TUMBAL TERAKHIR 5
"Pak?" Panggil Komala sembari menyeka keringat pada wajahnya yang memucat.
Mbah Soko hanya diam. Entah lidahnya yang kelu atau karena amarah yang tependam sehingga mengabaikan Komala. Perlahan kaki Mbah Soko melangkah menuju kamarnya tanpa mau berpaling sedikitpun, di kepalanya terpenuhi kalimat-kalimat bernada peringatan dan ancaman yang tak main-main dari Trah Murti Rahmi.
Mbah soko benar-benar tak terjaga sedikitpun malam itu. Gelisah, takut dan ngeri, menggumpal menyatu dalam dirinya. Sampai akhirnya, saat bola panas dunia mulai menyembul menampakkan kegarangannya, Mbah Soko baru keluar dari kamar.
Tak ada kalimat apapun ketika dirinya berjalan keluar rumah. Tak juga seperti biasa selalu mencari Komala ketika pagi menjelang. Mbah Soko terus melangkah sampai melewati dua tiga rumah tetangganya. Hingga tiba pada rumah paling ujung berbatasan dengan hamparan sawah, barulah dirinya berhenti.
Sedikit ragu saat bibir Mbah Soko ingin mengucap salam, namun ketika terbayang wajah anak-anaknya, sebaris kalimat salam itu pun meluncur dari mulutnya.
"Soko? kene mlebu."(Soko? sini masuk.) Ucap satu suara serak, dari seraut wajah tua seumuran Mbah Soko setelah menjawab salam dan membukakan pintu.
"Dengaren isuk gasik ngene tekan kene awakmu, enek perkoro opo?"(Gak biasanya pagi buta gini kamu sampai sini, ada perkara apa?) Tanya lelaki sang pemilik rumah saat keduanya telah duduk berhadapan.
"Perkoro nyowo, Kang. Mulo aku rene njalok tolong amreh apik e kepiye?"(Perkara Nyawa, Kang. Karena itulah saya kesini mintak tolong untuk baiknya bagaimana?) jawab Mbah Soko dengan suara parau.
"Lah? opo ono sangkutane karo Murti Rahmi?"(Laa? apa ada sanhku pautnya dengan Murti Rahmi?)
"Iyo, Kang. Mau bengi Ratrine nyambangi aku. Ra keno di tahan, Komala kudu di jikok nang Tanggal Telulas sasi pitu mbisok!"(Iya, Kang. Tadi malam Ratri menemuiku. Tak bisa di tahan, Komala harus di ambil pada Tanggal Tiga Belas Bulan Ke Tujuh Nanti!) Ucap Mbah Soko menjawab dugaan dari lelaki tua di hadapannya.
"Angel nek wes urusan karo keluarga iku. Aku yo ra iso opo-opo, mung isone andom dungo lan nyaranke ae, Komala kudu tok lungakne."(Sulit kalau sudah berurusan dengan keluarga itu. Saya juga tidak bisa apa-apa, hanya bantu Doa dan menyarankan, Komala harus kamu bawa pergi.) ujar lelaki tua yang hanya berkaos dalam putih dengan setelan sarung kotak-kotak.
"Nek aku seng gowo lungo gak iso, Kang. Tetep ketemu mbuh nandi wae le ku lungo. Misal Kolis seng tak kon jikok, piye menurutmu, Kang Waris?"(Kalau saya yang bawa pergi gak bisa, Kang. Tetap ketemu biar di manapun saya pergi. Misal Kolis yang saya suruh ambil, bagaimana menurutmu, Kang?)
Sejenak, lelaki tua biasa di panggil Mbah Waris terdiam. Tak lama, kepalanya yang sudah berhias rambut putih rata manggut beberapa kali seolah mengerti akan suatu pertimbangan.
"Yo apik kui. Tapi, kiro-kiro Komala arep di umpetke ngendi?"(Ya bagus itu. Tapi, kira-kira Komala mau di sembunyikan di mana?) tanya Mbah Waris.
"Nek pinginku, Kolis tak kon gowo Komala gone Lekne, Latip."(Kalau inginku, Kolis saya suruh bawa Komala tempat pamannya, Latip.) jawab Mbah Soko.
