Pikiranku menerawang, mencoba mengingat kembali semua peristiwa yang sudah aku dan putriku lalui. Masih teringat jelas dalam ingatanku semua peristiwa tidak masuk akal yang selalu menjadi santapanku sehari-hari. Bersinggungan dengan peristiwa gaib yang hampir membuat otakku menjadi gila!
Malam itu terasa aura mistis yang berhembus sampai membuat bulu kuduk merinding. Suasana di dalam rumah terasa begitu mencekam dan menegangkan.
Suara itu... Ya suara itu!!!
Suara denting piano mulai terdengar menggema di seluruh ruangan, seingatku piano mainan putriku sudah kumatikan dari sebelum adzan magrib berkumandang. Gendis yang sedang tertidur lelap tiba - tiba terbangun, dirinya tampak gelisah dan mulai terdengar tangisan dari bibir mungilnya.
"Aaarrghh...!!! Kenapa kalian tidak pernah berhenti mengganggu anakku? Apa kesalahan putriku terhadap kalian?"
Kehidupanku dulu berjalan normal hingga kehadiran putriku membuat semuanya berubah. Mereka sangat menantikan kehadiranmu, mereka begitu menyambutmu! Apa yang membuat mereka begitu tertarik denganmu putri kecilku?
Gendis adalah nama yang kuberikan untuk putriku tercinta. Anak yang sudah kutunggu hampir sepuluh tahun lamanya. Dari awal kelahirannya, banyak peristiwa aneh yang terjadi. Kehadiran Gendis seperti sudah sangat ditunggu oleh mereka. Putriku sangat rewel, dia selalu menangis dan menjerit histeris ketakutan setiap saat.
Bagaimanakah proses perjalanan hidup Gendis selanjutnya? Bisakah ia terbebas dari semua rasa ketakutan yang selalu menghantui dirinya? Akankah putriku bisa menjalani hidup normal seperti anak kecil lainnya? Dan kapankah semua ujian ini akan berakhir?
Ini kisah Gendis anakku yang akan menjadi bagian dari perjalanan hidupku...
Thread ini aku dedikasikan untuk putriku tercinta yang bernama "Gendis". Semoga kelak ketika dirimu sudah tumbuh dewasa, kamu bisa membaca kisah yang mama tulis berdasarkan pengalaman yang kita lewati setiap harinya. Cerita ini merupakan kisah perjuangan seorang Ibu dalam membesarkan dan mendidik anaknya yang indigo.
Dulu aku hampir menyerah, aku sudah terlalu lelah menghadapi semua peristiwa yang tidak masuk akal. Mentalku sudah tidak kuat menghadapi semua gangguan-gangguan itu sendirian. Namun aku salah! Ternyata aku lebih kuat dari dugaanku selama ini! Itu semua karena rasa kasih sayang seorang Ibu yang begitu besar terhadap anaknya tercinta.
Pesan mama untuk Gendis "Jika saatnya tiba tolong pergunakan kemampuanmu untuk membantu sesama". Enjoy the process dan ingat kamu tidak pernah sendirian! Mommy loves u!
Terima kasih ya Ndis sudah mengijinkan mama untuk menuliskan kisahmu.
Quote:
Doa dari Mas Yus untuk Gendis
Kisah ini berdasarkan kisah nyata yang aku dan Gendis alami.
Untuk update diusahakan setiap hari Senin dan Kamis ( dikondisikan dengan RL).
Mohon maaf kalau susunan kalimatnya kurang enak dibaca. Karena ini pertama kalinya aku menulis cerita.
Selamat menikmati thread ini, jangan lupa ratenya, komen n ... Terima kasih.
Quote:
Saya mohon dengan sangat untuk tidak meng Copy Paste cerita ini Tanpa Seijin Gendis. Terima kasih
"Hari itu suasana di ruang tunggu terlihat begitu ramai, dipadati oleh penumpang yang akan bertolak ke Jakarta. Aku dan suamiku memilih duduk di kursi yang berada di pojok paling belakang. Untuk membunuh waktu, aku mengambil majalah yang disediakan dalam boarding room.
