Pikiranku menerawang, mencoba mengingat kembali semua peristiwa yang sudah aku dan putriku lalui. Masih teringat jelas dalam ingatanku semua peristiwa tidak masuk akal yang selalu menjadi santapanku sehari-hari. Bersinggungan dengan peristiwa gaib yang hampir membuat otakku menjadi gila!
Malam itu terasa aura mistis yang berhembus sampai membuat bulu kuduk merinding. Suasana di dalam rumah terasa begitu mencekam dan menegangkan.
Suara itu... Ya suara itu!!!
Suara denting piano mulai terdengar menggema di seluruh ruangan, seingatku piano mainan putriku sudah kumatikan dari sebelum adzan magrib berkumandang. Gendis yang sedang tertidur lelap tiba - tiba terbangun, dirinya tampak gelisah dan mulai terdengar tangisan dari bibir mungilnya.
"Aaarrghh...!!! Kenapa kalian tidak pernah berhenti mengganggu anakku? Apa kesalahan putriku terhadap kalian?"
Kehidupanku dulu berjalan normal hingga kehadiran putriku membuat semuanya berubah. Mereka sangat menantikan kehadiranmu, mereka begitu menyambutmu! Apa yang membuat mereka begitu tertarik denganmu putri kecilku?
Gendis adalah nama yang kuberikan untuk putriku tercinta. Anak yang sudah kutunggu hampir sepuluh tahun lamanya. Dari awal kelahirannya, banyak peristiwa aneh yang terjadi. Kehadiran Gendis seperti sudah sangat ditunggu oleh mereka. Putriku sangat rewel, dia selalu menangis dan menjerit histeris ketakutan setiap saat.
Bagaimanakah proses perjalanan hidup Gendis selanjutnya? Bisakah ia terbebas dari semua rasa ketakutan yang selalu menghantui dirinya? Akankah putriku bisa menjalani hidup normal seperti anak kecil lainnya? Dan kapankah semua ujian ini akan berakhir?
Ini kisah Gendis anakku yang akan menjadi bagian dari perjalanan hidupku...
Thread ini aku dedikasikan untuk putriku tercinta yang bernama "Gendis". Semoga kelak ketika dirimu sudah tumbuh dewasa, kamu bisa membaca kisah yang mama tulis berdasarkan pengalaman yang kita lewati setiap harinya. Cerita ini merupakan kisah perjuangan seorang Ibu dalam membesarkan dan mendidik anaknya yang indigo.
Dulu aku hampir menyerah, aku sudah terlalu lelah menghadapi semua peristiwa yang tidak masuk akal. Mentalku sudah tidak kuat menghadapi semua gangguan-gangguan itu sendirian. Namun aku salah! Ternyata aku lebih kuat dari dugaanku selama ini! Itu semua karena rasa kasih sayang seorang Ibu yang begitu besar terhadap anaknya tercinta.
Pesan mama untuk Gendis "Jika saatnya tiba tolong pergunakan kemampuanmu untuk membantu sesama". Enjoy the process dan ingat kamu tidak pernah sendirian! Mommy loves u!
Terima kasih ya Ndis sudah mengijinkan mama untuk menuliskan kisahmu.
Quote:
Doa dari Mas Yus untuk Gendis
Kisah ini berdasarkan kisah nyata yang aku dan Gendis alami.
Untuk update diusahakan setiap hari Senin dan Kamis ( dikondisikan dengan RL).
Mohon maaf kalau susunan kalimatnya kurang enak dibaca. Karena ini pertama kalinya aku menulis cerita.
Selamat menikmati thread ini, jangan lupa ratenya, komen n ... Terima kasih.
Quote:
Saya mohon dengan sangat untuk tidak meng Copy Paste cerita ini Tanpa Seijin Gendis. Terima kasih
"Mendadak putriku terdiam. Sudut matanya menoleh melihat ke belakang Dwi yang sedang merebahkan tubuhnya di atas sprei merah jambu. Gendis memusatkan netranya ke arah lemari pakaian berwarna putih yang pintunya sedikit terbuka. Ia mengerjapkan matanya beberapa kali. Anakku terkejut, pupil matanya yang coklat tampak membesar. Dari bibirnya terdengar jerit tertahan.
