Pikiranku menerawang, mencoba mengingat kembali semua peristiwa yang sudah aku dan putriku lalui. Masih teringat jelas dalam ingatanku semua peristiwa tidak masuk akal yang selalu menjadi santapanku sehari-hari. Bersinggungan dengan peristiwa gaib yang hampir membuat otakku menjadi gila!
Malam itu terasa aura mistis yang berhembus sampai membuat bulu kuduk merinding. Suasana di dalam rumah terasa begitu mencekam dan menegangkan.
Suara itu... Ya suara itu!!!
Suara denting piano mulai terdengar menggema di seluruh ruangan, seingatku piano mainan putriku sudah kumatikan dari sebelum adzan magrib berkumandang. Gendis yang sedang tertidur lelap tiba - tiba terbangun, dirinya tampak gelisah dan mulai terdengar tangisan dari bibir mungilnya.
"Aaarrghh...!!! Kenapa kalian tidak pernah berhenti mengganggu anakku? Apa kesalahan putriku terhadap kalian?"
Kehidupanku dulu berjalan normal hingga kehadiran putriku membuat semuanya berubah. Mereka sangat menantikan kehadiranmu, mereka begitu menyambutmu! Apa yang membuat mereka begitu tertarik denganmu putri kecilku?
Gendis adalah nama yang kuberikan untuk putriku tercinta. Anak yang sudah kutunggu hampir sepuluh tahun lamanya. Dari awal kelahirannya, banyak peristiwa aneh yang terjadi. Kehadiran Gendis seperti sudah sangat ditunggu oleh mereka. Putriku sangat rewel, dia selalu menangis dan menjerit histeris ketakutan setiap saat.
Bagaimanakah proses perjalanan hidup Gendis selanjutnya? Bisakah ia terbebas dari semua rasa ketakutan yang selalu menghantui dirinya? Akankah putriku bisa menjalani hidup normal seperti anak kecil lainnya? Dan kapankah semua ujian ini akan berakhir?
Ini kisah Gendis anakku yang akan menjadi bagian dari perjalanan hidupku...
Thread ini aku dedikasikan untuk putriku tercinta yang bernama "Gendis". Semoga kelak ketika dirimu sudah tumbuh dewasa, kamu bisa membaca kisah yang mama tulis berdasarkan pengalaman yang kita lewati setiap harinya. Cerita ini merupakan kisah perjuangan seorang Ibu dalam membesarkan dan mendidik anaknya yang indigo.
Dulu aku hampir menyerah, aku sudah terlalu lelah menghadapi semua peristiwa yang tidak masuk akal. Mentalku sudah tidak kuat menghadapi semua gangguan-gangguan itu sendirian. Namun aku salah! Ternyata aku lebih kuat dari dugaanku selama ini! Itu semua karena rasa kasih sayang seorang Ibu yang begitu besar terhadap anaknya tercinta.
Pesan mama untuk Gendis "Jika saatnya tiba tolong pergunakan kemampuanmu untuk membantu sesama". Enjoy the process dan ingat kamu tidak pernah sendirian! Mommy loves u!
Terima kasih ya Ndis sudah mengijinkan mama untuk menuliskan kisahmu.
Quote:
Doa dari Mas Yus untuk Gendis
Kisah ini berdasarkan kisah nyata yang aku dan Gendis alami.
Untuk update diusahakan setiap hari Senin dan Kamis ( dikondisikan dengan RL).
Mohon maaf kalau susunan kalimatnya kurang enak dibaca. Karena ini pertama kalinya aku menulis cerita.
Selamat menikmati thread ini, jangan lupa ratenya, komen n ... Terima kasih.
Quote:
Saya mohon dengan sangat untuk tidak meng Copy Paste cerita ini Tanpa Seijin Gendis. Terima kasih
"Sesampainya di rumah, aku segera menunaikan shalat zuhur dan melepas lelah di hamparan karpet berwarna abu-abu. Dari atas tempat tidur, ekor mata Gendis tampak terus mengawasiku. Kedua bola matanya berputar seperti menyembunyikan sesuatu. Ia menatap dengan tatapan sinis dan mulut berdesis.
