- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
ANGKUHNYA CINTA (Part 1)
TS
Leny.Khan
ANGKUHNYA CINTA (Part 1)
ANGKUHNYA CINTA (PART 1-22 ending)
LENY KHAN
Aku memungut lembaran daun kering yang berguguran. Menyeret kaki menuju sebuah bangku taman bercat putih. Lalu mulai kutuliskan sebuah nama di atas daun kering itu menggunakan pulpen bertinta hitam yang selalu kubawa kemana saja. Entah kenapa, aku sangat suka sekali menulis di lembaran daun kering, meskipun akhirnya daun-daun itu kubuang juga.
Nama yang sama, aksara yang sama, hanya itu yang selalu kutuliskan. Senyumku selalu merekah saat menatap aksara yang sudah tertulis. Membuat sebuah rasa yang telah kupendam selama hampir tiga tahun ini semakin membara. Walau aku sendiri sadar, tak mungkin memiliki pria itu. Pria bernama Devan yang saat ini berstatus duda, setelah istrinya yang tak lain adalah Meera, kakak kandungku sendiri meninggal dunia akibat kecelakaan mobil saat usia pernikahan mereka baru menginjak tiga bulan. [/font][/size]
Namun aku jatuh cinta pada Devan jauh sebelum itu. Aku merasakan jantungku berdebar saat pertama kali ia datang bersama Ayahnya ke rumah kami. Di mana saat itu aku baru tahu, jika dia adalah lelaki yang sudah dijodohkan Ayah untuk Meera. Begitu patah hatinya aku kala itu, mengingat cintaku yang layu sebelum sempat berkembang.
Tapi begitulah jodoh, Allah yang menentukan. Bahkan Devan harus merelakan kepergian Meera, saat mereka masih mereguk indahnya pernikahan dan bulan madu. Ketika bunga cinta baru mulai merekah di hati mereka.
Dan kini, dua tahun sudah kepergian Meera, namun aku tak melihat ada tanda-tanda Devan menemukan pengganti. Bahkan ia terlihat lebih fokus dengan urusan kantornya. Ia juga sering mampir ke rumah menemui Ayah dan Mami. Mungkin hanya sekedar silaturahmi atau sekedar menemani Ayah bermain catur di teras depan.
“Pu?” Sebuah suara bariton menyapaku. Aku terperanjat, walau tanpa menoleh pun aku sudah tahu siapa pemilik suara itu.
“Bang Dev?” Aku menatap tak percaya. Lelaki itu langsung mendaratkan tubuhnya yang berbalut kemeja biru muda dan dasi biru dongker bermotif abstrak, lengan kemeja ia gulung sampai ke siku. Aku sangat suka dengan gayanya itu.
Andai ia bisa mendengar detak jantungku saat mencium aroma parfumnya yang begitu elegan, tentu ia akan tahu apa yang tengah gadis berusia 24 tahun ini rasakan.
“Susah banget ya nyari kamu di kampus ini,” celetuknya sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling taman yang sedikit sepi. “Kamu ngapain di sini? Niat kuliah nggak sih?”
“Aku lagi nyari angin segar aja kok, Bang. Dosennya ada halangan, jadi jam kuliahnya tertunda dua jam, mau pulang nanggung banget. Capek bolak-balik.”
“Makanya, mendingan nikah aja dari pada ngejar gelar terus, ntar ketuaan nggak ada yang mau baru tahu rasa kamu!"candanya sambil tertawa.
Aku terdiam. ‘Andai kamu tahu, Bang. Aku memilih meneruskan S2-ku karena ingin melupakanmu sejenak. Walau sudah tak ada Meera di sampingmu, tapi aku tahu kamu begitu sulit melupakannya. Buktinya sudah dua tahun kepergian Meera, kamu masih saja sendiri.’
“Hei, dibilangin malah ngelamun nih anak.” Devan mengibaskan tangannya di depan wajahku. “Itu apaan pegang-pegang daun kering begitu?” Ia menunjuk lembaran daun kering yang masih ku genggam.
Aku tergagap, segera kubuang daun-daun itu. “Nggak apa-apa Bang, iseng aja lihat bentuk daunnya yang bermacam-macam.” jawabku sekenanya.
“Ngomong apa sih kamu, Pu? Ngaco!” Lagi-lagi Devan tertawa.
“Abang ngapain ke sini? Tumben nyari aku?”
Gantian Devan yang terdiam. Ia menatapku sebentar, sebelum kembali menatap ke depan. “Temani abang makan siang, yuk!” ajaknya.
Dahiku berkerut. “Makan siang? Tumben! Dalam rangka apa?” Pura-pura bertanya padahal aku girang banget diajak Devan.
“Tidak dalam rangka apa-apa, hanya ingin mengajak kamu saja. Mau nggak?”
“Aku ....“
“Jangan takut, aku sudah minta izin Ayah dan Mami untuk mengajakmu, dan mereka mengizinkan.”
Mataku membesar. “Benarkah?”
Devan mengangguk seraya tesenyum.
“Asiiiik, ayo kita pergi!”
Aku pun bangkit dari duduk dan berjalan penuh semangat, aku lupa kalau sudah meninggalkan lelaki yang masih duduk di bangku putih itu. Langkahku terhenti dan aku memutar badan, menemukan lelaki itu tengah membungkuk memungut dedaunan kering yang tadi kubuang. Jantungku berdetak sangat kencang saat melihat Devan memperhatikan sebuah nama yang tadi kutulis di sana. Kugigit bibir bawahku agar tak gemetar.
Aku terpaku. Menduga-duga apa yang akan Devan katakan saat ia tahu, namanya yang tertulis di helaian daun kering itu.
