Came in from a rainy Thursday
On the avenue Thought I heard you talking softly
I turned on the lights, the TV
And the radio Still I can't escape the ghost of you
What has happened to it all?
Crazy, some'd say
Where is the life that I recognize?
Gone away
But I won't cry for yesterday
There's an ordinary world
Somehow I have to find
And as I try to make my way
To the ordinary world
I will learn to survive
Passion or coincidence
Once prompted you to say
"Pride will tear us both apart"
Well now pride's gone out the window
Cross the rooftops
Run away
Left me in the vacuum of my heart
What is happening to me?
Crazy, some'd say
Where is my friend when I need you most?
Gone away
But I won't cry for yesterday
There's an ordinary world
Somehow I have to find
And as I try to make my way
To the ordinary world
I will learn to survive
Papers in the roadside
Tell of suffering and greed
Here today, forgot tomorrow
Ooh, here besides the news
Of holy war and holy need
Ours is just a little sorrowed talk
And I don't cry for yesterday
There's an ordinary world
Somehow I have to find
And as I try to make my way
To the ordinary world
I will learn to survive
Every one Is my world, I will learn to survive
Any one Is my world, I will learn to survive
Any one Is my world
Every one Is my world
Resti merubah posisi duduknya, kali ini ia membelakangi dan menyandarkan tubuhnya pada punggung gua. Kami berbincang, tak menatap satu sama lain, hanya memandang ke arah langit yang penuh bintang.
“Klinik kecantikan harusnya bisa ngilangin bekas luka di jidat gw ya cad?” Tanyanya pelan.
“Kenapa harus di ilangin?” Gua balik bertanya.
“...”
“... Kalo lo emang niat ngilangin bekas luka itu, pasti dari dulu udah lo lakukan. Kenapa baru sekarang lo kepikiran?”
“Nggak tau, baru kepikiran aja…”
“Well, kalo gua sih terserah lo aja…”
“Kalo lo suruh gw untuk ilangin bekas luka ini, besok langsung gw ilangin. Tapi, kalo lo bilang terserah ya gw males…”
“Jangan, biarin aja… apa sih artinya bekas luka kayak gitu. Lo tetep cantik kok…”
“Hehe…”
Saat tengah berbincang seru perihal bekas luka di dahinya. Resti mendapat panggilan dari salah satu asisten rumah tangga, yang memberi tahu bahwa ia baru saja mendapat sebuah kiriman paket.
Cepat, Resti bangkit dari duduknya, saking tergesanya, ia bahkan meninggalkan sandal dan bertelanjang kaki menuju ke depan. Beberapa saat berikutnya, ia kembali sambil membopong kardus sangat besar yang dilapisi plastik transparan dengan lakban mengelilinginya.
Gua berdiri dan bergegas membantunya; “Apaan nih?” Tanya gua seraya mengambil alih kardus tersebut dari tangannya.
“Foto prewed…” Jawab Resti sambil tersenyum.
“Kok di paketin?” Tanya gua.
“Nggak ini tadi orangnya yang nganter, tapi kan tadi kita lagi pada ngobrol disini. Jadi yang nerima Pak Sam…” Jelas Resti, seraya berusaha membuka bungkusan plastik yang melapisi kardus.
Setelah cukup bersusah payah membuka bungkusan plastik dan kardus yang berlapis-lapis, terlihat beberapa frame foto berukuran besar yang menampilkan sosok kami berdua. Di foto tersebut terlihat Resti tengah berada di gendongan gua.
“Eh kok yang ini yang dipake?” Tanya gua sambil menatap ke arah foto berukuran raksasa tersebut.
“Iya, gw pilih yang ini…” Jawabnya.
“Foto-foto yang lain?”
“Nih…” Ucap Resti seraya menunjuk ke arah beberapa frame yang berukuran lebih kecil.
Gua meraih frame-frame foto tersebut dan mulai melihat hasilnya. Salah satu frame menampilkan foto Gua, Resti, Tile, Rio, Dita dan Sekar. Ia lalu merebut fram tersebut dari tangan gua dan mulai menyeringai.
“Ih pengen gua spidol mukanya nih orang…” Ucap Resti ketus sambil menunjuk ke arah foto Sekar.
Gua membelai kepalanya pelan; “Kan elo yang ngajak dia…”
Mendengar ucapan gua barusan Resti memonyongkan bibirnya, menunjukkan ekspresi penyesalan yang mendalam. Ia lalu menatap gua, dan bicara; “Iya, nyesel deh gw…”
Namun, rasa sesalnya seperti cepat menguap. Detik berikutnya ia sudah mengembalikan ekspresi penuh semangatnya.