Aku termangu. Diam tanpa kata.
"Ndis kenapa dari tadi menatap mama terus menerus? Memangnya ada apa?" Akhirnya aku memberanikan diri bertanya.
Ia terdiam dan terus mengawasiku.
"Dis! Mama ada salah apa sih sama kamu??"
Bibirnya tetap tertutup rapat. Cukup lama ia terdiam di atas kasur, tak bereaksi sedikitpun.
Gendis mulai turun dari ranjang tempat tidur, berjalan menghampiriku. Kini anakku duduk di hadapanku. Sesekali wajahnya tampak menoleh ke belakangku, seperti ingin memastikan sesuatu.
"Ma angun ulu. Duduk cebental?" (Ma bangun dulu. Duduk sebentar)
Dengan rasa malas, aku segera mendudukkan diriku, bersender pada dinding kamar.
"Apa Ndis?"
Putriku bersingsut mendekat, ia langsung mendekap erat tubuhku.
"Eh, Gendis kenapa nak??" Tanyaku keheranan.
"Ssst ! Mama angan belicik ntal Dis elacin!" (Sst. Mama jangan berisik ntar Gendis jelasin) Ujarnya sambil mempererat pelukannya.
Aku merasa heran, terdiam menunggu kelanjutan ucapan putriku. Hembusan nafasnya yang teratur terasa hangat membelai tengkukku.
"Ma ali adi ada yan itutin mama!" (Ma dari tadi ada yang ikutin mama) Bisiknya pelan.
Perlahan anakku melepaskan pelukannya. Ia memandang wajahku.
"Iya ma, elempuan itu itutin mama dali lumah mac Apan. Dia ali adi oba acuk ke adan mama, api ga ica-ica. Ental telus ke belatan!" (Iya ma. Perempuan itu ngikutin mama dari rumah mas Affan. Dia dari tadi coba masuk ke badan mama. Tapi nggak bisa-bisa. Mental terus ke belakang)
Dengan kedua telapak tangannya, anakku memperagakan apa yang telah dilihat oleh mata ketiganya.
"Pantesan tadi tuh tubuh mama merinding terus dan bahu terasa berat"
"Iya ma, ala-ala elempuan itu!" (Iya ma. gara- gara perempuan itu)
"Sekarang perempuan itu kemana Ndis?"
"Cudah elgi ma. Dis ucil Dis ga cuka dia! Ga enyak!" (Sudah pergi ma. Gendis usir. Gendis nggak suka dia. Nggak enak) Mungkin yang dimaksud tidak enak oleh putriku adalah aura yang terpancar dari diri wanita tersebut.
"Memangnya tadi Gendis bilang apa ke dia?"
"Dis ilan, elgi cana! Anan agu mama aku! Teyus, dia elgi deh!" Dis bilang pergi sana. Jangan ganggu mama aku. Terus dia pergi deh)
"Semudah itu??" Tatapku tak percaya.
"He-eh ma!"
"Alhamdulillah kalau mahluk gaib itu sudah pergi. Pantesan badan mama jadi terasa lebih enteng. Terima kasih ya Ndis!" Aku menciumi kedua pipi dan kening putriku.
"Akana ma, alo elgi emana-mana, mama cuka liat-liat keelakan! Bial da ada ang itutin mama agi!" (Makanya ma. Kalau pergi kemana-mana mama suka lihat-lihat ke belakang. Biar nggak ada yang ikutin mama lagi)
"Kenapa tadi Gendis nggak mau ngasih tahu kalau ada mahluk jelek yang ngikutin mama pulang?"
Anakku tertunduk, menatap ke arah karpet. Ia menggeleng lemah.
"No! Dis ga au mama atut! Dis ga aua mama pingcan! Akana Dis iem aja, iyatin elempuan itu teyus!" (No. Gendis nggak mau mama takut. Gendis nggak mau mama pingsan. Makanya Gendis diem aja. Ngelihatin perempuan itu terus)
"Ya Allah, Ndis! Seperhatian itu Ndis sama mama?"
Iya mengangguk sekali.
