Pikiranku menerawang, mencoba mengingat kembali semua peristiwa yang sudah aku dan putriku lalui. Masih teringat jelas dalam ingatanku semua peristiwa tidak masuk akal yang selalu menjadi santapanku sehari-hari. Bersinggungan dengan peristiwa gaib yang hampir membuat otakku menjadi gila!
Malam itu terasa aura mistis yang berhembus sampai membuat bulu kuduk merinding. Suasana di dalam rumah terasa begitu mencekam dan menegangkan.
Suara itu... Ya suara itu!!!
Suara denting piano mulai terdengar menggema di seluruh ruangan, seingatku piano mainan putriku sudah kumatikan dari sebelum adzan magrib berkumandang. Gendis yang sedang tertidur lelap tiba - tiba terbangun, dirinya tampak gelisah dan mulai terdengar tangisan dari bibir mungilnya.
"Aaarrghh...!!! Kenapa kalian tidak pernah berhenti mengganggu anakku? Apa kesalahan putriku terhadap kalian?"
Kehidupanku dulu berjalan normal hingga kehadiran putriku membuat semuanya berubah. Mereka sangat menantikan kehadiranmu, mereka begitu menyambutmu! Apa yang membuat mereka begitu tertarik denganmu putri kecilku?
Gendis adalah nama yang kuberikan untuk putriku tercinta. Anak yang sudah kutunggu hampir sepuluh tahun lamanya. Dari awal kelahirannya, banyak peristiwa aneh yang terjadi. Kehadiran Gendis seperti sudah sangat ditunggu oleh mereka. Putriku sangat rewel, dia selalu menangis dan menjerit histeris ketakutan setiap saat.
Bagaimanakah proses perjalanan hidup Gendis selanjutnya? Bisakah ia terbebas dari semua rasa ketakutan yang selalu menghantui dirinya? Akankah putriku bisa menjalani hidup normal seperti anak kecil lainnya? Dan kapankah semua ujian ini akan berakhir?
Ini kisah Gendis anakku yang akan menjadi bagian dari perjalanan hidupku...
Thread ini aku dedikasikan untuk putriku tercinta yang bernama "Gendis". Semoga kelak ketika dirimu sudah tumbuh dewasa, kamu bisa membaca kisah yang mama tulis berdasarkan pengalaman yang kita lewati setiap harinya. Cerita ini merupakan kisah perjuangan seorang Ibu dalam membesarkan dan mendidik anaknya yang indigo.
Dulu aku hampir menyerah, aku sudah terlalu lelah menghadapi semua peristiwa yang tidak masuk akal. Mentalku sudah tidak kuat menghadapi semua gangguan-gangguan itu sendirian. Namun aku salah! Ternyata aku lebih kuat dari dugaanku selama ini! Itu semua karena rasa kasih sayang seorang Ibu yang begitu besar terhadap anaknya tercinta.
Pesan mama untuk Gendis "Jika saatnya tiba tolong pergunakan kemampuanmu untuk membantu sesama". Enjoy the process dan ingat kamu tidak pernah sendirian! Mommy loves u!
Terima kasih ya Ndis sudah mengijinkan mama untuk menuliskan kisahmu.
Quote:
Doa dari Mas Yus untuk Gendis
Kisah ini berdasarkan kisah nyata yang aku dan Gendis alami.
Untuk update diusahakan setiap hari Senin dan Kamis ( dikondisikan dengan RL).
Mohon maaf kalau susunan kalimatnya kurang enak dibaca. Karena ini pertama kalinya aku menulis cerita.
Selamat menikmati thread ini, jangan lupa ratenya, komen n ... Terima kasih.
Quote:
Saya mohon dengan sangat untuk tidak meng Copy Paste cerita ini Tanpa Seijin Gendis. Terima kasih
"Aku melirik sekilas. Kulihat seorang pengemis tua bertubuh kurus kering dan mengenakan baju compang camping, lusuh berdiri termenung di ambang pintu warung. Dengan setengah terpincing, matanya yang kecil menatap nyalang dan menyeramkan ke arah kami.
