang tengah berjalan menuju kamarnya.
"Astagfirullah!" sahut Putri terkejut setelah bertatap muka dengan Bram. Gadis itu terkejut bukan lantaran melihat Bram seorang. Namun, tepat di belakang pemuda itu ada seorang Nenek yang kepalanya berlumuran darah.
"Kamu nggak apa-apa, kan?!" tanya Bram yang kemudian mengamati wajah Putri dengan teliti . "Loh?! Bukannya kamu ...."
"Iya! Aku nggak apa-apa, kok!" sahut Putri.
"Kok, kamu ada di sini?" tanya Bram penasaran. Belum sempat Putri menjawab, Mbok Inah datang.
"Loh, Non Putri? Kok, belum ke atas?"
"Iya, Mbok. Ini saya lagi mau ke atas," sahutnya seraya berjalan menaiki tangga.
"Aden ini … mau ke mana, ya?" Mbok Inah bertanya pada Bram.
"Oh, saya mau ke kamar mandi, Mbok. Tapi, lupa jalannya," ujar Bram sembari terkekeh.
"Itu pintu kamar mandinya, Den. Mbok pamit dulu.” Wanita itu menunjukkan arah ke kamar mandi, kemudian berlalu pergi.
Putri yang masih berjalan di tangga teringat dengan wajah Nenek yang tadi berada di belakang tubuh Bram. Wanita itu pun segera berbalik menuruni tangga dan menunggu Bram keluar dari kamar mandi.
Saat Bram sudah selesai dari kamar mandi, dia terkejut melihat Putri sudah berdiri di samping pintu, menunggunya.
"Eh, kamu … punya Nenek, ya? Coba kamu telepon beliau. Tanyakan keadaannya gimana?" ujar Putri begitu melihat Bram. Dia langsung meninggalkan pemuda itu usai menyampaikan firasatnya. Tentu saja sikap wanita itu membuat Bram kebingungan.
"Eh, tunggu! Maksudnya apa?!"
Putri terus berlalu tanpa menghiraukan Bram yang terlihat bingung.
***
Bram kembali menemui teman-temannya. Namun, ia masih merenung memikirkan perkataan Putri tadi.
"Kok, dia bisa tau kalau aku punya Nenek, ya? 'Kan, aneh," gumam pemuda itu bermonolog.
Tidak berapa lama kemudian, ponsel milik Bram berbunyi. Sebuah panggilan masuk dari papanya. Ada apa?
"Iya, Pa. Kenapa?" tanya pemuda berhidung mancung itu dengan nada datar.
"Bram, kamu cepat ke Rumah sakit! Nenek Ratih kecelakaan!"
Apa?! Serius Pa?! Bram ke sana sekarang!" Bram pun menutup panggilan itu dan bergegas mengemasi barang-barangnya. Donna penasaran mendengar teriakan Bram.
"Ada apa Bram?"
"Aku harus ke Rumah sakit sekarang, Nenekku kecelakaan. Aku pamit dulu, ya!" ucap pemuda itu seraya menutup tasnya.
"Hah?! Gitu, ya? Aku anterin kamu, ya, Bram?" pinta Donna menawarkan diri.
"Nggak usah, Don. Kamu lanjutin presentasi aja. Besok kita ketemu di Rumah sakit, ya! Bye semua!" kata Bram berpamitan, lalu pergi dengan terburu-buru.
"Hati-hati, Bro," sahut Ridwan. Bram mengangguk sambil berlalu pergi.
"Wah, kasihan si Bram. Setelah kematian ibunya, hanya neneknya yang dia punya. Kalau sampai neneknya meninggal, dia bakal kesepian," pungkas Ridwan sambil membetulkan kacamatanya.
"Bukanya … Bram masih punya Kakak perempuan, ya?" ujar Clara, teman Donna.
"Dia mah nggak bisa dipanggil perempuan! Berandal aja pantasnya! Orang dia jarang pulang. Kerjanya nge-band mulu, ama temen-temennya," jelas Ridwan.