Devan menoleh dengan raut yang sulit ditebak. Lalu dengan pelan ia berjalan mendekatiku. Embusan angin mempermainkan rambut hitam kecoklatan yang kumiliki. Aku menunduk saat ia berdiri tepat di depanku.
“Puja ... apa ini?” Ia menunjukkan daun kering itu padaku.
Tak berani mengangkat kepala, aku meremas-remas jemariku sendiri.
“Puja, jawab Abang, apa maksud semua ini?”
“Aku ... aku hanya ... aku ... itu ....”
“Kamu mencintai Abang?” tanyanya pelan dan hati-hati. Aku semakin menundukkan kepala. Mataku mulai terasa panas dan berkabut.
“Katakan Puja, apakah kamu mencintai Abang? Kenapa nama Abang ada di lembaran daun kering ini? Apakah Abang adalah seseorang yang spesial untukmu?” tanyanya antusias.
Dengan lembut jemarinya menyentuh daguku, lalu ia mencoba mengangkat wajahku sehingga mata kami saling bertatapan. Aku tenggelam dalam tatapan netra bermanik hitam itu. Satu persatu butiran bening membasahi pipi.
“Katakan, Puja!”
“Ya, aku mencintai Abang, sejak pertama kali Abang datang ke rumah, tapi aku begitu terluka saat tahu ... kalau Meera sudah dijodohkan dengan Abang,” uraiku jujur. Entah dapat keberanian dari mana aku mampu mengakuinya.
“Kenapa tidak mengatakannya sejak dulu?”
“Karena aku tahu diri, Meera lebih pantas untuk Abang, sedang aku dianggap masih terlalu muda untuk sebuah urusan cinta kala itu. Hingga tak ada yang menyadari perasanku ini.”
“Maafkan Abang yang juga tak peka dengan perasaanmu. Tapi ....“ Devan mengusap wajahnya. “Abang belum bisa menggantikan Meera dengan siapa pun saat ini, Abang terlanjur mencintai Meera. Kamu sudah Abang anggap adik kandung abang sendiri.”
“Aku tak berharap menjadi pengganti Meera, aku mencintai Abang, tanpa berniat ingin memiliki Abang. Hanya mencintai, meskipun dalam diam. Maafkan jika Abang harus tahu semua ini. Aku sama sekali tak pernah berharap Abang membalas cintaku. Mencintaimu adalah sebuah kebahagiaan tersendiri untukku.” Kuhapus air mata dengan punggung tangan dan bergegas meninggalkannya. Aku lupa kalau tadi ia mengajakku makan siang.
“Puja! Puja tunggu!” Devan mengejar dan berhasil mencekal pergelangan tanganku.
“Tolong jangan permalukan aku di kampus ini, Bang!” pintaku sambil menepis tangannya.
Devan terdiam, dan membiarkanku berlalu dari hadapannya.
[size=3][font="Times New Roman", serif][i]‘Ah, kenapa dia harus tahu tentang semua ini? Padahal aku sudah cukup bahagia mencintainya seperti ini. Sekarang apa yang harus kulakukan? Menghadapinya harus seperti apa? Pasti akan ada yang mengganjal saat ia datang ke rumah nanti. Ataukah ia tidak akan mengunjungi Ayah da Mami lagi karena semua ini?
Part 2 https://www.kaskus.co.id/show_post/5...518b1e4a7ec131
Part 3 https://www.kaskus.co.id/show_post/5...cb957bc23a7240
Part 4 https://www.kaskus.co.id/show_post/5...cb957c6646c76f
Part 5 https://www.kaskus.co.id/show_post/5...20846ce047af3e
Part 6
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...4dc1102d78507e
Part 7
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...70af7d8c39474e
Part 8
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...8f2d50b72ecf6e
Part 9
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...7d824cfa30ea0d
Part 10
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...35f9528b60b399
Part 11
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...51b66d22320f6d
Part 12
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...12384692137baf
Part 13
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...069f1892000380
Part 14
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...114e534d170179
Part 15
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...8c56678b0247ad
Part 16 https://www.kaskus.co.id/show_post/6...e4bc6bc03f2c31
Part 17 https://www.kaskus.co.id/show_post/6...c5f237fc65f77a
Part 18 https://www.kaskus.co.id/show_post/6...4035383a112c41
Part 19 https://www.kaskus.co.id/show_post/6...f9a504f732ba96
Part 20 https://www.kaskus.co.id/show_post/6...b64526fe580b43
Part 21 https://www.kaskus.co.id/show_post/6...a1b175b268b213
Part 22 (ending) https://www.kaskus.co.id/show_post/6...b16a2d3955aa48
LENY KHAN
Aku memungut lembaran daun kering yang berguguran. Menyeret kaki menuju sebuah bangku taman bercat putih. Lalu mulai kutuliskan sebuah nama di atas daun kering itu menggunakan pulpen bertinta hitam yang selalu kubawa kemana saja. Entah kenapa, aku sangat suka sekali menulis di lembaran daun kering, meskipun akhirnya daun-daun itu kubuang juga.
Nama yang sama, aksara yang sama, hanya itu yang selalu kutuliskan. Senyumku selalu merekah saat menatap aksara yang sudah tertulis. Membuat sebuah rasa yang telah kupendam selama hampir tiga tahun ini semakin membara. Walau aku sendiri sadar, tak mungkin memiliki pria itu. Pria bernama Devan yang saat ini berstatus duda, setelah istrinya yang tak lain adalah Meera, kakak kandungku sendiri meninggal dunia akibat kecelakaan mobil saat usia pernikahan mereka baru menginjak tiga bulan. [/font][/size]
Namun aku jatuh cinta pada Devan jauh sebelum itu. Aku merasakan jantungku berdebar saat pertama kali ia datang bersama Ayahnya ke rumah kami. Di mana saat itu aku baru tahu, jika dia adalah lelaki yang sudah dijodohkan Ayah untuk Meera. Begitu patah hatinya aku kala itu, mengingat cintaku yang layu sebelum sempat berkembang.