Tangan kirinya tampak memegang tongkat yang jika digerakkan akan mengeluarkan suara gemerincing berisik. Sedangkan di tangan kanannya terdapat sebuah gelas plastik bening berisikan uang receh. Dari sudut mata, ku perhatikan jika putriku dengan jeli terus mengamati ke arah pengemis tersebut. Sorot matanya terlihat dingin dan sinis layaknya tengah melihat seorang musuh bebuyutan.
Beberapa ekor lalat tampak terbang berpesta di atas rambut pengemis yang terlihat kusut berantakan. Namun pria tua itu tidak mengidahkan kehadiran binatang kecil yang terus mengerubungi tubuhnya. Ia hanya berdiri terdiam mematung, mengasurkan gelasnya ke dalam warung.
Seorang pelayan pria berjalan menghampiri dan memasukkan selembar uang ke dalam gelas pelastik sang pengemis. Lelaki berjanggut putih dengan wajah pucat dan berkeriput itu segera beranjak pergi. Dengan tatapan kosong, ia melangkahkan kakinya menuju ke tempat yang lain.
"Mba, aku kok takut banget ya melihat pengemis yang tadi?" Neng berbisik pelan.
Dwi dan Lala langsung mengamini ucapan Neng.
"Sama mba Neng! Lala juga merinding pas melihat orang tadi. Maaf, mukanya serem banget!
"Kalau aku merasa gimana gitu pas melihat tatapan matanya, hii...!" Seperti sedang menonton film horor, Dwi bergidik ngeri.
Aku terdiam sambil mengaduk-aduk gelas berisikan es teh manis. Sebenarnya dalam hatiku juga merasa ada yang janggal dengan kehadiran pengemis berbaju gelap itu. Aura yang menyelimutinya terasa misterius dan mistis. Belum lagi sorot matanya yang begitu sulit untuk ku jabarkan.
"Acian kekek adi" (Kasihan kakek tadi) celetuk Gendis yang sedari tadi hanya terdiam.
"Kasihan kenapa Ndis?" Sahut Neng.
"Kekek itu emana-ana awa atu anyak" ( Kakek itu kemana-mana membawa batu banyak) Gendis menimbrung percakapan kami.
"Batu??" Kedua alisku bertaut mendengar celoteh Gendis.
"He-eh. Kekek awa atu anyak anet!" (He-eh. Kekek bawa batu banyak banget
"Elaat!" (Berat)
"Batu dari mana Ndis? Pengemis tadi cuma membawa tongkat sama gelas yang isinya uang semua kok" sahut Dwi sambil menyeruput segelas es teh manis.
"No Wi ! Kekek ga awa uit. Kekek awana atu! Elasna ici atu cemua!!" (No. Kakek nggak bawa duit. Kakek bawanya batu. Gelasnya isi batu semua) Gendis tetap teguh dengan pendiriannya.
"Aah..! Gendis pasti salah lihat nih!" Celetuk Dwi.
Sorot mata bulat putriku berubah menjadi tajam. Cukup lama ia terdiam. Pandangannya menatap gusar ke Dwi.
"Dis ga calah iat! Uwi tuh yang ga ica iat!" (Gendis nggak salah lihat. Uwi tuh yang nggak bisa lihat)
"Olang kekek awana atu ede-ede!!" (Orang kakek bawanya batu gede-gede)
Dwi tak menanggapi amarah anakku. Beberapa kali ia menelan ludah sambil menggigit bibir. Ia terlihat gelisah mendengar nada suara Gendis yang seperti mengancam.
"Ana anya Allah aja alo ga pelcaya! Olang dia awana atu!" (Sana tanya Allah saja kalau nggak percaya. Orang dia bawanya batu)
Serentak kami terdiam dan saling berpandangan satu sama lain. Lala berbisik ke Dwi "Wi, aku lihatnya di dalam gelas pengemis itu isinya duit semua. Kalau kamu melihatnya apa?" Tanya Lala memastikan kalau indera penglihatannya tidak bermasalah.
"Sama La! Aku juga lihatnya duit" jawab Dwi dengan alis terangkat heran.
"Tapi kenapa Gendis malah melihat isinya batu semua ya?" Gumam Neng.