Aku merengkuh tubuh kecil itu dan mendekapnya erat.
"Terima kasih ya Ndis, sudah peduli dan sayang sama mama" bisikku lirih.
"Cama-cama ma! Inat ecen Dis! Celin iat-iak ke belakan alo agi elgi!" (Sama-sama ma. Ingat pesan Gendis. Sering lihat-lihat ke belakang kalau lagi pergi)
"Iya! Mama akan selalu ingat pesan Ndis!"
Rasa penasaran menelisik dalam hati. Siapa sosok wanita yang sudah putriku lihat? Apakah mama Affan juga pernah mengalami hal yang sama denganku?
Aku meraih ponsel yang tergeletak begitu saja di atas karpet dan segera mengirim pesan ke mama Affan. Tak lupa kuceritakan semua yang sudah putriku lihat. Aku juga memberitahu mama Affan jika anakku sedari lahir memang sudah berbeda. Entah ia akan percaya atau tidak. Yang penting aku sudah mengatakan yang sebenarnya.
Sejurus kemudian terdengar nada balasan.
"Pantesan aku perhatikan sorot mata anakmu itu beda banget! Terlalu tajam untuk anak seusianya! Hawa di dapurku memang aneh Dis. Aku sering merasakan seperti ada yang tengah mengawasiku di sana"
Aku membaca pesan yang mama Affan kirim. Ternyata ia juga merasakan hal yang sama denganku!
"Maaf mama Affan kalau Ima tidak sopan. Apa mungkin di rumah mama Affan pernah terjadi musibah?"
Baru saja aku mengirim pesan, tak lama mama Affan membalas dengan cepat.
"Aku kurang tahu Dis. Rumah ini hadiah dari mertuaku. Tapi yang aku pernah dengar dari tetangga, mertuaku membeli rumah ini dengan harga yang sangat murah karena dulunya di bangunan ini pernah terjadi kebakaran hebat!"
"Astagfirullah alaziem" batinku.
"Apa ada korban yang meninggal saat kebakaran itu terjadi?"
"Entah Dis, aku nggak tahu! Tetangga nggak ada yang mau cerita!"
Aku terdiam, merenung. "Bisa saja saat itu terdapat korban jiwa. Dan para tetangga menutup rapat mulut mereka karena tidak enak sama mama Affan. Berarti perempuan itu...!"
Aku menghela nafas berat, tidak berani berspekulasi terlalu jauh. Yang terpenting bagiku, mahluk itu sudah tidak mengikuti aku lagi. Mungkin dia sudah kembali ke kediamannya, dimana tempatnya berasal!!
***
"Ma! Dis ain uyu ke lumah Bila ya?" (Ma. Gendis main dulu ke rumah Bila ya) Pinta putriku yang pagi itu mengenakan baju dan celana panjang berwarna kuning gading.
"Mau ngapain ke rumah Bila?
"Au iat itan!" (Mau lihat ikan)
"Ya sudah tapi jangan main jauh-jauh ya Ndis. Cukup di rumah Bila saja. Kalau sudah selesai lihat ikannya, langsung pulang!"
"Iya ma. Maaci ma!" (Iya ma. Terima kasih ma) Putriku segera berlari ke luar rumah menuju ke rumah tetanggaku yang letaknya berada tepat di sebelah kanan kediamanku.
Aku segera mengusap pelipisku yang basah dan melanjutkan membuat adonan kue.
Tak sampai sepuluh menit terdengar derap langkah kaki berlari memasuki pelataran rumah.
Aku menjawab salamnya sambil melirik sekilas ke arah Putriku. Dengan bibir cemberut, ia langsung mengehempaskan tubuhnya di atas sofa. Aku memperhatikan roman mukanya dengan seksama.
"Ndis kenapa pulang-pulang mukanya di tekuk begitu? Ndis habis berantem sama Bila ya?"
"No!!" Jawabnya lemah.
"Terus kenapa mainnya cepat banget sayang?"