"Mama itu ciapa !!" (Mama itu siapa) Telunjuknya mengarah ke lemari di kamar Dwi.
"Siapa apa Ndis?"
"I-itu ma !"
"Itu apa?"
Putriku beringsut mendekatiku. Ia berbisik pelan.
"Mama itu enapa di lemali Uwi ada ewena?" (Mama itu kenapa di lemari Uwi ada ceweknya)
"Ada perempuan di dalam lemari mba Uwi?"
"He-eh. Ada emen Uwi agi cenyum alam lemali" (He-eh. Ada temen Uwi lagi senyum dalam lemari) ia mengangguk sekali.
Aku menyipitkan mata "Mama tidak melihat apa-apa Dis?"
"Apa emen Uwi ada alam lemali ya?" (Kenapa temen Uwi ada dalam lemari ya) Ia bertanya pada dirinya sendiri.
"Angan-angan Uwi ama emena agi ain etak umpet" (Jangan-jangan Uwi sama temannya lagi main petak umpet ) gumamnya sambil beberapa kali mengerjapkan kelopak mata.
Suasana terasa hening. Putriku tampak berpikir sejenak. Ia terdiam dalam tempo lama.
Gendis menoleh ke arahku, ia tertegun. Sedetik kemudian bibirnya yang kecil sedikit terbuka "Mama angan-angan itu jin ya?" (Mama jangan-jangan itu jin ya)
Aku menghela nafas, kemudian tersenyum dan mengangguk.
"Iya Ndis. Perempuan yang saat ini Gendis lihat itu jin"
"Heey..!! Kenapa kalian berbisik-bisik di depanku?? Perasaanku mulai nggak enak nih!" Teriak Dwi dari layar ponsel.
"Itu si bawel juga kenapa dari tadi melihat ke belakang Uwi terus?? Ayo jujur!"
Baru saja aku ingin membuka mulut memberi penjelasan, Gendis langsung menyela ucapanku.
"Wi, itu di alem lemali mu enapa ada ewena?" (Uwi itu di dalam lemarimu kenapa ada ceweknya)
Dwi terkesiap. Wajahnya berubah pias. Dengan mata melebar, ia menoleh perlahan ke arah lemari yang terletak di belakanganya. Sejurus kemudian ia berteriak Cumiakkan telinga "WOOOIII !! GENDIS ! JANGAN MACAM-MACAM DONG! UWI TAKUT! KAMU TUH KALAU MELIHAT SESUATU JANGAN PERNAH BILANG KE UWI! AAH..!! GENDIS NGGAK SERU NIH ! BYE..!!" Pekik Dwi sambil mengakhiri video call.
Gendis tergelak sambil menutup mulut dengan tapak tangannya "Acal Uwi enakut! Ayah ih! Aca atut ama jin" (Dasar Uwi penakut. Payah ih. Sama takut sama jin)
"Adi Uwi ang inta Ndis jujul. Dacal Uwi ! Uwi !" (Tadi Uwi yang minta Gendis jujur. Dasar Uwi. Uwi) Gendis menggeleng-gelengkan kepala dan menepuk keningnya.
Mataku membulat sempurna. Dalam hatiku tertawa. Aku merasa lucu mendengar ucapan Gendis yang sangat jujur dan polos.
"Gendis ! Gendis ! Kelakuan dan celotehmu yang lugu itu bisa membikin semua orang jantungan!" Batinku sambil tertawa pelan.
***
Tak terasa hari ini tepat sebulan sudah suamiku bertugas ke luar kota. Dari tadi pagi mas Dedi susah memberi kabar jika ia sedang dalam perjalanan menuju ke rumah. Dengan penuh suka cita aku dan Gendis bersiap menyambut kedatangannya.
Terdengar suara kendaraan berhenti di halaman dan suara orang membuka pintu gerbang. Bergegas aku dan Gendis menuju pekarangan. Aku terpaku melihat suamiku sedang berdiri di teras. Mas Dedi tersenyum hangat. Matanya tampak berkaca-kaca. Ia berlutut sambil merentangkan ke dua tangannya.