"Jangan-jangan orang tadi ikut pesugihan? Makanya yang Gendis lihat bukan uang, melainkain batu?" Ujar Neng dengan suara berat.
"Huss! Jangan suudzon!! Ayo jangan pada berspekulasi macam-macam!" Ketusku.
Dengan perasaan gelisah tidak karuan, mata kami semua tertuju ke arah Gendis. Namun putriku tidak menghiraukan semua tatapan itu. Ia terus mengunyah menghabiskan sisa potongan ayam yang tersaji. Membiarkan kami bertanya-tanya dan terhanyut dalam pikiran masing-masing.
***
"Bye oty Neng! Ati-ati alan!" (Bey onty Neng. Hati-hati di jalan) Lambaian tangan Gendis melepas kepulangan onty Neng.
Setelah memastikan kalau semua pintu sudah terkunci rapat, aku segera mengajak putriku untuk beristirahat. Memasuki kamar, ku lihat Dwi dan Lala sudah nampak sedang bercanda di atas karpet.
"Mba malam ini kita tidur disini ya?" Pinta Dwi sambil memeluk boneka jerapah milik putriku.
"Iya" jawabku sambil merebahkan diri di atas pembaringan bersama Gendis.
"Wi tolong matikan lampunya biar Ndis bisa cepat tidur"
Dwi segera berjalan menuju saklar yang berada di dekat pintu dan mematikannya. Kamar yang tadinya terang benderang sontak menjadi gelap gulita. Kubiarkan putriku yang tampak belum mengantuk mengoceh sendirian, aku terlalu letih jika harus meladeni Gendis terjaga sepanjang malam. Aku mulai memejamkan mata dan memasuki alam mimpi.
Entah sudah berapa lama aku terlelap, di tengah sunyi indera pendengaranku menangkap suara berbisik pelan.
"Wi, angun Wi!" (Uwi bangun Wi)
"Eehh...!" Gumam Dwi lirih.
"Ayo angun ental!" (Ayo bangun sebentar)
"Apa Ndis? Astagfirullah! Ini masih jam dua malam? Kenapa Gendis belum tidur?"
"Dis ga ica bobo. Otak Dis anyak etanyaan ama ikilan" (Gendis nggak bisa bobo. Otak Gendis banyak pertanyaan sama pikiran)
"Pikiran apa Ndis? Kamu itu masih anak-anak. Nggak usah mikirin harga susu sama baju! Biar mama mu saja yang mikir!"
"Utan cucu Wi!" (Bukan susu Wi)
"Dis, jangan-jangan Gendis mabok kopi ya makanya jadi susah tidur?"
"Terus kenapa Gendis masih melek? Emangnya Ndis mikir apaan sih?"
"Itu Wi, Dis ikilin ungci ekukan di awah idung uat apa?" (Itu Wi, Gendis mikirin fungsi lekukan di bawah hidung buat apa)
"Ya Allah, Ndis! Uwi memang anak IPA! Tapi Uwi nggak pernah mikir kesitu dan nggak tahu jawabannya! Kamu masih dua tahun kok bisa kepikiran hal itu sih? Harusnya anak seumuran kamu itu mikirnya besok mau main apa? Bukannya malah ngasih pertanyaan yang ribet!' Gerutu Dwi yang merasa kesal karena waktu istirahatnya telah diganggu oleh anakku.
"Awab Wi! Angan anyak omong!" (Jawab Dwi. Jangan banyak omong)
"MBA !!" Teriak Dwi memecah keheningan
"Hmm.. Apa?" Sahutku sambil memejamkan mata.
"Bangun sebentar mba. Lihat nih kelakuan anakmu!"
Dengan enggan aku membalik tubuhku dan melihat ke arah Dwi. Masih terkantuk-kantuk aku memicingkan mata mengamati dalam gelap. Samar-samar kulihat anakku yang masih terjaga hingga larut malam sedang duduk di samping Dwi. Sedangkan Lala tampak masih tertidur pulas.
"Ndis? Gendis kenapa belum tidur?" Tanyaku malas-malasan.