Tapi begitulah jodoh, Allah yang menentukan. Bahkan Devan harus merelakan kepergian Meera, saat mereka masih mereguk indahnya pernikahan dan bulan madu. Ketika bunga cinta baru mulai merekah di hati mereka.
Dan kini, dua tahun sudah kepergian Meera, namun aku tak melihat ada tanda-tanda Devan menemukan pengganti. Bahkan ia terlihat lebih fokus dengan urusan kantornya. Ia juga sering mampir ke rumah menemui Ayah dan Mami. Mungkin hanya sekedar silaturahmi atau sekedar menemani Ayah bermain catur di teras depan.
“Pu?” Sebuah suara bariton menyapaku. Aku terperanjat, walau tanpa menoleh pun aku sudah tahu siapa pemilik suara itu.
“Bang Dev?” Aku menatap tak percaya. Lelaki itu langsung mendaratkan tubuhnya yang berbalut kemeja biru muda dan dasi biru dongker bermotif abstrak, lengan kemeja ia gulung sampai ke siku. Aku sangat suka dengan gayanya itu.
Andai ia bisa mendengar detak jantungku saat mencium aroma parfumnya yang begitu elegan, tentu ia akan tahu apa yang tengah gadis berusia 24 tahun ini rasakan.
“Susah banget ya nyari kamu di kampus ini,” celetuknya sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling taman yang sedikit sepi. “Kamu ngapain di sini? Niat kuliah nggak sih?”
“Aku lagi nyari angin segar aja kok, Bang. Dosennya ada halangan, jadi jam kuliahnya tertunda dua jam, mau pulang nanggung banget. Capek bolak-balik.”
“Makanya, mendingan nikah aja dari pada ngejar gelar terus, ntar ketuaan nggak ada yang mau baru tahu rasa kamu!"candanya sambil tertawa.
Aku terdiam. ‘Andai kamu tahu, Bang. Aku memilih meneruskan S2-ku karena ingin melupakanmu sejenak. Walau sudah tak ada Meera di sampingmu, tapi aku tahu kamu begitu sulit melupakannya. Buktinya sudah dua tahun kepergian Meera, kamu masih saja sendiri.’
“Hei, dibilangin malah ngelamun nih anak.” Devan mengibaskan tangannya di depan wajahku. “Itu apaan pegang-pegang daun kering begitu?” Ia menunjuk lembaran daun kering yang masih ku genggam.
Aku tergagap, segera kubuang daun-daun itu. “Nggak apa-apa Bang, iseng aja lihat bentuk daunnya yang bermacam-macam.” jawabku sekenanya.
“Ngomong apa sih kamu, Pu? Ngaco!” Lagi-lagi Devan tertawa.
“Abang ngapain ke sini? Tumben nyari aku?”
Gantian Devan yang terdiam. Ia menatapku sebentar, sebelum kembali menatap ke depan. “Temani abang makan siang, yuk!” ajaknya.
Dahiku berkerut. “Makan siang? Tumben! Dalam rangka apa?” Pura-pura bertanya padahal aku girang banget diajak Devan.
“Tidak dalam rangka apa-apa, hanya ingin mengajak kamu saja. Mau nggak?”
“Aku ....“
“Jangan takut, aku sudah minta izin Ayah dan Mami untuk mengajakmu, dan mereka mengizinkan.”
Mataku membesar. “Benarkah?”
Devan mengangguk seraya tesenyum.
“Asiiiik, ayo kita pergi!”
Aku pun bangkit dari duduk dan berjalan penuh semangat, aku lupa kalau sudah meninggalkan lelaki yang masih duduk di bangku putih itu. Langkahku terhenti dan aku memutar badan, menemukan lelaki itu tengah membungkuk memungut dedaunan kering yang tadi kubuang. Jantungku berdetak sangat kencang saat melihat Devan memperhatikan sebuah nama yang tadi kutulis di sana. Kugigit bibir bawahku agar tak gemetar.
Aku terpaku. Menduga-duga apa yang akan Devan katakan saat ia tahu, namanya yang tertulis di helaian daun kering itu.
Devan menoleh dengan raut yang sulit ditebak. Lalu dengan pelan ia berjalan mendekatiku. Embusan angin mempermainkan rambut hitam kecoklatan yang kumiliki. Aku menunduk saat ia berdiri tepat di depanku.
“Puja ... apa ini?” Ia menunjukkan daun kering itu padaku.
Tak berani mengangkat kepala, aku meremas-remas jemariku sendiri.
“Puja, jawab Abang, apa maksud semua ini?”
“Aku ... aku hanya ... aku ... itu ....”
“Kamu mencintai Abang?” tanyanya pelan dan hati-hati. Aku semakin menundukkan kepala. Mataku mulai terasa panas dan berkabut.
“Katakan Puja, apakah kamu mencintai Abang? Kenapa nama Abang ada di lembaran daun kering ini? Apakah Abang adalah seseorang yang spesial untukmu?” tanyanya antusias.
Dengan lembut jemarinya menyentuh daguku, lalu ia mencoba mengangkat wajahku sehingga mata kami saling bertatapan. Aku tenggelam dalam tatapan netra bermanik hitam itu. Satu persatu butiran bening membasahi pipi.
“Katakan, Puja!”
