- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
Kumpulan Cerpen Horor
TS
makgendhis
Kumpulan Cerpen Horor
Cerpen Horor
[Based On True Story]
Quote:
Cerita ini merupakan kisah nyata yang aku dan ibuku alami. Bisa dikatakan jika cerita yang kali ini kutulis merupakan kisah perjalanan hidupku semenjak aku kecil hingga aku beranjak dewasa. Sebuah kisah yang sangat menarik untuk dilewatkan.
Ibuku.. ia merupakan seorang wanita yang tangguh dan hebat. Beliau merupakan seorang single parent yang mampu membesarkan ke tiga anaknya seorang diri. Banyak cerita menarik yang kualami bersamanya. Sebuah kisah yang kelak akan ku ceritakan kepada putriku tercinta Gendis.
Berhubung emak sibuk maka untuk jadwal update diusahakan seminggu sekali.
Ibuku.. ia merupakan seorang wanita yang tangguh dan hebat. Beliau merupakan seorang single parent yang mampu membesarkan ke tiga anaknya seorang diri. Banyak cerita menarik yang kualami bersamanya. Sebuah kisah yang kelak akan ku ceritakan kepada putriku tercinta Gendis.
Berhubung emak sibuk maka untuk jadwal update diusahakan seminggu sekali.
Quote:
Dilarang keras mengcopy cerita ini tanpa seijin penulis !!!
Diubah oleh makgendhis 27-07-2022 02:58
bonita71 dan 138 lainnya memberi reputasi
135
21.5K
Kutip
1K
Balasan
Komentar yang asik ya
Tampilkan semua post
TS
makgendhis
#22
Quote:
Bab. 1
Puake Pohon di Pesisir Pantai (Part. 1)
Puake Pohon di Pesisir Pantai (Part. 1)
Kisah ini bermula ketika usiaku beranjak lima tahun. Ibu mengajakku berziarah ke makam ayahku yang berada di Kepulauan Riau, tepatnya di Pulau Batam. Siang itu dengan menggunakan kapal laut KM. Kelud, aku dan Ibu berangkat dari pelabuhan Tanjung Priok menuju ke Tanjung Pinang.
Selama tiga hari dua malam, tubuhku terombang ambing di dalam lambung kapal yang terasa begitu sempit saking penuhnya penumpang. Hal ini sungguh menyiksaku. Aku hanya bisa terbaring lemah, tergeletak tak berdaya menahan rasa mual yang kerap mendera ulu hati
Entah sudah berapa puluh kali aku mengeluarkan isi perutku ke dalam kantong kresek hitam yang disediakan oleh Ibu. Dengan penuh kesabaran beliau mengurusku yang hanya bisa tergolek di atas kasur kapal yang rasanya begitu keras. Terkadang Ibu mengolesi minyak angin di sekujur tubuhku agar aku tetap merasa hangat. Ia berharap usahanya itu bisa mengurangi rasa mual yang menimpaku. Namun percuma! Semua usahanya sia-sia belaka. Aku tetap saja dilanda mabuk laut.
"Ima, ayo bangun! Sebentar lagi kapal akan segera bersandar di Tanjung Pinang!" Teriak Ibu sambil mengemasi barang bawaan kami.
Aku berusaha keras mencoba bangkit dari tidurku. Aku terduduk dan seketika semua tampak oleng. Uluran tangannya yang lembut membantuku berdiri. Ia memapahku dan memintaku untuk bertahan.
"Yang kuat Ma! Sebentar lagi kita akan segera melihat daratan" bisiknya lirih.
Dengan langkah gontai dan pandangan berkunang-kunang, Ibu menuntunku menyusuri lorong kapal. Kami menuju ke arah tangga, berjalan menuruni anak tangga yang sempit menuju ke arah dimana pintu keluar berada.
Tubuh kecilku berdesak-desakan dan berhimpitan dengan para penumpang yang sepertinya sudah tidak sabaran ingin segera cepat turun dari alat transportasi laut ini.
Beberapa kali kepalaku terkena hantaman koper dan barang bawaan mereka. Aku mengeram penuh amarah. Menatap sinis ke arah penumpang yang tadi secara tidak sengaja telah menyenggol kepalaku dengan tasnya. Rasanya saat itu juga aku ingin mengamuk karena mendapat perlakuan yang tidak menyenangkan. Namun aku sadar diri. Saat itu aku hanyalah seorang anak kecil yang bertubuh kurus dan kecil. Mana mungkin aku bisa melawan mereka yang badannya berpuluh kali lipat lebih besar dari tubuhku?
Ibu menyentak tanganku, memintaku untuk tetap fokus melihat ke arah depan "Ima! Jaga matamu! Jangan meleng! Lihat itu pintu keluarnya!" Tunjuk Ibu ke sebuah pintu besi bercat hitam.
Mataku melihat ke secercah cahaya terang yang muncul dari balik pintu. "Apakah itu pintu kebebasan yang Ibu maksud?"Batinku sambil terus menggenggam erat tangannya.
Mataku berpendar menatap lorong kapal yang semakin lama begitu menyesakkan. Semua penumpang berjejalan, saling berebut keluar dari pintu kabin. Lengkap sudah melatih kesabaran. Setelah berdesak-desakan cukup lama, akhirnya aku dan Ibu berhasil mencapai pintu kebebasan. Suara burung camar dan teriknya cuaca pelabuhan menyambut kedatanganku.
Begitu kakiku menapak di daratan, aku segera menghirup udara sebanyak-banyaknya, berusaha menghilangkan rasa pusing dan mual yang masih mendera. Aku mengendus udara bebas beberapa kali, berusaha memastikan kalau hidungku masih normal. Indra penciumanku seperti mencium aroma yang aneh! Bau amis bercampur asin. Aromanya terasa berbeda dengan udara di Jakarta.
Ibu tersenyum kecil melihat tingkahku.
"Ma yang lagi Ima hirup ini namanya angin laut. Aromanya memang berbeda dengan di Jakarta. Nanti kalau Ima sudah tiba di rumah Atok, setiap hari Ima akan terbiasa mencium udara seperti ini"
Aku menatap wajah Ibu yang bersemu akibat terkena cahaya mentari "Bu..!!" Aku menarik lengannya yang sedang menenteng sebuah koper besar.