"Ga ica elem ma!" (Nggak bisa merem ma)
"Anakmu kacau mba! Dia nanya ke aku fungsi yang di bawah hidung! Mana aku tahu jawabannya! Aku saja nggak pernah merhatiin!"
"Uwi ayah nih. Otakna nga di ake" (Uwi payah nih. Otaknya nggak dipake)
"Ndis dengerin Uwi baik-baik. Besok pagi, Gendis bisa tanya sama Google! Jangan kasih Uwi pertanyaan itu lagi oke!"
"No Wi! Dis au na Uwi yang awab! Utan Ogel! Uwi cekolah tan?" (No Wi. Gendis maunya Uwi yang jawab. Bukan Google. Uwi sekolah kan)
"Mbaaa!! Aku baru dua malam nginap di rumahmu bisa turun berat badanku karena stress!"
"Uwi etles apa? Ikilin owo ya? Uwi tan omblo!" (Uwi stress kenapa. Mikirin cowok ya. Uwi kan jomblo)
"Allahu Akbar! Ni bocah malam-malam bikin tensi darah Uwi naik aja nih!"
Perutku sakit berusaha menahan tawa. Ada sedikit rasa kasihan dan geli saat aku mendengar ucapan Dwi yang lucu.
"Ndis sini naik ke atas, tidur samping mama. Besok pagi kita cari jawabannya sama-sama!"
"Enel ma?" (Benar ma)
"Iya mama janji. Sekarang Gendis istirahat dulu ya sayang"
Putriku beranjak meninggalkan Dwi dan terduduk di sampingku. Keningnya tampak mengerut dan bola matanya berputar.
"Ma, mama engel ga?" (Ma. Mama dengar nggak)
"Dengar apa?"
"Itu ada cuala anak ayam di epan lumah" (Itu ada suara anak ayam di depan rumah)
Aku menajamkan pendengaranku.
Hening.
Tidak terdengar satu suarapun.
"Di ual agi ame ma!" (Di luar lagi ramai ma)
"Ramai? Ramai apaan Ndis? Ini tengah malam dan di luar sepi banget!"
"No ma! Di ual lame! Ada ondal andil!" (No ma. Di luar ramai. Pada mondar mandir)
Aku menurunkan pandangan ke arah Dwi.
"Tu ma! Cuala anak ayam ada anyak, iap.. iap!" (Tu ma. Suara anak ayam ada banyak Ciap. Ciap) Putriku menirukan suara anak ayam.
"Wi engel tan cuala ciap ciap epan lumah?" (Uwi dengerkan suara ciap ciao depan rumah)
Kini mata putriku setengah terpicing. Jari telunjuknya perlahan terangkat ke atas.
"Tuh engel tan? Cekalang kakak agi etawa-etawa? Belicik kak!" (Tuh dengerkan. Sekarang kakak lagi ketawa-ketawa. Berisik kak) Gendis menutup telinga rapat-rapat dengan kedua telapak tangan.
Dwi tersentak mendengar pertanyaan Gendis, ia membeliak kaget. Dengan cepat Dwi segera naik ke atas kasur dan menutup seluruh tubuhnya dengan selimut.
"Mba.. disini mana ada yang melihara ayam? Terus kenapa sekarang anakmu bilang ada yang lagi ketawa? Kalau yang Gendis dengar itu benar berarti di depan rumah, ada kun...!" Belum sempat Dwi melanjutkan ucapannya tiba-tiba terdengar suara tawa perempuan cekikikan yang begitu menyeramkan hingga membuat bulu kuduk meremang.
"HIhihihi...!" Suara tawanya yang melengking tinggi terdengar terbang menjauh.
Jantungku berdesir hebat mendengar suara yang mengerikan itu. Dwi menjerit histeris. Tangannya yang terasa sedingin salju memeluk erat tubuhku "Aku mau pulannggg!!!" Jeritnya tertahan.
Akhirnya malam itu kulalui dengan tidur bertiga di atas ranjang. Sepanjang malam Dwi mendekap tubuhku erat, membuatku sedikit kesulitan bernafas. Bahkan untuk sekedar menggerakkan tubuh pun terasa sulit. Ia tampak begitu ketakutan. Sedangkan Lala tetap terlelap dalam tidurnya. Ia tidak terganggu dengan semua keributan yang telah kami buat.