Mobil yang dikemudikan oleh Bram melaju dengan kecepatan tinggi. Pria itu benar-benar mencemaskan keadaan sang nenek. Dia sangat berharap bahwa apa yang menjadi ketakutannya selama ini tidak benar-benar terjadi.
'Semoga Nenek baik-baik saja,' batin Bram.
***
Setengah jam kemudian, Bram sampai di Rumah sakit dan segera menemui sang papa dan juga kakaknya.
"Apa yang sebenarnya terjadi, Pa?!" Bram bertanya dengan cemas.
"Nenek … ditabrak lari, Bram. Mobil yang menabraknya tidak bisa dilacak!" sahut Wahyu, Papa kandung Bram, dengan mata berkaca-kaca.
"Apa Kakak nggak bisa ngejaga Nenek dengan baik?! Kenapa Nenek bisa di jalan raya?! Hah?!" Bram membentak Kakak perempuannya itu.
"Nenek … ingin ke pasar membuat makanan enak untukmu karena dia tahu besok adalah hari ulang tahunmu. Tapi, pas Kakak mau bayar belanjaan, Nenek malah pergi ke jalan raya dan mobil itu …," isak Santi yang tidak sanggup melanjutkan ucapannya karena sedih.
"Sudahlah! Kalian ini jangan bertengkar! Kalian ini di Rumah sakit! Memang ini sudah suratan takdir, kita semua bisa apa?" lerai Wahyu yang berusaha menenangkan kedua anaknya.
Beberapa saat kemudian seorang dokter keluar dari ruang gawat darurat.
"Bagaimana keadaan Ibu saya, Dok?" tanya Wahyu cemas.
"Kami sudah berusaha semaksimal mungkin. Pasien kehilangan banyak darah dan tidak bisa bertahan. Kami mohon maaf. Tabah, ya, Pak," ujar Dokter itu dan berlalu pergi.
Mendengar penjelasan Dokter itu membuat Bram sangat terpukul.
"Neneek! Nggak mungkin Nenek pergi ninggalin Bram!! Nenekk! Kenapa Nenek tinggalin Bram sendirian?" Bram histeris sambil menangis dan berlutut di lantai. Santi yang juga terpukul mendengar berita kematian Nenek Ratih pun berusaha menenangkan sang adik.
***
Keesokan harinya, teman-teman Bram sudah berkumpul di rumahnya untuk melayat. Orang tua Donna pun turut hadir untuk mengucapkan belasungkawa atas kepergian Nenek Ratih yang telah merawat Bram sejak pria itu kehilangan ibunya.
Sementara itu, di luar rumah terlihat beberapa pelayat tengah serius berbincang.
"Yang sabar, ya, Wahyu. Kamu yang kuat," ujar Krisna yang merupakan teman Wahyu sejak sekolah SMA.
"Iya, Kris. Terima kasih sudah mau mampir ke sini," sahut Wahyu.
"Kita ini, kan teman sedari dulu, Yu. Wajarlah kita mampir ke sini," ujar Silvi, istri Krisna.
Donna mendatangi Bram yang duduk di teras depan rumah sambil membawa sebotol air minum.
"Bram, ini minuman buat kamu ... yang tabah, ya," ujar Donna seraya memberikan botol minuman itu pada Bram.
"Iya. Makasih, Don," sahut Bram, lalu meneguk minuman dalam botol itu.
"Lihat anak-anak kita! Ternyata sudah besar, ya," kata Silvi saat melihat sang putri sedang bersama Bram dan terlihat akrab.
"Iya, mereka juga satu kampus, Bram sering cerita tentang Donna," sahut Wahyu membenarkan ucapan Silvi.
"Serius? Ehm, gimana kalau kita jodohkan mereka aja?" usul Silvi bersemangat.
"Mama! Bicara apa, sih?! Ini bukan waktu yang tepat untuk ngomongin masalah itu!" bentak Krisna yang sedikit geram mendengar ucapan sang istri.