"Apa? Ima mau apa?"
"Rumah Atok masih jauhkah?"
"Masih! Kita harus menyebrang sekitar lima jam lagi menggunakan kapal cepat. Setelah itu dilanjutkan dengan naik taxi" jawabnya sambil melirik sekilas ke jam kulit berwarna hitam yang bertengger manis di pergelangan tangannya yang putih bersih.
Pikiranku langsung kalut saat mendengar penjelasannya. Berarti aku masih harus disiksa kembali oleh mabuk laut dan mabuk darat! Seketika nafasku tak beraturan, pandanganku kabur.
"Sejauh inikah perjalanan yang harus ku tempuh hanya untuk bertemu dengan Atok dan melihat makam ayahku?"
"Bu, duduk sebentar ya! Ima haus" rengekku pada wanita yang mengenakan kemeja kotak-kotak dan celana jeans. Di tengah cuaca yang menyengat, wajahnya tampak celingukan seperti sedang mencari sesuatu.
"Sabar tunggu sebentar ya Ma! Yuk, kita kesitu" tunjuk Ibu ke sebuah warung makan padang yang letaknya masih di sekitar pelabuhan.
Dengan langkah gontai, aku segera melangkah ringan menuju tempat makan yang pagi itu terlihat ramai. Aku segera duduk di kursi dekat jendela, melihat pemandangan menghadap ke laut lepas.
"Ima mau makan apa? Ibu pesanin nasi sama ayam goreng ya?" Bujuk Ibu sambil mengelap peluh yang membasahi keningku.
Aku mengangguk lemah menyetujui ucapannya.
Dengan cepat, pelayan pria segera menyajikan nasi berisi ayam dan segelas es teh manis di atas meja.
"Gleekk.. gleek" aku segera meminum es teh manis sampai tandas.
"Ima jangan lupa berdoa! Pelan-pelan
minumnya jangan sampai tersedak! Sekarang cepat dimakan ayamnya. Jangan sampai kita ketinggalan kapal fery yang sebentar lagi akan menuju pelabuhan Sekupang!"
Dengan lahap aku segera menghabiskan lauk di hadapanku. Ibu menatapku sambil tersenyum manis.
"Ibuku ! Dia adalah wanita yang sangat cantik dan pemberani! Kulitnya putih bersih bagai pualam, matanya bulat kecil dan rambutnya yang panjang berwarna hitam legam menambah pesona kecantikannya." Aku menatap penuh rasa kagum ke arah beliau.
"Sudah selesai makannya? Kalau sudah mari kita lanjutkan perjalanan. Mumpung hari masih pagi!"
Ibu segera berdiri dan berjalan menghampiri meja kasir, membayar makanan yang baru saja kami pesan.
Dengan tak bersemangat, aku mengikuti langkah kakinya menuju ke dalam pelabuhan. Tampak beberapa pria kekar dengan kulit menghitam akibat terbakar sinat matahari berjalan mendekat ke arah kami. Aku bersikap waspada, berjaga-jaga agar jangan sampai mereka berbuat jahat kepada wanita cantik di sebelahku. Kini mereka berkerumun menghampiri, aku menatap wajah mereka satu persatu dengan tatapan singit. Aku benci mereka yang berusaha menjamah tangan Ibuku!
Di kemudian hari aku baru mengetahui jika mereka itu adalah calo pelabuhan. Mereka bermulut manis dan berlomba-lomba menawarkan jasanya. Aku lihat Ibu memberikan sejumlah uang ke salah satu pria berwajah garang dan kasar. Sebagai gantinya pria itu memberikan dua lembar kertas berwarna putih ke tangan Ibu.
Kini pria berwajah sangar itu mengambil alih koper dari genggaman wanita yang paling kusayangi. Ia berjalan memimpin di hadapanku menuju ke sebuah kapal berwarna hijau muda.
"Ma ayo jalannya cepetan! Kapal fery yang menuju Batam akan segera berangkat!" Ibu menarik lenganku dengan kencang menuju ke salah satu kapal yang terlihat begitu kecil di mataku.
Dengan merengut, aku mengikuti perintah Ibu. Setelah beliau mengucapkan terima kasih kepada pria itu, kami segera masuk ke dalam kapal yang tidak sebesar kapal sebelumnya. Di dalam kapal kulihat beberapa penumpang sudah memenuhi tempat duduk di bagian depan.
Netra ibuku yang coklat gelap berpendar, mencari tempat duduk kosong. Dengan behimpit-himpitan, aku segera mendapatkan tempat duduk di bagian belakang dekat jendela kapal. Ibu segera memberiku obat anti mabuk biar aku tidak rewel di sepanjang perjalanan. Perlahan aku mulai mengantuk. Tanpa banyak bicara aku segera merebahkan kepalaku di pangkuannya.
Dengan penuh kasih sayang, jemarinya yang lentik dan putih membelai lembut kepalaku. Belaian tangannya terasa begitu halus dan hangat, lambat laun membuat mataku terasa berat dan terpejam.
Entah sudah berapa lama aku tak sadarkan diri, terlelap dalam sentuhan hangatnya. Hingga sebuah tangan menjamah lembut tubuhku.
"Ma.. Ima, ayo bangun! Sebentar lagi kapal akan segera sampai di Sekupang!" Aku merasakan ada seseorang yang menggoyang- goyangkan tubuhku.
"Mhhh... " aku membuka kelopak mata perlahan. Dengan mata masih mengantuk, aku mengucek ke dua mataku dan mengerjapkannya beberapa kali.
Aku memandang lautan lepas dari balik jendela. Yang kulihat hanyalah hamparan samudra berwarna biru tua dengan beberapa kapal laut yang tengah berlayar di atasnya. Telingaku juga terasa pekak karena mendengar suara mesin kapal yang menderu-deru.
"Mana daratannya??" Pikirku.
Baru saja aku ingin membuka mulut bertanya pada ibu tiba-tiba tubuhku terasa sedikit oleng. Aku merasakan kapal yang membawa kami berlayar seperti menghantam sesuatu sehingga mengakibatkan tubuhku sedikit limbung. Aku segera memeluk tubuh wanita yang duduk di sebelahku. Aku menatapnya dengan raut wajah ketakutan. Aku panik! Aku takut jika kapal yang ku tumpangi akan tenggelam di tengah laut.