"Yo wes, apik wae kui. Awakmu le ngedek nang kene yo ati-ati. Seng bakal tok adepi dudu menungso meneh, tapi Iblis seng diwei rogo!"(Ya sudah, bagus kalau itu. Kamu yang menghadang di sini hati-hati. Yang akan kamu hadapi bukan manusia lagi, tapi Iblis yang di beri raga!) Sedikit geram kali ini suara dan kalimat yang di ucapkan Mbah Waris. Seperti ada sesuatu yang terasa menyesakkan dadanya saat mengucapkan pesan pada Mbah Soko.
Selesai berbasa-basi sebentar, Mbah Soko berpamitan. Kelegaan sekilas menghias kerutan di wajahnya mendengar dukungan rencananya juga kesanggupan dari anak Mbah Waris untuk menghubungi Kolis, anak pertamanya.
Sesampainya di rumah, Mbah Soko langsung menemui Komala. Tak banyak yang dikatakan tentang rencananya, hanya beberapa pesan kepasrahan terucap, pada diri anak bungsu yang ia sayangi.
"Pak ... Bapak mengko piye nek tak tinggal aku? opo gak enek dalan liyo to, Pak?"(Pak ... Bapak nanti bagaimana kalau saya tinggal? apa tidak ada jalan keluar lainnya, Pak?) ucap Komala setelah mendengar penuturan dari Mbah Soko.
"Gak enek, Nduk. Iki dalan siji-sijine supoyo awakmu selamet! supoyo mbisuk Bapak ketemu Mbahmu nang alam kono iso ngenger mergo wasiate tak laksanakne temen-temen."(Tidak ada, Nduk. Ini jalan satu-satunya supaya kamu selamat! supaya kelak Bapak bertemu Kakek/Nenekmu di alam sana bisa tegak karena wasiatnya di laksanakan benar-benar) terang Mbah Soko dengan mata berkaca.
"Sepurone Aku, Pak. Sepurone wes gawe soro Bapak lan keluarga!"(Maafkan Saya, Pak. Maafkan sudah buat sengsara Bapak dan keluarga!) Tangis Komala pun pecah. Rasa sesalnya pun ia tumpahkan dalam pelukan Mbah Soko yang sama tak dapat menahan kucuran air bening dari bola matanya.
Hari itu, sampai dua hari selanjutnya keadaan Mbah Soko dan Komala seperti biasa. Namun ketika di hari ke empat, tepat setelah kedatangan Kolis yang merantau dan telah berdomisili di sebuah pulau Industri bersama sang Istri datang, ke adaan pun kembali berubah. Pertemuan yang seharusnya penuh rasa haru dan bahagia antara orang tua dan anak, berbalik menjadi pertemuan yang mencekam.
Kolis yang saat datang begitu penasaran dengan tujuan bapaknya memanggil untuk pulang, berubah menjadi gelisah. Di banding Komala, Kolislah yang sudah mengerti tentang cerita masa lalu keluarganya bersangkutan dengan keluarga Murti Rahmi. Oleh sebab itulah, ketika semua yang terjadi telah Mbah Soko ceritakan, raut wajah Kolis pun menegang dan memucat. Terselip ketakutan dan amarah menggurat dengan jelas bersanding pada wajahnya. Takut karena ia tau betul siapa keluarga Murti Rahmi dan marah pada kecerobohan Adik satu-satunya.
"Pokok e masalah adimu tak pasrahke awakmu. Mangkato sisok bar Subuh, gowo nggone Lekmu Latip, ngomong bapak titip Komala, Selametke nyowone."(Pokoknya masalah Adikmu Bapak serahkan kamu. Berangkatlah besok sesudah Subuh, bawa ke tempat pamanmu Latip, bilang Bapak titip Komala, selamatkan nyawanya.) ucap Mbah Soko memberi pesan pada anak lelakinya, Kolis.
"Njur Bapak nang kene dewe piye? gak mungkin Buk Ratri ngejarke masalah iki nek wes ngerti Kom lungo, Pak. Opo Bapak melok sekalian ae, Pak?"(Terus Bapak di sini sendiri gimana? Tak mungkin Buk Ratri membiarkan masalah ini kalau sudah tau Kom pergi, Pak. Apa Bapak ikut sekalian saja, Pak?) sahut Kolis penuh kekhawatiran.