“Ya, aku mencintai Abang, sejak pertama kali Abang datang ke rumah, tapi aku begitu terluka saat tahu ... kalau Meera sudah dijodohkan dengan Abang,” uraiku jujur. Entah dapat keberanian dari mana aku mampu mengakuinya.
“Kenapa tidak mengatakannya sejak dulu?”
“Karena aku tahu diri, Meera lebih pantas untuk Abang, sedang aku dianggap masih terlalu muda untuk sebuah urusan cinta kala itu. Hingga tak ada yang menyadari perasanku ini.”
“Maafkan Abang yang juga tak peka dengan perasaanmu. Tapi ....“ Devan mengusap wajahnya. “Abang belum bisa menggantikan Meera dengan siapa pun saat ini, Abang terlanjur mencintai Meera. Kamu sudah Abang anggap adik kandung abang sendiri.”
“Aku tak berharap menjadi pengganti Meera, aku mencintai Abang, tanpa berniat ingin memiliki Abang. Hanya mencintai, meskipun dalam diam. Maafkan jika Abang harus tahu semua ini. Aku sama sekali tak pernah berharap Abang membalas cintaku. Mencintaimu adalah sebuah kebahagiaan tersendiri untukku.” Kuhapus air mata dengan punggung tangan dan bergegas meninggalkannya. Aku lupa kalau tadi ia mengajakku makan siang.
“Puja! Puja tunggu!” Devan mengejar dan berhasil mencekal pergelangan tanganku.
“Tolong jangan permalukan aku di kampus ini, Bang!” pintaku sambil menepis tangannya.
Devan terdiam, dan membiarkanku berlalu dari hadapannya.
[size=3][font="Times New Roman", serif][i]‘Ah, kenapa dia harus tahu tentang semua ini? Padahal aku sudah cukup bahagia mencintainya seperti ini. Sekarang apa yang harus kulakukan? Menghadapinya harus seperti apa? Pasti akan ada yang mengganjal saat ia datang ke rumah nanti. Ataukah ia tidak akan mengunjungi Ayah da Mami lagi karena semua ini?
Part 2 https://www.kaskus.co.id/show_post/5...518b1e4a7ec131
Part 3 https://www.kaskus.co.id/show_post/5...cb957bc23a7240
Part 4 https://www.kaskus.co.id/show_post/5...cb957c6646c76f
Part 5 https://www.kaskus.co.id/show_post/5...20846ce047af3e
Part 6
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...4dc1102d78507e
Part 7
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...70af7d8c39474e
Part 8
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...8f2d50b72ecf6e
Part 9
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...7d824cfa30ea0d
Part 10
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...35f9528b60b399
Part 11
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...51b66d22320f6d
Part 12
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...12384692137baf
Part 13
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...069f1892000380
Part 14
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...114e534d170179
Part 15
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...8c56678b0247ad
Part 16 https://www.kaskus.co.id/show_post/6...e4bc6bc03f2c31
Part 17 https://www.kaskus.co.id/show_post/6...c5f237fc65f77a
Part 18 https://www.kaskus.co.id/show_post/6...4035383a112c41
Part 19 https://www.kaskus.co.id/show_post/6...f9a504f732ba96
Part 20 https://www.kaskus.co.id/show_post/6...b64526fe580b43
Part 21 https://www.kaskus.co.id/show_post/6...a1b175b268b213
Part 22 (ending) https://www.kaskus.co.id/show_post/6...b16a2d3955aa48
Diubah oleh Leny.Khan 29-07-2023 17:52
bukhorigan dan 17 lainnya memberi reputasi
16
11K
64
Komentar yang asik ya
Tampilkan semua post
TS
Leny.Khan
#32
ANGKUHNYA CINTA (PART 6)
Angkuhnya Cinta (Part 6)
Leny Khan
“Mbak Rima, sudah sarapan?” sapaku saat melihatnya tengah menyiapkan sarapan pagi untuk kami di meja makan.
“Sudah, Non, habis shalat subuh tadi,” sahutnya dengan senyum yang terlihat menyejukkan.
“Shalat Subuh?” Aku mengerutkan dahi. “Mbak Rima shalat?”
“Ya, iyalah Non, shalat itu kan kewajiban yang nggak boleh ditinggalkan sama sekali,” jawabnya sambil berlalu ke dapur. Sementara aku hanya diam terpaku, duduk di kursi meja makan.
‘Shalat? Apakah itu kewajiban? Kenapa tidak ada yang memberi tahuku tentang itu? Bahkan Mami dan Ayah tak pernah menyuruhku shalat. Devan pun, tidak pernah melakukan itu.’
“Kenapa melamun, Non?” Tiba-tiba Mbak Rima sudah kembali lagi dengan semangkuk nasi goreng di tangan.
“Eh, enggak apa-apa, Mbak.”
“Ya sudah, silahkan sarapan ya, Non. Mbak izin ke belakang dulu,” pamitnya.
“Oke,” sahutku smbil tersenyum.
Wangi nasi goreng buatan Mbak Rima begitu menggoda indera penciuman. Segera kuambil piring dan memindahkan beberapa sendok nasi itu ke piringku. Aku lupa menunggu Devan, lagian sudah jam segini dia belum muncul juga, apa sih yang dia lakukan di kamar? Ah, masa bodoh, yang penting aku sarapan dulu biar kuat menghadapi kenyataan hidup.
Hingga aku selesai sarapan, Devan belum juga muncul. Penasaran juga aku, ke mana pria itu? Apa yang dia lakukan di kamar? Apa dia tidur lagi?
Kulangkahkan kaki menuju kamarnya. Ragu kuketuk juga pintu besar bercat putih itu.