"Ma, Dis au iat ecawat ya?" (Ma. Gendis mau lihat pesawat ya)
"Iya tapi jangan jauh-jauh ya Ndis!"
"Ya ma" putriku langsung berlari menuju ke arah jendela untuk melihat pesawat yang sedang terparkir di landasan.
Aku melihat jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan "Hmm.. masih ada waktu tiga puluh menit lagi sebelum pesawat lepas landas" desisku lirih.
Ujung mataku melihat ke luar ruangan yang semuanya terbuat dari kaca tembus pandang. Cuaca di Denpasar sangatlah cerah menandakan tidak akan turun hujan. Semilir angin bertiup pelan, terlihat dari daun di pepohon yang bergerak melambai-lambai. Cuaca hari ini tampak begitu bersahabat.
Aku menoleh ke arah jendela tempat dimana putriku berada. Namun tak kulihat lagi sosoknya. Aku mengangkat tubuhku, mataku berkelana mencari tubuh Gendis di ruangan yang begitu ramai oleh hiruk pikuk penumpang.
Akhirnya aku menemukan wajah manis putriku. Kulihat dengan wajah tertunduk, Gendis sedang berdiri termangu di salah satu sudut ruangan yang tampak sepi. Tatapan matanya tampak begitu kosong, hampa. Aku yang takut jika telah terjadi sesuatu dengan anakku, bergegas menghampirinya.
"Ndis ngapain berdiri disini?"
Ia tetap menundukkan wajahnya menatap ke lantai keramik berwarna putih.
Kini aku berlutut di hadapan putriku, agar dapat melihat wajahnya dengan jelas.
"Sayang kok nggak mau menjawab pertanyaan mama?"
Perlahan ia menengadahkan wajahnya yang tampak sedih. Ia seperti tengah memikirkan sesuatu. Matanya yang selalu bersemangat kini tampak sayu.
"Dis agi oa ma" (Gendis lagi berdoa ma)
"Berdoa? Kenapa berdoanya disini? Kan Gendis bisa berdoa di kursi samping mama?"
No! Dicana belicik!" (No. Disana berisik)
"Memangnya Gendis lagi berdoa apa sih? Sampai harus ditempat sepi begini?"
Netranya menatap ragu. Anakku terlihat gelisah.
"Dis adi doa inta ama Aloh bial anti pecawat yang Dis aikin ngga atuh!" (Gendis tadi berdoa minta sama Allah biar nanti pesawat yang Gendis naikin nggak jatuh)
"Bial mama, ayah, Dis celamat ampe di lumah!" (Biar mama, ayah, Gendis selamat sampai di rumah)
"Ayo ma! Doa! Bial kita cemua celamat!" (Ayo ma! Berdoa. Biar kita semua selamat)
Aku tertegun mendengar penjelasan Gendis. Darahku berdesir halus, jantungku berdegub kencang. Rasa panik dan kalut mulai menguasai diriku. Aku takut jika ucapan Gendis akan menjadi kenyataan. Celotehnya bagaikan sebuah petanda akan adanya mara bahaya yang tengah mengintai dan menunggu seluruh penumpang yang akan segera terbang menuju ke Jakarta.
"Memangnya tadi Gendis melihat kalau pesawat yang kita tumpangi akan jatuh?"
Putriku terdiam, tak mau menjawab pertanyaannku.
Airport announcement disampaikan petugas melalui pengeras suara. Meminta agar semua penumpang segera memasuki pesawat melalui pintu yang sudah disediakan.
Kulihat mas Dedi mengangkat tubuhnya dari sofa berwarna hitam dan melihat ke arah kami. Ia melambaikan tangan memintaku untuk mendekat dan bersiap-siap. Aku segera meraih jemari tangan Gendis yang terasa sedingin es dan menggengamnya erat.
"Yuk Ndis, kita bersiap-siap" langkah kakiku melangkah mendekati suamiku yang masih setia berdiri menunggu.
"Ayo Ma, Ndis, kita naik ke pesawat" ajak suamiku sambil mengangkat tubuh Gendis dan menggendongnya.
