- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
Simulasi Depresi (pengalaman pribadi)
TS
dulKhab
Simulasi Depresi (pengalaman pribadi)
Sungguh aku tidak tahu apa ini akan membantu jika kalian tahu. Hilih, paling tidak aku harap kalian bisa terhibur. Syukur kalau bisa berfaedah bagi kalian yang sedang merasa hampa.
Quote:
Peristiwa itu terjadi sembilan bulan yang lalu. Kamis, 7 Oktober 2021.
Di siang hari itu aku akan pergi ke salah satu rumah makan untuk melakukan wawancara kerja ke dua setelah seminggu walk interview di tempat itu. Aku sempat beranggapan jika ada tahapan semacam ini pasti tempat makan itu berkelas dan memiliki karyawan hebat. Ada sedikit cemas juga takut tidak diterima menjadi salah satu bagian dari mereka.
Setiap kali aku hendak keluar rumah selalu ada petugas keamanan, alias orang rumah yang akan melontarkan pertanyaan 5W+1H. Saat itu ibuku yang melihatku mengeluarkan sepeda.
"Mau kemana?"
"Tamandayu."
"Mau ngapain?"
"Engga lama kok, bu."
"Hati-hati pokoknya, nak."
Dengan sengaja aku tidak memberikan alasan yang jelas untuk apa keluar. Sebab kalau aku bilang alasannya mau interview kerja, aku masih belum bisa memastikan diterima atau tidaknya. Aku paling risih dengan harapan tidak pasti.
Perjalan dari rumahku ke rumah makan itu cukup dekat karena berkendara sepeda motor. Lima belas menit sudah sampai tujuan. Setelah memarkirkan sepeda, aku memasuki rumah makan itu. Aku menghampiri booth yang bertuliskan 'cashier' dan menyapa wanita yang berada di situ.
"Mbak, saya dapat panggilan interview ke dua dan diminta untuk menemui ibu Angel."
"Ditunggu saja mas, di sebelah itu."
Dia menunjuk meja kursi yang berada di belakang booth itu. Itu masih bagian meja kursi pengunjung, tapi karena masih jam siang pengujung tidak terlalu ramai. Ada dua set meja kursi di situ dan tidak ada orang sama sekali.
Batinku, "lah masa iya cuman aku, gak ada pesaing lagi nih."
Sesuai arahan mbak kasir yang sepertinya lebih muda dariku, aku duduk di posisi kursi yang dimaksud. Tidak lama kemudian datang seorang pria yang bertanya persis sepertiku tadi ke kasir itu. Dia menghampiriku dan duduk di seberang kursi yang aku duduki.
"Mau interview ke dua juga, mas?"
"Iya"
Suasana saat itu panas dingin, sembari memegang ponsel aku berulang kali keluar masuk situs web sosmed, homescreen, ke situs web sosmed lagi. Kemudian mengamati keadaan sekitar, pria paruh baya yang sedang memperbaiki lampu, pelayan pria yang mengantar makanan ke meja pelanggan, percakapan pelayan wanita di booth kasir yang sepertinya salah satu dari mereka adalah karyawan baru.
"Aku saat masih awal-awal juga gitu. Semangat yo!" Seru salah wanita dari booth kasir itu yang terdengar samar-samar.
Ada juga yang cukup menarik perhatianku, gerombolan ibu-ibu berseragam yang sepertinya hendak membuat konten video di area sekitar yang memiliki anak tangga. Mereka cukup membuat ramai suasana. Aku kembali mencoba mencairkan suasana dan menyapa pria di seberangku.
"Kapan interview pertamanya mas?
"Satu minggu lalu, hari Senin."
"Saya juga, tapi hari Selasa nya."
Rasanya sangat lama waktu saat itu sampai satu jam berlalu, menunggu seperti itu sangat mendebarkan. Saat itu aku benar-benar berharap supaya diterima di manapun posisnya.
Tidak lama mbak kasir yang tadi menghampiri dan memberi arahan.
"Mas yang datang terlebih dahulu bisa menemui ibu angel di belakang."
Pria diseberang melihatku dengan tajam, yang mengisyaratkan supaya aku duluan. Jika dilihat dari urutan kedatangan memang aku yang duluan datang.
