TUMBAL TERAKHIR 6
Alunan peloq pegon mengiring tembang Jawi kuno, sayup dan semakin lirih menggema di telinga Kolis. Tak lama suara itu mengabur, menjauh dan hilang dari pendengaran Kolis.
Sebentar Kolis menoleh di kiri dan kanannya, namun hanya hembusan angin serta gemericik air dalam lingkaran kolam tak lebar, mengalir mengelilingi patung sosok wanita berwajah tak asing baginya.
Tubuh Kolis berangsur pulih setelah sebentar bagai mati rasa. Ia kemudian mencoba kembali menjejakan tapak kakinya, berniat meneruskan mencari keberadaan sang Adik.
Setibanya Kolis tepat di depan patung sosok berwajah ayu dengan kebaya slempang menyebelahi patung ular hitam, lagi-lagi Kolis tergelak kaget. Berawal dari dengus nafas dan desis berbau busuk menerpa wajahnya, menjadi tanda kemunculan sebuah bayangan hitam.
Klebatan bayangan itu meliuk-liuk dan mengitari Kolis. Mata Kolis sendiri seperti tergerak mengikuti gerakan bayangan itu beberapa saat, hingga kemudian berhenti dan menjelma jelas menjadi sesosok wanita bergaun putih dengan tebaran bau kapur barus menyengat tajam.
Quote:
"Durung wayahe Koe merene! kudune mengko nang Tanggal Telulas Sasi Pitu! Saiki wes kadung, opo perlumu!?"(Belum saatnya Kamu ke sini! harusnya nanti Tanggal Tiga Belas Bulan Ketujuh! Sekarang sudah terlanjur, apa perlumu!?)
Pelan dan lembut namun tegas suara sosok itu menyapa Kolis. Hal itu langsung kembali merontokkan keberanian Kolis. Apalagi ketika matanya beradu pandang dengan bola mata sosok itu, jantung Kolis seolah berhenti berdetak.
Quote:
"Nyowo loro wong tuo seng ngeterke Koe merene ora bakal iso ngambah Garba iki! Koe dewe nduwene opo, bocah kemendel!"(Nyawa dua orang tua yang mengantarmu ke sini tidak akan bisa masuk ke dalam Garba ini! Kamu sendiri punya apa, bocah sok berani!)
Lagi, Kolis hanya diam tertunduk. Rasa takutnya sudah tak terukur. Jiwanya terasa mati. Jangankan untuk menyahut, mendongakkan kepala saja terasa berat.
Quote:
"Gawanen rene kui seng tok cangking, bakal metu utuh awakmu nek Koe manut!"(Bawa ke sini itu yang Kamu pegang, akan keluar utuh anggota badanmu kalau Kamu nurut!)
Mendengar ucapan sosok wanita bernada perintah disertai ancaman, kali ini Kolis tersentak. Ia teringat jika di tangannya tergenggam kain lusuh milik Adiknya, juga pesan dari Bapaknya.
Quote:
"Ora! ora bakal tak serahke barang iki sak durunge aku ketemu Adekku! minggiro, aku gak enek perlu opo-opo, mek arep ngejak Adikku bali!"(Tidak! tidak akan Saya serahkan barang ini sebelum Saya bertemu Adikku! menyingkirlah, Saya tidak ada perlu apa-apa, hanya ingin mengajak Adikku pulang!)
Entah mendapat keberanian dari mana Kolis tegas bersuara menolak permintaan sosok wanita itu. Tak hanya menjawab, dirinya pun mampu menegakkan kepala serta sanggup menatapi sosok wanita itu, yang tengah melototkan bola matanya tajam.
Quote:
"Ancen kudu di warah toto corone merdayoh nang kene, Koe!"(Memang harus di beri pelajaran tata caranya bertamu di sini, Kamu!) Sengit ucapan sosok itu, mendapati penolakan dari Kolis.
Selepas berucap, sosok wanita itu menjulurkan tangan berkuku putih tajam mengkilap ke arah kain yang di genggam erat Kolis. Ia berniat merebut paksa. Namun, sebelum tangan sosok itu sampai, tiba-tiba saja ia menarik mundur bersamaan tubuhnya yang ikut beringsut.
Quote:
"Ora saiki waktune, Jangi. Ben bocah kui gowo Adine bali, tetengerku ora bakal ilang."(Bukan sekarang waktunya, Jangi. Biarkan bocah iki membawa Adiknya pulang, talipatiku tidak akan hilang.)
Sosok wanita tua yang di panggil Jangki merunduk, sebelum akhirnya menjauh dan melayang pudar bagai awan serta dalam sekejap lenyap di sekitaran patung.
Sedang Kolis, ia terhenyak mendengar suara pelan nan lembut tanpa wujud, namun mampu membuat sosok Jangki mematuhinya.
Quote:
"Gowonen Adikmu muleh, cah bagus. Tapi ilingo, mbisok bakal tak jikok, pas titiwancine."(Bawalah Adikmu pulang, cah bagus. Tapi ingatlah, kelak akan Saya ambil, saat tepat waktunya.)