"Jangan khawatir. Kapal kita bukan menabrak karang atau apapun yang membahayakan. Kapal ini sedang bersandar di pelabuhan" ujarnya seraya menepuk pelan bahuku. Ia tampak begitu memahami apa yang sedang kurasakan.
Dengan wajah sumringah, aku kembali mengintip keluar jendela. Kali ini kulihat kapal sudah bersandar di pelabuhan.
"Aku sudah sampai di Pulau Batam! Tempat dimana aku dilahirkan!" Jeritku dalam hati.
Setelah lima tahun lamanya, aku benar-benar tidak sabar ingin segera bertemu dengan Atok dan melihat makam ayahku untuk pertama kalinya. Seketika aku melupakan mabuk darat yang sudah siap menyambutku di depan mata.
"Ma, ayo lekas kita keluar dari kapal!" Tegurnya halus membuatku sedikit terkejut.
"E-eh.. I-iya bu!'
Ibu segera menarik tanganku berjalan melewati beberapa kursi penumpang. Kapal yang bergoyang-goyang akibat terkena deburan ombak kembali membuat kepalaku pusing! Dengan limbung, aku mempercepat langkahku menuju ke arah gladak atau jalan kayu yang dibuat menjorok ke laut.
"Alhamdulillah kita sudah sampai di Sekupang dengan selamat" ujarnya dengan wajah berseri.
Setelah mendapatkan barang bawaan kami, aku dan ibu segera melangkah menuju ke arah pintu keluar pelabuhan. Mataku terasa perih terkena cahaya matahari yang begitu menyengat. Kami segera menyebrang jalan. Kulihat di sepanjang jalan tampak kendaraan berjejer dengan rapi, mereka seperti menunggu sesuatu.
"Makcik, Makcik hendak pergi kemane?" Tanya beberapa pengemudi. (Mak Cik = Bibi)
Namun ibu tidak mengidahkan pertanyaan mereka. Ia terus mengajakku berjalan menjauh dari kerumunan pria-pria yang berdiri di samping mobil mereka. Setelah dirasa cukup jauh, ia menghentikan langkahnya. Matanya menatap lurus ke arah jalanan yang tampak lenggang.
"Bu mana taxinya?" Tanyaku dengan raut wajah kebingungan. Karena selama aku berjalan, tak kulihat satupun taxi berwarna kuning yang melintas.
"Sabar" jawabnya sambil terus menatap ke jalan raya.
"Kita harus segera sampai di rumah atok sebelum malam tiba. Akan sangat berbahaya jika kita sampai disana ketika bulan sudah muncul" gumamnya dengan wajah tegang.
Aku menatap wajahnya yang oval.
"Memangnya kenapa bu kalau kita sampai disana pas malam hari? Apa Atok tidak akan menerima kehadiran kita?" Tanyaku ragu.
Ia menghela nafas berat seperti tengah berkecamuk dengan pikirannya. Kini matanya yang bulat menatap lekat wajahku.
"Sudah jangan banyak cakap! Ibu minta selama kita berada di Batam, Ima bisa menjaga sikap dan ucapan. Jangan pernah berkata yang tidak-tidak!" (Cakap = Bicara)
"Iya bu, Ima akan mengikuti semua pesan ibu" jawabku sambil menundukkan wajah. Tak berani membantah ucapannya. Walau hatiku sedikit tergelitik mendengar nasehatnya yang terdengar sedikit aneh.
Ketika kami sedang berbincang, lewatlah sebuah mobil sedan berwarna hitam dan berhenti tepat di hadapanku. Seraut wajah khas orang Sumatera menyembul dari balik jendela kendaraan yang tidak tertutup rapat.
"Hendak pergi kemana Mak Cik?" Tanyanya sopan.
"Mike hendak ke Kampung Tua di Nongsa" (Mike = Saya)
"Ayo lekas naiklah. Mumpung kita searah. Bentar lagi petang, tak bakal ada kendaraan yang akan menuju kesana"
"Berapa biaya perorangnya?"
"Mending di carter sajalah Makcik biar kita tak berputar-putar. Lokasi yang Makcik tuju ini sangatlah jauh, berada di ujung Pulau. Lagi pula kasihan kali budak ini kutengok, wajahnya sudah tampak seperti orang semaput!" (Budak = Anak)
Dengan mata sayu membayangkan rasa mual yang akan kembali kurasakan, aku menatap wajah ibu. Memohon dalam hati agar beliau meng-iyakan kata supir tersebut.
Sekilas ibu melihat ke arahku. Ia terdiam beberapa saat. Sampai bibirnya yang merah mengucapkan sepatah kata "Baiklah" katanya cepat.
Setelah proses tawar menawar yang alot akhirnya terjadi juga kesepakatan harga. Supir itu segera turun dari kendaraannya dan memasukkan barang bawaan kami ke bagasi. Aku dan ibu segera masuk ke dalam mobil. Aroma rokok dan bau apek menyeruak ke dalam hidung, membuatku kembali menahan nafas, perutku bergejolak.
Dengan wajah seperti kekurangan darah, aku segera membuka jendela lebar-lebar, menghirup udara laut sebanyak-banyaknya. Setelah dirasa tidak ada barang yang ketinggalan, mobil segera melaju cepat menembus jalanan yang bergelombang.
Di sepanjang perjalanan mataku disuguhkan pemandangan berupa hutan lebat di sepanjang kanan dan kiri jalan. Beberapa ekor kera tampak bergelantungan kesana kemari berloncatan dari satu dahan menuju dahan lainnya. Suara yang mereka lontarkan terdengar lucu. Bibirku menyunggingkan senyuman.
"Bu lihat tuh ada anak monyet dan ibunya di atas pohon. Lucu sekali ya mereka?" Tunjukku ke arah hutan.
Ibu segera menepis tanganku, menurunkannya perlahan. Ia berbisik pelan "Ima masih ingatkan sama pesan ibu untuk selalu menjaga ucapan?"
"Ingat bu. Tapi Ima kan tidak melakukan kesalahan apapun?" Aku mencoba beradu argumen.
