aliazzz80Avatar border
TS
aliazzz80
INI KISAH KAMI DEMI NKRI (True Story)
KUMPULAN KISAH KAMI
KOMPI PEMBURU RAJAWALI
DAN
KUMPULAN OPERASI TNI





Prolog :

Ini bukan kisah tentang dedemit, mba Kunti, Om Pocong, Mbah Genderowo dan sebangsanya, ini bukan kisah soal pengalaman 18+, kisah disini merupakan kumpulan kisah mereka yang sejak awal mendarma baktikan masa mudanya hingga ke tua, bahkan hingga akhir hayat, memenuhi panggilan tugas untuk bumi pertiwi.

Medio 1997 pasukan ini di resmikan dengan mengambil personel dari tiga satuan utama, Kopasus, Kostrad dan Marinir. Pasukan ini dibubarkan tahun 2004 seiring dengan diresmikannya satuan Raider di TNI AD.

Beberapa tahun lalu, sempat ada thread-threadnya di Kaskus, namun sudah tidak terupdate lagi dan terkubur dengan "kesunyian" Kaskus masa kini.

Terinspirasi dari kisah-kisah true story mereka di medan tugas. Inilah kisahnya :

"KOMPI PEMBURU RAJAWALI"




Semua apapun yg saya tulis di sini sebaiknya tetap berada di thread KASKUS Sub Forum SFTH dan FORSEX, TIDAK DI IJINKAN dishare dalam bentuk/media apapun!
Kisah lebih lengkapnya dan banyak lagi kisah-kisah heroik bisa di dapatkan dalam bentuk PDF dan Ebook berbayar. Untuk berlangganan PM aja gan.
Diubah oleh aliazzz80 08-08-2022 04:19
rotten7070
echoeprazety046
lovve
lovve dan 115 lainnya memberi reputasi
112
104.9K
937
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
aliazzz80Avatar border
TS
aliazzz80
#130
80. Mau Di Sekolahkan? (3)
Punya Pengawal

SAYA menemui pasukan yang bermarkas di Kediri itu awal September silam-sekitar tiga bulan sesudah mereka mendarat di Malahayati-setelah mendapatkan izin dari Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan Aceh, Mayor Jenderal TNI Djali Yusuf.



Saya ingin tahu bagaimana serdadu-serdadu Indonesia bekerja di provinsi yang bergolak sejak 1970-an ini.

Pangkoops Pak Djali Yusuf setuju dan menunjuk Batalyon Infanteri 521/Dadaha Yodha. Batalyon teritorial ini tugas utamanya mengamankan wilayah Aceh Barat, dari Lambaro hingga Beutong, yang dari ujung ke ujung jaraknya ada 150 kilometer.

Ada sejumlah hal yang harus saya patuhi bila ingin tinggal dengan pasukan.

Saya, misalnya, dilarang meninggalkan pos sekali pun untuk membeli rokok tanpa dikawal seorang prajurit. Kalau jaraknya lebih 200 meter dari pos, yang kawal sedikitnya mesti tiga orang. Hari pertama, saya banyak mendengar peringatan seperti ini:

"Mas ini orang sipil. Tapi akan sering dilihat orang jalan sama tentara. Bahaya. Di luar sana, mungkin ada cuak (mata-mata) GAM."

"Peluru di sini tak ada matanya, lho."

"Kamu harus hati-hati karena kalau ada apa-apa, semoga tidak yah, siapa yang akan tanggung jawab ke Pangkoops (Djali Yusuf)."

Para serdadu itu, ternyata seperti saya, dilarang meninggalkan pos tanpa membawa teman. Mereka hanya bebas bergerak radius 100 meter dari pos. Begitu keluar pos, serdadu membawa senapan sudah terkokang. Serdadu yang kekhawatirannya lebih tinggi kadang sudah membuka kunci senapannya.

Jika hendak berbelanja kebutuhan dapur ke pasar, orang pos selalu berangkat dengan jumlah besar, minimal lima orang. Bila sudah di pasar, dua orang berbelanja dan sisanya melakukan pengamanan.

Kondisi itu berbeda dengan keadaan sewaktu mereka tugas di Timor Timur, Maluku, atau Papua. Sewaktu di Timor Timur, kata seorang Kopral Kepala, mereka berani lenggang kangkung sendiri ke pasar.

Aceh memang bukan sembarang daerah. Di sini, kelengahan taruhannya nyawa.

Sebuah satuan Lintas Udara dari Makassar, misalnya, kehilangan 11 orang anggotanya hanya dalam tempo 10 bulan. Enam di antaranya tewas setelah kontak senjata dengan gerilyawan GAM. Mereka terlambat dievakuasi saat pendarahan hebat. Sisanya karena faktor non-pertempuran: seorang tewas dalam kecelakaan bermotor, dua orang tenggelam di laut, seorang salah tembak oleh pasukan Indonesia lainnya, dan seorang lagi ditembak komandan sendiri di sebuah hotel karena dianggap melakukan insubordinasi.

"Di sini perangnya perang gerilya. Siapa yang lengah dia yang kalah," kata komandan Batalyon 521/Dadaha Yodha Letkol Inf. Ucu Subagja.

GIF

Dan saya belum pernah menjumpai tentara yang kewaspadaannya seperti Prajurit Kepala Muhamad Khusnur Rokhim. Pada jarak 10 meter, dari potongan rambutnya saja, orang sudah bisa menebak kalau dia tentara. Ada banyak bekas luka di wajahnya yang hitam. Perawakannya sedang, bahkan kurus untuk ukuran tentara. Tingginya sekitar 170 centimeter. Wajahnya tirus dengan rahang menonjol.

"Ini," katanya menunjuk rahang kanannya, "Sering bengkak kena popor pas latihan membidik sasaran."

