Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

kutarominami69Avatar border
TS
kutarominami69
Penganut aliran kepercayaan minta pengakuan
{thread_title}


Penganut aliran kepercayaan minta pengakuan

Penganut aliran kepercayaan di negara yang mayoritas Muslim ini meminta pengakuan akan kepercayaan mereka di tengah debat yang kian memanas tentang apakah kolom agama di Kartu Tanda Penduduk (KTP) seharusnya dikosongkan bagi mereka yang tidak menganut salah satu dari enam agama yang diakui pemerintah.

Isu ini muncul setelah Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo mengatakan kepada media pekan lalu bahwa warga negara yang tidak menganut salah satu dari enam agama yang diakui pemerintah — Buddha, Hindu, Islam, Katolik, Konghucu dan Protestan –  diperbolehkan untuk tidak mengisi kolom agama di KTP mereka.

Ada sekitar 200 aliran kepercayaan di negara ini.

“Aliran kepercayaan belum diakui dan sering dikatakan sebagai aliran sesat,” kata Jontek Permana Kurniawan, penganut aliran kepercayaan Kejawen dari Yogyakarta, kepada ucanews.com.

“Kami hanya ingin diakui saja,” katanya.

Jontek membiarkan kolom agama di KTP-nya kosong. “Tapi, ada anggota yang mengisi kolom agama di KTP sesuai dengan agama yang dianut oleh orangtua mereka seperti Islam. Ini untuk mempermudah dalam pengurusan surat-surat yang bersifat administratif seperti surat keterangan untuk menikah. Ini hanya formalitas saja, mereka tetap menjalankan aliran kepercayaan mereka,” lanjutnya.

Penganut Sunda Wiwitan, suatu kepercayaan yang dianut oleh masyarakat tradisional Sunda, menghadapi isu serupa.

“Meski seolah-olah sudah ada sistem nasional, tapi di banyak tempat masih berbeda. Ada yang masih diberi tanda strip, ada yang kosong, ada yang sudah tertulis aliran kepercayaan, ada yang sudah berkali-kali dicetak tapi salah,” kata Dewi Kanti kepada ucanews.com.

“Kami ingin meluruskan bahwa kami memperjuangkan hak konstitusional kami. Ada yang bilang ini dagelan, isu yang tidak penting. Tapi bagi kami ini menjadi landasan bagi kami bahwa aliran kepercayaan kami adalah Sunda Wiwitan,” katanya.

“Dampaknya pada tataran sosial luas, tekanan sosial dari masyarakat.

Contohnya, stigma bahwa kami tidak ada Tuhan,” lanjutnya.

Membiarkan kolom agama di KTP kosong artinya masih ada diskriminasi, katanya. “Apakah masih ada perbedaan terhadap kami?”

Slamet Effendy Yusuf, ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) –  organisasi Islam terbesar di negara ini – mengatakan bahwa isu ini ramai kembali bukan karena sulitnya mengisi kolom agama di KTP di kalangan masyarakat, tapi karena menteri dalam negeri mengangkat isu ini.

“Seharusnya pemerintah berpegang pada existing law. Jangan membuat kegegeran dalam masyarakat. Jangan ini dijadikan isu yang mengarah pada penghapusan kolom agama di KTP elektronik (KTP-el) karena ini memunculkan kesempatan bagi seseorang untuk tidak beragama,” katanya kepada ucanews.com.

Menurut Pasal 64(1) UU No. 24/2013 tentang Administrasi Kependudukan, KTP-el mencantumkan gambar lambang Garuda Pancasila dan peta wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, memuat elemen data penduduk, yaitu NIK, nama, tempat tanggal lahir, laki-laki atau perempuan, agama, status perkimpoian, golongan darah, alamat, pekerjaan, kewarganegaraan, pas foto, masa berlaku, tempat dan tanggal dikeluarkan KTP-el, dan tandatangan pemilik KTP-el.

Sementara Pasal 64 (5) menyebutkan bahwa elemen data penduduk tentang agama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi penduduk yang agamanya belum diakui sebagai agama berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-undangan atau bagi penghayat kepercayaan tidak diisi, tetapi tetap dilayani dan dicatat dalam database kependudukan.

“Oleh karena agama harus diisi, ya masing-masing penganut agama mengisi agama mereka. Apakah harus agama? Kita sudah sepakat bahwa kita adalah negara Pancasila. Tapi, kita juga bukan Negara sekular,” lanjutnya.

Ia juga menyarankan agar pemerintah seharusnya segera melakukan konsultasi secara internal dan dengan kelompok-kelompok agama untuk bisa merumuskan peraturan baru. “Sehingga tidak lahir semacam anarkisme agama,” katanya.

Bonar Tigor Naipospos, wakil ketua Setara Institute, mengatakan bahwa mengosongkan kolom agama di KTP memiliki konsekuensi yang besar.

“Misalnya, perkimpoian. Seseorang hanya boleh menikah dengan seseorang yang berasal dari agama yang sama. Kalau dikosongkan, statusnya apa? Soal lain adalah pendidikan. Anak-anak harus mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan apa yang dianut oleh orangtua mereka. Selama ini anak-anak dari penghayat kepercayaan ‘dipaksa’ memilih salah satu agama. Ini karena sekolah-sekolah hanya menyediakan guru-guru dari enam agama. Mereka terpaksa memilih, jika tidak, nilai rapor mereka merah,” katanya kepada ucanews.com.

Menurutnya, kolom agama di KTP seharusnya tidak perlu ada. “Kalau mau, semua agama dan aliran kepercayaan dicantumkan,” katanya.
“Apa urgensinya dari kolom agama? Pelayanan publik apa yang berkaitan dengan agama? Kesehatan, tidak. Pendidikan, tidak.

Pembangunan juga tidak menggunakan agama. Pembangunan demokrasi, tidak. Pencegahan hukum, tidak.”

Ia menyarankan agar pemerintah tetap bersandar pada undang-undang yang ada.

“Namun, kita tetap harus memunculkan isu bahwa undang-undang ini ada unsur diskriminatifnya. Jalan terbaik adalah revisi.”

Katharina R. Lestari, Jakarta
Sumber: www.ucanews.com/news/traditional-belief-followers-demand-recognition-in-indonesia/72379

https://indonesia.ucanews.com/2014/1...nta-pengakuan/
 
indrastrid
indrastrid memberi reputasi
2
976
7
GuestAvatar border
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
masboy.designAvatar border
masboy.design
#2
Ane lebih mendukung kubu menghapus kolom agama..

karena Agama dan tuhan untuk masing2..
Bukan juga untuk dinilai di sekolahan.
Di ajarkan boleh, tapi di Nilai di raport menurut ane kurang tepat.
Mungkin bisa jadi seperti Ekstra gitu, tapi wajib.
indrastrid
indrastrid memberi reputasi
2
Tutup