Sambil berjalan menyusuri kabin pesawat, mataku mencari no seat yang tertera dalam tiket keberangkatan.
"Itu mas, kursi kita!" Tunjukku ke arah seat berwarna coklat muda.
Mas Dedi segera menurunkan Gendis dari gendongan dan mendudukannya di kursi tengah. Sedangkan aku memilih duduk di dekat jendela pesawat.
Netraku berpendar.
"Ramai juga penumpang yang akan bertolak ke Jakarta" batinku.
Mataku mendapat satu pemandangan yang menarik. Tak jauh dari tempatku berada, kulihat ada seorang wanita muda yang sangat cantik. Ia mengenakan tanktop berwarna hitam dan short pant. Perempuan yang rambutnya di cat pirang itu tampak asik berselfie ria di dalam pesawat.
"Kamu nggak mau foto-foto kaya dia?" Tunjuk mas ke arah object yang tengah kulihat. Ternyata diam-diam suamiku mengamati mataku yang jelalatan.
Aku tertawa kecil "Ogah!! Malu-maluin aja!"
"Yaa.. siapa tahu kamu ingin seperti dia, jadi bisa mamer ke orang-orang kalau kamu naik airbus" canda suamiku sambil menaik turunkan alisnya.
Aku terkekeh.
"Ma, Dis au iat ilem altun" pintanya sambil menunjuk ke layar monitor yang berada di hadapannya.
Aku segera memilihkan film yang disukai anakku. Seorang pramugari berjalan menghampiri kami dan memberikan selimut berwarna cokelat tua. Aku segera mengucapkan terima kasih dan menyelimuti tubuh putriku dengan selimut tebal tersebut.
Mataku menatap ke luar jendela "Alhamdulillah cuaca hari ini begitu cerah"
Sebelum mengudara terdengar pilot memperkenalkan dirinya, serta menjelaskan jarak tempuh dan tinggi jelajah penerbangan. Pilot berkata jika cuaca hari ini sangat baik. Terkadang sungguh sulit untuk dicerna, namun yang paling aku tunggu dan kuperhatikan sebelum pesawat take off adalah pengumuman bagaimana keadaan cuaca selama penerbangan.
Bibirku menyunggingkan secercah senyuman "Bismillah, semoga penerbangan ini berjalan lancar tanpa terkendala apapun!" Doaku dalam hati.
Aku menoleh menatap putriku yang nampak menikmati film favoritnya.
"Dis, mama mau tidur dulu ya. Kalau nanti Gendis butuh sesuatu, Ndis bisa minta sama ayah"
Anakku menatapku dengan tatapan tidak suka.
"Mama nih! Dis alin ga cuka aik pecawat cama mama. Ga celu! Mama clip teyus keljana!" (Mama nih. Gendis paling nggak suka naik pesawat sama mama. Nggak seru. Mama sleep terus kerjanya!"
Suamiku menoleh ke arahku. Bukannya membela, ia malah ikut-ikutan mengompori ucapan putrinya.
"Ya begitulah mamamu Dis! Dari dulu setiap naik pesawat selalu saja ketakutan! Selama berada dalam pesawat, mama mu itu hanya tidur terus kerjanya!"
"Enatan aik ecawat ama ayah. Bica ngoblol, ain ame aleng!" (Iya yah. Enakan naik pesawat sama ayah. Bisa ngobrol. Main game bareng)
"Tuh Ma, dengarin apa kata anaknya! Jangan malu-maluin ah! Kamu itu bukannya sekali dua sekali bepergian naik pesawat. Masa kalah sama Gendis yang masih kecil?" Goda mas Dedi sambil tersenyum jahil.
Aku mencibirkan bibirku mendengar mas Dedi yang terus menerus mengolok-olok diriku.
"Bye!!" Balasku sambil meraih selimut dan memakainya hingga menutupi seluruh wajahku.
Aku mendengus pelan "Seandainya saja suamiku bisa merasakan bagaimana rasanya menjadi diriku yang sedari kecil sudah trauma akan ketinggian" gumamku lirih.