"Itu ma! Pas Dis agi iat itan, au-au Iyan atan teyus encet-encet antat Dis! Dis ga cuka! Tan da oleh ya ma!" (Itu ma. Pas Gendis lagi lihat ikan, tau-tau Ryan datang tetus pencet-pencet pantat Ndis. Gendis nggak suka. Kan nggak boleh gitu ya ma)
Aku terkesiap tidak mempercayai pendengaranku.
"Yang benar Ndis, masa Ryan meremas bokong Gendis?"
"Iya ma! Etul! Dis tan ga oleh oon! Alus jujul!" (Iya ma. Betul. Gendiskan nggak boleh bohong. Harus jujur)
Seketika emosiku bergejolak!
Sedari Gendis kecil, aku selalu mengajari putriku untuk selalu menjaga anggota tubuhnya. Aku memberi pemahaman ke anakku tentang bagian tubuh mana yang tidak boleh disentuh oleh siapapun kecuali aku! Dan kini ada anak kecil yang usianya empat tahun lebih tua dari Gendis dengan beraninya menjamah salah satu bagian tubuh putriku!
Ryan!! Aku benci sekali setiap mendengar namanya! Dia adalah orang baru di tempatku. Keluarganya pindah di kompleks perumahanku saat Gendis masih berusia setahun. Dulu Ryan suka menumpang bermain di rumah. Hingga suatu hari..
Saat itu aku sedang berada di dapur membuat roti untuk cemilan Gendis. Samar-samar dari arah teras aku mendengar suara Ryan berkata "Sudah kamu diam saja begitu".
Perasaanku mulai tidak enak! Aku segera melangkah ke teras untuk mengecek putriku. Dan apa yang netraku lihat membuat darahku berdesir hebat. Masih mengenakan pakaian utuh, ku lihat Ryan sedang menindih tubuh putriku dengan posisi ia berada di atas. Anakku yang tidak paham apa-apa hanya terdiam terpaku memandang wajah Ryan.
Dengan gusar, aku segera menarik tubuh Ryan dari atas tubuh anakku dan mengusirnya pulang! Aku membentak dirinya agar jangan pernah berani menginjakkan kakinya ke rumahku lagi! Aku benar-benar muak dan jijik dengan anak kecil bertubuh kurus dekil itu! Bodohnya, saat itu aku tidak segera mengadukan perilaku Ryan kepada orangtuanya!
Dan kini kejadian itu terulang kembali, berani-beraninya bocah tengik itu menjamah tubuh anakku!
Aku menarik nafas panjang beberapa kali.
Mengatur emosi yang siap meledak!
Aku segera mengambil handphone yang berada di atas meja, tak kuhiraukan tanganku yang belepotan tepung terigu. Aku harus memastikan kebenaran ucapan putriku terlebih dahulu. Aku segera mengirim pesan whatsapp ke mama Bila. Siapa tahu ia melihat kejadian ini.
"Mama Bila maaf tadi Gendis kan habis pulang dari rumah Bila. Kata Gendis, disana ada Ryan dan Ryan meremas bokongnya Gendis. Mama Bila melihat kejadian itu tidak?"
Mama Bila yang lagi online segera membalas pesanku.
"Waduh maaf mba Ima. Dari tadi aku di kamar, tidak mengawasi anak-anak yang main ke rumah?"
Aku segera mengucapkan terima kasih.
Aku terdiam. "Siapa lagi yang bisa kujadikan saksi? Bila? Mana bisa anak itu bersaksi! Usianya masih setahun dan belum bisa berbicara!"
Mataku menatap ke arah Gendis yang sedang rebahan di atas sofa. "Anakku juga tidak mungkin berbohong. Dari kecil, aku sudah menanamkan agar ia selalu berkata jujur"
Aku menimbang-nimbang ponsel di tangan. Akhirnya dengan tubuh gemetar aku memberanikan diri mengirim pesan ke mama Ryan. Aku menceritakan semua kejadian yang sudah dialami putriku. Kujelaskan juga kepadanya kalau aku paling anti jika ada anggota tubuh putriku yang disentuh dengan sengaja oleh pria!