"Ndis !!" Sapa suamiku lembut.
"AYAHHH !!" Pekik Gendis sambil berlari menghambur ke pelukan ayahnya.
"Dis angen ayah !!" Ucapnya sambil menangis terisak-isak di dekapan ayahnya. Anakku melepaskan semua kerinduannya dalam pelukan mas Dedi.
Mas Dedi memeluk Gendis erat sekali. Berkali-kali ia mengelus pundak putri tercinta.
"Sama Ndis. Ayah juga kangen banget sama Gendis" ujarnya sambil menciumi kedua pipi anak tunggalnya. Ada rasa bahagia dan rindu yang amat mendalam terpancar dari kedua bola matanya.
Aku menghampiri suamiku dan mencium tangannya. Mas Dedi membelai lembut pucuk kepalaku dan mencium keningku mesra. Aku mengucap syukur tanpa bersuara. Rasanya hatiku begitu lega dan tenang karena keluarga kecilku kini sudah berkumpul kembali. Aku segera membawakan tas suamiku ke dalam rumah. Diikuti langkah mas Dedi yang masih menggendong erat putrinya.
***
Siang ini adalah hari kedua suamiku di rumah. Di dalam kamar, aku disibukkan mengemasi semua keperluan yang akan ku bawa pergi berlibur bersama keluargaku tercinta.
"Ma semua barang sudah di packing?" Tegurnya mengingatkanku.
"Sudah mas. Sesuai pesan mas, Ima tidak akan membawa banyak baju salin"
"Kode booking tiket pesawat dan hotel jangan sampai lupa!"
"Tenang mas ! Semua ada dalam email Ima"
"Oh iya jangan lupa tolong ingatkan pak Warsi untuk menjemput kita pukul dua malam. Karena kita akan flight penerbangan pertama"
"Siip ! Sudah mas tenang saja. Ima sudah atur semuanya. Dari pagi Ima juga sudah mengingatkan pak Warsi!"
"Ya sudah kalau begitu. Mas mau rebahan sebentar ya Ma. Sepertinya mas tidak enak badan" gumamnya sambil meraba keningnya dan merebahkan diri di atas kasur.
"Mas beristirahat saja biar nanti Gendis main sama Ima"
Aku segera mengajak putriku yang sedang bermain di atas karpet untuk menuju ke luar kamar. Membiarkan suamiku mengistirahatkan tubuhnya barang sejenak.
Menjelang sore kuperhatikan suamiku tidak juga terjaga dari tidurnya. Aku mulai diselimuti rasa was-was. Dari ambang pintu kamar, ku amati tubuh mas Dedi meringkuk tak bergerak. Perlahan aku berjalan mendekat dan terduduk di bibir ranjang. Kuraba kening dan lehernya yang dipenuhi butiran keringat dingin.
"Astagfirullah !" Aku tersentak kaget. Sekujur tubuhnya terasa begitu panas.
"Mas ! Mas ! Ayo bangun sebentar !" Aku menggoyang-goyangkan tubuhnya pelan, berusaha membangunkannya.
"Mmhh !!"
Mas Dedi membuka mata, lesu dan pudar sinar yang terpancar dari netranya yang teduh.
"Suhu bandanmu panas banget mas. Sepertinya kamu demam tinggi. Ima ambilkan obat penurun panas ya?"
Dengan tubuh sedikit bergetar karena menahan hawa panas di dalam tubuh, suamiku mengangguk pelan.
Aku segera menuju ke ruang tengah mengambil air putih dan obat demam yang berada dalam lemari P3K. Bergegas aku kembali ke kamar dan segera memberikan suamiku obat dan segelas air.
"Kepala mas pusing sekali Ma" racau bibirnya yang terlihat pucat dan kering.
"Mungkin mas kecapean karena habis perjalanan jauh, makanya fisik mas jadi ngedrop" sahutku seraya mengelap peluh yang membasahi dahinya.
"Mas khawatir! Takut kalau sampai tengah malam kondisi mas tidak juga membaik. Sedangkan besok pagi kita harus berangkat ke Bali?" Ujarnya dengan suara berat.