"Aku nggak pernah maksain kehendak Bram, karena aku tahu bahwa dia sudah menderita karena kehilangan ibunya. Kalau Bram cocok dengan Donna, biarkan mereka yang memutuskan sendiri," ujar Wahyu bijak. Silvi pun mengangguk meskipun sedikit kecewa mendengar ucapan Wahyu.
Tidak jauh dari rumah Bram, di sebuah tempat parkir, rupanya Putri turut melayat ke rumah Bram. Namun, wanita itu memilih untuk tetap berada di dalam mobil dan melihat dari balik kaca jendela mobil. Dia tertunduk sedih mengingat pertemuannya dengan Nenek Ratih saat wanita renta itu tersesat di Klinik.
Saat Putri mengangkat wajahnya dan menoleh ke kanan, matanya terbelalak melihat seorang nenek yang tiba-tiba saja sudah duduk di sebelahnya.
"Astagfirullah! Ya Allah!" teriaknya sambil memegang dadanya karena kaget.
"Non Putri! Kenapa, Non?!" tanya Mang Ujang yang keheranan melihat majikannya itu berteriak.
Putri menarik napas panjang dan berkata, "Mang, saya keluar bentar, ya,"
Wanita itu langsung turun dari mobil tanpa memedulikan jawaban Mang Ujang, sambil terus berupaya mengatur napasnya yang sempat tersengal karena kaget. Putri terus berjalan menjauhi mobilnya, tetapi sosok itu masih saja mengikuti.
Sementara, Wahyu melihat Putri yang terburu-buru keluar dari mobil yang terparkir tidak jauh dari rumahnya.
"Anak itu siapa, Kris? Sepertinya aku belum pernah melihat dia?" tanya Wahyu yang penasaran karena dia mengenal mobil yang ditumpangi Putri.
"Oh, dia Putri, keponakanku. Kamu nggak ingat Kuncoro, ya? Putri itu anaknya," ujar Krisna menjelaskan.
"Oh Kuncoro! Aku ingat! Wah, kecelakaan itu tidak bisa terlupakan. Beruntung sekali anak itu bisa selamat, tapi ngapain dia di sana sendirian?" tanya Wahyu.
"Kamu nggak tau, ya? Putri itu memang sedikit aneh. Dia jarang bergaul sama orang dan selalu menyendiri!" jawab Silvi dengan ketus.
"Udahlah, Ma! Panggil Donna! Kita harus pulang!" perintah Krisna pada istrinya itu.
***
Putri terus berusaha mengusir arwah yang mengikutinya. Perasaannya bercampur aduk.
"Jangan ngikutin aku! Pergi nggak?! Aku nggak gangguin kalian!" sentaknya pada makhluk tidak kasat mata itu.
Tiba-tiba langkahnya terhenti karena dia merasa seperti ada yang menghentikannya.
"Nak, ini Nenek. Kamu nggak ingat, ya? Kita pernah ketemu waktu di Klinik, Nak," sahut Nenek itu dengan suara lirih, berusaha untuk tidak membuat Putri ketakutan. Namun, Putri tidak ingin menjawabnya karena takut akan terjadi sesuatu nantinya.
"Nenek nggak akan melukai kamu, Nak. Nenek malah mau berterima kasih tentang hari itu," ujar arwah wanita tua itu lagi.
Sejenak Putri tertegun mendengar ucapan Nenek itu. Dia merasa sang nenek memang tidak berniat buruk padanya. Setelah beberapa saat, Putri pun membalikkan badannya.Wanita tua yang berada di depannya itu pun tersenyum.
Itu adalah pertama kalinya Putri berinteraksi dengan makhluk halus dan dia merasa bahwa ternyata hal itu tidak terlalu menakutkan seperti perkiraannya.
Bersambung.
itkgid dan 5 lainnya memberi reputasi
6
Kutip
Balas
Tutup