exolurisAvatar border
TS
exoluris
Space Between Us (yang tak tersampaikan) [True Story]



Yukk puter musiknya dulu sebelum lanjut makin kebawah
Sekedar info, soundtracknya gw buat sendiri tanpa ada keterlibatan pihak profesional, aransemen gw buat sendiri, isi vokal sendiri, mixing ala-ala sendirian juga



Suatu tempat di pulau terbesar di Indonesia, sekitar tahun 2003.

Gw lupa entah kapan tepatnya semua ini bermula, yg gw ingat cuman kedatangan tetangga baru pindahan dari Sumatera membawakan beberapa oleh-oleh khas dari sana. Bahkan, makanan yg dibawain lumayan enak-enak dan habis di hari yg sama.

Sebelumnya, kehidupan berjalan seperti seharusnya, gw menjalani hari sebagai seorang anak tunggal dari pasangan orang tua biasa dimana Bapak gw seorang pegawai BUMN, dan Ibu gw selalu ada dirumah 1/24 jam alias Ibu rumah tangga. Sejak kedatangan tetangga yg rumahnya disebelah kiri rumah gw itu, kehidupan sebagai anak tunggal berakhir sudah. Doi, anak tomboy yg kedua orang tua nya sama-sama bekerja sering banget dititipin dirumah gw dan seolah-olah jadi adek gw, menjelma jadi bayangan yg ngikutin kemanapun gw pergi, apapun yg gw lakuin.

Diawal cerita ini dimulai, gw happy aja ngejalanin nya, gak ada keluhan apapun karena memang selama ini gw ngerasa kesepian juga harus main sendirian dirumah, mau main bareng temen sebaya pun jarak yg harus gw tempuh buat ngumpul gak deket. Jadilah, tetangga pindahan ini temen satu-satunya yg gampang didatengin dan selalu tersedia kapanpun.

"Leo... Kamu kalo udah gede mau jadi apa sih?" Tanya nya ke gw, hari ini kita santai dirumah gw kayak biasanya cuman bedanya sekarang lagi banyak banget sisa kue tart, malem tadi perayaan ulang tahun dia soalnya.

"Enggak tau, mungkin jadi astronot"

"Ihh jangan dong," keluhnya, di tariknya rambut gw.

"Loh kenapa? Enak tau bisa ke bulan"

"Aku sendirian lagi dong kalo kamu pergi ke bulan?"

"Emang sampai gede temen lu gw doang?" Gw cubit pipinya, pernyataan gak masuk akal dari dia bikin gw agak gedeg.

"Kalo lu mau jadi apa?" Timpal gw coba membalikkan pertanyaan.

"Mmmm... A... Aku..."

"Aku mau jadi ..."

"Apa? Lama banget jawab gitu doang"

Seandainya emang kamu pergi kebulan, Leo. Pasti bakal menyisakan jarak yang jauh antara kita. Hal yang paling aku gak suka adalah saat ada jarak memisahkan. Apa yang bisa aku lakuin waktu kamu jauh dari aku? Mungkin aku gak tau, besok-besok Ayahku bakal dipindah kemana lagi. Tapi yang aku tau cuma satu hal, gak mungkin aku bisa temuin sosok seperti yang aku kenal disini sekarang.

Kalo nanti udah gede, aku mau jadi apa? Entahlah, aku pun masih bingung dengan yang namanya cita-cita. Yang aku mau cuma jadi orang baik-baik, jadi apa yang selama ini diharapkan Ibu dan Ayah aku.

"Al..."

"Aleyaaa...." Suara Ibu memanggil dari pintu depan rumah Leo.

"Yaa bu..."

"Yuukk pulang sayang," seru Ibu memanggilku, berakhir sudah hari ini seiring dengan datangnya Ibu.

"Aku pulang dulu ya"

"Eh yg tadi belum dijawab!" Leo kesel, ngelempar bantal kecil yang tadinya terbaring diatas sofa ruang tengah rumahnya.

"Hahaha... Ntar lah, aku belum punya jawaban nya"

Gimana ya? Kalo semua itu bener-bener kejadian? Leo berangkat ke bulan ninggalin aku dan keluarganya disini. Yah... Kok aku kepikiran itu lagi sih.