Aku tidak peduli jika orangtua Ryan akan marah dan membenciku karena aku telah lancang menegur mereka. Aku juga tidak takut walau keluarga Ryan banyak yang menjadi tetanggaku. Selama aku benar, aku akan selalu menjadi orang yang berdiri paling depan untuk melindungi anakku dari perilaku teman-temannya yang tidak senonoh.
"Maaf mama Gendis nanti saya coba tanyakan ke Ryan masalah ini" hanya itu jawaban yang kuterima.
Segera kubalas pesannya dengan sedikit emosi.
"Nanti kalau Ima bertemu Ryan, akan Ima tegur dia. Ima akan kasih tahu tentang anggota tubuh yang tidak boleh disentuh! Biar Ryan paham jangan sembarangan memegang tubuh orang lain!"
Hanya dibaca! Ibunya Ryan tidak berani membalas pesanku!
"Dasar tolol!!" Gumamku.
Aku memijit keningku. Kepalaku menjadi pusing karena memendam amarah. Rasanya aku ingin mencaci maki kelakun putranya yang bodoh dan dungu itu! Bagaimana mungkin mereka yang notabene memiliki background seorang pengajar tetapi tidak bisa mendidik anak mereka sendiri.
Aku mendengus kesal.
Netraku melihat ke arah Gendis yang sedang bermain ipad di sofa.
Aku menghampiri putriku, mengecup lembut keningnya.
"Terima kasih ya Ndis sudah mau jujur dan cerita kejadian tadi ke mama!" Bisikku di telinganya.
Putriku terdiam. Semilir angin ac membuat kelopak matanya kelihatan sayu menahan kantuk. Lambat laun matanya yang indah tertutup rapat. Hanya desah nafasnya yang teratur, terdengar di telinga.
***
Suara dering telepon masuk mengagetkanku.
Dengan mata setengah terpejam, tanganku meraba ke atas meja. Berusaha mengambil telepon genggam berwarna hitam. Akhirnya jemariku berhasil menemukan sebuah benda kecil yang berbentuk persegi panjang.
"KAMU TUH JADI ORANG GEGABAH BANGET! KAMU SADAR NGGAK KALAU SUDAH BIKIN MAMA MALU!!"
"Ya Allah ini sebenarnya ada apa sih ma?? Jangan bikin Ima bingung dong!" Ketusku singit.
"KAMU NGAPAIN MENEGUR MAMANYA RYAN? MARAHIN DIA TANPA TAHU KEBENARANNYA??"
"Ooh itu. Jadi mama sudah tahu kalau Ima tadi siang mengirim pesan ke mama Ryan? Siapa yang sudah ngasih tahu mama berita tersebut? Ember banget mulutnya!'
"NGGAK PERLU TAHU SIAPA YANG SUDAH MEMBERITAHU MAMA? KAMU ITU JADI IBU JANGAN TERLALU PERCAYA SAMA UCAPAN ANAK SENDIRi!"
"Loh memangnya mama mengetahui kejadian yang sebenarnya?"
"MAMA TAHU SEMUANYA! MAKANYA MAMA BILANG KE KAMU, JANGAN TERLALU PERCAYA SAMA ANAKMU! DIA ITU PEMBOHONG!!"
"Degg!!" Jantungku berdesir kencang.
Seketika Mataku nanar mendengar ucapan ibunya Dwi. Rasanya ingin sekali aku menampar mulutnya yang dengan kurang ajar telah mengatai putriku seorang pembohong!
"Gendis pembohong?? Dia bohong dari mana??" Ucapku dengan suara bergetar.
"MEMANG PUTRIMU PEMBOHONG! JELAS-JELAS RYAN NGGAK MEGANG PANTAT ANAKMU! INI DIA MALAH BILANG SEBALIKNYA! KALAU BUKAN PEMBOHONG TERUS NAMANYA APA??"
Emosiku terpancing. Aku segera menceritakan peristiwa yang pernah menimpa putriku ketika ia berusia satu tahun. Aku juga menjelaskan tentang perilaku Ryan yang di lingkunganku terkenal nakal. Namun ibu Dwi lebih memihak dan mendengar ucapan orang lain. Ia terus saja menyalahkan dan mengata-ngatai aku dan anakku! Di matanya orang lain itu tidak pernah bersalah!