"Ma selama kita di Batam akan ada banyak hal mistis yang akan kamu temui. Ibu harap Ima jangan pernah menunjuk ke arah hutan. Karena kita tidak akan pernah tahu, kera yang barusan Ima lihat itu merupakan monyet asli atau mahluk jadi-jadian!" Desisnya lirih.
Aku termenung.
"Apa itu mistis? Apa itu monyet jadi-jadian? Pikirku yang masih berusia lima tahun.
Aku memalingkan wajah, menatap lurus ke luar jalanan yang sangat sepi. Tak ku lihat satupun kendaraan yang melintas. Dulu, Batam merupakan Pulau yang sangat indah namun masih sangat jarang penduduknya. Tidak hanya itu, jika dilihat dari letak geografis, Pulau Batam merupakan sebuah kepulauan yang dikelilingi oleh lautan luas.
Matahari mulai tergelincir dari singgasananya, tergantikan oleh senja yang mulai menyapa.
"Sebentar lagi kita akan sampai" desis ibu di telingaku.
Aku berteriak kegirangan dalam hati. Akhirnya aku akan segera bertemu dengan Atok (ibu dari pihak ayah).
Kendaraan menuruni bukit terjal, jalanan yang terbuat dari tanah merah. Supir tampak begitu berhati-hati mengemudikan mobilnya, mungkin ia takut jika kendaraan beroda empat ini tergelincir dan masuk ke jurang yang dalam. Mataku tetap fokus menatap ke depan. Dari kejauhan kulihat air laut tampak berkilauan terkena terpaan cahaya mentari senja. Sinarnya memantulkan warna warni yang sangat indah bak berlian yang berhamburan di atas permukaannya. Sehingga membuat mataku sedikit silau.
Semburat sinar matahari merah bulat tampak tenggelam di perairan. Sisa-sisa sinar merahnya menerpa kapal nelayan yang bersandar di pesisir pantai. Menambah asri pemandangan.
"Indahnya...!" Batinku kagum. Rasanya aku tidak sabar ingin segera berlari dan berenang di pantai berpasir putih. Pantai yang jauh dari hiruk pikuk keramaian manusia. Sepertinya aku akan betah jika harus menetap disini selamanya.
Mobil mulai memasuki kawasan perkampungan yang sunyi senyap. Hanya terlihat beberapa rumah panggung yang tebuat dari kayu dan letaknya saling berjauhan satu sama lainnya. Aku merasakan beberapa pasang mata tampak mengintai dari bilik kayu ketika kendaraan beroda empat yang ku tumpangi melintas di halaman rumah mereka. Mungkin mereka merasa heran, siapa yang telah datang memasuki wilayah mereka.
"Eh mati lah aku! Macam mana pulak ini kampung, sepi sangat macam tengah berada di kuburan! Makcik, kau tidak salah tempatkah?" Tanya supir memecah keheningan.
"Benar bang ini kampung suamiku. Tinggal ikuti saja jalanan ini nanti kalau ketemu parit yang tidak terlalu besar tolong berhenti disitu"
Dari spion kulihat kepala berambut keriting itu menggangguk-angguk pelan. Jemarinya mengetuk-ngetuk setir kendaraan. Entah ia sedang mengusir rasa suntuk atau takut.
"Stop bang! Sudah berhenti disini saja!" Teriak ibu sambil melongok ke luar jendela.
"Makcik yakin mau berhenti disini?" Wajah supir tampak kebingungan. Kepalanya tampak celingukan kesana kemari.
"Iya bang! Itu di depan sudah terlihat parit yang kumaksud. Mobil tidak bisa melewatinya. Aku dan putriku harus berjalan kaki melewati jembatan kecil itu. Rumah orangtua suamiku letaknya sudah tidak terlalu jauh dari sini!"
"Hebat kali lah kau Makcik berani datang kesini cuma dengan anak kecil. Aku saja tak seronok jika disuruh menetap di tempat ini!!" (Seronok = Sudi)
Ibuku tersenyum tipis mendengar ucapan supir yang logatnya terdengar keras dan kasar.
Tanpa meladeni celotehnya, kami segera turun dari kendaraan. Supir segera mengeluarkan barang bawaan dari bagasi dan menyerahkannya ke ibu. Sebagai gantinya jarinya yang lentik menyerahkan sejumlah uang ke tangan pria bertubuh kekar yang berdiri di hadapanku.
"Hati-hatilah Makcik. Seram kali tempat ini ku tengok! Lihat ini bulu tanganku sampai merinding hebat!" Serunya sambil melangkah kembali ke dalam kendaraan dan mulai menjalankan mobil menjauh dari tempatku berdiri.
"Ayo Ima, rumah Atok sudah tak jauh lagi"
Kaki kecilku melangkah cepat mengikuti ritme langkahnya yang tampak tergesa-gesa. Entah mengapa raut wajahnya tersirat ketakutan. Ketika hampir sampai di jembatan kayu yang lebarnya hanya cukup dilewati oleh kendaraan beroda dua, terdengar desis perlahan dari bibirnya "Numpang-numpang Datuk. Aku dan anakku mau lewat"
Angin semilir mendayu menerpa wajahku. Terlihat riakan kecil di parit yang airnya tampak jernih dan mengalir tenang. Poniku berkibar tak karuan. Ibu menarik lenganku kencang, ia semakin mempercepat langkah kakinya menuju jalan setapak yang terbuat dari hamparan pasir putih. Sejauh mata memandang yang kulihat hanyalah deretan pohon kelapa yang berdiri dengan kokohnya walau terkena tiupan angin yang berhembus kencang.
"Ma lihat itu rumah Atok!" Seru ibu sambil menunjuk ke rumah panggung yang sangat besar. Di sebelahnya terdapat sebuah rumah panggung yang agak kecil. Rumah yang terlihat kelam! Memancarkan aura mistis yang begitu menyeramkan!
"Bu kenapa disini hanya terdapat dua rumah? Mana tetangga yang lain?" Tanyaku keheranan.
"Ini semua tanah Atok engkau! Ia tak mengijinkan jika ada orang lain menumpang dan membangun rumah di atas tanahnya!"
"Terus yang di sebelah rumah Atok itu rumah siapa bu?"