Mendengar suara itu kembali, Kolis tertegun. Sejenak ia menelaah kalimat bernada perintah juga sebuah pesan, dari sosok tak berwujud yang ia yakin adalah seorang wanita. Tapi belum mengerti maksud yang terkandung di dalamnya.
Tak mau berpikir terlalu lama, Kolis memutuskan untuk segera mencari Komala. Mengabaikan makna dari ucapan sosok tak berwujud, menuruti keinginannya agar segera keluar dari tempat yang sangat asing dan mengerikan baginya.
Setapak demi setapak Kolis lalui jalan bersusun batu, berpagar aneka kembang yang lebarnya tak lebih dari dua meter. Walaupun tanpa ada gangguan, namun perasaan was-was dan takut masih lekat bergelanyut.
Kelokan demi kelokan terus Kolis susuri, tiga buah jembatan kecil tanpa pegangan pun telah Kolis lewati. Namun sejauh itu, ia belum menemukan tanda-tanda keberadaan Komala. Hingga, sampailah Kolis di ujung taman dengan sebuah gapura kecil melengkung, ia di sambut hamparan tanah luas yang terdapat puluhan gundukan tanah layaknya sebuah tempat pemakaman.
Kolis ragu untuk melewati gapura kecil dan masuk ke area berhawa sinung di depannya. Sekilas Kolis mengedarkan pandangannya, mencoba mencari-cari keberadaan Komala. Tapi hanya siutan-siutan awan tipis dan angin dingin yang sepintas terlihat seperti bayangan saling berlompatan tertangkap matanya.
Kolis yang mulai bergidik ngeri, akhirnya membalikan tubuh. Melangkah cepat segera ingin mencari di tempat lain. Sayang, baru saja tujuh langkah ia berjalan, kembali harus di hentikan oleh sebuah suara.
Bukan panggilan, bukan pula sentakan yang membuat Kolis terdiam dan kembali berbalik. Tapi suara tangis merintih memilukan dari arah sisi kiri tanah lapang, persis di sebelah gundukan tanah paling tinggi tanpa penanda.
Tangisan itu semakin terang dan jelas di telinga Kolis, kala dirinya memberanikan melintasi gapura batas antara taman dan tanah lapang.
Semakin jauh berjalan, suara tangisan itu semakin meyakinkan Kolis. Tanpa ragu lagi, Kolis mempercepat ayunan kakinya. Tak berapa lama akhirnya Kolis sampai di tempat, di mana suara itu benar-benar suara Komala yang sedang duduk tersimpuh, di apit dua buah gundukan tanah tak sama tinggi.
Quote:
"Nduk, ayo bali."(Nduk, ayo Pulang.)
Ucap Kolis sedikit senang telah menemukan Adiknya.
"Nduk ... Nduk. Awakmu ngopo nangis nang kunu? ayo bali saiki."(Nduk ... Nduk. Kamu kenapa nangis di situ? ayo pulang sekarang.)
Kembali Kolis memanggil dan mengajak Komala untuk pulang. Namun Komala seperti tak mendengar dan menghiraukannya. Komala masih terus menangis pilu sembari meremas-remas tanah berwarna merah di hadapannya. Ia sama sekali tak menoleh sedikitpun ke arah Kolis yang berdiri di sebelah gundukan tanah paling tinggi.
Kolis sendiri mulai bingung. Berkali-kali ia mengulang memanggil Komala, tapi tetap saja Komala tak menggubris. Sampai akhirnya, Kolis yang tak sabar lagi berjalan mendekat dan meraih lengan Komala.
Quote:
"Ayo bali! iki dudu panggonanmu!"(Ayo pulang! ini bukan tempat tinggalmu!)
Kali ini usaha Kolis berhasil. Komala menghentikan tangisannya dan mendongakkan kepala seperti terkejut dengan cengkraman tangan di lengannya.
"Kang,"(Kak)
Hanya itu, ucapan yang keluar dari bibir Komala, selebihnya kembali menunduk masih dengan meremas tanah dan bersengguk.
Antara iba dan juga takut Kolis menyaksikan hal itu, melihat kondisi sang Adik yang sudah layaknya seonggok mayat hidup. Sebentar Kolis mengedarkan tatapan ke segala penjuru tempat itu. Sekelip memandang, tak ada yang tertangkap matanya. Tak mau lagi larut dalam suasana menyeramkan, Kolis akhirnya menarik paksa Komala. Sedikit penolakan dari Adiknya tak membuat Kolis melepasnya.
Sepersekian detik dan menit Kolis berjalan dengan cepat sambil menggandeng lengan Komala, melewati gundukan-gundukan tanah tanpa nisan, yang mendadak menebar bau kapur barus menyengat tajam, mengalahkan bau khas tanah pemakaman.