"Ya Allah, mas ! Sudah jangan mikirin itu dulu! Kesehatanmu itu yang utama! Masalah liburan mah gampang! Tinggal kita cancel saja semua tiketnya!"
"Ta-tapi, mas tidak mau membuat Ima dan Gendis sedih. Mas sudah berjanji ingin mengajak kalian untuk pergi berlibur"
"Sudah, jangan bikin Ima marah! Pokoknya kesehatan kamu itu prioritas utama! Mas istirahat lagi saja, biar obatnya bekerja!"
Ia menatap tak bersemangat dan kembali memejamkan kelopak matanya. Hatiku sangat sedih melihat kondisi suamiku yang tidak pernah sakit namun kini harus tergolek lemah tak berdaya. Aku memakaikan selimut ke tubuhnya agar ia merasa nyaman.
"Istirahat ya mas. Jangan mikirin apa-apa!" Bisikku di telinganya.
Aku segera beranjak dari bibir ranjang temapt tidur dan melangkah ringan menuju ke ruang tv. Aku menarik nafas dan merebahkan tubuh di atas sofa.
"Ayah napa ma?" (Ayah kenapa ma) Tanya Gendis sambil menyusun potongan lego di atas karpet.
"Ayah masih sakit Ndis. Suhu badan ayah semakin panas. Misalkan sampai tengah malam nanti kondisi ayah tidak ada perubahan, liburan kita batal ya Ndis?" Jawabku sambil menundukkan pandangan. Aku tak berani menatap kedua mata putriku. Hatiku tak sanggup melihatnya kecewa.
"Iya ma. Ga papa kok!" Sahutnya tanpa beban.
Aku terperanjat kaget mendengar jawabannya. Putriku tidak marah dan sedih jika liburan besok terancam batal? Padahal dari kemarin ia yang paling begitu bersemangat ingin berlibur ke Bali. Perlahan aku memberanikan diri melihat ke wajahnya. Riak muka anakku masih tetap sama, ia terlihat tenang dan anteng bermain lego.
"Terima kasih ya Ndis" aku tersenyum tertahan.
"Dah mama angan cedih awatil! Mama enan aja!" (Sudah mama jangan sedih dan khawatir. Mama tenang saja)
Aku mencoba memulihkan wajahku yang sempat menegang. Setelah mendengar ucapan Gendis, hatiku terasa sedikit lebih tenang. Pola pikirnya yang dewasa dan bijaksana membuatku mengucap syukur karena memiliki seorang putri yang bisa memahami kondisi orangtuanya.
Waktu terus berjalan. Jarum jam menunjukkan pukul sepuluh malam, namun kondisi suamiku tidak juga ada perubahan. Suhu tubuhnya masih tetap sama seperti tadi siang. Aku menghembuskan nafas berat di pinggir ranjang. Dengan ponsel tergenggam di tangan, aku bersiap memberitahu pak Warsi jika besok aku tidak jadi ke bandara. Baru saja aku ingin menelpon untuk membatalkan semua rencana perjalananku, sebuah tangan mungil menarik ujung lengan bajuku.
Aku menoleh, kulihat raut wajah putriku menatap penuh harap.
"Apa Ndis?"
"Mama aci awatil ama ayah?" (Mama masih khawatir sama ayah) Tatapnya dengan mimik wajah serius.
Aku mengangguk lemah.
"Mama au Dis oain aya?" (Mama mau Gendis doain ayah)
Aku terdiam dan memasang wajah datar.
"Alo mama au, Dis au kok oain yah. Acal mama ang inta!" (Kalau mama mau. Gendis mau kok doain ayah. Asal mama yang minta). Ujarnya dengan bersungguh-sungguh.
Aku berpikir sejenak sebelum akhirnya mengiyakan tawarannya.
"Tidak ada salahnya mencoba" gumamku.
"Ndis tolong doain ayah biar cepat sembuh ya? Minta sama Allah agar suhu tubuh ayah lekas kembali normal?" Ku tatap lekat-lekat wajahnya.