"Ooh.. itu rumah adik tirinya Atok. Ayo Ima lekas kita menuju ke pintu samping"
Kami berjalan memutar dan berdiri tepat di depan tangga kayu yang tampak lapuk dimakan usia. Sebuah pintu terbuat dari kayu tampak tertutup rapat.
"Assalamu'alaikum ! Atok ini Iin datang!' Teriak Ibuku lantang.
Semenit, dua menit tak ada tanda-tanda kehidupan dari dalam rumah panggung khas Melayu.
Sunyi, senyap.
"Bu sepertinya di dalam rumah tidak ada orang" rengekku yang sudah tidak sabar ingin segera beristirahat.
Namun ibuku tidak pantang menyerah. Berulang kali ia berteriak mengucapkan salam. Kini terdengar derit langkah kaki berjalan di antara lembar-lembar papan kayu. Lalu, terdengar pintu berkarat terbuka dan muncullah seraut wajah wanita tua berparas timur tengah. Ia tampak terkelu berdiri di ambang pintu.
Bersambung
Selama tiga hari dua malam, tubuhku terombang ambing di dalam lambung kapal yang terasa begitu sempit saking penuhnya penumpang. Hal ini sungguh menyiksaku. Aku hanya bisa terbaring lemah, tergeletak tak berdaya menahan rasa mual yang kerap mendera ulu hati
Entah sudah berapa puluh kali aku mengeluarkan isi perutku ke dalam kantong kresek hitam yang disediakan oleh Ibu. Dengan penuh kesabaran beliau mengurusku yang hanya bisa tergolek di atas kasur kapal yang rasanya begitu keras. Terkadang Ibu mengolesi minyak angin di sekujur tubuhku agar aku tetap merasa hangat. Ia berharap usahanya itu bisa mengurangi rasa mual yang menimpaku. Namun percuma! Semua usahanya sia-sia belaka. Aku tetap saja dilanda mabuk laut.
"Ima, ayo bangun! Sebentar lagi kapal akan segera bersandar di Tanjung Pinang!" Teriak Ibu sambil mengemasi barang bawaan kami.
Aku berusaha keras mencoba bangkit dari tidurku. Aku terduduk dan seketika semua tampak oleng. Uluran tangannya yang lembut membantuku berdiri. Ia memapahku dan memintaku untuk bertahan.
"Yang kuat Ma! Sebentar lagi kita akan segera melihat daratan" bisiknya lirih.
Dengan langkah gontai dan pandangan berkunang-kunang, Ibu menuntunku menyusuri lorong kapal. Kami menuju ke arah tangga, berjalan menuruni anak tangga yang sempit menuju ke arah dimana pintu keluar berada.
Tubuh kecilku berdesak-desakan dan berhimpitan dengan para penumpang yang sepertinya sudah tidak sabaran ingin segera cepat turun dari alat transportasi laut ini.
Beberapa kali kepalaku terkena hantaman koper dan barang bawaan mereka. Aku mengeram penuh amarah. Menatap sinis ke arah penumpang yang tadi secara tidak sengaja telah menyenggol kepalaku dengan tasnya. Rasanya saat itu juga aku ingin mengamuk karena mendapat perlakuan yang tidak menyenangkan. Namun aku sadar diri. Saat itu aku hanyalah seorang anak kecil yang bertubuh kurus dan kecil. Mana mungkin aku bisa melawan mereka yang badannya berpuluh kali lipat lebih besar dari tubuhku?
Ibu menyentak tanganku, memintaku untuk tetap fokus melihat ke arah depan "Ima! Jaga matamu! Jangan meleng! Lihat itu pintu keluarnya!" Tunjuk Ibu ke sebuah pintu besi bercat hitam.
Mataku melihat ke secercah cahaya terang yang muncul dari balik pintu. "Apakah itu pintu kebebasan yang Ibu maksud?"Batinku sambil terus menggenggam erat tangannya.
Mataku berpendar menatap lorong kapal yang semakin lama begitu menyesakkan. Semua penumpang berjejalan, saling berebut keluar dari pintu kabin. Lengkap sudah melatih kesabaran. Setelah berdesak-desakan cukup lama, akhirnya aku dan Ibu berhasil mencapai pintu kebebasan. Suara burung camar dan teriknya cuaca pelabuhan menyambut kedatanganku.
Begitu kakiku menapak di daratan, aku segera menghirup udara sebanyak-banyaknya, berusaha menghilangkan rasa pusing dan mual yang masih mendera. Aku mengendus udara bebas beberapa kali, berusaha memastikan kalau hidungku masih normal. Indra penciumanku seperti mencium aroma yang aneh! Bau amis bercampur asin. Aromanya terasa berbeda dengan udara di Jakarta.
Ibu tersenyum kecil melihat tingkahku.
"Ma yang lagi Ima hirup ini namanya angin laut. Aromanya memang berbeda dengan di Jakarta. Nanti kalau Ima sudah tiba di rumah Atok, setiap hari Ima akan terbiasa mencium udara seperti ini"
Aku menatap wajah Ibu yang bersemu akibat terkena cahaya mentari "Bu..!!" Aku menarik lengannya yang sedang menenteng sebuah koper besar.
"Apa? Ima mau apa?"
"Rumah Atok masih jauhkah?"
"Masih! Kita harus menyebrang sekitar lima jam lagi menggunakan kapal cepat. Setelah itu dilanjutkan dengan naik taxi" jawabnya sambil melirik sekilas ke jam kulit berwarna hitam yang bertengger manis di pergelangan tangannya yang putih bersih.
Pikiranku langsung kalut saat mendengar penjelasannya. Berarti aku masih harus disiksa kembali oleh mabuk laut dan mabuk darat! Seketika nafasku tak beraturan, pandanganku kabur.
"Sejauh inikah perjalanan yang harus ku tempuh hanya untuk bertemu dengan Atok dan melihat makam ayahku?"
"Bu, duduk sebentar ya! Ima haus" rengekku pada wanita yang mengenakan kemeja kotak-kotak dan celana jeans. Di tengah cuaca yang menyengat, wajahnya tampak celingukan seperti sedang mencari sesuatu.
"Sabar tunggu sebentar ya Ma! Yuk, kita kesitu" tunjuk Ibu ke sebuah warung makan padang yang letaknya masih di sekitar pelabuhan.