"Saya dulu ya, mas."
"Iya. Silahkan!"
Aku mulai bangkit dari kursi yang kian terasa hangat karena aku duduki sejam yang lalu. Berjalan ke belakang, aku menaiki anak tangga dan melihat di sisi kanan ada booth lagi. Bedanya di booth itu berjejer segala jenis sachet minuman dan gelas-gelas. Lengkap seorang pria di dalamnya sedang meracik minuman.
Aku berjalan ke belakang lagi dan melihat seorang wanita berambut pirang, memakai masker duduk tepat di membelakangi booth itu di depannya tersedia satu buah kursi kosong.
"Mas yang mau interview? Sebelah sini mas!" Sapa wanita itu.
Tanpa berpikir panjang aku duduk di kursi kosong yang menghadap ke wanita itu, ibu Angel.
"Ini mas dul benar?"
"Iya, benar."
Masih aku ingat wanita itu yang mewawancarai aku di walk interview seminggu yang lalu. Sebenarnya dengan tampilan sekilas dari wanita itu sedikit mengganggu pikiranku. Berambut pirang menandakan bahwa bekerja di sini bisa bebas bergaya. Namun, bagiku mewarnai rambut adalah hal yang terkesan nakal.
"Baik mas, ini tahap wawancara ke dua. Saya akan menjelaskan tentang sistem kerja di sini."
Ibu Angel mulai menjelaskan mengenai jam kerja, yang dimulai dari jam sepuluh pagi hingga sepuluh malam dengan jam istirahat satu jam yang ditentukan sesuai situasi kondisi.
Bagian pekerjaan yang diberikan kepadaku sebagai helper adalah membantu proses penyajian makanan di dapur. Sementara upah akan diberikan setiap satu bulan sejumlah satu juta dua ratus. Selama dua Minggu awal tidak akan ada libur.
"Bagaimana mas, bersedia bekerja di sini?"
"Saya bersedia."
Tidak bisa aku menolak, mengingat sudah lama aku menganggur. Sekitar lebih tiga tahun. Pengalaman kerja terakhirku sebelumnya bulan Februari tahun 2019 di salah satu toko waralaba yang cukup terkenal di Indonesia. Itupun aku keluar sebelum resmi menjadi karyawan di sana. Aku hanya masuk di tahap training selama seminggu.
Belum lagi, di tahun 2020 munculnya pandemi corona yang secara tidak langsung menghambatku untuk menemukan lowongan pekerjaan di media sosial.
Sebenarnya aku pernah juga bekerja di rumah makan sebelumnya di akhir tahun 2018. Itu hanya bertahan dua Minggu. Aku merasa akan sangat sanggup bekerja di sana, tekadku kuat untuk mencobanya.
"Jadi kapan masnya bisa mulai bekerja?"
"Saya siap bekerja secepatnya."
"Oh, kalau begitu bisa mulai kerja hari ini. Mari saya perkenalkan teman di dapur yang lain."
Ibu Angel mengajakku ke dapur yang berada di sebelah booth bartender. Dia memperkenalkan aku dengan seorang wanita.
"Mas dul ini mbak Eli yang akan memberikan penjelasan bagaimana tugas kamu di dapur."
"Baik, bu."
"Saya tinggal dulu.. ell sikat!"
Aku melihat sekeliling dapur itu terbilang luas. Di sebelah pojok kiri ada kran diberi selang mengalirkan air ke tumpukan piring-piring yang kotor. Seorang wanita paruh baya mencuci satu per satu piring itu. Di sebelah pintu masuk ada lemari pendingin berisi sayur mayur. Di sebelahnya ada meja panjang yang disandarkan tembok di atasnya ada beberapa wadah berisi sambal, irisan timun, kol, acar, cabai dan ada satu penanak nasi berukuran cukup besar.
Di depannya ada meja yang lebih luas dimana makanan yang sudah masak ditaruh di meja itu. Di pojok kanan berjejer kompor yang sedang menyala di atasnya ada wajan penggorengan berisi minyak. Seorang pria paruh baya memasukan potongan daging ayam ke dalamnya. Aroma bawang putih begitu menyengat di dapur itu.