Space Between Us


Quote:


Quote:


Dah ahh lah... Lanjut...
Diubah oleh exoluris 01-03-2022 01:09
olasaja
fenrirlens
regmekujo
regmekujo dan 26 lainnya memberi reputasi
27
11.5K
277
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
alealeyaAvatar border
alealeya
#43
Chapter 10
Waiting


Kurang sepuluh menit dari setengah delapan malam, aku duduk di teras depan rumah, diatas sebuah kursi besi beraksen warna hitam. Entah apa yang aku pikirkan, kok malah duduk sendirian disini dengan pakaian rapi dan ransel yang udah terisi buku buat bimbel. Kayanya aku kemakan omongan Rian deh, mana sih? Katanya ada yang bakal jemput aku buat pergi bimbel? Apa berangkat sendiri aja ya? Kalo jalan kaki bakal makan waktu lebih dari 25 menitan nih dan pastinya aku bakalan telat masuk kelas.


"Bruuummmm…." Sebuah motor bebek berhenti tepat didepan rumahku, "klekkk…" Standar motornya diturunkan, seorang yang mengendarai bebek itu turun dan jalan kearahku, makin dekat, dia senyum.


"Hei Al… Yuk gw anterin," ucapnya sambil terus menyunggingkan senyuman, kali ini diiringi dengan lambaian tangan.


"Ri… Rian…." Aku sedikit terbata.


"Iya? Yuk buruan Ley, ntar lu telat"


"Hehehe… Yuk… Yukkk… Bu! Aku berangkat," teriakku mengabari Ibu.


Sayup ku dengar Ibu menjawab dari dalam rumah, segera berjalan agak cepet menuju motor yang parkir disamping pohon jambu biji depan halaman rumahku, pinggir jalan lebih tepatnya.


Sepanjang perjalanan aku masih kebingungan, kok bisa dia beneran dateng buat nganterin aku bimbel? Padahal jarak dari rumah ku dan rumahnya lumayan jauh lho, dan juga ini bukan jalan searah buat dia pulang, entahlah aku gak ngerti lagi, apa mungkin Leo yang nugasin dia buat antar jemput aku sementara Leo nya cedera dan gak sanggup buat ngendarain motor.


Rian mulai tanya jawab tentang hal pribadi, nanya soal aku anak keberapa dari berapa bersaudara, terus nanya Ibu ku kerja dimana, dan awal kenalan sama Leo gimana. Aku jelaskan dengan sabar satu persatu sambil cerita tentang pertemuan pertama dengan Leo yang akhirnya jadi tetangga sekaligus ojek kemanapun aku mau pergi. Gak sampai 10 menit, motor bebek yang berjalan pelan membawa aku dan Rian sampai kesebuah tempat bimbel ternama, aku segera turun setelah Rian menghentikan motornya.


"Gak usah dijemput ntar yaa…"


"Loh kenapa? Ntar lu pulang gimana?" Tanya Rian sedikit kebingungan.


"Hehe… Gampang lah, paling ntar minta jemput sama Ayah deh"


"Ohh yaudah kalo gitu, thanks ya Ley…" Ucapnya, loh, bukannya harusnya aku yang ngucapin itu?.


"Hmmm… Yaa sa… Sama-sama…" Natap heran kearah Rian, dia mulai nyalain lagi mesin motornya kemudian berlalu dari hadapanku. Aneh ni orang ah.


Aku melangkah masuk kedalam tempat bimbel, menyusuri lorong menuju kelas biasanya yang jadi wadah buat aku menambah ilmu tentang pelajaran dan cara penyelesaian soal yang gak pernah diajarkan disekolahan. Teman satu kelas agak mandang aneh karena aku dateng sendiri, biasanya sama si resek kan.


"Al… Tumben sendiri, mana kakak lo?" Tanya seorang cewe, cewe yang ditaksir Leo semenjak awal ketemu disini.


"Lagi sakit dia"


"Sakit? Bisa sakit juga tuh orang? Oh ya… Sakit apa?" Tanya Tiwi lagi.


"Hmmm… Gimana yaa aku jelasin nya, ceritanya agak panjang sih"


"Brukk…" Dia duduk dimeja sebelahku, tempat biasa Leo duduk.


