Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

mahadev4Avatar border
TS
mahadev4
Cincin Putih (Ketika Cinta Tak Mesti Memiliki)


Daftar Isi

Chapter 01

Chapter 02

Chapter 03

Chapter 04

Chapter 05

Chapter 06

Chapter 07

Chapter 08

Chapter 09

Chapter 10

Chapter 11

Chapter 12

Chapter 13

Chapter 14 End
Diubah oleh mahadev4 04-05-2023 09:08
bukhorigan
indrag057
bachtiar.78
bachtiar.78 dan 2 lainnya memberi reputasi
3
1.1K
13
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
mahadev4Avatar border
TS
mahadev4
#6
Chapter 3
"Cintya! Cintyaa!! dengarkan dulu penjelasanku." Pria dengan setelan jas rapi itu berusaha mengejar gadis muda yang di panggilnya dengan Cintya. ia berusaha meraih tangan Cintya, tetapi Cintya menepisnya, berbalik dan menatap tajam sosok gagah berjas itu.

"Dengar ya, Mas! aku memang tidak melihat sendiri dengan mata dan kepalaku, tetapi apa semua foto-foto itu belum cukup bagimu sebagai bukti kalau di belakangku selama ini kamu sudah bermain api dengan sekretaris jalangmu itu? Mulai sekarang aku nggak mau lagi lihat wajah Kamu. Menjijikkan!"

"Plaaak!" satu tamparan keras mendarat di pipi Cintya.

"Brengsek! Sekarang kamu malah berani menamparku. Pergi kamu dari kehidupanku!!" pipi Cintya nampak memerah bekas tamparan, sementara airmatanya sudah tak bisa di bendung lagi. Ia bergegas masuk ke mobilnya dan segera di pacunya dengan kecepatan tinggi meninggalkan pria berjas tadi yang masih terbengong tak percaya.

"Bedebah. Awas kamu Cintya," gumam lelaki itu.

===

"Kurang ajar. Papa benar-benar tidak menyangka kalau Firman berani mempermainkan putri Papa. Jadi selama ini dia telah begitu rapi menyembunyikan niat busuknya? Papa tidak bisa menerima ini, Cintya. Dia akan Papa kasih pelajaran," lelaki setengah baya itu tampak begitu marah demi mendengar cerita yang telah di tuturkan Cintya, apalagi warna merah di pipi bekas tamparan Firman siang tadi semakin membarakan kemurkaannya.

Lelaki setengah baya itu bernama Pak Brata, Direktur Eksekutif dari perusahaannya sendiri yang bergerak di bidang tekstil, ia adalah ayah dari Cintya, Cintya sendiri saat itu masih pelajar SMA tetapi turut aktif di perusahaan ayahnya, sebagai pembelajaran penting karena mau tidak mau dialah yang nantinya akan menjadi pewaris tunggal dari perusahaan Pak Brata, karena Cintya adalah anak satu-satunya.

Firman adalah anak dari rekan bisnis pak Brata yang rencananya kelak akan di di nikahkan dengan putrinya. Firman sendiri usianya 5 tahun lebih tua daripada Cintya, ia bergelar M.B.A. lulusan Amerika Serikat. Perjodohan itu di mulai saat pak Brata menanamkan sahamnya di perusahaan rekannya itu, tetapi tentunya dengan kejadian tersebut membuat pak Brata selain berkeinginan membatalkan pertunangan mereka, ia pun berniat mencabut semua sahamnya dari perusahaan rekannya.

===
Suasana Lorong King siang itu lebih ramai, maklumlah, di mana setiap hari minggu seperti ini akan lebih banyak orang di banding biasanya, mulai dari keluarga yang berniat makan di luar, berbelanja, atau sekedar mengajak putra-putrinya berjalan-jalan di hari liburan, sampai para muda-mudi yang berpasangan maupun yang jomblo. Ada yang memang berniat belanja, ada juga yang lewat sekedar cuci mata.

Di antara para pedagang yang ada di situ, banyak juga seniman dengan aneka jenis seni yang mereka tawarkan, berjajar di sepanjang jalan bekas Supermarket King. Satu di antaranya seorang pemuda berkaca mata yang tampak tengah melukis wajah seorang wanita. Lukisan dengan bahan dasar konte itu merupakan lukisan portrait yang cukup banyak peminatnya, walau hanya tampak hitam putih namun kesan klasik yang di timbulkannya memiliki nilai seni tersendiri, harganya pun relatif bervariasi, tergantung ukuran pesanan lukisan atau jumlah wajah dalam lukisan yang akan di lukis.

Pemuda berkacamata itu begitu menikmati menggoreskan kuas kayu, hingga ia tak menyadari ada dua orang wanita di dekatnya yang sejak tadi memperhatikan dia melukis, sorot mata mereka memancarkan kekaguman melihat hasil lukisan yang benar-benar mirip dengan aslinya.

"Din, mau di lukis, gak?" tanya seorang gadis kepada temannya.

"Gak ah. Mahal kayaknya, lagi pula buat apa?" jawab gadis yang di tanya itu, tetapi matanya tetap tertuju pada lukisan yang hampir selesai di lukis pemuda berkacamata.

"Aku mau pesan ah. Permisi, mau pesan lukisan nih."

"Oh boleh," lelaki itu menoleh.

"Kenalkan, nama saya Cintya. Ini sahabat saya namanya Nandini," gadis itu memperkenalkan dirinya dan sahabatnya.

"Nama saya Reinaldy. panggil saja Rei."

"Panggil Mas apa Kakak nih enaknya?"

"Apa aja terserah deh, mana aja yang buat Kamu ngerasa nyaman," jawab Reinaldy.

"Ehem .. eheem ... ." Nandini pura-pura berdehem.

"Ich ... apaan sih kamu, Din. Ya udah panggil Kakak aja ya."

"Itu juga gak apa-apa. Btw siapa yang mau di lukis nih?"

Cintya mengeluarkan dompetnya dan mengeluarkan selembar foto, seorang lelaki yang tampak berwibawa tengah menggendong seorang anak balita cantik dan lucu.

"Ini, Kak, foto saya dan papa, ini foto kenangan yang sangat berarti buat saya."

Reinaldy menerima foto itu.

Tiba-tiba seorang lelaki bertubuh tinggi besar menarik lengan Cintya, Cintya menjerit, tetapi lelaki itu begitu kuat mencengkeram tangannya, walau meronta ia tak bisa melepaskan tangannya.

Cintya di tarik keras dan di paksa masuk kedalam sebuah jeep berwarna hitam. Jeep itu lalu melaju meninggalkan Reinaldy sang pelukis dan sahabat Cintya, Nandini yang masih tampak tertegun, kejadiannya begitu cepat sampai orang-orang ramai yang ada di situ pun tak sempat menolong Cintya.

"Kak Rei, tolongin sahabatku, Kak!", Nandini berteriak histeris.

Reinaldy sendiri bertindak cepat. Untunglah motornya di parkir tak jauh dari tempatnya melukis.

"Kamu tunggu di sini, Din. Saya akan mengejar para penculik itu."

Reinaldy segera tancap gas, motornya ngebut mengejar jeep yang telah jauh.

===

Bersambung
bachtiar.78
bachtiar.78 memberi reputasi
1