“Bang Dev!” panggilku.
Tak terdengar sahutan.
“Bang Dev, nggak mau sarapan? Nanti nasi gorengnya keburu dingin lho!”
Belum juga ada sahutan. Kuberanikan diri membuka pintunya, ternyata tidak dikunci. Pelan pintu itu terkuak. “Bang Dev … Abang di mana?”
Sepi, seperti tak ada Devan di kamar ini. Bahkan dari kamar mandi tak kudengar suara apa pun. Ke mana dia?
Mataku menyapu sekeliling kamar yang cukup luas itu. Aku heran, karena tak lagi kutemukan foto Meera atau pun foto pernikahan mereka satu pun. Semua bersih, yang ada hanya ... hei, apa itu? Mataku tertumbuk pada sebuah pigura kecil yang tergeletak di atas ranjangnya. Tanganku meraih pigura itu. Aku terbelalak, seakan tak percaya dengan wajah yang sedang tersenyum di foto itu.
“Kamu sedang apa di kamar Abang?” Tiba-tiba suara Devan membuatku begitu terkejut. Hampir saja pigura itu terlepas dari tanganku.
“B-Bang Dev?” Aku tergugup.
Devan mendekat, dengan kasar ia merebut pigura itu dari tanganku. Iris matanya menatapku tajam.
“Jangan pernah sentuh apa pun di kamar ini, paham?” bentaknya. Aku terperanjat, mendengar nada suara yang tak biasa dan ekspresi wajah yang begitu penuh amarah.
Aku pun diam terpaku, hingga mataku terasa panas.
“Maaf.” Hanya itu yang sempat kuucapkan sebelum berlalu dari hadapannya.
Setengah berlari aku menuju taman belakang, duduk di salah satu kursi di sana. Melampiaskan tangis yang tertahan sejak Devan membentakku tadi.
‘Devan jahat! Tega sekali dia membentakku. Kenapa dia begitu marah? Padahal aku hanya menyentuh foto itu. Lalu kenapa fotoku ada bersamanya?’
Sehelai daun kering jatuh menyentuh wajah, tangisku terhenti seketika. Kupungut daun itu, menatapnya ... dan mengelusnya. Saat ini aku tak bisa menuliskan namanya di sana, karena tak ada pulpen di tangan. Hanya bisa tersenyum getir, membayangkan wajah orang kucintai sedang tersenyum di lembaran itu.
“Non Puja!” Suara Mbak Rima membuatku kaget. Aku menoleh, menemukan tangannya tengah mengulurkan sebuah pulpen padaku. Kuhapus pipi yang basah dengan punggung tangan.
“Ambillah Non, bukankah Non butuh ini?” Mbak Rima duduk di sampingku.
Dengan ragu kuambil juga pulpen itu.
“Mbak tahu persis apa yang sedang Non rasakan. Tulislah sesuatu di daun kering itu, jika itu bisa membuat perasaan Non lega,” ucapnya.
Kupandangi dia dengan tatapan heran.
“Jangan heran Non, Mbak pernah di posisi Non seperti ini. Mencintai, tanpa dicintai.”
“Apa maksud Mbak Rima? Tahu dari mana Mbak semua itu?”
Mbak Rima tertawa kecil. “Sikap Non dan Tuan Devan tak mampu menyembunyikan apa-apa. Mbak bisa membaca dengan jelas apa yang sedang terjadi.”
Aku masih tak paham dengan maksud wanita ini, sok tahu atau memang dia benar-benar tahu.
“Non Puja benar-benar mencintai Tuan Devan, bukan?”
Hanya anggukan pelan sebagai jawaban.
“Kalau begitu, jangan tunggu dia mencintai Non, tapi Non Puja yang harus mampu membuatnya jatuh cinta dengan perlakuan Non padanya. Buat dia tak berkutik, buat dia merasa bahwa Non orang yang sangat pantas mendampinginya. Mbak yakin, sesungguhnya Tuan sangat mencintai Non, hanya saja ... sifat lelaki itu angkuh, tak mau mengakui jika dia mencintai wanitanya. Yakinlah, Non Puja pasti bisa. Taklukkan dia! Jangan menyerah!” Kulihat matanya berkaca-kaca, hingga kemudian ada tetesan air jatuh membasahi jilbabnya. Ya, dia menangis. Entah apa sebabnya.
“Bagaimana Mbak bisa memberiku wejangan seperti itu?”
“Karena ... suami Mbak juga dulu seperti itu. Kami dijodohkan, walau sebenarnya Mbak sudah lama jatuh cinta padanya. Tapi tak sedikit pun dia mencintai Mbak. Hingga Mbak sempat jenuh dan putus asa menunggu cintanya. Tapi ternyata menunggu adalah hal yang salah, Mbak sadar kalau Mbak yang harus memulai. Mbak mulai memperhatikan setiap detail kebutuhannya, setiap inci kehidupannya, meskipun hanya diberi tanggapan dingin. Lalu lama kelamaan, akhirnya dia luluh, dan menyatakan cintanya pada Mbak, dan tak lagi malu menunjukkan perasaan yang sesungguhnya telah lama ia pendam.”
Aku tercenung mendengar penuturan panjang Mbak Rima.
“Sayangnya ... Mbak hanya bisa merasakan cintanya selama satu tahun, setelah Allah mengambilnya dalam sebuah kecelakaan kerja.” Mbak Rima menyusut air mata dengan ujung jari. “Aduh, maaf, kok Mbak jadi curhat ya? Maaf ya Non.” Mbak rima bangkit dan berggas masuk ke dalam rumah. Meninggalkanku yang masih saja terpaku setelah mendengar kisah cintanya.