"Ceritalah, gw kan temen lo juga, lagian waktu gw agak panjang soalnya guru yang ngajar kita juga masih belum dateng kok," tuturnya sambil mandang kearahku, friendly banget tatapan matanya. Gak biasanya nih.


Aku mulai ceritakan semua kejadian dari pagi sampai sore di sekolahan, dari Miza bikin gara-gara, sampai akhirnya Leo harus ngelarin gara-gara yang dibuatnya, jadi pahlawan sampai jadi korban. Tiwi ngangguk-ngangguk dengerin tiap kata dariku seakan betah dengan ocehan dari mulutku ini, dia daritadi gak pindah posisi duduk bahkan sampai akhirnya guru pengajar datang, saat  belajar pun dia tetap di sebelahku.


Jam pelajaran hari ini disudahkan setelah waktu menunjukkan pukul 09.00, aku masukkan buku dan barang bawaan lainnya kedalam tas, gendong dengan satu tali disandang di bahu kemudian berdiri.


"Al, rumah Leo dimana sih?"


"Deket sama aku kok Wi…. Deket banget malahan"


"Ohhh, deket? Banget?"


"Iya, sebelahan rumah kita, kenapa?"


"Mmmhh… Gw mau jenguk deh," ucapnya seketika temen satu geng Tiwi mandang agak aneh kearahku, lalu mengalihkan pandangannya ke Tiwi.


"Heh? Kapan?" Aku pun ikut bengong, heran aja sama apa yang barusan aku denger. Kayaknya, gayung bersambut nih, perasaan yang dirasakan Leo gak bertepuk sebelah tangan.


Jalan menuju luar ruangan, kurogoh HP dari saku kanan celana jeans panjang yang ku pakai, buka kunci layar dengan kombinasi tombol kiri atas dan bintang.


"Heii!!! Sini!" Teriak sebuah suara dari kegelapan. Dibawah pohon, Seseorang yang mukanya gak jelas terlihat karena gelapnya bayang-bayang pohon sedang menaiki sepeda motor bebeknya.


"Ciyee ada yang jemput ya…" Ledek Tiwi dan temen satu geng nya ngikutin aku jalan.


"Ahh… Temen aku sekelas itu, temen Leo juga"


"Oh ya, kamu kapan emang mau kerumah Leo nya?" Sambungku.


"Besok deh yaa, oh ya gw minta nomer HP lo ya Al, jadi ntar kita bisa kabar-kabaran kalo gw mau kerumah dia"


Dengan mudahnya aku ejakan nomer HP ke Tiwi, disimpannya nomerku, aku langsung pamit dari hadapan mereka menuju seseorang yang udah menungguku daritadi.


"Dah lama?" Tanya ku.


"Belum lama kok, baru juga hmm…." Ditengoknya HP yang daritadi gak lepas dari genggaman tangan kanannya.


"1 jam 45 menit," ucapnya datar.


"Hah? Jadi daritadi…?"


"Emang gw se tega itu ninggalin lu sendiri disini? Dah ah naik, tar kemaleman lu pulangnya takut gw kena omelin Ayah lo," potong Rian.


Agak kagok sama apa yang barusan ku dengar, sedikit bengong aku naik ke jok belakang motor bebek Rian. 10 menit kemudian, motor yang aku dan Rian tumpangi memasuki komplek perumahan dinas, dari kejauhan aku udah bisa lihat rumahku dan rumah Leo disebelahnya, sorry sorry mataku gak burem kayak Leo. Makin dekat dengan rumah, nampak jelas kalo diteras depan ada dua orang yang sedang duduk ngobrol, kayanya sih asik banget.


"Brrrmmmm…." Motor bebek Rian berhenti tepat didepan rumahku. Kedua sosok yang sedang asyik ngobrol, becanda, ketawa-ketawa menghentikan sejenak obrolannya, menatap kearah kami yang baru sampai.


"Assalamualaikum," seru ku seraya turun dari motor.


"Wa'alaikumsalam, gimana bimbel nya?" Tanya Ayah.


"Seru Yah, hehe tapi ada tugas nih besok mau di kumpulin nanti bantu yaa…"


"Iyaa… Ehh… Sini dulu dong, kok malu-malu," seru Ayah melambaikan tangan kearah Rian yang gak sadar kutinggalin gitu aja, belum juga bilang makasih.