Keesokan paginya setelah selesai sarapan, Dwi langsung memesan taxi online. Ia memutuskan untuk pulang ke rumah hari itu juga. Lala yang tampak kebingungan hanya bisa mengikuti kemauan Dwi. Kini tinggal aku dan putriku. Menjalani hari-hari dalam sepi sambil menunggu kepulangan suamiku yang sedang bertugas ke luar kota.
***
"Mama! Ada epon!" (Mama. Ada telepon)
Aku yang sedang memasak di dapur dikejutkan oleh teriakan Gendis. Dengan tergesa-gesa aku segera mematikan kompor dan menuju ke ruang tengah, tempat dimana putriku sedang bermain. Ponsel yang ku taruh di atas sofa bergetar, kulihat nama suamiku tertera pada layar. Dengan perasaan membuncah bahagia, aku segera menjawab panggilan telepon masuk.
"Assalamu'alaikum mas"
"Wa'alaikumsalam Ima. Maaf mas baru bisa menelpon sekarang karena mas baru tiba di kota"
"Nggak apa-apa mas. Yang penting sekarang mas sudah memberi kabar"
"Ma, Gendis mana? Mas mau bicara sebentar sama kesayangan"
"Sebentar, Ima panggil dulu anaknya"
Aku segera menyalakan fitur speaker pada panggilan tersebut.
"Ndis tolong kesini sebentar nak. Ayah mau bicara sama Gendis"
Anakku meletakkan mainannya di lantai dan menghampiriku.
"AYAH !" Teriaknya Cumiakkan telinga.
"DIS ANGEN AYAH!" (Gendis kangen ayah)
"Ayah ga akal tan?" (Ayah nggak nakal kan)
Mas Dedi tertawa mendengar celoteh putrinya yang ceriwis.
"Ayah nggak nakal Ndis. Sama, ayah juga kangen banget sama Ndis"
"Cama ! Dis uga angen ayah!" (Sama. Gendis juga kangen ayah)
"Ndis kalau nanti ayah pulang, Gendis pilih mau liburan ke laut atau ke gunung?"
Tanpa berpikir panjang, putriku langsung menjawab dengan cepat "AUT yah! Dis au cwim!" (Laut yah. Gendis mau swim)
"Sekarang Gendis pilih mau perginya ke Bunaken, Bali atau Lombok?"
Putriku terdiam, ia tampak berpikir sejenak.
"Ali aja yah!" (Bali saja yah)
"Bener nih maunya ke Bali bukan ke Bunaken?" Suamiku mencoba merubah pendirian putrinya.
"Iya. Dis au na ke Ali ama ayah ,mama" (Iya. Gendis maunya ke Bali sama ayah, mama)
"Oke berarti nanti kalau ayah pulang, kita langsung pargi ke Bali ya"
"HOLE ! Yes!!" Teriak Gendis girang.
"Ma, Ali apa ma?" (Ma. Bali apa ma) Dengan raut wajah bingung, ia bertanya padaku.
Aku tertawa geli.
"Gendis! Gendis! Gayamu itu seperti orang yang sudah pernah pergi ke Bali! Eh ini malah nanya balik ke mama!"
Dari ujung sana, suamiku ikut tertawa mendengar ucapanku.
"Nanti mama kasih lihat video tentang Bali ya sayang"
"Cip!" (Sip) Gendis mengancungkan jempol.
"Ke Ali aik apa ma? Alan tati ya?" (Ke Bali naik apa ma. Jalan kaki ya)
Lagi-lagi pertanyaannya yang polos dan lucu membuatku dan mas Dedi tergelak.
"Ke Bali naik pesawat Ndis, masa jalan kaki?" Aku mencubit pipinya yang menggemaskan.
"Ma nanti mas transfer ke rekening Ima. Tolong Ima langsung cari dan pesan hotel yang letaknya di pinggir pantai. Jangan lupa juga sekalian pesan tiket penerbangan PP untuk tanggal lima dan dua belas"
"Memangnya kita mau berapa lama di Bali?"