Kedua tanganku mulai mengepal erat. Rasa takut membuat telapak tanganku menjadi basah berkeringat. Perlahan peluh mengucur deras dari pelipisku. Aku terus berusaha memejamkan kelopak mata. Aku harus bisa tertidur sebelum pesawat tinggal landas! Kalau tidak diriku bisa diterjang rasa panik luar biasa.
Lambat laun semua tampak memudar dan gelap. Aku berhasil terlelap!
***
"Ma ! Ma ! Anun !!" (Ma. Ma. Bangun) Sebuah tangan mungil menggoyang-goyangkan lenganku.
"Ayo ma uta atana!" (Ayo ma buka matanya)
Aku mengintip dari balik selimut yang menutupi wajahku.
"Ada apa sih Dis?" Tanyaku dengan suara parau.
"Uta celimutna!" (Buka selimutnya)
Aku segera menurunkan selimut berwarna coklat dari mukaku.
"Apa nak?
"Dis au di anku mama!" (Gendis mau dipangku mama)
"Ooh, Ndis mau duduknya dipangku sama mama? Tumben sih?" Tanyaku sambil mengamati raut wajah putriku yang tampak tegang.
Aku segera membuka seatbelt putriku dan memangkunya.
Mas Dedi menatap heran "Tumben Gendis minta di pangku. Ada apa Ndis? Kok nggak seperti biasanya?" Tanya mas Dedi kepada putrinya.
Gendis hanya terdiam, sesekali matanya tampak mencuri pandang ke arah jendela pesawat.
Aku mengatupkan bibirku dan menggindikkan bahu.
Kini bola mataku menatap ke arah layar monitor untuk mengetahui dimana saat ini posisi pesawat berada.
"Sebentar lagi kita akan melintasi Surabaya" gumamku.
Mendadak jemari Gendis mencengkram erat sweater yang kupakai. Tubuhnya bergetar ketakutan.
Ia terdiam sambil menyenderkan kepalanya di dadaku. Tatapan matanya kosong dan tak berkedip.
"Scared ma. Scared!" Gumamnya lagi pada dirinya sendiri.
"Ma, olon utup ala Dis ake celimut!" (Ma, tolong tutup kepala Gendis pakai selimut) Wajah putriku tampak begitu cemas ketakutan. Seolah-olah saat ini ia sedang melihat malaikat maut di hadapannya.
Dengan rasa keheranan, aku menuruti permintaan putriku. Segera ku tutup seluruh tubuhnya dengan selimut yang disediakan oleh maskapai penerbangan.
Perasaanku semakin tak karuan. Aku kembali teingat akan ucapan Gendis di ruang tunggu bandara.
"Apa mungkin Gendis...!!"
Baru saja aku berbicara pada diriku sendiri, tiba-tiba pesawat mengalami turbulensi udara. Pramugari yang sedang mendorong troley berisi makanan terjatuh di lorong pesawat. Dengan cepat, pramugari cantik itu berdiri dan bergegas mencari kursi yang kosong dan segera mengenakan sabun pengaman. Troley yang ia dorong kini bergerak sendiri dan terguling menabrak pintu toilet. Suasana yang semula hening menjadi berisik. Semua penumpang menjerit panik.
Terdengar pengumuman dari awak kabin pesawat.
βKita sedang berada di dalam cuaca buruk, mohon agar penumpang mengenakan sabuk pengaman dan tidak meninggalkan tempat duduk"
Aku mulai diserang rasa panik. Mataku terpaku menatap layar monitor. Aku bersikap waspada. Kini posisi pesawat tepat berada di atas langit Surabaya. Ujung mataku melirik ke arah jendela. Langit yang semula biru berubah menjadi gumpalan awan hitam. Dari kejauhan terlihat kilatan petir menyambar-nyambar di udara. Petanda akan datangnya hujan besar dan badai!
Detik berikutnya pesawat bergetar hebat. Dengan alasan keamanan, lampu kabin mulai diredupkan. Dan sekali lagi terjadi getaran kuat di dalam kabin.