“Ok, Prewed kelar… Besok kita tinggal fitting baju deh…” Tambahnya sambil memperagakan gerakan meninju ke udara.
“Fitting bajunya boleh nunggu ini sembuh kah?” Tanya gua sambil menunjuk bahu kakan gua dengan menggunakan dagu.
“Ih, bikin bajunya kan lama cad… Lo nyusul aja deh…” Jawabnya.
“Lah, lama juga gapapa. Tanggal nikahnya aja belum ditentuin…”
“Kata siapa? Udah kok…”
“Hah? kapan? setelah diskusi dengan siapa?” Tanya gua lagi, karena setahu gua bokapnya pun belum tahu apa-apa perihal tanggal pernikahan.
“Dengan diri gw sendiri…” Jawabnya seraya menunjuk ke arah dirinya.
“Cewek aneh…” Gumam gua pelan.
“Apa lo bilang?”
“Nggak…” Gua merespon singkat sambil menunduk dan berusaha menghindari tatapannya.
Resti mendekat dan menjewer telinga gua.
“Udah malem ayo gw anterin balik…” Ucapnya, masih menarik telinga gua.
“Gua balik sendiri aja…”
“Gapapa udah jangan bawel, gw anterin…”
“Nggak usah, gw balik sendiri aja…”
“Kenapa sih, lo tuh ngeyel banget jadi orang…”
“Ya elo yang ngeyel…”
“Gw kan khawatir kalo lo balik sendiri, nyetir aja tangan satu…”
“Gua bisa naik taksi kok…”
“Ya daripada naik taksi kan mending gw anter…”
Di Tengah perdebatan sengit kami berdua, Maminya hadir dan berusaha masuk di tengah perdebatan; “Ributin apa sih, kok kayaknya seru?” Tanyanya seraya mendekat dan melempar senyum.
“Biasa mi, ini si raja ngeyel…” Ucap Resti ketus sambil melirik ke arah gua.
“Gapapa tan, biasa nih si ratu maksa…” Respon gua seraya balik melirik ke arahnya.
Akhirnya Nyokapnya Resti berhasil menengahi dan memberikan solusi ke permasalahan sepele yang kami berdua timbulkan. “Udah sana anter Bian dulu Res…” Ucap maminya.
“Nggak usah tan, saya pulang sendiri aja…” Jawab gua pelan.
“Tuh.. Mami denger kan… ngeyel emang lo..” Balas Resti seraya mencoba kembali meraih telingan gua, namun gagal karena keburu dicegah oleh maminya.
“Kamu kalo nyetir sendiri bisa bi?” Tanya maminya lembut.
“Bisa tan…” Jawab gua.
“Yaudah sana pulang sendiri gapapa… mana kunci mobil nya Res…” Ucap Maminya seraya meminta kunci mobil ke Resti.
Sambil cemberut, Resti merogoh kunci mobil dari saku celananya dan menyerahkannya ke gua. Dengan cepat gua meraih kunci tersebut, kemudian pamit ke Maminya dan bergegas pergi. Sambil berjalan menjauh, gua menoleh ke arah Resti dan menjulurkan lidah. “Wleee”
Melihat tingkah gua barusan Resti dengan cepat mengepalkan tinjunya dan mengarahkannya ke arah gua. Sambil bicara tanpa suara; “Awas lo”.
—
Tanggal pernikahan telah ditetapkan. Ya, walaupun dilakukan secara sepihak oleh Resti, tanpa berdiskusi ataupun mendengar opini dari gua maupun kedua orang tuanya. Jujur, gua sendiri nggak begitu peduli dengan hal-hal ‘semacam’ itu. Seandainya pun terjadi diskusi antara gua dan Resti, kemungkinan besar gua hanya akan menjawab; ‘Ya terserah lo aja…’. Mungkin karena alasan tersebut pula, Resti cukup berani mengambil keputusan perihal tanggal pernikahan tanpa berdiskusi terlebih dahulu dengan gua.
Gua tengah duduk di kursi plastik kecil yang tadi disediakan Pak Sam untuk gua. Dengan sebatang rokok di tangan gua memandangi Pak Sam yang terlihat sibuk memoles mobil milik bokapnya Resti. Entah untuk apa lagi dipoles, buat gua mobil tersebut sudah amat mengkilap dan terlihat licin. Mungkin saking licinnya, seorang Peter Parker-pun nggak bisa menggunakan kekuatannya untuk menempel pada mobil ini.