"Ora, Lis. Bapak kudu tetep nang kene go ngedeki ingon-ingone Ratri. Bapak mengko yo di rewangi Kang Waris. Wes, pokok e manuto Bapak. Saiki lereno kono, ben sisok iso seger awak e."(Tidak, Lis. Bapak harus tetap di sini untuk menghadang peliharaan-peliharaan Ratri. Bapak nanti juga di bantu Kang Waris. Sudah, pokoknya nurut Bapak. Sekarang istirahat sana, biar besok bisa segar badannya.) Ujar Mbah Soko memberi perintah demi mengakhiri obrolannya dengan Kolis.
Masih dengan perasaan bercampur aduk, Kolis akhirnya menuruti Mbah Soko. Ia melangkah masuk ke dalam, ke sebuah kamar yang biasa di gunakan Mbah Soko istirahat. Tak ketinggalan, sebelum ia masuk ke kamar untuk istirahat, Kolis menyempatkan diri melongok ke kamar adiknya. Sejak dirinya datang belum sepatah katapun berbicara dengan Komala.
Ada rasa iba dalam hatinya melihat wajah ayu adik satu-satunya yang terpejam penuh kelelahan. Walau tak ia pungkiri, terselip rasa jengkel dan marah atas kecerobohannya sehingga mengakibatkan kembalinya urusan yang sudah puluhan tahun terputus.
Rasa lelah akhirnya membawa Kolis ke alam mimpi. Puluhan bahkan ratusan menit ia lalui dalam tenangnya nuansa hawa pedesaan yang jauh dari hiruk pikuk kota seperti tempatnya tinggal. Rasa gelisah, resah bahkan takut sebentar terlupakan. Tanpa menyadari jika itu baru awal dari kengerian yang akan ia lewati hari-hari selanjutnya.
*****
"Lis ... Kolis! Kolis...."
Satu teriakan seketika menyentak Kolis yang masih terlelap. Buru-buru ia terbangun dan langsung beranjak dari ranjang lapuk dengan sempoyongan. Meski belum sepenuhnya ia tersadar, tapi demi mendengar suara bapaknya yang terdengar panik, Kolis melangkah cepat.
Sesampainya di depan kamar Komala, Kolis mendapati sang Bapak tengah berdiri kaku menatap ke dalam kamar. Ia segera menghampiri dan ikut melihat ke dalam. Kosong, tak ada apapun. Jangankan sosok Komala adiknya, kain selimut dan pakaian-pakaian Komala yang biasa di simpan pada lemari kayu tanpa tutup di sisi kiri ranjang pun tak ada, membuatnya segera menduga-duga penuh kecemasan.
"Iki mesti adimu lungo marani Jasmoro!"(Ini pasti adikmu pergi ke tempat Jasmoro!) geram penuh letupan amarah suara Mbah Soko terdengar di telinga Kolis.
"La perlu opo Kom moro, Pak?"(La perlu apa Kom kesana, Pak?) tanya Kolis penuh kecemasan.
"Adikmu panggah pingin rabi karo Jasmoro. Masio wes bapak jelaske kabeh, tetep ae gak sadar."(Adikmu tetap ingin menikah dengan Jasmoro. Walau sudah Bapak jelaskan semua, tetap saja tudak sadar.) jawab Mbah Soko sembari membalikan badan.
"Saiki kudu ketemu Adikmu, ojo sampek terlambat. Bar Subuh engko langsung gowo metu seko deso iki!"(Sekarang harus ketemu Adikmu, jangan sampai terlambat. Setelah waktu Subuh nanti langsung kamu bawa keluar dari Desa ini!) sambung Mbah Soko sembari kembali masuk ke dalam kamar milik Komala.
Kolis tertegun, ia bingung dengan semua kejadian yang kini telah menjadi satu bagian untuknya. Dirinya masih tak tau harus berbuat apa untuk membawa kembali adiknya yang di duga telah kabur ke tempat yang tak seharusnya di datangi.
"Lis, awakmu moro o nang omah e Jasmoro, ora kudu tekan latare. Gowonen iki, ning ojo sampek tok ceblokne lemah masio di ganggu opo ae. Bapak tak moro gone Kang Waris supoyo awakmu iso gowo bali Adikmu."(Lis, kamu datangi rumah Jasmoro, tidak harus sampai halamannya. Bawalah ini, tapi jangan sampai kamu jatuhkan ke tanah walaupun kamu di ganggu apa saja. Bapak akan ke rumah Kang Waris supaya kamu bisa bawa pulang Adikmu.)