Tak hanya itu, keganjilan lain pun di rasa Kolis saat tiap-tiap dirinya melewati gundukan tanah, selalu terdengar suara merintih dan tangisan menyayat. Semakin cepat langkah Kolis, semakin banyak gundukan yang dirinya lewati, semakin membuat tempat itu ramai dengan tangisan-tangisan saling bersahutan.
Quote:
"Kang, iku podo arep melu."(Kak, itu mereka mau ikut)
Tersentak Kolis mendengar ucapan Komala yang tiba-tiba berhenti dan menunjuk ke arah belakang. Mau tak mau dirinya pun mengikuti petunjuk Komala.
Seketika itu juga tubuh Kolis mempias pucat, melihat puluhan sosok-sosok berbalut kain putih lusuh, telah berdiri tepat di belakangnya.
Puluhan sosok-sosok itu segera menjulurkan tangan kanan mereka layaknya melambai kaku, saat tau Kolis dan Komala berhenti. Namun Kolis segera tersadar bila niatnya hanya membawa pulang sang Adik.
Quote:
"Ora usah di gatekne! ayo, dewe kudu cepet metu, melas Bapak wes nunggu."(Tidak usah di hiraukan! ayo, kita harus cepat keluar, kasihan Bapak sudah menunggu.) Ucap Kolis di sela-sela ketakutannya.
Quote:
"Tapi yo melas konco-koncoku iki, Kang. Podo pingin melu."(Tapi ya kasihan teman-temanku ini, Kang. Semua ingin ikut.) sahut Komala lirih masih berjeda dengan sesenggukan.
Kolis terdiam, ia menatap lekat wajah Komala yang pucat, ia tau bila Adiknya dalam kesadaran yang tersandra. Kolis akhirnya teringat kain lusuh yang masih dalam genggamannya, kemudian segera menutupkan ke wajah pucat Komala, sesuai dengan pesan dari Bapaknya.
Tak lama setelah itu Komala terdiam, tapi berbeda dengan puluhan sosok-sosok di belakangnya. Tangisan mereka terdengar mengencang, tubuh mereka pun melayang bagai bayang-bayang berputar mengeliling.
Selagi Komala terdiam, Kolis yang sudah ketakutan segera dengan cepat membopong dan membawa Komala keluar melewati kembali gapura kecil melengkung. Mengabaikan suara tangis dan lambaian tangan terbungkus kain dombor, dari sosok-sosok di belakangnya.
Kolis terus berjalan cepat, bahkan setelah melewati patung sosok wanita berlingkar ular hitam, ia berlari tanpa mempertimbangkan berat tubuh Komala yang ada di pundaknya.
Puluhan meter, ratusan meter telah Kolis lalui. Nafasnya yang sudah tak teratur, seirama dengan degup jantungnya. Tapi, dirinya enggan untuk berhenti, walau sebentar.
Kolis benar-benar merasakan, jika tak ada lagi bagian dari tubuhnya yang tak terbasahi oleh keringat. Namun tak menyurutkan langkah kakinya yang terus berlari, meski telah meninggalkan jauh gerbang gapura besar awal dirinya masuk di tempat yang tak ingin lagi ia memasukinya.
"Brukkk!"
"Akhhh...."
Kolis akhirnya terjatuh, mengerang pelan sembari memegang lututnya yang bergetar hebat entah karena rasa lelah atau masih bagian dari luapan rasa takut. Tapi di balik itu, kelegaan segera menggurat di wajahnya yang di penuhi titik-titik air bening kala matanya menatap ke depan, terlihat kerlipan cahaya dari rumah-rumah warga. Semangat Kolis akhirnya kembali tumbuh. Ia segera mengangkat tubuh Adiknya yang tertidur, berjalan melewati tempat tak lagi berhawa lembab.
"Syukur Lis awakmu selamet."(Syukur Lis Kamu selamat.)
Satu suara tak asing akhirnya mengakhiri perjuangan Kolis malam itu. Dirinya yang baru tiba di halaman, di sambut haru Mbah Soko dan Mbah Waris. Rasa lelah, ngeri, takut, kini telah mereda setelah satu gelas berisi air dingin pemberian Mbah Waris, tak bersisa masuk tenggorokannya. Ia langsung menghempaskan tububnya di lantai tanah ruang tamu rumah sederhana milik orang tuanya. Matanya sebentar terpejam sembari mengatur ritme nafasnya yang belum teratur, tanpa memperdulikan kondisinya yang kotor.
Quote:
"Ijek ono wektu telung jam, Lis. Istirahato, mari ngunu lek budal, gowo Adimu nang gone Lekmu Latip. Ojo ngasi kedisian Srengenge."(Masih ada waktu tiga jam, Lis. Istirahatlah, setelah itu segera berangkat, bawa Adikmu ke tempat Pamanmu Latip. Jangan sampai keduluan Matahari.)
Kolis hanya diam, ia masih memejamkan mata meski mendengar ucapan Bapaknya. Dalam benak, Kolis merasa lelah, akan tetapi, ia tak bisa lagi menolak. Sebab ini adalah awal permulaan baginya.