Dengan langkah gontai, aku segera melangkah ringan menuju tempat makan yang pagi itu terlihat ramai. Aku segera duduk di kursi dekat jendela, melihat pemandangan menghadap ke laut lepas.
"Ima mau makan apa? Ibu pesanin nasi sama ayam goreng ya?" Bujuk Ibu sambil mengelap peluh yang membasahi keningku.
Aku mengangguk lemah menyetujui ucapannya.
Dengan cepat, pelayan pria segera menyajikan nasi berisi ayam dan segelas es teh manis di atas meja.
"Gleekk.. gleek" aku segera meminum es teh manis sampai tandas.
"Ima jangan lupa berdoa! Pelan-pelan
minumnya jangan sampai tersedak! Sekarang cepat dimakan ayamnya. Jangan sampai kita ketinggalan kapal fery yang sebentar lagi akan menuju pelabuhan Sekupang!"
Dengan lahap aku segera menghabiskan lauk di hadapanku. Ibu menatapku sambil tersenyum manis.
"Ibuku ! Dia adalah wanita yang sangat cantik dan pemberani! Kulitnya putih bersih bagai pualam, matanya bulat kecil dan rambutnya yang panjang berwarna hitam legam menambah pesona kecantikannya." Aku menatap penuh rasa kagum ke arah beliau.
"Sudah selesai makannya? Kalau sudah mari kita lanjutkan perjalanan. Mumpung hari masih pagi!"
Ibu segera berdiri dan berjalan menghampiri meja kasir, membayar makanan yang baru saja kami pesan.
Dengan tak bersemangat, aku mengikuti langkah kakinya menuju ke dalam pelabuhan. Tampak beberapa pria kekar dengan kulit menghitam akibat terbakar sinat matahari berjalan mendekat ke arah kami. Aku bersikap waspada, berjaga-jaga agar jangan sampai mereka berbuat jahat kepada wanita cantik di sebelahku. Kini mereka berkerumun menghampiri, aku menatap wajah mereka satu persatu dengan tatapan singit. Aku benci mereka yang berusaha menjamah tangan Ibuku!
Di kemudian hari aku baru mengetahui jika mereka itu adalah calo pelabuhan. Mereka bermulut manis dan berlomba-lomba menawarkan jasanya. Aku lihat Ibu memberikan sejumlah uang ke salah satu pria berwajah garang dan kasar. Sebagai gantinya pria itu memberikan dua lembar kertas berwarna putih ke tangan Ibu.
Kini pria berwajah sangar itu mengambil alih koper dari genggaman wanita yang paling kusayangi. Ia berjalan memimpin di hadapanku menuju ke sebuah kapal berwarna hijau muda.
"Ma ayo jalannya cepetan! Kapal fery yang menuju Batam akan segera berangkat!" Ibu menarik lenganku dengan kencang menuju ke salah satu kapal yang terlihat begitu kecil di mataku.
Dengan merengut, aku mengikuti perintah Ibu. Setelah beliau mengucapkan terima kasih kepada pria itu, kami segera masuk ke dalam kapal yang tidak sebesar kapal sebelumnya. Di dalam kapal kulihat beberapa penumpang sudah memenuhi tempat duduk di bagian depan.
Netra ibuku yang coklat gelap berpendar, mencari tempat duduk kosong. Dengan behimpit-himpitan, aku segera mendapatkan tempat duduk di bagian belakang dekat jendela kapal. Ibu segera memberiku obat anti mabuk biar aku tidak rewel di sepanjang perjalanan. Perlahan aku mulai mengantuk. Tanpa banyak bicara aku segera merebahkan kepalaku di pangkuannya.
Dengan penuh kasih sayang, jemarinya yang lentik dan putih membelai lembut kepalaku. Belaian tangannya terasa begitu halus dan hangat, lambat laun membuat mataku terasa berat dan terpejam.
Entah sudah berapa lama aku tak sadarkan diri, terlelap dalam sentuhan hangatnya. Hingga sebuah tangan menjamah lembut tubuhku.
"Ma.. Ima, ayo bangun! Sebentar lagi kapal akan segera sampai di Sekupang!" Aku merasakan ada seseorang yang menggoyang- goyangkan tubuhku.
"Mhhh... " aku membuka kelopak mata perlahan. Dengan mata masih mengantuk, aku mengucek ke dua mataku dan mengerjapkannya beberapa kali.
Aku memandang lautan lepas dari balik jendela. Yang kulihat hanyalah hamparan samudra berwarna biru tua dengan beberapa kapal laut yang tengah berlayar di atasnya. Telingaku juga terasa pekak karena mendengar suara mesin kapal yang menderu-deru.
"Mana daratannya??" Pikirku.
Baru saja aku ingin membuka mulut bertanya pada ibu tiba-tiba tubuhku terasa sedikit oleng. Aku merasakan kapal yang membawa kami berlayar seperti menghantam sesuatu sehingga mengakibatkan tubuhku sedikit limbung. Aku segera memeluk tubuh wanita yang duduk di sebelahku. Aku menatapnya dengan raut wajah ketakutan. Aku panik! Aku takut jika kapal yang ku tumpangi akan tenggelam di tengah laut.
"Jangan khawatir. Kapal kita bukan menabrak karang atau apapun yang membahayakan. Kapal ini sedang bersandar di pelabuhan" ujarnya seraya menepuk pelan bahuku. Ia tampak begitu memahami apa yang sedang kurasakan.
Dengan wajah sumringah, aku kembali mengintip keluar jendela. Kali ini kulihat kapal sudah bersandar di pelabuhan.
"Aku sudah sampai di Pulau Batam! Tempat dimana aku dilahirkan!" Jeritku dalam hati.
Setelah lima tahun lamanya, aku benar-benar tidak sabar ingin segera bertemu dengan Atok dan melihat makam ayahku untuk pertama kalinya. Seketika aku melupakan mabuk darat yang sudah siap menyambutku di depan mata.
"Ma, ayo lekas kita keluar dari kapal!" Tegurnya halus membuatku sedikit terkejut.
"E-eh.. I-iya bu!'