Kaget, sudah barang tentu Kolis saat itu. Ia tak menduga jika mendapat perintah yang sangat sulit dan ngeri dari Bapaknya. Namun demi menyelamatkan sang Adik, mau tak mau Kolis pun mengangguk tanda menerima.
Kolis langsung menerima sebuah kain yang dirinya tau adalah salah satu baju adiknya yang tersisa. Ia pun menggenggam erat baju yang sudah lusuh, seraya berangsur melangkah keluar dari rumahnya. Kolis baru tersadar bila waktu sudah gelap bertanda malam telah merajai alam. Ia sempat berfikir bila dirinya tertidur dalam lelap cukup lama.
Setelah berjalan ratusan meter, Kolis tetiba saja menghentikan langkahnya sejenak. Ia menyadari jika ada ke anehan di sekelilingnya. Mulai dari jalan yang ia lalui sampai lingkungan sekitarnya sangat berbeda dari yang ia lihat sewaktu dirinya datang. Walaupun Desa itu bukan tempat ia di lahirkan, tapi setidaknya Kolis berdiam di Desa itu cukup lama sewaktu dirinya masih dalam asuhan sang Ibu saat masih hidup. Kolis pun yakin betul jika tak banyak perubahan yang membuatnya pangling akan keadaan Desa meski telah beberapa tahun meninggalkannya. Tapi saat ini, dirinya benar-benar merasakan bahwa tengah berada di tempat yang asing.
"Koe arep nandi, Le? kok kendel temen dewean?"(Kamu mau kemana, Nak? kok berani sekali sendirian?)
Hampir saja Kolis melompat kala satu suara wanita tua mengejutkannya dari belakang. Ia pun seketika beringsut mundur saat memutar tubuhnya dan mendapati satu sosok wanita berpakaian komprang telah berdiri tegak di belakangnya sembari tersenyum menyeringai.
"Sa ... Sa, sampean sopo, Mbah?"(Ka ... ka, kamu siapa, Mbah?) tanya Kolis dengan terbata.
"Aku yo penghuni kene, kudune aku seng takok, koe sopo terus arep nandi?"(Saya ya penghuni di sini, harusnya saya yang bertanya, kamu siapa terus mau kemana?) jawab sosok wanita tua itu sedikit melototkan matanya.
Kolis terdiam. Disamping rasa heran, ia juga mulai tersusupi rasa takut. Apalagi saat matanya melihat dari kilatan cahaya obor berwadah bambu yang ada di tangan kiri sosok wanita tua di hadapannya, tampak keanehan dari wajah sosok itu.
"Ojo tok tanggepi! terus mlakuo Lis!"(Jangan di tanggapi! terus berjalan Lis!)
Satu bisikan tegas nyaring menusuk telinga Kolis. Ia pun terperanjat, kaget kala tau suara itu adalah suara Bapaknya sendiri. Kolis akhirnya membalikan badan. Mengabaikan sosok wanita tua yang menggapai-gapai kan tangannya seolah ingin memamerkan kuku-kuku runcing panjang dan hitam.
Lembab seakan tak berudara hawa dirasakan Kolis ketika dirinya semakin melangkah jauh. Tubuhnya berkeringat bukan karena rasa lelah, melainkan tekanan rasa takut yang amat luar biasa.
Ingin rasanya Kolis saat itu berbalik dan kembali, namun teringat keselamatan sang Adik dan pesan dari sang Bapak, Kolis menguatkan tekadnya.
Pelan dan tak ada suara langkah kaki Kolis yang terus menyusur jalanan lurus tak berlobang. Walau terlihat gelap, tapi Kolis seolah tertuntun. Ia sama sekali tak kesulitan, menerobos kabut-kabut tipis yang menutup jarak pandangnya.
Setiba Kolis di sebuah Gapura besar berhias ukiran Naga melingkar, ia terdiam sejenak. Menatapi tiap lekuk bangunan gapura yang baru pertama di lihatnya, dan dirinya rasa begitu sempurna.
"Ojo mbok delokne moto nogo kui, Lis! mlebuo, rasah ngagas opo ae seng ono nang ngarep utowo samping-sampingmu. Cepet! wektumu ora akeh!"(Jangan kamu lihat mata naga itu, Lis! masuklah, tidak usah hiraukan apa saja yang ada di depan atau di samping-sampingmu. Cepat! waktumu tidak banyak!)