‘Apa iya aku bisa melakukan itu? Apa iya aku bisa membuatnya mengakui kalau sebenarnya dia juga mencintaiku? Tapi bagaimana caranya? Sedang sikapnya terkadang membuatku ragu, dia bisa cemburu, dia bisa memelukku sesuka hatinya, dia bisa marah tanpa ada ujung pangkal dan kejelasan. Ah, benar-benar sulit di terjemahkan sikap pria itu. Tapi kenapa tak ada lagi foto Meera di kamarnya? Kenapa ada fotoku di ranjangnya? Benarkah kalau sesungguhnya Devan mencintaiku?’
***
“Sudah ada tanda-tanda hamil belum, Pu?” tanya Mami saat beliau berkunjung siang itu.
Aku terkesiap, tak menyangka Mami akan memberi pertanyaan konyol itu. Entah apa yang terjadi kalau saja beliau tahu anak gadisnya ini masih perawan.
“Kami masih bulan madu, Mi. Masih mau pacaran dulu, ya ‘kan Pu?” Devan memeluk bahuku sambil menatap mesra. Pintar sekali dia bersandiwara.
“I-iya Mi, lagian aku masih kuliah, masih beberapa bulan lagi, kalau aku hamil bisa-bisa mengganggu kuliahku,” sahutku pula.
“Eits, kuliah tak boleh dijadikan alasan untuk menunda kehamilan. Kalian tahu, kami orang tua kalian ini sudah kepingin gendong cucu. Kalau memnag alasanmu kuliah, berhenti saja kuliahnya.”
Aku dan Devan berpandangan.
“Mami sabar ya, Mi.Sebentar lagi Mami akan punya cucu, kok, segera setelah Puja selesai kuliah. Kasihan juga kan Mi, udah nanggung kalau harus behenti di tengah jalan.” Devan terdengar sok peduli.
Mami mendengkus. “Terserah kalian saja, yang jelas Mami mau segera punya cucu, titik!” tandasnya kesal.
Aku hanya bisa terdiam. ‘Bagaimana mau hamil, di apa-apain aja juga belum,’ batinku.
Setelah puas memberi wejangan, Mami pun pulang. Kupastikan mobil yang membawa Mami menjauh, sebelum bergegas masuk kembali ke dalam rumah.
“Puja!” panggil Devan.
Langkahku terhenti, lalu memutar tubuh. “Ada apa?”
“Semua uang kuliahmu biar Abang yang tangani, jangan coba-coba minta lagi pada orang tuamu. Bikin malu saja!”
“Terserah Abang saja! Aku capek, mau tidur!” sahutku seraya kembali melangkah meninggalkannya.
Seolah kesal dengan sikapku, pria itu mengejar dan menyejajari langkahku. Lalu tangannya mencekal pergelangan tangan, menarikku masuk ke dalam kamarnya.
“Abang apa-apaan sih? Sakit tahu!” bentakku.
Devan mengunci kamarnya dengan kasar. Detakan jantungku mulai tak karuan. Ada rasa takut menyergap saat melihat raut wajahnya. Ia berjalan pelan mendekatiku, membuatku secara tak sadar melangkah mundur.
“Abang mau apa?” tanyaku gemetar.
Devan menarikku ke dalam pelukannya, menghujaniku dengan ciuman membabi buta. Aku meronta melepaskan diri sekuat tenaga. Merasa jijik dengan perlakuan kasarnya.
“Lepaskan aku! Lepaskan!” Aku memukul-mukul dadanya sekuat tenaga.
“Kenapa? Bukankah kamu mencintaiku? Bukankah ini yang kamu tunggu?” Devan tak menghentikan perbuatannya.
Sekali lagi aku mencoba melepaskan diri sekuat tenaga, dan aku berhasil.
“Hentikan!”
Satu tamparan cukup keras kudaratkan di pipi kirinya. Devan terdiam, meraba pipinya yang mungkin terasa perih. Napasku naik turun menahan amarah yang begitu memuncak.
“Aku istrimu, bukan pramuria!” ucapku pelan, tetapi penuh penekanan. Lalu aku berlari meninggalkan kamar yang sesaat terasa bagai neraka, karena merasa dilecehkan oleh suamiku sendiri.
Aku masuk ke kamar dan mengucinya dari dalam. Kuhempaskan tubuh ke ranjang dan membenamkan wajah ke atas bantal. Aku menangis. Meluapkan rasa sedih, kesal dan sakit hati yang diciptakan oleh Devan.
“Bagaimana caraku mempertahankan cintaku kalau sikapmu seperti ini, Dev?” tangisku. “Kamu jahaaaaaaaaaat!”
***
Leny Khan
“Mbak Rima, sudah sarapan?” sapaku saat melihatnya tengah menyiapkan sarapan pagi untuk kami di meja makan.
“Sudah, Non, habis shalat subuh tadi,” sahutnya dengan senyum yang terlihat menyejukkan.
“Shalat Subuh?” Aku mengerutkan dahi. “Mbak Rima shalat?”
“Ya, iyalah Non, shalat itu kan kewajiban yang nggak boleh ditinggalkan sama sekali,” jawabnya sambil berlalu ke dapur. Sementara aku hanya diam terpaku, duduk di kursi meja makan.
‘Shalat? Apakah itu kewajiban? Kenapa tidak ada yang memberi tahuku tentang itu? Bahkan Mami dan Ayah tak pernah menyuruhku shalat. Devan pun, tidak pernah melakukan itu.’
“Kenapa melamun, Non?” Tiba-tiba Mbak Rima sudah kembali lagi dengan semangkuk nasi goreng di tangan.