Ibu segera menarik tanganku berjalan melewati beberapa kursi penumpang. Kapal yang bergoyang-goyang akibat terkena deburan ombak kembali membuat kepalaku pusing! Dengan limbung, aku mempercepat langkahku menuju ke arah gladak atau jalan kayu yang dibuat menjorok ke laut.
"Alhamdulillah kita sudah sampai di Sekupang dengan selamat" ujarnya dengan wajah berseri.
Setelah mendapatkan barang bawaan kami, aku dan ibu segera melangkah menuju ke arah pintu keluar pelabuhan. Mataku terasa perih terkena cahaya matahari yang begitu menyengat. Kami segera menyebrang jalan. Kulihat di sepanjang jalan tampak kendaraan berjejer dengan rapi, mereka seperti menunggu sesuatu.
"Makcik, Makcik hendak pergi kemane?" Tanya beberapa pengemudi. (Mak Cik = Bibi)
Namun ibu tidak mengidahkan pertanyaan mereka. Ia terus mengajakku berjalan menjauh dari kerumunan pria-pria yang berdiri di samping mobil mereka. Setelah dirasa cukup jauh, ia menghentikan langkahnya. Matanya menatap lurus ke arah jalanan yang tampak lenggang.
"Bu mana taxinya?" Tanyaku dengan raut wajah kebingungan. Karena selama aku berjalan, tak kulihat satupun taxi berwarna kuning yang melintas.
"Sabar" jawabnya sambil terus menatap ke jalan raya.
"Kita harus segera sampai di rumah atok sebelum malam tiba. Akan sangat berbahaya jika kita sampai disana ketika bulan sudah muncul" gumamnya dengan wajah tegang.
Aku menatap wajahnya yang oval.
"Memangnya kenapa bu kalau kita sampai disana pas malam hari? Apa Atok tidak akan menerima kehadiran kita?" Tanyaku ragu.
Ia menghela nafas berat seperti tengah berkecamuk dengan pikirannya. Kini matanya yang bulat menatap lekat wajahku.
"Sudah jangan banyak cakap! Ibu minta selama kita berada di Batam, Ima bisa menjaga sikap dan ucapan. Jangan pernah berkata yang tidak-tidak!" (Cakap = Bicara)
"Iya bu, Ima akan mengikuti semua pesan ibu" jawabku sambil menundukkan wajah. Tak berani membantah ucapannya. Walau hatiku sedikit tergelitik mendengar nasehatnya yang terdengar sedikit aneh.
Ketika kami sedang berbincang, lewatlah sebuah mobil sedan berwarna hitam dan berhenti tepat di hadapanku. Seraut wajah khas orang Sumatera menyembul dari balik jendela kendaraan yang tidak tertutup rapat.
"Hendak pergi kemana Mak Cik?" Tanyanya sopan.
"Mike hendak ke Kampung Tua di Nongsa" (Mike = Saya)
"Ayo lekas naiklah. Mumpung kita searah. Bentar lagi petang, tak bakal ada kendaraan yang akan menuju kesana"
"Berapa biaya perorangnya?"
"Mending di carter sajalah Makcik biar kita tak berputar-putar. Lokasi yang Makcik tuju ini sangatlah jauh, berada di ujung Pulau. Lagi pula kasihan kali budak ini kutengok, wajahnya sudah tampak seperti orang semaput!" (Budak = Anak)
Dengan mata sayu membayangkan rasa mual yang akan kembali kurasakan, aku menatap wajah ibu. Memohon dalam hati agar beliau meng-iyakan kata supir tersebut.
Sekilas ibu melihat ke arahku. Ia terdiam beberapa saat. Sampai bibirnya yang merah mengucapkan sepatah kata "Baiklah" katanya cepat.
Setelah proses tawar menawar yang alot akhirnya terjadi juga kesepakatan harga. Supir itu segera turun dari kendaraannya dan memasukkan barang bawaan kami ke bagasi. Aku dan ibu segera masuk ke dalam mobil. Aroma rokok dan bau apek menyeruak ke dalam hidung, membuatku kembali menahan nafas, perutku bergejolak.
Dengan wajah seperti kekurangan darah, aku segera membuka jendela lebar-lebar, menghirup udara laut sebanyak-banyaknya. Setelah dirasa tidak ada barang yang ketinggalan, mobil segera melaju cepat menembus jalanan yang bergelombang.
Di sepanjang perjalanan mataku disuguhkan pemandangan berupa hutan lebat di sepanjang kanan dan kiri jalan. Beberapa ekor kera tampak bergelantungan kesana kemari berloncatan dari satu dahan menuju dahan lainnya. Suara yang mereka lontarkan terdengar lucu. Bibirku menyunggingkan senyuman.
"Bu lihat tuh ada anak monyet dan ibunya di atas pohon. Lucu sekali ya mereka?" Tunjukku ke arah hutan.
Ibu segera menepis tanganku, menurunkannya perlahan. Ia berbisik pelan "Ima masih ingatkan sama pesan ibu untuk selalu menjaga ucapan?"
"Ingat bu. Tapi Ima kan tidak melakukan kesalahan apapun?" Aku mencoba beradu argumen.
"Ma selama kita di Batam akan ada banyak hal mistis yang akan kamu temui. Ibu harap Ima jangan pernah menunjuk ke arah hutan. Karena kita tidak akan pernah tahu, kera yang barusan Ima lihat itu merupakan monyet asli atau mahluk jadi-jadian!" Desisnya lirih.
Aku termenung.
"Apa itu mistis? Apa itu monyet jadi-jadian? Pikirku yang masih berusia lima tahun.
Aku memalingkan wajah, menatap lurus ke luar jalanan yang sangat sepi. Tak ku lihat satupun kendaraan yang melintas. Dulu, Batam merupakan Pulau yang sangat indah namun masih sangat jarang penduduknya. Tidak hanya itu, jika dilihat dari letak geografis, Pulau Batam merupakan sebuah kepulauan yang dikelilingi oleh lautan luas.
Matahari mulai tergelincir dari singgasananya, tergantikan oleh senja yang mulai menyapa.
"Sebentar lagi kita akan sampai" desis ibu di telingaku.
Aku berteriak kegirangan dalam hati. Akhirnya aku akan segera bertemu dengan Atok (ibu dari pihak ayah).