“Kenapa nggak nunggu di dalem aja mas…” Ucap Pak Sam sambil melirik ke arah gua, sementara tangannya masih sibuk memoles bodi mobil.
“Nggak ah, enakan disini bisa sambil ngerokok…” Jawab gua santai.
“Mau dibikinin kopi mas?” Tanya Pak Sam, yang mungkin melihat gua mulai bosan menunggu Resti.
“Nggak pak, Thank you”
Setelah hampir setengah jam menunggu, Resti akhirnya keluar dari dalam rumah. Seperti biasa, ia terlihat cantik dan menggemaskan saat mengenakan sweater kebesaran. Namun, celana yang ia kenakan agak sedikit mengganggu gua. Untuk ukuran celana pendek, itu kelewat pendek!
“Nggak telanjang aja sekalian” Gumam gua sambil melirik ke arah celana pendek yang ia kenakan.
Resti lalu menunduk dan menatap ke bawah. Ia mendengus kesal, menghentakkan kakinya ke lantai, kemudian bergegas kembali ke dalam.
Gua kembali meraih sebatang rokok dan mulai menyulutnya. Pak Sam, melirik gua dan mulai bicara; “Sekarang mau dibikinin kopi?” Tanyanya sambil tersenyum.
“Mau deh Pak, kalo nggak ngerepotin…” Jawab gua.
“Nggak lah, tunggu ya…” Pak Sam merespon, ia lalu bergegas masuk ke dalam melalui pintu garasi.
Sejatinya, Resti yang gua kenal bukanlah cewek yang butuh waktu lama untuk berdandan atau memilih pakaian yang akan ia kenakan. Saat ini gua menunggu lebih lama dari biasanya karena Ia hanya ingin membuat gua kesal. Tebakan gua, saat ini ia tengah berbaring di ranjangnya sambil menatap ponsel atau mendengarkan musik. Kenapa gua bisa tau? ya karena ini bukanlah kejadian pertama sejak kami berdua bersama.
Setengah jam berikutnya, Resti kembali keluar. Masih dengan Sweater abu-abu kebesaran, namun kali ini alih-alih celana pendek, ia menggunakan ripped jeans hitam semata kaki, lengkap dengan sneaker putih dan kaos kaki berwarna hitam.
Masih dengan tampang cemberut, ia mendekat dan menghampiri gua; “Ayo..” Ucapnya seraya menarik ujung kaos yang gua kenakan.
“Ntar dulu, tanggung…” Jawab gua, kemudian bersiap menghabiskan sisa kopi di gelas. Namun, dengan cepat Resti merebut gelas berisi kopi dari tangan gua dan menyerahkannya ke Pak Sam.
“Ayo…” Ucapnya.
Gua menghela nafas dan bergegas menuju ke mobil yang terparkir di luar.
“Dengerin berapa lagu tadi di kamar?” Tanya gua sambil menyalakan mesin mobil.
“Satu lagu…” Jawabnya santai.
“Nggak mungkin satu lagi sampe setengah jam…”
“Emang cuma satu lagi, tapi gua ulang sampe 8 kali… Wleee…” Ucapnya meledek gua.
—
Feli pasang tampang suntuk begitu kami berdua tiba di salah satu restoran pizza, tempat seharusnya kami bertemu satu setengah jam yang lalu. Ia menatap gua tajam, sementara suara geraman mulai terdengar.
“Lama deh…” Ucap Feli pelan sambil melirik ke arah gua.
Gua membalas tatapannya sambil mengernyitkan dahi dan menunjuk ke arah Resti; sosok penyebab utama keterlambatan kami berdua.
Feli lalu berpaling ke arah Resti. Ekspresinya mendadak berubah, kali ini penuh senyuman.
“Udah lama Fel?” Tanya Resti dengan tampang tanpa rasa bersalah sedikit pun.
“Ya lumayan kak… Hampir dua jam-an lah…” Balas Feli sambil pasang senyum yang dipaksakan.
“Sorry ya Fel, gara-gara dia nih, lelet emang” Balas Resti seraya menunjuk ke arah gua dengan dagunya.
“Dih, kok gua… Nggak, nggak bukan Fel, dia nih ganti baju setahun…” Sanggah gua.
“Yang bikin gw jadi ganti baju lagi siapa?” Tanyanya sambil mendelik ke arah gua.
“Ya lo ganti celana doang aja setengah jam…”
“Ya elo kenapa nyuru gw ganti celana?”