“Eh, enggak apa-apa, Mbak.”
“Ya sudah, silahkan sarapan ya, Non. Mbak izin ke belakang dulu,” pamitnya.
“Oke,” sahutku smbil tersenyum.
Wangi nasi goreng buatan Mbak Rima begitu menggoda indera penciuman. Segera kuambil piring dan memindahkan beberapa sendok nasi itu ke piringku. Aku lupa menunggu Devan, lagian sudah jam segini dia belum muncul juga, apa sih yang dia lakukan di kamar? Ah, masa bodoh, yang penting aku sarapan dulu biar kuat menghadapi kenyataan hidup.
Hingga aku selesai sarapan, Devan belum juga muncul. Penasaran juga aku, ke mana pria itu? Apa yang dia lakukan di kamar? Apa dia tidur lagi?
Kulangkahkan kaki menuju kamarnya. Ragu kuketuk juga pintu besar bercat putih itu.
“Bang Dev!” panggilku.
Tak terdengar sahutan.
“Bang Dev, nggak mau sarapan? Nanti nasi gorengnya keburu dingin lho!”
Belum juga ada sahutan. Kuberanikan diri membuka pintunya, ternyata tidak dikunci. Pelan pintu itu terkuak. “Bang Dev … Abang di mana?”
Sepi, seperti tak ada Devan di kamar ini. Bahkan dari kamar mandi tak kudengar suara apa pun. Ke mana dia?
Mataku menyapu sekeliling kamar yang cukup luas itu. Aku heran, karena tak lagi kutemukan foto Meera atau pun foto pernikahan mereka satu pun. Semua bersih, yang ada hanya ... hei, apa itu? Mataku tertumbuk pada sebuah pigura kecil yang tergeletak di atas ranjangnya. Tanganku meraih pigura itu. Aku terbelalak, seakan tak percaya dengan wajah yang sedang tersenyum di foto itu.
“Kamu sedang apa di kamar Abang?” Tiba-tiba suara Devan membuatku begitu terkejut. Hampir saja pigura itu terlepas dari tanganku.
“B-Bang Dev?” Aku tergugup.
Devan mendekat, dengan kasar ia merebut pigura itu dari tanganku. Iris matanya menatapku tajam.
“Jangan pernah sentuh apa pun di kamar ini, paham?” bentaknya. Aku terperanjat, mendengar nada suara yang tak biasa dan ekspresi wajah yang begitu penuh amarah.
Aku pun diam terpaku, hingga mataku terasa panas.
“Maaf.” Hanya itu yang sempat kuucapkan sebelum berlalu dari hadapannya.
Setengah berlari aku menuju taman belakang, duduk di salah satu kursi di sana. Melampiaskan tangis yang tertahan sejak Devan membentakku tadi.
‘Devan jahat! Tega sekali dia membentakku. Kenapa dia begitu marah? Padahal aku hanya menyentuh foto itu. Lalu kenapa fotoku ada bersamanya?’
Sehelai daun kering jatuh menyentuh wajah, tangisku terhenti seketika. Kupungut daun itu, menatapnya ... dan mengelusnya. Saat ini aku tak bisa menuliskan namanya di sana, karena tak ada pulpen di tangan. Hanya bisa tersenyum getir, membayangkan wajah orang kucintai sedang tersenyum di lembaran itu.
“Non Puja!” Suara Mbak Rima membuatku kaget. Aku menoleh, menemukan tangannya tengah mengulurkan sebuah pulpen padaku. Kuhapus pipi yang basah dengan punggung tangan.
“Ambillah Non, bukankah Non butuh ini?” Mbak Rima duduk di sampingku.
Dengan ragu kuambil juga pulpen itu.
“Mbak tahu persis apa yang sedang Non rasakan. Tulislah sesuatu di daun kering itu, jika itu bisa membuat perasaan Non lega,” ucapnya.
Kupandangi dia dengan tatapan heran.
“Jangan heran Non, Mbak pernah di posisi Non seperti ini. Mencintai, tanpa dicintai.”
“Apa maksud Mbak Rima? Tahu dari mana Mbak semua itu?”
Mbak Rima tertawa kecil. “Sikap Non dan Tuan Devan tak mampu menyembunyikan apa-apa. Mbak bisa membaca dengan jelas apa yang sedang terjadi.”
Aku masih tak paham dengan maksud wanita ini, sok tahu atau memang dia benar-benar tahu.
“Non Puja benar-benar mencintai Tuan Devan, bukan?”
Hanya anggukan pelan sebagai jawaban.
“Kalau begitu, jangan tunggu dia mencintai Non, tapi Non Puja yang harus mampu membuatnya jatuh cinta dengan perlakuan Non padanya. Buat dia tak berkutik, buat dia merasa bahwa Non orang yang sangat pantas mendampinginya. Mbak yakin, sesungguhnya Tuan sangat mencintai Non, hanya saja ... sifat lelaki itu angkuh, tak mau mengakui jika dia mencintai wanitanya. Yakinlah, Non Puja pasti bisa. Taklukkan dia! Jangan menyerah!” Kulihat matanya berkaca-kaca, hingga kemudian ada tetesan air jatuh membasahi jilbabnya. Ya, dia menangis. Entah apa sebabnya.
“Bagaimana Mbak bisa memberiku wejangan seperti itu?”