Putriku tersenyum memperlihatkan lesung pipinya. Dengan tenang, ia beranjak naik ke atas peraduan dan terduduk diam di samping ayahnya yang masih terlelap. Gendis meletakkan telapak tangan kanannya di kening mas Dedi, sejurus kemudian mulutnya tampak komat kamit. Entah apa yang sedang ia ucapkan. Perlahan ia menarik tangannya dan meniup ubun-ubun kepala ayahnya.
Gendis beringsut beranjak mendekatiku "Dah ma !" (Sudah ma) Tatapnya dengan sinar mata berbeda.
"Terima kasih ya Ndis" aku mengelus dan mencium pipinya yang merona.
Sekitar satu jam kemudian pandanganku teralihkan. Ku lihat mas Dedi mengeliat, perlahan-lahan ia membuka kelopak matanya. Pupil matanya membesar, ia tampak begitu terkejut. Suamiku segera terduduk dan meraba dahi serta lehernya. Ia seperti orang linglung yang baru bangun dari tidur panjangnya.
"Loh kok badan mas rasanya enteng banget ya? Dan kenapa suhu tubuh mas sudah kembali normal?" Ujarnya dengan raut wajah keheranan.
"Alhamdulillah" jawabku sambil tersenyum senang.
"Aneh ! Tadi tuh badan mas sulit banget untuk digerakkan! Ta-tapi sekarang??"
Aku menghampiri suamiku dan meraba keningnya. Ternyata betul apa yang sudah mas Dedi ucapkan. Suhu tubuhnya sudah kembali normal.
"Jangan lupa bersyukur sama Allah dan bilang terima kasih sama Gendis" tatapku sambil menyunggingkan senyum.
"Gendis ??" Matanya langsung beralih pada putrinya yang sedang mencoba memanjat teralis kamar.
"Iya tadi pas mas tertidur, Gendis mendoakan mas agar lekas pulih"
Suamiku menaikkan alis. Ia bangkit dari duduknya dan berjalan menuju Gendis.
"Dis terima kasih ya sudah mau mendoakan ayah. Alhamdulillah sekarang ayah sudah sembuh. Badan ayah sudah tidak panas lagi. " ujar mas sambil memeluk tubuh Gendis.
"Ama-ama yah. Dis appy iat mama ga cedih agi" (Sama-sama yah. Ndis happy lihat mama nggak sedih lagi)
"Berarti besok pagi jadi berangkat liburan ke Bali!!" Teriak mas Dedi sambil mengedipkan sebelah matanya kepadaku.
***
Tepat pukul dua malam, pak Warsi menjemput kami di rumah. Jalan tol menuju ke bandara terlihat begitu senggang. Kendaraan melaju dengan cepat membelah jalanan ibu kota. Hanya butuh waktu kurang lebih satu jam, kendaraan yang ku tumpangi sudah memasuki area parkir terminal tiga bandara SOETA. Kami bergegas turun dan berjalan ke arah pintu masuk bandara. Setelah melakukan proses check in dan menaruh bagasi, kami segera menuju ke gate yang tertera di dalam tiket penerbangan.
Pic. Dokumen Pribadi
Sekitar pukul lima subuh, seluruh penumpang GI* segera memasuki kabin pesawat. Gendis yang pagi itu mengenakan hoodie berwarna merah maroon memilih untuk duduk di dekat jendela pesawat. Sedangkan aku berada di kursi tengah dan suamiku di pinggir lorong. Setelah memakaikan seatbelt dan selimut pada putriku, aku mengajak keluargaku untuk berdoa sejenak.
"Bismillah, Ya Rabb tolong lindungi selalu keluargaku dimanapun kami berada" doaku sebelum pesawat membawaku tinggal landas.
***
"Ma ! Ima ! Bangun !" Sayup-sayup ku dengar sebuah suara memanggil namaku.
"Ima ayo buka matamu! Sebentar lagi pesawat mau landing! Kini tanganku terasa digerak-gerakkan oleh seseorang.
Perlahan aku membuka kelopak mata dan mengidpkannya berkali-kali. Netraku mengintip ke luar jendela pesawat. Daratan! Sebentar lagi kami akan segera sampai di Bali! Aku menengok ke arah putriku yang tampak asik dengan film kartun yang ia tonton.