"Hehe… Iya om," dia salting sendiri, jalan menghampiri aku, Ayah dan sesosok makhluk hidup yang daritadi keliatan gatel banget mau nimbrung obrolan cuman belum nemu celahnya.


"Sini lu! Ngapain dibawah pohon? Mau jadi penunggu?" Ucapnya akhirnya nimbrung juga.


"Hehehe… Iyaa iyaa… Asalamualaikum," dia sodorkan tangan ke ayah, sungkem dan senyum cengengesan gak jelas setelah salaman cium tangan Ayah. Fist Bump ke Leo.


"Aduh!"


"Eh… Hehe lupa gw, sorry Yo"


"Brengs!…. Hehe… Gak papa Yan, gw kan kuat," Leo nyengir tapi matanya melotot ke arah Rian. Mau ngomong kasar tapi gak jadi gara-gara ada Ayah disebelahnya. Se takut itu dia sama Ayahku.


"Jadi gini Yah… Hehe… Ini pengganti aku selama aku gak bisa nganterin Aleya kemana-mana sampe nanti aku udah sembuh dan sanggup bawa motor lagi," celetuk Leo menepuk-nepuk bahu Rian.


"Ooohh… Ini yang kamu ceritain tadi? Yaa gak papa sih, mau Leo atau siapapun yang antar jemput Aleya, asal…"


"Asal?" Aku heran, melongo.


"Yaa asal jam 10 udah balik, dan jagain bener-bener Aleya nya, ini kan anak kesayangan Ayah satu-satunya," Ayah meluk aku erat. Duh malu deh rasanya dipeluk Ayah dihadapan dua cowo ini.


"Hehehe… Beres om, aman kalo sama aku pasti ku jagain, emang Leo… Jaga diri sendiri aja gak bener," sahut Rian meledek.


"Eh sembarangan! Gw jadi gini gara-gara siapa!? Elu kan yang tumbang duluan sampe harus …."


"Huss… Kan Ayah udah bilang, berantem itu gak baik, pokoknya Ayah gak mau denger kalian berantem-berantem lagi! Inget itu ya!" Potong Ayah mencela obrolan saling ledek antara Leo dan Rian. Mereka langsung tertunduk, takluk dihadapan macan. Rian yang baru kenal Ayah pun langsung terdiam sejenak lalu cengengesan.


Malam makin larut, aku masuk lebih dulu meninggalkan cowo-cowo yang kelihatannya masih pada betah ngobrol bareng Ayah. Tumben banget si Leo mau ngobrol bareng Ayah dan kayaknya udah lumayan lama duduk bareng disitu kalo diliat dari minuman yang disuguhkan tinggal setengah. Aku yakin, minuman itu tadinya panas dan bukan main-main teh bikinan Bibi, pasti mendidih.


"Eh neng, siapa tuh cowo yang ngobrol sama Mas Leo sama Ayah?" Tanya Bibi mendekati aku setelah nganterin minuman buat Rian.


"Oohh itu Rian Bi, temen kami sekelas," jawabku.


"Manis juga anaknya, santun lagi…" Celetuk Bibi. Yah Bibi, belum kenal asli nya aja. Sebenernya mulutnya juga gak kalah toxic sama Leo, bedanya Rian lebih bisa ngontrol ucapan kasarnya ketimbang Leo yang selalu ceplas-ceplos kalo ngomong.


Aku masuk ke kamar, meletakkan tas di atas meja belajar, ganti baju, cuci muka dan sikat gigi, siap buat tidur. Ku rebahkan badan diatas kasur sambil ngutak-atik HP. Mutar lagu agak pelan dengan mengandalkan speaker bawaan HP, ahh nikmatnya hidup kalo udah rebahan gini.


Suara gelak tawa beberapa kali ku dengar sayup. Ya ampun, masih belum pada bubar aja mereka udah hampir jam 11 malam gini. Apa ku bubarin aja kali ya? Agak keganggu soalnya sama suara tawa mereka yang mendadak pecah sendirinya.
saannf12
saannf12 memberi reputasi
2
Tutup