“Karena ... suami Mbak juga dulu seperti itu. Kami dijodohkan, walau sebenarnya Mbak sudah lama jatuh cinta padanya. Tapi tak sedikit pun dia mencintai Mbak. Hingga Mbak sempat jenuh dan putus asa menunggu cintanya. Tapi ternyata menunggu adalah hal yang salah, Mbak sadar kalau Mbak yang harus memulai. Mbak mulai memperhatikan setiap detail kebutuhannya, setiap inci kehidupannya, meskipun hanya diberi tanggapan dingin. Lalu lama kelamaan, akhirnya dia luluh, dan menyatakan cintanya pada Mbak, dan tak lagi malu menunjukkan perasaan yang sesungguhnya telah lama ia pendam.”
Aku tercenung mendengar penuturan panjang Mbak Rima.
“Sayangnya ... Mbak hanya bisa merasakan cintanya selama satu tahun, setelah Allah mengambilnya dalam sebuah kecelakaan kerja.” Mbak Rima menyusut air mata dengan ujung jari. “Aduh, maaf, kok Mbak jadi curhat ya? Maaf ya Non.” Mbak rima bangkit dan berggas masuk ke dalam rumah. Meninggalkanku yang masih saja terpaku setelah mendengar kisah cintanya.
‘Apa iya aku bisa melakukan itu? Apa iya aku bisa membuatnya mengakui kalau sebenarnya dia juga mencintaiku? Tapi bagaimana caranya? Sedang sikapnya terkadang membuatku ragu, dia bisa cemburu, dia bisa memelukku sesuka hatinya, dia bisa marah tanpa ada ujung pangkal dan kejelasan. Ah, benar-benar sulit di terjemahkan sikap pria itu. Tapi kenapa tak ada lagi foto Meera di kamarnya? Kenapa ada fotoku di ranjangnya? Benarkah kalau sesungguhnya Devan mencintaiku?’
***
“Sudah ada tanda-tanda hamil belum, Pu?” tanya Mami saat beliau berkunjung siang itu.
Aku terkesiap, tak menyangka Mami akan memberi pertanyaan konyol itu. Entah apa yang terjadi kalau saja beliau tahu anak gadisnya ini masih perawan.
“Kami masih bulan madu, Mi. Masih mau pacaran dulu, ya ‘kan Pu?” Devan memeluk bahuku sambil menatap mesra. Pintar sekali dia bersandiwara.
“I-iya Mi, lagian aku masih kuliah, masih beberapa bulan lagi, kalau aku hamil bisa-bisa mengganggu kuliahku,” sahutku pula.
“Eits, kuliah tak boleh dijadikan alasan untuk menunda kehamilan. Kalian tahu, kami orang tua kalian ini sudah kepingin gendong cucu. Kalau memnag alasanmu kuliah, berhenti saja kuliahnya.”
Aku dan Devan berpandangan.
“Mami sabar ya, Mi.Sebentar lagi Mami akan punya cucu, kok, segera setelah Puja selesai kuliah. Kasihan juga kan Mi, udah nanggung kalau harus behenti di tengah jalan.” Devan terdengar sok peduli.
Mami mendengkus. “Terserah kalian saja, yang jelas Mami mau segera punya cucu, titik!” tandasnya kesal.
Aku hanya bisa terdiam. ‘Bagaimana mau hamil, di apa-apain aja juga belum,’ batinku.
Setelah puas memberi wejangan, Mami pun pulang. Kupastikan mobil yang membawa Mami menjauh, sebelum bergegas masuk kembali ke dalam rumah.
“Puja!” panggil Devan.
Langkahku terhenti, lalu memutar tubuh. “Ada apa?”
“Semua uang kuliahmu biar Abang yang tangani, jangan coba-coba minta lagi pada orang tuamu. Bikin malu saja!”
“Terserah Abang saja! Aku capek, mau tidur!” sahutku seraya kembali melangkah meninggalkannya.
Seolah kesal dengan sikapku, pria itu mengejar dan menyejajari langkahku. Lalu tangannya mencekal pergelangan tangan, menarikku masuk ke dalam kamarnya.
“Abang apa-apaan sih? Sakit tahu!” bentakku.
Devan mengunci kamarnya dengan kasar. Detakan jantungku mulai tak karuan. Ada rasa takut menyergap saat melihat raut wajahnya. Ia berjalan pelan mendekatiku, membuatku secara tak sadar melangkah mundur.
“Abang mau apa?” tanyaku gemetar.
Devan menarikku ke dalam pelukannya, menghujaniku dengan ciuman membabi buta. Aku meronta melepaskan diri sekuat tenaga. Merasa jijik dengan perlakuan kasarnya.
“Lepaskan aku! Lepaskan!” Aku memukul-mukul dadanya sekuat tenaga.
“Kenapa? Bukankah kamu mencintaiku? Bukankah ini yang kamu tunggu?” Devan tak menghentikan perbuatannya.
Sekali lagi aku mencoba melepaskan diri sekuat tenaga, dan aku berhasil.
“Hentikan!”
Satu tamparan cukup keras kudaratkan di pipi kirinya. Devan terdiam, meraba pipinya yang mungkin terasa perih. Napasku naik turun menahan amarah yang begitu memuncak.
“Aku istrimu, bukan pramuria!” ucapku pelan, tetapi penuh penekanan. Lalu aku berlari meninggalkan kamar yang sesaat terasa bagai neraka, karena merasa dilecehkan oleh suamiku sendiri.
Aku masuk ke kamar dan mengucinya dari dalam. Kuhempaskan tubuh ke ranjang dan membenamkan wajah ke atas bantal. Aku menangis. Meluapkan rasa sedih, kesal dan sakit hati yang diciptakan oleh Devan.
“Bagaimana caraku mempertahankan cintaku kalau sikapmu seperti ini, Dev?” tangisku. “Kamu jahaaaaaaaaaat!”
***
Diubah oleh Leny.Khan 24-07-2022 15:51
0
Tutup