Pesawat kembali mengalami turbulence. Goncangannya semakin hebat dan menjadi. Burung besi yang sedang membawaku terbang ke angkasa seperti dihempaskan oleh angin berkekuatan besar dan kencang. Teriak dan jerit histeris penumpang kembali memenuhi lorong kabin pesawat.
"Allahu Akbar! Allahu Akbar!" Pekik suara penumpang.
Mereka mulai menyebut nama sang Pencipta, seakan-akan maut sudah menjemput di depan mata.
Di sisi yang lain dalam minimnya cahaya, ekor mataku melihat penumpang wanita yang tadi sempat berselfie ria, wajahnya tampak pias seputih kapas. Ia menangis, menjerit histeris. Sambil membungkukkan tubuhnya, ia terus memukul-mukul kedua pahanya dengan tangannya. Perempuan muda itu seperti kehilangan kontrol, ia berteriak-teriak ingin segera minta turun dari pesawat.
Dalam situasi yang mencekam, pilot tampak memberikan intruksi kepada seluruh penumpang untuk terap tenang dan tidak melepaskan sabuk pengaman. Pilot juga memberitahukan bahwa jelajah ketinggian pesawat akan dinaikkan, karena saat ini burung besi sedang terbang dalam kondisi cuaca yang buruk dan berusaha menjauhi badai yang menghadang.
Hatiku mulai dicekam rasa takut.
Aku mempererat dekapan ke tubuh putriku satu-satunya.
Pesawat kembali seperti dihempaskan dari ketinggian. Membuat jantungku terasa akan copot dari tempatnya. Suara teriakan penumpang kembali terdengar.
"AAAHHHH...!!"
"Apa pesawat akan jatuh??" Teriak beberapa dari mereka.
Suasana di dalam kabin semakin kacau balau.
Di tengah turbelensi, penumpang tampak saling menatap satu sama lain. Bibir mereka bedoa tanpa henti. Berharap cemas akan kemungkinan terburuk yang akan menimpa kami semua.
Aku melirik sekilas ke arah suamiku. Raut wajah mas Dedi tampak tetap tenang walau sesekali ia memejamkan matanya. Bibirnya terus menyunggingkan senyuman dengan
kedua tangan tampak mencengkram erat lengan kursi pesawat.
Aku berusaha meraih jemari tangan suamiku namun goncangan kencang membali terjadi, membuatku mengurungkan niatku.
Pesawat berbadan besar kembali mengalami turbulance berkali-kali, sampai tak terhitung jumlahnya.
"A-apa kita akan mati?" Penumpang di belakangku berbicara.
Aku berusaha menelan ludah dan menutup kelopak mata. Aku pasrah. Jika memang perjalanan kali ini adalah akhir dari hidupku, aku ikhlas.
Terlintas pikiran buruk. Seandainya pesawat yang ku tumpangi akan terjatuh. Terjun bebas menghempas ke lautan lepas dan hancur berkeping-keping. Hatiku tetap merasa tenang. Aku merasa damai karena Gendis berada dalam pelukanku. Apapun yang terjadi, aku tak akan melepaskan anakku dari dekapanku. Aku tak ingin berpisah darinya.
Pesawat oleng.
Burung besi yang kutumpangi terangkat ke atas dan kemudian terhempas dengan kencang ke bawah. Kabin berbunyi dihantam barang-barang di dalamnya. Banyak penumpang yang berteriak-teriak dan menangis kencang. Seluruh tubuhku terasa lemas tanpa tenaga. Aku segera berinisiatif mencubit lengan tangan, berusaha menjaga agar tetap tersadar.
"Kuat! Kuat! Aku tidak boleh blackout! Kalau sampai aku pingsan, siapa yang akan menjaga Gendis?" Aku memberi semangat pada diriku sendiri.
Aku berbisik pelan di telinga putriku "Ndis, mama ada disini. Mama akan selalu ada untuk Gendis jadi mama minta Ndis jangan takut Kita berdoa bersama-sama, minta sama Allah agar pesawat bisa mendarat dengan selamat sampai di tujuan"
Gendis semakin mencengkram erat baju yang kupakai.