Kembali Kolis terjingkat saat suara Bapaknya membisik di telinganya. Hal itu pun menyadarkan Kolis jika kini dirinya tak sendiri di tempat itu. Di depannya, tampak beberapa orang berwajah pucat pasi tengah menatapinya.
Seketika tubuh Kolis merinding, apalagi saat ia menoleh di kanan kirinya, puluhan pasang mata juga sedang menatap padanya dengan tatapan kosong. Bukan hanya merinding akan wajah dan cara mereka memandang, tapi juga akan aroma tubuh mereka yang kental antara perpaduan Kapur Barus dan bunga kamboja.
"Ojo mbok gagas, mlebu saiki!"(Jangan kamu hiraukan, masuk sekarang!) lagi, satu sentakan suara membulatkan keberanian Kolis.
Ia pun melangkah meski lututnya terasa lemas dan gemetar. Satu dua hingga beberapa kali dirinya berpapasan dengan sosok-sosok itu, membuat dadanya terasa sesak tersusupi aroma khas mayat dari tubuh mereka. Namun Kolis terus melangkah pelan, cercahan bisik suara Mbah Soko menguatkan dirinya, seakan tau bila ia tak sendiri.
Hampir lebih tiga ratus meter setelah ia melewati Gapura itu, tibalah Kolis di sebuah taman bercahaya redup bersuara riuh gemericik air yang mengalir. Ia terpaksa kembali berhenti, kala di depannya terdapat tiga buah jalan berbeda arah dengan sama-sama berhiaskan lampu obor berwadah ting tembaga.
Bingung dan ragu Kolis untuk menetukan salah satu jalan yang akan ia lalui. Ia tertegun sebentar menatap tiga jalan beralas bebatuan bersusun rapi, dengan tatanan aneka kembang di sisi kanan kiri yang sama persis. Namun tak lama, Kolis akhirnya memilih jalan di sisi kanan. Bukan tanpa alasan dirinya memilih itu, tapi ia memantapkan pilihannya oleh satu sebab jalan itu tampak berbeda, atau tepatnya di ujung depan taman. Di mana, mata Kolis melihat sebuah patung sesosok wanita berkebaya, kokoh berdiri dengan balutan patung ular hitam melingkari.
"Koe kudu cepet mlebu rono Lis! gowo Adikmu sak durunge acara Srengginan rampung! Bapak karo Mbah Waris mek sanggup ngawal tekan kene, sak bare Bapak serahke awakmu! ojo lali dungo, Lis."(Kamu harus cepat masuk ke situ Lis! bawa Adikmu sebelum acara Srengginan(ritual rutin) selesai! Bapak sama Mbah Waris cuma sanggup ngawal sampai di sini, setelahnya Bapak serahkan dirimu! jangan lupa berdoa, Lis.) Satu bisikan sekali lagi menguatkan juga meluruhkan jiwa Kolis. Sebab dari kalimat itu, Kolis sadar jika satu kakinya sudah melangkah melewati jalan itu, maka dirinya harus berusaha sendiri.
Beriring lantunan Doa dalam hati, Kolis pun mengayunkan kaki kanannya menapak jalan bebatuan hitam yang tersusun. Melewati barisan aneka kembang setinggi perut, menembus kepulan asap tipis dari corong obor yang berjejer rapi.
Puluhan menit Kolis berjalan sembari menahan degupan jantung yang tak beraturan. Keringatnya deras mengucur, walau tempat itu dirasa begitu sejuk olehnya. Tak ada apapun sedari Kolis melangkah melewati jalan itu. Membuatnya sedikit mempercepat langkah berharap bisa segera menemukan sang Adik. Namun, ketika dirinya tinggal berjarak tiga meteran dari patung sosok wanita berkebaya, tiba-tiba tubuhnya melemah, kedua kakinya serasa tak bertulang, terpaku diam tanpa mampu bergerak.
"Suruppp pati, lebur ing wewening wengi iki...."
Sebaris bait lantunan tembang beriring pegon peloq, tetiba saja terdengar begitu dekat di rasa Kolis, seolah berada tepat di samping kirinya, semakin membuat tubuhnya kaku pucat tak berdarah.