"MAKANYA JADI IBU YANG BENAR! ANAK PEREMPUAN JANGAN DIKASIH BAJU YANG SEXY! KALAU ANAKMU KELUAR RUMAH HANYA MENGENAKAN BAJU MINIM, BUKAN SALAH RYAN KALAU DIA SAMPAI MERABA PANTAT ANAKMU! ITU SEMUA SALAHMU DAN ANAKMU SENDIRI!"
"Astagfirullah!" Aku mengucap istigfar dalam hati.
Batinku menjerit.
Baju sexy? Mana pernah aku memberi Gendis pakaian yang sexy! Setiap keluar rumah ia selalu mengenakan baju longgar dan celana panjang. Tak pernah ku ijinkan anakku bermain hanya mengenakan celana pendek! Putriku memang terlahir montok, apa salah kalau dia ditakdirkan memiliki tubuh yang indah?
Seandainya posisi dibalik, Dwi yang mengalami pelecahan. Apa tanteku berani menyalahkan dirinya sendiri? Dan apa ia akan tetap tinggal diam?
"GENDIS ITU KAN HALU! SUKA BERBICARA SENDIRI, MAKANYA JANGAN DITELAN MENTAH-MENTAH UCAPANNYA!"
Kupingku terasa panas. Nafasku memburu, mataku memerah menahan tangis, dengan cepat aku segera mematikan ponsel. Aku tidak ingin mendengar semakin banyak penghinaan yang terlontar dari mulut tanteku sendiri.
"Ya Allah kenapa ada manusia seperti itu? Bukannya membela keluarga sendiri malah membela orang lain yang jelas-jelas sudah melakukan kesalahan!" Batinku.
Mungkin ada yang berpikir jika aku terlalu lebay karena langsung emosi begitu mendengar bagian tubuh anakku dipegang oleh pria. Maaf, aku mempunyai prinsip yang kupegang teguh. Jika sedari kecil, memegang tubuh lawan jenis hanyalah dianggap guyonan belaka, apa yang akan terjadi jika nanti mereka beranjak dewasa??
Aliran darahku mendidih. Batinku bergemuruh hebat. Ingin rasanya aku menjerit, meluapkan semua rasa sakit di hati. Aku terduduk dalam diam. Perasaan sesak, sakit dan kecewa menyeruak dalam hati. Perlahan aku memejamkan mata, berusaha mengatur nafas yang mulai tidak beraturan dan memasuki kesunyian.
Aku membuka mata perlahan, menatap wajah damai putriku yang masih terlelap di atas sofa.
"Kasihan sekali nasibmu Ndis, harus punya nenek seperti itu!" Desisku pelan.
Dalam hatiku masih ada sesuatu yang terasa begitu mengganjal. Dengan tangan gemetar, jemariku segera mengetik pesan untuk Neng. Ku ungkapkan semua uneg-uneg serta ucapan dan penghinaan Ibu Dwi. Aku ingin mengetahui pendapat Neng yang berprofesi sebagai seorang guru.
Cukup lama aku menunggu pesan balasan. Hingga akhirnya lima belas menit kemudian terdengar notifikasi pesan masuk.
"Serius mba, ibunya Dwi malah bilang begitu ke mba? Kok bisa sih?? Anak seumuran Gendis itu tidak pernah berkata bohong mba! Apalagi anakmu itu kan cerdas banget! Kok bisa-bisanya Gendis malah dicap pembohong! Ibunya Dwi aneh! Masa malah membela orang lain bukannya Gendis? Kacau tuh punya keluarga seperti itu! Bukannya mendukung malah menjatuhkan cucunya sendiri!"
Aku hanya terdiam membaca pesan dari Neng. Ternyata pemikiran kita sepaham.
Tanteku itu memang terkenal akan wataknya yang keras dan mulutnya yang ketus. Entah sudah berapa ratus kali ia selalu menghina dan membandingkan Gendis dengan anak lain. Di matanya, anakku hanyalah seonggok sampah yang tak berguna.