“Yang elo pake sebelumnya nggak layak disebut celana…”
Di Tengah perdebatan kami berdua yang mulai sengit, Feli mencoba melerai kami berdua dengan menyebut nama; “Kak Icad, Kak Resti…”
Namun, Gua dan Resti seperti nya nggak begitu peduli dengan panggilannya tersebut. Dan tetap sibuk beradu argumen.
Setelah panggilannya entah yang ke-sekian, Feli berteriak seraya menggebrak meja. “Kak!”
Gua dan Resti saling pandang, lalu berpaling ke arah Feli yang saat ini tengah menatap kami bergantian. “Apa?!” jawab kami berdua kompak.
“Udah.. malu…” Ucap Feli pelan sambil menoleh ke kanan dan kiri, seakan memberi tahu kami bahwa hampir semua mata yang saat ini berada di restoran tengah tertuju kepada kami berdua.
Gua menghela nafas kemudian duduk, begitu pula dengan Resti.
“Mana liat Fel..” Tagih Resti begitu duduk.
Feli lalu merogoh sesuatu dari dalam tas dan menyodorkan beberapa lembar kertas kepada Resti. Setelahnya, ia memutar layar laptop yang sejak tadi berada di atas meja, kali ini menghadap ke arah kami berdua.
Pada layar terdapat beberapa draft desain kartu undangan yang sudah disiapkan oleh Feli. Gua menatap cepat satu persatu kemudian menganggukan kepala. Melihat ekspresi gua, Feli tersenyum dan langsung mengajukan pertanyaan; “Kak Icad suka yang mana?”
“Semua…” Jawab gua singkat.
“Ih, nggak punya selera” Terdengar gumam Resti pelan, sementara tangannya tengah meraba tekstur kertas yang baru saja diberikan oleh Feli.
“Yang ini bagus lho kak, warnanya bisa berubah kalo kena matahari…” Saran Feli sambil menunjuk ke salah satu sampel kertas ditangan Resti.
“Norak..” Ucap Resti, kemudian menyingkirkan pilihan Feli.
“Kalo yang ini kak gimana?” Feli kembali menunjuk salah satu sampel kertas.
“Norak…”
“Yang ini kak?”
“Jelek, keliatan murah”
Gua mendengus pelan, kemudian mencolek lengan Feli dan menggelengkan kepala begitu ia menoleh. Mencoba memberikan tanda kepadanya agar diam dan membiarkan Resti leluasa memilih. Dalam kondisi seperti sekarang, Resti bisa jadi orang yang amat menyebalkan; semua pilihan dan pendapat orang tak akan ada nilainya. Ia akan menanyakan pendapat kepada seseorang jika dirasa perlu, jika dirasa tak perlu maka jadilah ia seperti sekarang.
Syukurlah Feli langsung mengerti, ia menarik dirinya dan duduk menunggu hingga Resti selesai memilih jenis kertas yang dia inginkan.
Nggak seberapa lama, Resti menyerahkan kertas pilihannya kepada Feli. And you know what? kertas yang Resti pilih merupakan salah kertas yang sebelumnya disarankan oleh Feli. “Yang ini aja Fel…” Ucapnya sambil tersenyum.
“Aneh…” Gua menggumam pelan.
Resti kemudian berpaling ke layar laptop. Menatap satu persatu draft design yang telah dibuat Feli. Kali ini butuh waktu yang cukup lama bagi Resti untuk mengambil keputusan. Gua bangkit dari duduk dan berdiri; “Gua ngerokok dulu ya…”
“Ya…” Jawab Resti singkat tanpa memalingkan wajahnya dari layar laptop.
“Kakak, nggak ikut milih?” Tanya Feli.
“Kan tadi udah gua bilang; gua suka semua. Tergantung dia aja nih…” Jawab gua sambil menunjuk ke arah Resti dengan dagu dan bergegas keluar.
Setelah menghabiskan beberapa batang rokok, gua kembali masuk kedalam dan mendapati Resti masih duduk menatap layar laptop. Namun, kali ini ia sambil menikmati salad dan sesekali menyeruput kopi.
“Belom juga?” Tanya gua.
Resti menggelengkan kepala, masih sambil menatap ke layar; “Gw bingung antara yang ini atau yang ini?”
Gua menggeser duduk, mendekat kepadanya, dan melihat dua pilihan yang tersisa. Sambil memutar laptop kembali ke arah Feli, gua bicara; “Yang sebelah kiri Fel”
“Ih, orang gw belom selesai…” Resti protes dengan menepuk bahu gua.