"Ndis jangan lupa berdoa. Sebentar lagi pesawat mau mendarat"
Gendis mengganggukkan kepala walau matanya tetap menatap ke layar monitor yang berada di hadapannya.
Terdengar suara pilot memberikan intruksi kalau pesawat akan menurunkan ketinggiannya. Keringat dingin mulai membasahi jemari tangan. Kedua tanganku memegang erat kursi pesawat. Aku selalu diselimuti rasa takut setiap pesawat akan melakukan proses take off dan landing. Mas Dedi menggenggam erat jemariku, berusaha membuatku tetap tenang.
"Don't panic! Malu sama Gendis! " Bisiknya lembut.
Akhirnya pesawat berhasil mendarat dengan mulus di Bandara I Gusti Ngurah Rai. Aku dan seluruh penumpang mengucap syukur. Sambil menunggu pesawat berhenti sempurna, aku bertanya pada suamiku.
"Mas ini kan masih pagi banget dan belum bisa check in di hotel. Kita mau kemana dulu dan naik apa?"
"Sudah kamu tenang saja. Selama kita di Bali, kita akan diantar jemput sama driver mas yang bernama Bli. Rencananya hari ini mas mau ajak Gendis jalan-jalan ke Bedugul. Kita ajak dia melihat Pura dan berbelanja baju di toko favorit mas"
"Mmh, baguslah kalau mas sudah mengatur transportasinya"
Sebenarnya ada terselip perasaaan was-was di hati. Aku takut jika selama berlibur di Pulau Dewata, mata ketiga anakku akan melihat mahluk dari dimensi lain yang akan membuatnya menjerit ketakutan. Bali.. tempat pariwisata yang terkenal akan keindahan alam dan aura mistisnya.
Aku menghembuskan nafas, mencoba menepis berbagai pikiran buruk yang menari-nari dalam pikiran.
Pesawat sudah berhenti sempurna di landasan, seluruh para penumpang bersiap turun. Setelah mengambil bagasi, keluargaku segera berjalan menuju pintu keluar badara. Suara tari kecak terdengar begitu jelas. Dari kejauhan tampak seorang pria paruh baya melambaikan tangannya dan memanggil nama suamiku.
"Itu yang namanya Bli" bisik mas.
Ujung mataku mengamati raut wajah pria dengan baju kotak-kotak biru. Wajahnya terlihat ramah.
Bli berjalan menghampiri mas Dedi dan menjabat tangannya erat. Setelah mas memperkenalkan aku serta Gendis. Bli berbasa basi menanyakan bagaimana cuaca selama penerbangan, ia segera membawakan tas ransel yang di pegang suamiku dan menuju ke parkiran mobil.
Aku memicingkan mata. Cuaca di Bali pagi itu sangatlah terik.
"Jangan kaget bu. Sekarang di Bali lagi musim panas makanya walau masih jam delapan pagi, cuacanya sudah panas. Oh iya, pak Dedi, kita mau mengunjungi tempat wisata yang mana terlebih dahulu?" Tanya Bli sopan sambil menyalakan mesin kendaraan.
"Kita langsung ke Bedugul saja pak. Tapi sebelumnya tolong mampir dulu ke toko oleh-oleh langganan saya. Saya mau mencarikan baju untuk Gendis"
Bli menganggukan kepala dan segera mengendarai kendaraan roda empatnya keluar dari bandara I Gusti Ngurah Rai. Walaupun hari masih pagi namun suasana jalanan di Bali sudah terlihat ramai dengan kendaraan beroda dua dan empat. Turis domestik dan manca negara juga tampak lalu lalang di sepanjang jalan.
Kelopak mata putriku tak berkedip. Netranya memandang ke luar jendela, mengamati pemandangan yang tersuguhkan di sepanjang perjalanan.
"Di cini anyak otel ya ma" (Disini banyak hotel ya ma) gumamnya sambil melihat wajahnya yang terpantul dari layar kaca mobil.
"Iya Ndis, Bali itu banyak dikunjungi turis dalam dan luar negeri. Makanya di Bali banyak hotel bertebaran dimana-mana"
"Dis cuka inep di otel. Enyaaak! Bica play and cwim (Gendis suka nginep di hotel. Enak. Bisa play dan swim)
Bli tertawa mendengar celotehan Gendis.