Keadaan di pesawat seperti sedang dalam wahana roller coaster. Guncangan naik turun semakin begitu terasa. Bahkan ada saat dimana pesawat turun begitu kencang seperti akan menghujam daratan. Penumpang kembali berteriak panik.
Aku melirik sepintas ke jendela, kulihat sayap pesawat bergoyang keras seakan-akan mau patah. Getaran maha dahsyat terjadi lagi. Aku kembali memejamkan mata, mengucap dua kalimat syahadat dalam hati. Tak terasa buliran mata keluar dari ujung kelopak mata.
Pesawat terus terguncang hebat, seolah-olah kami semua tidak dikasih ijin untuk bisa menarik nafas dengan tenang. Teror ketakutan benar-benar melanda semua penumpang. Aku memberanikan diri mengintip, melihat ke arah monitor untuk mengetahui posisi pesawat saat ini.
"Semarang! Saat ini kami sedang berada di atas langit Semarang"
Aku mencoba mengatur nafas. Berusaha menahan rasa mual dan pusing akibat guncangan yang terjadi terus menerus.
Kulihat jam di pergelangan tanganku "Ya Allah sudah hampir 45 menit lebih pesawat terjebak dalam cuaca extreme. Sampai kapan lagi aku harus bertahan mencoba untuk tetap terjaga agar tidak pingsan?"
Doa dan terus berdoa, hanya itu yang bisa kulakukan.
Tak berapa lama kemudian pesawat mulai stabil. Aku bisa sedikit menarik nafas lega.
Kembali terdengar pilot berbicara jika pesawat telah berhasil keluar dari badai. Ucapan puji dan syukur disertai suara gemuruh tepuk tangan penumpang menggema dalam kabin pesawat.
"Apakah ini sudah berakhir?" Pikirku.
Gendis tidak bergeming. Ia masih saja memeluk erat tubuhku. Instingnya yang tajam masih merasakan jika teror ini belum berakhir.
Dalam sepersekian detik, pesawat seperti kehilangan kendali. Burung besi kembali seperti dibanting dengan keras. Pesawat menukik turun!
Para penumpang yang tadinya sudah bersorak sorai penuh suka cita kembali menjerit-jerit ketakutan.
"Kita akan jatuh! Pesawat akan jatuh!!" Teriak penumpang yang panik.
"Mati! Kita semua akan mati!!"
Suara tangis dan rengekan anak kecil serta orang dewasa membaur menjadi satu. Membuat siapapun yang mendengarnya begidik ngeri! Symphony kematian seakan-akan siap mengambut kami.
Suasana dalam kabin menegang karena turbelensi semakin ganas. Banyak penumpang yang berteriak histeris. Membikin suasana semakin kalut mencekam.
Jantungku berdetak kencang. Darahku seakan berhenti mengalir. Kedua tanganku semakin mempererat pelukan ke tubuh Gendis. Pesawat bergoyang-goyang naik turun dengan tempo semakin cepat. Keringat dingin mulai membasahi sekujur tubuh.
"If this should be the end, be it !" batinku.
Pramugari dengan sigap meminta semua penumpang untuk tetap duduk dan mengencangkan sabuk pengaman.
Dengan kaki gemetar, aku bergumam dalam doa, memohon keselamatan.
Mendekati waktu mendarat, pesawat kembali normal. Tidak terasa lagi getaran dan guncangan. Aku mengatur nafas beberapa kali. Mencoba membuka mata perlahan. Kulihat banyak penumpang yang masih memejamkan matanya. Bibir mereka terus memanjatkan doa.
"Ma ! Dis au duduk cendili" Putriku menurunkan selimut yang menutupi wajahnya.
Masih dengan tubuh gemetar, aku mendudukkan Gendis di sebelahku.
Mas Dedi menatap lekat-lekat wajahku. Ia berbisik pelan "Seandainya tadi pesawat terjatuh. Mas sudah bersiap-siap langsung memeluk Ima dan Gendis! Kita bertiga jangan sampai terpisah!"