"Jadi sebagai pemula kamu bertugas di bagian plating. Saya akan tunjukkan bagaimana contohnya.. bla, bla, bla."
"Iya, mbak."
Ketika itu aku berusaha memperhatikan perkataan mbak Eli itu. Aku berada di sebelahnya dan menghadap meja berbahan metal yang luas. Di situ tempat makanan yang sudah masak diletakkan di piring dan diberikan sentuhan akhir.
Setiap hidangan memiliki penyajian yang berbeda. Cukup banyak menu yang dijual di rumah makan itu, aku sedikit kewalahan mengingat apa saja yang sudah mbak Eli contohkan.
Tidak lama terdengar bunyi tit dari mesin cetak struk yang mengeluarkan kertas. Mbak Eli mengambilnya dan memberikan kertas itu kepadaku, tertulis beberapa nama menu makan beserta total harga di kertas itu.
"Mas ini kalau ada pesanan, sobek kertasnya dan baca sekeras-kerasnya biar mas yang masak itu kedengaran."
"Iya, mbak."
Setelah terlihat senggang tidak ada pesanan masuk, pria paru baya yang tadinya sibuk memasak itu menghampiriku.
"Saya Joe, mas. Sebelumnya sudah diberi tahu sistem kerja sama bu Angel?"
"Sudah, mas. Jam kerjanya mulai dari jam sepuluh pagi sampai sepuluh malam.. bla, bla, bla."
"Sebenarnya kalau di dapur kita harus datang lebih awal sebelum warung buka untuk prepare bahan makanan. Apalagi kalau weekend kita buka lebih awal lagi."
"Oh, iya baik, mas."
"Kalau senggang begini, mas. Cek kelengkapan bahan lalapan. Kalau sudah tinggal sedikit isi lagi."
Sembari mas Joe itu mengajari cara memotong sayur kol. Tidak lama ada suara dari mesin struk itu lagi, aku mengambil struk pesanan lalu membaca dengan suara parau. Setelahnya mas Joe beralih ke tempat penggorengan.
Kemudian datang pria yang menyapaku, "Hei, mas!"
Aku menoleh ke arahnya, "Oh, mas yang itu!" Pria itu sebelumnya aku temui saat walk interview. Jujur saja, aku tidak pandai bergaul dengan begitu membuatku terpacu untuk bersikap lebih ramah. Setelah melihat pria yang menyapaku itu sedikit melegakan pikiranku yang sedang tegang.
"Mas sudah lama masuk di sini?"
"Iya, setelah walk interview besoknya langsung dapat panggilan lagi dan mulai kerja. Sudah satu mingguan."
Seiring berjalannya waktu aku mulai paham apa yang seharusnya aku lakukan, meski masih terlihat kebingungan. Apalagi pria yang termasuk karyawan baru sepertiku itu juga terlihat tidak fokus bekerja, ada kesalahan kecil yang dibuatnya saat mencek pesanan makanan yang hendak dibawa pelayan. Itu membutuhkan ketelitian agar makanan sampai ke nomor meja pelanggan sesuai pesanan.
Aku melihat dari luar jendela dapur langit sudah berubah warna menjadi jingga. Terdengar suara adzan cukup keras karena rumah makan itu letaknya tidak jauh dari masjid.
Tidak ada pesanan, keadaan sedikit longgar untuk pergi sejenak ke tempat penyimpanan barang karyawan yang berada di pojok kiri tepat di sebelah tempat pencucian piring itu. Sebenarnya itu bukan tempat yang bisa dibilang dibuat khusus untuk karyawan karena meski ada rak, di situ dipenuhi nampan dan beberapa jenis barang dapur.
Aku mengambil ponselku melihat jam pukul tujuh belas tiga puluh lalu membuka aplikasi pesan. Aku melihat ada satu pesan dari ponakanku, "Mas kemana saja kok belum pulang?"
Sedari tadi aku ada kepikiran orang rumah karena tadi ijin keluar sebentar. Benar saja ada yang menanyakan kabarku. Saat itu aku merasa sedikit haru membaca pesan itu.