"Seminggu! Mas mau ajak Gendis keliling Bali biar dia nggak kuper di rumah terus seperti mamanya" goda mas.
"Huu dasar! Ya sudah biar nanti Ima yang booking semuanya"
"Jangan lupa cari hotel yang ada fasilitas playgroundnya biar Gendis betah dan nyaman"
"Oke mas"
"Satu lagi, pesannya pesawat Garu** penerbangan pertama ya. Biar kita sampai di Bali pagi, jadi bisa langsung jalan-jalan. Dan jangan bawa pakaian terlalu banyak. Kita belanja disana saja!"
"Siap bos!"
"Ya sudah nanti kita lanjut lagi ngobrolnya. Sekarang mas mau cari oleh-oleh dulu buat Gendis"
Suamiku mengucapkan salam dan mengakhiri panggilan.
Bibirku yang tipis melengkungkan senyuman "Yes Bali !!" Aku Cumiik kegirangan membuat putriku terlonjak kaget.
"Mama aya olang ila!" (Mama kaya orang gila) Gerutunya dengan wajah masam.
"Bali Ndis! Bali ! Akhirnya kita akan berlibur!" aku melompat-lompat kegirangan.
"Mama aya anak ecil! Ompat-ompat telus!" (Mama kaya anak kecil. Lompat-lompat terus
Hatiku benar-benar bahagia. Setelah sebulan penuh hanya berdiam diri di rumah, akhirnya aku dan putriku akan melihat dunia luar! Pergi berlibur ke destinasi pariwisata yang terkenal akan keindahan alamnya. Aku memejamkan mata dan merentangkan kedua tangan, membayangkan suara deburan ombak dan hembusan angin pantai "Indahnya" bibirku terus melengkungkan senyuman.
"Mama apain elem?" Mama bobo?' (Mama ngapain merem. Mama bobo)
Ucapan Gendis membangunkanku dari lamunan. Perlahan kubuka kelopak mata dan menatap Gendis yang sedari tadi menatap aneh ke arahku.
"Mama bukannya bobo, tadi mama lagi menghayal kalau sudah sampai di Bali"
Aku menepuk jidatku "Ya Allah, mama lupa! Mama kan sudah janji mau ngasih tahu Gendis video tentang Bali ya?"
Aku segera mengambil remote tv dan menyalakannya. Aku memilih aplikasi youtube dan mengetikkan Bali sebagai kata kunci. Tak lama kemudian muncullah berbagai pilihan destinasi wisata di Pulau Dewata. Aku memilih pantai Uluwatu dan kini di hadapanku terpampang pantai dan resort yang sangat indah.
"Ndis ini yang namanya Bali. Baguskan? Ndis pasti suka deh!"
Putriku dengan anteng duduk di atas karpet, kedua matanya menatap layar di depannya. Ia tampak begitu fokus melihat ke arah layar besar itu.
"Agus ma. Dis cuka" (Bagus ma. Gendis suka)
Aku terseyum.
"Ya sudah, sekarang mama mau hunting hotel dan tiket pesawat dulu. Gendis yang anteng. Nonton tv nya jangan terlalu dekat ya sayang"
Anakku mengangguk sekali tanpa mengatakan apapun. Sekilas aku bisa melihat wajahnya yang bersemangat. Netranya terus memandang kagum ke arah layar tv.
Aku melangkah menuju sofa dan merebahkan
tubuhku disana. Kini ibu jariku bergerak lincah membuka aplikasi trave****. Hal pertama yang aku cari adalah hotel. Karena keluargaku akan cukup lama staycation di Bali maka aku harus memastikan jika tempat kami menginap haruslah nyaman. Dan karena aku memiliki anak yang sedikit berbeda dengan anak lainnya, maka prioritas utamaku adalah hotel tersebut tidak boleh angker!
Jariku mengetikkan salah satu pantai yang sangat terkenal di Pulau Dewata dan muncullah sejumlah nama hotel dan resort yang lokasinya tidak jauh dari bibir pantai.