Kendaraan menuruni bukit terjal, jalanan yang terbuat dari tanah merah. Supir tampak begitu berhati-hati mengemudikan mobilnya, mungkin ia takut jika kendaraan beroda empat ini tergelincir dan masuk ke jurang yang dalam. Mataku tetap fokus menatap ke depan. Dari kejauhan kulihat air laut tampak berkilauan terkena terpaan cahaya mentari senja. Sinarnya memantulkan warna warni yang sangat indah bak berlian yang berhamburan di atas permukaannya. Sehingga membuat mataku sedikit silau.
Semburat sinar matahari merah bulat tampak tenggelam di perairan. Sisa-sisa sinar merahnya menerpa kapal nelayan yang bersandar di pesisir pantai. Menambah asri pemandangan.
"Indahnya...!" Batinku kagum. Rasanya aku tidak sabar ingin segera berlari dan berenang di pantai berpasir putih. Pantai yang jauh dari hiruk pikuk keramaian manusia. Sepertinya aku akan betah jika harus menetap disini selamanya.
Mobil mulai memasuki kawasan perkampungan yang sunyi senyap. Hanya terlihat beberapa rumah panggung yang tebuat dari kayu dan letaknya saling berjauhan satu sama lainnya. Aku merasakan beberapa pasang mata tampak mengintai dari bilik kayu ketika kendaraan beroda empat yang ku tumpangi melintas di halaman rumah mereka. Mungkin mereka merasa heran, siapa yang telah datang memasuki wilayah mereka.
"Eh mati lah aku! Macam mana pulak ini kampung, sepi sangat macam tengah berada di kuburan! Makcik, kau tidak salah tempatkah?" Tanya supir memecah keheningan.
"Benar bang ini kampung suamiku. Tinggal ikuti saja jalanan ini nanti kalau ketemu parit yang tidak terlalu besar tolong berhenti disitu"
Dari spion kulihat kepala berambut keriting itu menggangguk-angguk pelan. Jemarinya mengetuk-ngetuk setir kendaraan. Entah ia sedang mengusir rasa suntuk atau takut.
"Stop bang! Sudah berhenti disini saja!" Teriak ibu sambil melongok ke luar jendela.
"Makcik yakin mau berhenti disini?" Wajah supir tampak kebingungan. Kepalanya tampak celingukan kesana kemari.
"Iya bang! Itu di depan sudah terlihat parit yang kumaksud. Mobil tidak bisa melewatinya. Aku dan putriku harus berjalan kaki melewati jembatan kecil itu. Rumah orangtua suamiku letaknya sudah tidak terlalu jauh dari sini!"
"Hebat kali lah kau Makcik berani datang kesini cuma dengan anak kecil. Aku saja tak seronok jika disuruh menetap di tempat ini!!" (Seronok = Sudi)
Ibuku tersenyum tipis mendengar ucapan supir yang logatnya terdengar keras dan kasar.
Tanpa meladeni celotehnya, kami segera turun dari kendaraan. Supir segera mengeluarkan barang bawaan dari bagasi dan menyerahkannya ke ibu. Sebagai gantinya jarinya yang lentik menyerahkan sejumlah uang ke tangan pria bertubuh kekar yang berdiri di hadapanku.
"Hati-hatilah Makcik. Seram kali tempat ini ku tengok! Lihat ini bulu tanganku sampai merinding hebat!" Serunya sambil melangkah kembali ke dalam kendaraan dan mulai menjalankan mobil menjauh dari tempatku berdiri.
"Ayo Ima, rumah Atok sudah tak jauh lagi"
Kaki kecilku melangkah cepat mengikuti ritme langkahnya yang tampak tergesa-gesa. Entah mengapa raut wajahnya tersirat ketakutan. Ketika hampir sampai di jembatan kayu yang lebarnya hanya cukup dilewati oleh kendaraan beroda dua, terdengar desis perlahan dari bibirnya "Numpang-numpang Datuk. Aku dan anakku mau lewat"
Angin semilir mendayu menerpa wajahku. Terlihat riakan kecil di parit yang airnya tampak jernih dan mengalir tenang. Poniku berkibar tak karuan. Ibu menarik lenganku kencang, ia semakin mempercepat langkah kakinya menuju jalan setapak yang terbuat dari hamparan pasir putih. Sejauh mata memandang yang kulihat hanyalah deretan pohon kelapa yang berdiri dengan kokohnya walau terkena tiupan angin yang berhembus kencang.
"Ma lihat itu rumah Atok!" Seru ibu sambil menunjuk ke rumah panggung yang sangat besar. Di sebelahnya terdapat sebuah rumah panggung yang agak kecil. Rumah yang terlihat kelam! Memancarkan aura mistis yang begitu menyeramkan!
"Bu kenapa disini hanya terdapat dua rumah? Mana tetangga yang lain?" Tanyaku keheranan.
"Ini semua tanah Atok engkau! Ia tak mengijinkan jika ada orang lain menumpang dan membangun rumah di atas tanahnya!"
"Terus yang di sebelah rumah Atok itu rumah siapa bu?"
"Ooh.. itu rumah adik tirinya Atok. Ayo Ima lekas kita menuju ke pintu samping"
Kami berjalan memutar dan berdiri tepat di depan tangga kayu yang tampak lapuk dimakan usia. Sebuah pintu terbuat dari kayu tampak tertutup rapat.
"Assalamu'alaikum ! Atok ini Iin datang!' Teriak Ibuku lantang.
Semenit, dua menit tak ada tanda-tanda kehidupan dari dalam rumah panggung khas Melayu.
Sunyi, senyap.
"Bu sepertinya di dalam rumah tidak ada orang" rengekku yang sudah tidak sabar ingin segera beristirahat.
Namun ibuku tidak pantang menyerah. Berulang kali ia berteriak mengucapkan salam. Kini terdengar derit langkah kaki berjalan di antara lembar-lembar papan kayu. Lalu, terdengar pintu berkarat terbuka dan muncullah seraut wajah wanita tua berparas timur tengah. Ia tampak terkelu berdiri di ambang pintu.
Bersambung
Diubah oleh makgendhis 07-07-2022 00:19
sampeuk dan 74 lainnya memberi reputasi
75
Kutip
Balas
Tutup