Masih terngiang-ngiang jelas di telinga. Saat itu putriku masih berusia setahun dan ibu Dwi menghardik kasar anakku "Gendis! Kamu itu kok nggak bisa bicara sih? Kamu gagu ya karena mama mu tidak pernah mengajakmu ngobrol? Payah memang orangtua mu! Ngurus satu anak saja nggak becus!!
Atau di lain waktu ia dengan tidak segan-segan mengatai putriku dengan hinaan lainnya "Gendis kenapa kamu kaya orang gila? Suka ngomong dan senyam senyum sendiri sama pohon dan tembok? Mamanya calon penghuni neraka sih makanya nurun ke anaknya yang sukanya berteman sama setan!!" Ketusnya tanpa memandang perasaanku.
Entah dimana hati nuraninya sampai setega dan sekejam itu berbicara kepada anakku yang belum paham apa-apa.
Aku menitikkan air mata. Aku ikhlas kalau ia selalu mencaci maki diriku. Tapi jangan Gendis! Ia tidak berdosa!! Apakah Ibu Dwi tidak pernah melihat kelebihan anakku?
Gendis yang berusia 9 bulan sudah bisa berjalan dan berlari. Gendis yang hobinya membaca buku semenjak usianya 7 bulan. Gendis yang hapal abjad ketika usianya dua tahun! Apa ia mau mengakui semua keunggulan Gendis? TIDAK! Di matanya, anakku itu tidak bisa apa-apa! Anakku yang selalu bergerak aktif hanyalah seorang anak aneh yang hobinya berbicara dan berteman dengan sekumpulan setan!
Batinku menjerit! Hatiku menangis! Selama bertahun-tahun aku terus memendam rasa sakit hati karena ucapan yang telah ia lontarkan! Dan kali ini aku benar-benar tidak bisa memaafkan perkataannya yang telah menyebut anakku seorang pembohong!!!
***
Sehabis menerima telepon dari Ibu Dwi, aku berusah keras menahan tangis. Aku tidak ingin putriku melihatku bersedih. Aku juga tidak memberi kabar ke suamiku yang sedang bertugas keluar kota. Aku tak mau menambah beban pikirannya. Sebisa mungkin biar kutelan sendiri rasa pahit ini. Toh kejadian ini bukan hanya terjadi sekali atau dua kali. Melainkan sudah ratusan bahkan ribuan kali.
Aku tersenyum getir.
Adzan maghrib berkumandang. Aku segera mensucikan diri dan menunaikan kewajibanku. Selesai shalat, aku beristighfar sebanyak-banyaknya. Memohon ampun kepada sang Pencipta.
Tiba-tiba Gendis menghampiriku. Ia memelukku dari belakang. Kedua tangannya melingkar di leherku. ia mengecup pucuk kepalaku mesra.
"Ma angan cedih!" (Ma jangan sedih) Bisiknya lembut.
Mendapat perlakuan yang menyentuh hati membuat topeng kaca yang ku kenakan pecah seketika! Aku langsung menangis histeris dalam dekapan Gendis. Menangis sekerasnya, meluapkan segala emosi. Rasa benci pada seseorang.
"Ma, no cly! Dis au ati mama ecewa. Ati mama cakit. Mama cedih!" (Ma. No cry. Gendis tahu hati mama kecewa. Hati mama sakit. Mama sedih)
"Dis au cemuana ma!" (Gendis tahu semuanya ma)
Tubuhku membeku mendengar ucapannya
Anakku semakin mempererat pelukannya ke tubuhku yang mulai terasa dingin. Ia tidak ingin melihatku terluka. Gendis berusaha menghangatkan diriku yang rapuh dengan cinta kasihnya yang tulus. Dengan bibir terkatup rapat, ia tampak terus menggumamkan sesuatu.
Anda akan meninggalkan Stories from the Heart. Apakah anda yakin?
Lapor Hansip
Semua laporan yang masuk akan kami proses dalam 1-7 hari kerja. Kami mencatat IP pelapor untuk alasan keamanan. Barang siapa memberikan laporan palsu akan dikenakan sanksi banned.