Ke mana saja Rokhim pergi, matanya selalu awas. Apa saja yang nampak jadi bahan perhatian. Kalau ada orang yang gerak-geriknya aneh, dia tak segan-segan memelototinya sampai yakin kalau orang itu tak akan membahayakan keselamatannya. Di Meulaboh, sekitar 250 kilometer selatan Banda Aceh, saya sering mengajaknya minum kopi di kedai, yang jaraknya kurang dari semenit jalan kaki dari pos. Begitu masuk, perhatian Rokhim langsung tertuju ke seisi kedai.

Dia selalu memilih tempat di pojok agar punggungnya aman dan leluasa memperhatikan semua orang yang keluar masuk. Kemudian dia memeriksa bagian belakang kedai, mengecek jalan pelolosan kalau ada gangguan dari depan dan sekaligus mencari tahu kemungkinan ada yang masuk ke kedai, lewat belakang, tanpa sepengetahuannya. Dia juga selalu memperhatikan wajah pemilik kedai. Kadang dia mendekat, memperhatikan si empunya kedai meracik kopi, seperti ingin memastikan kalau kopi itu tak beracun.

Awalnya, tingkah Rokhim itu membuat saya geli. Tapi dia selalu punya jawaban setiap kali saya menertawakan kekhawatirannya. Pertama, dia tak ingin setor nyawa di Aceh. Dia punya seorang istri dan anak di Kediri. Kedua, dia membawa senjata yang harus dijaga.

"Kalau ini jatuh ke tangan musuh, bisa lebih banyak tentara yang mati."

Rokhim membawa SS-1-senapan serbu buatan Indonesia. Senjata itu istri keduanya. Ke mana pergi selalu dibawa. Bahkan saat tidur pun, dia ada dalam pelukan Rokhim. Saya jarang melihat dia melipat popor senapannya. Teorinya, popor yang terlipat membuat prajurit sukar menembak tepat. Menembak dengan popor terlipat hanya akan menghasilkan berondongan. Risikonya, yang bukan sasaran bisa berdarah dan amunisi dijamin mubazir. Rokhim selalu memanjangkan tali sandang senjatanya.

Dia yakin, itu akan memudahkan dirinya merapatkan popor ke bahu dan segera membidik. Itu belum semua.

Tangannya selalu lengket di pistol grip (pegangan pelatuk) sementara telunjuk tegang di picu. Dia masih terbawa-bawa hukuman pelatihnya dulu yang mengikat tangan serdadu yang tak menempel di picu.

Di kalangan sejawatnya, Rokhim dikenal sebagai "raja" Taman Wisata Pagora, Kediri. Dia kadang melancarkan jalan serdadu yang kepengen berfoto dengan artis yang manggung di taman hiburan itu. Dia mengenal hampir semua orang yang kerja di situ. Istrinya, Yuni Wijayanti, bekerja sebagai penjaga loket di sana. Rokhim suka musik dangdut.

"Setiap tanggal muda artis datang. Cici Faramida sering. Yang paling mahal bayarannya itu yah, Vetty Vera .... sama kita itu biasa, lho. Mau foto-fotoan .... Ine Sinthya yang ketus orangnya. Nggak mau diajak ngobrol-ngobrol. Susah."

Rokhim termasuk serdadu yang mudah diajak berteman. Jika sudah percaya, apa saja akan dilakukan untuk kenalannya. Sekali waktu, saya panik karena bloknot saya hilang sementara truk yang saya tumpangi akan berangkat. Tanpa diminta Rokhim turun mencari catatan itu. Komandan batalyon dan dua truk serdadu terheran-heran melihat Rokhim mengubek-ubek semak-semak di sana. Sekiranya saya tak segera menemukan bloknot yang terselip di tas, saya kira dia tak akan naik ke truk.

Dia juga pernah merogoh kocek sendiri karena prihatin melihat saya kehabisan uang. Dia, seperti orang-orang pos lainnya, selalu memperhatikan keperluan saya. Pernah sekali dia menyindir saya karena urusan makan.
"Situ kok nggak makan? Makanlah, tidak enak kalau teman-teman tersinggung. Mereka sudah masak, lho. Apa situ harus seperti raja. Makanannya diantarkan tiap saat?"

Urusan makan, Rokhim terbilang unik. Ada banyak makanan yang tak bisa lewat di tenggorokannya.

Dia, misalnya, tak suka daging sapi, daging ayam (kecuali ayam kampung), ikan laut, telur, sayur-sayuran, dan masih banyak lagi. Menu favoritnya: nasi panas, tahu, tempe plus jus alpukat pakai susu kental manis coklat.
Di asrama dulu, istrinya rutin menyajikan sarapan termasuk membuatkan susu saban pagi. Yuni Wijayanti risih melihat berat badan suaminya tak naik-naik sementara prajurit lain berbadan subur. Tapi Rokhim tetap dengan seleranya. Jarang-jarang dia menyentuh sarapan yang dibuat istrinya.

Suatu malam, saat merebus mi di pos, Rokhim berikrar melahap apa saja yang disajikan istrinya jika bisa pulang selamat dari Aceh. Dia merasa gaya makannya selama ini tak menunjukkan kecintaannya pada istri.

Dia juga mencanangkan program "menggencar" Yuni dengan surat. Setiap tiga hari sekali, katanya, dia mau menulis surat. Khusus untuk anaknya, dia selalu mengingat dengan menuliskan namanya di kasur lipat: Muhamad Ikhsan Bagaskara.
Diubah oleh aliazzz80 15-04-2022 12:52
Swararuri
sarjuu5
scorpiolama
scorpiolama dan 26 lainnya memberi reputasi
27
Tutup