"Dapat kerja di Tamandayu, mungkin pulang jam sepuluh malaman." Balasku.
Di siang hari itu aku akan pergi ke salah satu rumah makan untuk melakukan wawancara kerja ke dua setelah seminggu walk interview di tempat itu. Aku sempat beranggapan jika ada tahapan semacam ini pasti tempat makan itu berkelas dan memiliki karyawan hebat. Ada sedikit cemas juga takut tidak diterima menjadi salah satu bagian dari mereka.
Setiap kali aku hendak keluar rumah selalu ada petugas keamanan, alias orang rumah yang akan melontarkan pertanyaan 5W+1H. Saat itu ibuku yang melihatku mengeluarkan sepeda.
"Mau kemana?"
"Tamandayu."
"Mau ngapain?"
"Engga lama kok, bu."
"Hati-hati pokoknya, nak."
Dengan sengaja aku tidak memberikan alasan yang jelas untuk apa keluar. Sebab kalau aku bilang alasannya mau interview kerja, aku masih belum bisa memastikan diterima atau tidaknya. Aku paling risih dengan harapan tidak pasti.
Perjalan dari rumahku ke rumah makan itu cukup dekat karena berkendara sepeda motor. Lima belas menit sudah sampai tujuan. Setelah memarkirkan sepeda, aku memasuki rumah makan itu. Aku menghampiri booth yang bertuliskan 'cashier' dan menyapa wanita yang berada di situ.
"Mbak, saya dapat panggilan interview ke dua dan diminta untuk menemui ibu Angel."
"Ditunggu saja mas, di sebelah itu."
Dia menunjuk meja kursi yang berada di belakang booth itu. Itu masih bagian meja kursi pengunjung, tapi karena masih jam siang pengujung tidak terlalu ramai. Ada dua set meja kursi di situ dan tidak ada orang sama sekali.
Batinku, "lah masa iya cuman aku, gak ada pesaing lagi nih."
Sesuai arahan mbak kasir yang sepertinya lebih muda dariku, aku duduk di posisi kursi yang dimaksud. Tidak lama kemudian datang seorang pria yang bertanya persis sepertiku tadi ke kasir itu. Dia menghampiriku dan duduk di seberang kursi yang aku duduki.
"Mau interview ke dua juga, mas?"
"Iya"
Suasana saat itu panas dingin, sembari memegang ponsel aku berulang kali keluar masuk situs web sosmed, homescreen, ke situs web sosmed lagi. Kemudian mengamati keadaan sekitar, pria paruh baya yang sedang memperbaiki lampu, pelayan pria yang mengantar makanan ke meja pelanggan, percakapan pelayan wanita di booth kasir yang sepertinya salah satu dari mereka adalah karyawan baru.
"Aku saat masih awal-awal juga gitu. Semangat yo!" Seru salah wanita dari booth kasir itu yang terdengar samar-samar.
Ada juga yang cukup menarik perhatianku, gerombolan ibu-ibu berseragam yang sepertinya hendak membuat konten video di area sekitar yang memiliki anak tangga. Mereka cukup membuat ramai suasana. Aku kembali mencoba mencairkan suasana dan menyapa pria di seberangku.
"Kapan interview pertamanya mas?
"Satu minggu lalu, hari Senin."
"Saya juga, tapi hari Selasa nya."
Rasanya sangat lama waktu saat itu sampai satu jam berlalu, menunggu seperti itu sangat mendebarkan. Saat itu aku benar-benar berharap supaya diterima di manapun posisnya.
Tidak lama mbak kasir yang tadi menghampiri dan memberi arahan.
"Mas yang datang terlebih dahulu bisa menemui ibu angel di belakang."
Pria diseberang melihatku dengan tajam, yang mengisyaratkan supaya aku duluan. Jika dilihat dari urutan kedatangan memang aku yang duluan datang.
"Saya dulu ya, mas."
"Iya. Silahkan!"
Aku mulai bangkit dari kursi yang kian terasa hangat karena aku duduki sejam yang lalu. Berjalan ke belakang, aku menaiki anak tangga dan melihat di sisi kanan ada booth lagi. Bedanya di booth itu berjejer segala jenis sachet minuman dan gelas-gelas. Lengkap seorang pria di dalamnya sedang meracik minuman.