Dengan wajah pias, aku mencoba tersenyum.
Gendis bergantian menatap wajahku dan ayahnya. Sejurus kemudian bibirnya berucap "Enan aja ma, yah! Ecawat cekalan dah aman!" (Tenang saja ma, ayah. Pesawat sekarang sudah aman)
Ingin sekali rasanya aku bertanya pada Gendis, apakah sebelumnya putriku sudah mengetahui jika ini semua akan terjadi? Jika ya, siapa yang telah memberitahunya? Namun ku urungkan niatku. Aku yakin seratus persen jika anakku tidak akan mau menjawab pertanyaan yang kuberikan.
Terdengar pilot memberikan pengumuman jika akan menurunkan ketinggian pesawat. Sebuah petanda bahwa sebentar lagi kami akan segera mendarat di bandara SOETA! Dengan badan pesawat yang sedikit bergetar, akhirnya terjadi hentakan keras ketika roda pesawat berhasil mendarat dengan sempurna di landasan.
Seluruh penumpang menarik nafas lega dan bertepuk tangan memberikan aplaus kepada captain pilot yang telah berhasil membawa kami semua kembali dengan selamat ke Jakarta.
Setelah dua jam yang menyiksa, akhirnya aku bisa menghirup udara bebas. Sambil berjalan di dalam lorong bandara, menuju ke tempat pengambilan bagasi. Aku mendengar beberapa penumpang sambil menangis terisak-isak menelpon keluarga masing-masing. Menceritakan pengalaman yang baru saja mereka alami. Sebuah mimpi buruk yang mungkin tidak akan pernah mereka lupakan seumur hidup atau bahkan akan membuat mereka trauma untuk bepergian menggunakan transportasi udara.
Sambil menggendong Gendis, salah satu tangan mas Dedi merengkuh jemariku.
"Selama bepergian menggunakan pesawat, baru kali ini mas mengalami turbulensi paling parah! Alhamdulillah kita masih diberi umur yang panjang sama Allah" ujarnya sambil mengecup pipi Gendis.
Aku tersenyum getir.
Rasanya jantungku seperti ketinggalan di udara jika harus kembali mengingat kembali peristiwa yang paling menegangkan sepanjang hidupku!
Setelah mengambil bagasi, mas Dedi segera memesan taxi bandara. Suasana jalan tol siang itu cukup padat. Semua kendaraan berjalan tersendat-sendat, membuat kepalaku semakin pusing. Perjalanan dari bandara menuju ke rumah yang biasanya hanya memakan waktu dua jam. Kini hampir tiga jam lamanya kendaraan yang kami tumpangi belum juga sampai ke tujuan.
"Jakarta oh Jakarta, macetnya!" Gerutuku sambil mengamati padatnya lalu lintas.
Setelah dilanda rasa jenuh yang luar biasa, akhinya mobil berwarna biru tua mulai memasuki kompleks perumahan. Suamiku memberi petunjuk ke driver, arah menuju ke kediamanku. Tak berapa lama kemudian, akhirnya keluargaku sampai juga dengan selamat di rumah.
Mataku melirik sekilas ke arah rumah mbah Kirana. Kulihat tetanggaku yang julid itu, dengan tubuh membungkuk dan mata tak berkedip sedang mengintip dari balik celah pagar. Mungkin ia ingin tahu kendaraan siapa yang sedang terparkir di halaman rumahku. Bagai seorang pengutil, ia tampak mengendap-endap, mengintai gerak gerik keluargaku.
ga kebayang iiih.. dulu juga pernah kena turbulence pas plg dari bali - jkt.. malam2 pula.. sereeem.. wkt itu msh naik AA. yg penting semua selamat yah.. berkat doa Gendis di dengar Allah SWT...
Anda akan meninggalkan Stories from the Heart. Apakah anda yakin?
Lapor Hansip
Semua laporan yang masuk akan kami proses dalam 1-7 hari kerja. Kami mencatat IP pelapor untuk alasan keamanan. Barang siapa memberikan laporan palsu akan dikenakan sanksi banned.