"Bli sebelum ke toko pakaian, kita mampir ke restoran langganan saya dulu" pinta suamiku.
"Siap pak Dedi!" sahut Bli yang kurasa sangat mengenal dekat suamiku.
***
Setelah mengisi perut yang keroncongan, kami segera melanjutkan perjalanan. Hampir dua jam lebih akhirnya kendaraan yang aku tumpangi memasuki kawasan Bedugul. Aku menurunkan sedikit kaca jendela mobil dan menghirup udara dalam-dalam.
"Segarnya ! "
Walaupun saat itu cuaca sangatlah terik tetapi tidak dengan di Bedugul. Kawasan ini hawanya terasa sejuk dan segar seperti di kawasan puncak. Netraku disuguhkan dengan pemandangan alam yang begitu memanjakan mata. Kawasan Bedugul masih terdapat banyak pepohonan besar. Sehingga udara disana masih terasa sejuk dan segar.
Bli mengarahkan kendaraan ke sebuah pusat perbelanjaan yang terkenal. Ia memarkirkan kendaraan di area parkir yang terlihat lenggang.
"Ayo Ndis, Ima, kita turun dulu biar Bli menunggu di kendaraan"
Dengan sigap suamiku segera menggandeng tangan putrinya. Gendis tertawa dan berlari-lari kecil. Setelah melewati alat detector di pintu masuk toko, kami disambut dan disapa ramah oleh para pegawai. Suamiku yang pada dasarnya hobi berbelanja segera mengedarkan pandangannya mencari kaos untuk dirinya dan Gendis. Sedangkan aku hanya berjalan melihat-lihat berbagai macam souvenir dan pernak pernik yang ditawarkan oleh staff toko.
Gendis yang terlihat jenuh mengikuti mas Dedi, melepaskan genggaman dari jemari ayahnya. Kini langkah kecilnya asik berjalan mengelilingi toko. Ujung ekor mataku terus mengawasi putriku. Ia terus saja berjalan menuju ke arah belakang bangunan toko. Tiba-tiba langkah kakinya terhenti mendadak, membuat aku bertanya-tanya apa yang sedang dilakukan oleh putriku.
Aku segera menghampiri Gendis serta menyentuh bahunya pelan. Putriku masih belum menoleh. Ia tampak terpana dengan sesuatu yang tengah dilihatnya. Aku mengernyit menyipitkan mata, kini di hadapanku terpampang sebuah bangunan yang menyerupai pendopo kecil berada di tengah-tengah kolam dan sekelilingnya dikelilingi air berwarna jernih.
Aku berdecak kagum mengamati keunikan arsitektur bangunan tersebut.
"Bagus banget" aku berdecak kagum.
"Tapi kenapa harus ada bangunan seperti ini di dalam toko? Dan kenapa tidak ada akses jalanan menuju ke arah pendopo yang hanya memiliki satu buah kursi panjang?" Batinku.
"Akep ya ma lumahna" (Cakep ya ma rumahanya)
"He-eh, bentuk bangunannya bagus dan unik banget"
"Ula-ula na uga ucu ya ma" (Kura-kuranya juga lucu ya ma)
"Kura-kura?" Lagi-lagi ucapan Gendis membuat keningku berkerut.
"Iya ma. Tu ula-ula agi elenang" tunjuknya ke dalam kolam.
Aku melihat ke arah yang Gendis tunjuk, namun mataku hanya melihat air kolam yang tidak dalam tetapi jernih.
"Jangan- jangan anakku sedang melihat mahluk astral yang ditugaskan untuk menjaga toko" gumamku lirih pada diri sendiri.
Bulu kudukku tiba-tiba meremang, samar-samar aku seperti melihat sosok bayangan di dalam air. Aku tersentak, jantungku berdegub cepat.
Anda akan meninggalkan Stories from the Heart. Apakah anda yakin?
Lapor Hansip
Semua laporan yang masuk akan kami proses dalam 1-7 hari kerja. Kami mencatat IP pelapor untuk alasan keamanan. Barang siapa memberikan laporan palsu akan dikenakan sanksi banned.