Aku berjalan ke belakang lagi dan melihat seorang wanita berambut pirang, memakai masker duduk tepat di membelakangi booth itu di depannya tersedia satu buah kursi kosong.
"Mas yang mau interview? Sebelah sini mas!" Sapa wanita itu.
Tanpa berpikir panjang aku duduk di kursi kosong yang menghadap ke wanita itu, ibu Angel.
"Ini mas dul benar?"
"Iya, benar."
Masih aku ingat wanita itu yang mewawancarai aku di walk interview seminggu yang lalu. Sebenarnya dengan tampilan sekilas dari wanita itu sedikit mengganggu pikiranku. Berambut pirang menandakan bahwa bekerja di sini bisa bebas bergaya. Namun, bagiku mewarnai rambut adalah hal yang terkesan nakal.
"Baik mas, ini tahap wawancara ke dua. Saya akan menjelaskan tentang sistem kerja di sini."
Ibu Angel mulai menjelaskan mengenai jam kerja, yang dimulai dari jam sepuluh pagi hingga sepuluh malam dengan jam istirahat satu jam yang ditentukan sesuai situasi kondisi.
Bagian pekerjaan yang diberikan kepadaku sebagai helper adalah membantu proses penyajian makanan di dapur. Sementara upah akan diberikan setiap satu bulan sejumlah satu juta dua ratus. Selama dua Minggu awal tidak akan ada libur.
"Bagaimana mas, bersedia bekerja di sini?"
"Saya bersedia."
Tidak bisa aku menolak, mengingat sudah lama aku menganggur. Sekitar lebih tiga tahun. Pengalaman kerja terakhirku sebelumnya bulan Februari tahun 2019 di salah satu toko waralaba yang cukup terkenal di Indonesia. Itupun aku keluar sebelum resmi menjadi karyawan di sana. Aku hanya masuk di tahap training selama seminggu.
Belum lagi, di tahun 2020 munculnya pandemi corona yang secara tidak langsung menghambatku untuk menemukan lowongan pekerjaan di media sosial.
Sebenarnya aku pernah juga bekerja di rumah makan sebelumnya di akhir tahun 2018. Itu hanya bertahan dua Minggu. Aku merasa akan sangat sanggup bekerja di sana, tekadku kuat untuk mencobanya.
"Jadi kapan masnya bisa mulai bekerja?"
"Saya siap bekerja secepatnya."
"Oh, kalau begitu bisa mulai kerja hari ini. Mari saya perkenalkan teman di dapur yang lain."
Ibu Angel mengajakku ke dapur yang berada di sebelah booth bartender. Dia memperkenalkan aku dengan seorang wanita.
"Mas dul ini mbak Eli yang akan memberikan penjelasan bagaimana tugas kamu di dapur."
"Baik, bu."
"Saya tinggal dulu.. ell sikat!"
Aku melihat sekeliling dapur itu terbilang luas. Di sebelah pojok kiri ada kran diberi selang mengalirkan air ke tumpukan piring-piring yang kotor. Seorang wanita paruh baya mencuci satu per satu piring itu. Di sebelah pintu masuk ada lemari pendingin berisi sayur mayur. Di sebelahnya ada meja panjang yang disandarkan tembok di atasnya ada beberapa wadah berisi sambal, irisan timun, kol, acar, cabai dan ada satu penanak nasi berukuran cukup besar.
Di depannya ada meja yang lebih luas dimana makanan yang sudah masak ditaruh di meja itu. Di pojok kanan berjejer kompor yang sedang menyala di atasnya ada wajan penggorengan berisi minyak. Seorang pria paruh baya memasukan potongan daging ayam ke dalamnya. Aroma bawang putih begitu menyengat di dapur itu.
"Jadi sebagai pemula kamu bertugas di bagian plating. Saya akan tunjukkan bagaimana contohnya.. bla, bla, bla."
"Iya, mbak."
Ketika itu aku berusaha memperhatikan perkataan mbak Eli itu. Aku berada di sebelahnya dan menghadap meja berbahan metal yang luas. Di situ tempat makanan yang sudah masak diletakkan di piring dan diberikan sentuhan akhir.