Mataku bergerak naik turun membaca satu persatu review hotel yang aku anggap bagus. Ada salah satu resort yang cukup menarik perhatianku. Resort yang berada tepat di pesisir pantai dan memiliki fasilitas private beach dan playground. Garis-garis halus muncul di antara kedua alis.
"Ini resort kenapa harganya murah banget? Rasanya seperti ada yang aneh?" Aku mengamati foto-foto di gallery pihak hotel.
"Semua tampak bagus tapi kok bisa murah begini ya?" Gumamku.
Aku segera mengecek kolom review, jariku terus menscroll ke bawah. Melihat dan membaca lebih banyak komentar tamu yang pernah meginap disana. Dan rasa heranku terbayar.
Mataku terpincing membaca beberapa komentar. Di kolom review tertulis jika resort itu sangat menyeramkan! Setiap malam, mereka sering mendapat teror dan gangguan dari mahluk halus!
"Pantesan murah! Ternyata selain menjadi tempat menginap, resort itu bisa menjadi ajang uji nyali sekaligus!"
Aku segera mencari lagi hotel dengan fasilitas yang nyaman untuk anakku. Akhirnya kutemukan sebuah resort yang sangat strategis dan terletak di pinggir pantai. Resort ini memiliki akses ke mall yang terletak disampingnya, sehingga keluargaku tidak akan kesulitan jika ingin membeli makanan.
Hotel ini juga memiliki fasilitas playgroud yang lengkap dan review yang sangat bagus dari tamu yang pernah menginap di sana. Tanpa berpikir panjang, aku segera membooking room selama tujuh hari. Setelah itu aku juga segera memesan tiket pesawat PP untuk tiga orang.
"Alhamdulillah sudah dapat semuanya. Tinggal packing."
Ku perhatikan anakku tetap asik menonton ke layar tv. Ia tampak begitu terpana dengan pesona keindahan alam Pulau Dewata.
"Ndis kesini sebentar deh"
Putriku segera melangkah ke arahku.
"Apa ma?"
"Kita telepon Uwi yuk? Kasih tahu kalau Gendis mau liburan. Kita bikin Uwi iri!" Aku tersenyum jahil membayangkan expresi sepupuku jika ia tahu kami akan pergi berlibur.
"Yee! Kalau dibilangin sama yang lebih tua nggak pernah percaya!"
"Wi, Dis au libulan ke Ali!" (Uwi. Gendis mau liburan ke Bali)
"Bohong ah!"
"Enel kok, mama udah eli iket ecawat ama otel. Ana mama aja" (Bener kok. Mama sudah beli tiket pesawat sana hotel. Tanya mama saja)
"Mba!! Itu yang dibilang sama kiting bener?" Tanya Dwi dengan mata melebar.
"Yoiiii...!" Aku mengedipkan sebelah mataku berusaha menggodanya.
"IKUT ! UWI IKUT " Rengeknya bagaikan seorang anak kecil yang menginginkan sebuah candy.
"No! Uwi tan cekolah. Alus elajal bial intel ,ial nda omblo agi!" (No. Uwi kan sekolah. Harus belajar biar pinter. Biar nggak jomblo lagi)
"MBA..! AKU IKUT! Ahh !! Pada tega amat sih sama Uwi. Udah tahu Uwi mau ujian, ini kalian malah mau pergi jalan-jalan!"
"Dunia memang tidak adil Wi! "Gurauku sambil mentertawakan Dwi yang raut wajahnya terlihat sangat menyedihkan.
Mendadak putriku terdiam. Sudut matanya menoleh melihat ke belakang Dwi yang sedang merebahkan tubuhnya di atas sprei berwarna merah jambu. Ia memusatkan netranya ke arah lemari berwarna putih yang pintunya sedikit terbuka. Ia mengerjapkan matanya beberapa kali. Anakku terkejut, pupil matanya yang coklat tampak membesar. Dari bibirnya terdengar jerit tertahan.
Anda akan meninggalkan Stories from the Heart. Apakah anda yakin?
Lapor Hansip
Semua laporan yang masuk akan kami proses dalam 1-7 hari kerja. Kami mencatat IP pelapor untuk alasan keamanan. Barang siapa memberikan laporan palsu akan dikenakan sanksi banned.