“Udah, yang itu aja…” Balas gua.
Resti lalu terlihat berpikir sejenak sebelum akhirnya menyetujui keputusan gua barusan.
Setelah selesai membahas perkara undangan, Feli buru-buru membereskan laptop dan barang-barang miliknya.
“Tumben, buru-buru… Biasanya pengen lama-lama kalo ada dia?” Tanya Resti seraya menunjuk gua.
“Hehehe… Aku udah janjian sama temen kak. Udah telat nih… Kakak sih tadi datengnya lama…” jawabnya santai, kemudian bergegas pergi.
—
Gua meraih potongan besar Pizza dan mulai melahapnya, sementara Resti sibuk menatap ponsel. Tiba-tiba, Ia meletakkan ponsel di atas meja dan mulai bersandar di bahu gua.
“Cad…”
“Ya…”
“Ada yang belom lu ceritain kah ke gw?” Tanyanya.
Gua meraih gelas, minum dan berpaling kepadanya. “Nggak tau, mungkin ada tapi gua lupa…”
“Kalo lo lupa berarti ya emang nggak begitu penting. Tapi, sesuatu yang penting tapi belum pernah lo ceritain ke gw. Ada nggak?” Tanyanya lagi.
“Hmmm…”
“Ada?”
Gua lama terdiam, menatap kosong ke arah gelas berisi cola yang tinggal setengah. Resti lalu menepuk lembut punggung tangan gua dan kembali bicara; “Ada cad?”
“Ada..” Jawab gua pelan.
“...”
“... Tapi, gua terlalu malu untuk cerita. Bahkan ke elo” Gua menambahkan.
“Ya lo harus terbiasa mulai sekarang, nanti pas udah nikah lo harus cerita semuanya ke gw. Semuanya…” Ucapnya pelan.
“Well… mungkin kalo gua cerita, lo juga gak bakal percaya”
“Then, try me…”
“Dulu pas Larissa meninggal, gua pernah coba bunuh diri lho…” Gua mulai bicara, sambil tersenyum. Agak geli saat mengingat kejadian saat itu.
“Wew, pikiran lo pendek yah…” Ucapnya sambil menyentil dahi gua.
“Ya waktu itu kan gua masih bego…”
“Terus… terus…”
“Malam itu, gua udah ngerasa ketemu sama Larissa. Dalam hati berpikir, kalo usaha bunuh diri gua sukses”
“Tapi ternyata pagi-pagi, gua bangun dalam kondisi hidup dan seger, di sebelah gua udah ada bekas muntahan, usaha bunuh diri gua gagal, mungkin kurang niat kali ya …”
“Iya, niat lo kurang gede. Lagian mana ada orang bunuh diri minum pil koplo 30 biji…” Ucap Resti sambil menahan tawa.
“Kan udah gua bilang jangan ketawa… eh, kok lo tau kalo gua minum pil koplo?”
“Eng… anu…” Resti terlihat kebingungan, ia menggaruk kepalanya seraya memalingkan wajah.
—
Story Of The Year - Until The Day I Die
Until the day I die
I'll spill my heart for you, for you
Until the day I die
I'll spill my heart for you
As years go by
I race the clock with you
But if you died right now
You know that I'd die too
I'd die too
You remind me of the times
When I knew who I was (I was)
But still the second hand will catch us
Like it always does
We'll make the same mistakes
I'll take the fall for you
I hope you need this now
Cause I know I still do
Until the day I die (Until the day I die)
I'll spill my heart for you
Until the day I die (Until the day I die)
I'll spill my heart for you
Should I bite my tongue?
Until blood soaks my shirt
We'll never fall apart
Tell me why this hurts so much
My hands are at your throat
And I think I hate you
But still we'll say, "remember when"
Just like we always do
Just like we always do
Until the day I die (Until the day I die)
I'll spill my heart for you
Until the day I die (Until the day I die)
I'll spill my heart for you
Yeah I'd spill my heart!!!
Yeah I'd spill my heart for you!!!
My hands are at your throat
And I think I hate you
We made the same mistakes
Mistakes like friends do
My hands are at your throat
And I think I hate you
We made the same mistakes
Made the same mistakes
Until the day I die
I'll spill my heart for you, for you
Until the day I die (Until the day I die)
I'll spill my heart for you, for you
Until the day I die (Until the day I die)
I'll spill my heart for you
Until the day I die (Until the day I die)
Until the day I die!!!