Setiap hidangan memiliki penyajian yang berbeda. Cukup banyak menu yang dijual di rumah makan itu, aku sedikit kewalahan mengingat apa saja yang sudah mbak Eli contohkan.
Tidak lama terdengar bunyi tit dari mesin cetak struk yang mengeluarkan kertas. Mbak Eli mengambilnya dan memberikan kertas itu kepadaku, tertulis beberapa nama menu makan beserta total harga di kertas itu.
"Mas ini kalau ada pesanan, sobek kertasnya dan baca sekeras-kerasnya biar mas yang masak itu kedengaran."
"Iya, mbak."
Setelah terlihat senggang tidak ada pesanan masuk, pria paru baya yang tadinya sibuk memasak itu menghampiriku.
"Saya Joe, mas. Sebelumnya sudah diberi tahu sistem kerja sama bu Angel?"
"Sudah, mas. Jam kerjanya mulai dari jam sepuluh pagi sampai sepuluh malam.. bla, bla, bla."
"Sebenarnya kalau di dapur kita harus datang lebih awal sebelum warung buka untuk prepare bahan makanan. Apalagi kalau weekend kita buka lebih awal lagi."
"Oh, iya baik, mas."
"Kalau senggang begini, mas. Cek kelengkapan bahan lalapan. Kalau sudah tinggal sedikit isi lagi."
Sembari mas Joe itu mengajari cara memotong sayur kol. Tidak lama ada suara dari mesin struk itu lagi, aku mengambil struk pesanan lalu membaca dengan suara parau. Setelahnya mas Joe beralih ke tempat penggorengan.
Kemudian datang pria yang menyapaku, "Hei, mas!"
Aku menoleh ke arahnya, "Oh, mas yang itu!" Pria itu sebelumnya aku temui saat walk interview. Jujur saja, aku tidak pandai bergaul dengan begitu membuatku terpacu untuk bersikap lebih ramah. Setelah melihat pria yang menyapaku itu sedikit melegakan pikiranku yang sedang tegang.
"Mas sudah lama masuk di sini?"
"Iya, setelah walk interview besoknya langsung dapat panggilan lagi dan mulai kerja. Sudah satu mingguan."
Seiring berjalannya waktu aku mulai paham apa yang seharusnya aku lakukan, meski masih terlihat kebingungan. Apalagi pria yang termasuk karyawan baru sepertiku itu juga terlihat tidak fokus bekerja, ada kesalahan kecil yang dibuatnya saat mencek pesanan makanan yang hendak dibawa pelayan. Itu membutuhkan ketelitian agar makanan sampai ke nomor meja pelanggan sesuai pesanan.
Aku melihat dari luar jendela dapur langit sudah berubah warna menjadi jingga. Terdengar suara adzan cukup keras karena rumah makan itu letaknya tidak jauh dari masjid.
Tidak ada pesanan, keadaan sedikit longgar untuk pergi sejenak ke tempat penyimpanan barang karyawan yang berada di pojok kiri tepat di sebelah tempat pencucian piring itu. Sebenarnya itu bukan tempat yang bisa dibilang dibuat khusus untuk karyawan karena meski ada rak, di situ dipenuhi nampan dan beberapa jenis barang dapur.
Aku mengambil ponselku melihat jam pukul tujuh belas tiga puluh lalu membuka aplikasi pesan. Aku melihat ada satu pesan dari ponakanku, "Mas kemana saja kok belum pulang?"
Sedari tadi aku ada kepikiran orang rumah karena tadi ijin keluar sebentar. Benar saja ada yang menanyakan kabarku. Saat itu aku merasa sedikit haru membaca pesan itu.
"Dapat kerja di Tamandayu, mungkin pulang jam sepuluh malaman." Balasku.
Part-2
Diubah oleh dulKhab 14-06-2022 22:43
johny251976 dan 6 lainnya memberi reputasi
5
2.1K
Kutip
20
Balasan
Komentar yang asik ya
Tampilkan semua post
pakimengs
#2
Ngak jelas lu babik
rizkywhyn dan oliv48 memberi reputasi
-2
Kutip
Balas
Tutup