Pikiranku menerawang, mencoba mengingat kembali semua peristiwa yang sudah aku dan putriku lalui. Masih teringat jelas dalam ingatanku semua peristiwa tidak masuk akal yang selalu menjadi santapanku sehari-hari. Bersinggungan dengan peristiwa gaib yang hampir membuat otakku menjadi gila!
Malam itu terasa aura mistis yang berhembus sampai membuat bulu kuduk merinding. Suasana di dalam rumah terasa begitu mencekam dan menegangkan.
Suara itu... Ya suara itu!!!
Suara denting piano mulai terdengar menggema di seluruh ruangan, seingatku piano mainan putriku sudah kumatikan dari sebelum adzan magrib berkumandang. Gendis yang sedang tertidur lelap tiba - tiba terbangun, dirinya tampak gelisah dan mulai terdengar tangisan dari bibir mungilnya.
"Aaarrghh...!!! Kenapa kalian tidak pernah berhenti mengganggu anakku? Apa kesalahan putriku terhadap kalian?"
Kehidupanku dulu berjalan normal hingga kehadiran putriku membuat semuanya berubah. Mereka sangat menantikan kehadiranmu, mereka begitu menyambutmu! Apa yang membuat mereka begitu tertarik denganmu putri kecilku?
Gendis adalah nama yang kuberikan untuk putriku tercinta. Anak yang sudah kutunggu hampir sepuluh tahun lamanya. Dari awal kelahirannya, banyak peristiwa aneh yang terjadi. Kehadiran Gendis seperti sudah sangat ditunggu oleh mereka. Putriku sangat rewel, dia selalu menangis dan menjerit histeris ketakutan setiap saat.
Bagaimanakah proses perjalanan hidup Gendis selanjutnya? Bisakah ia terbebas dari semua rasa ketakutan yang selalu menghantui dirinya? Akankah putriku bisa menjalani hidup normal seperti anak kecil lainnya? Dan kapankah semua ujian ini akan berakhir?
Ini kisah Gendis anakku yang akan menjadi bagian dari perjalanan hidupku...
Thread ini aku dedikasikan untuk putriku tercinta yang bernama "Gendis". Semoga kelak ketika dirimu sudah tumbuh dewasa, kamu bisa membaca kisah yang mama tulis berdasarkan pengalaman yang kita lewati setiap harinya. Cerita ini merupakan kisah perjuangan seorang Ibu dalam membesarkan dan mendidik anaknya yang indigo.
Dulu aku hampir menyerah, aku sudah terlalu lelah menghadapi semua peristiwa yang tidak masuk akal. Mentalku sudah tidak kuat menghadapi semua gangguan-gangguan itu sendirian. Namun aku salah! Ternyata aku lebih kuat dari dugaanku selama ini! Itu semua karena rasa kasih sayang seorang Ibu yang begitu besar terhadap anaknya tercinta.
Pesan mama untuk Gendis "Jika saatnya tiba tolong pergunakan kemampuanmu untuk membantu sesama". Enjoy the process dan ingat kamu tidak pernah sendirian! Mommy loves u!
Terima kasih ya Ndis sudah mengijinkan mama untuk menuliskan kisahmu.
Quote:
Doa dari Mas Yus untuk Gendis
Kisah ini berdasarkan kisah nyata yang aku dan Gendis alami.
Untuk update diusahakan setiap hari Senin dan Kamis ( dikondisikan dengan RL).
Mohon maaf kalau susunan kalimatnya kurang enak dibaca. Karena ini pertama kalinya aku menulis cerita.
Selamat menikmati thread ini, jangan lupa ratenya, komen n ... Terima kasih.
Quote:
Saya mohon dengan sangat untuk tidak meng Copy Paste cerita ini Tanpa Seijin Gendis. Terima kasih
"Dengan cepat, April membalas pesanku "Gilaa.. Ucapan Gendis benar banget! Cowok aku emang lagi banyak pikiran! Dia baru saja ketipu sama rekan bisnisnya!! Eh, bunga yang di gambar sama Gendis itu aku? Pacarku bahagiakan sama aku?"
Aku tersenyum getir.
"Seandainya April tahu arti gambar yang sebenarnya" batinku.
"Ada deh! Want to know aja! Pesanku cuma satu, jangan Ge-eran ya bu bos! Sudah ah! Aku mau main lagi sama Gendis!" Balasku dengan perasaan bersalah.
"Oke, thank you koplak!"
Setelah membaca pesan terakhirnya, segera kuletakkan ponsel di lantai. Kini mataku tertumbuk ke arah buku gambar yang tampak berserakan. "Loh, kemana perginya Gendis? Perasaan tadi dia masih berada di kamar bersamaku?" batinku.
Bergegas aku ke luar kamar. Mataku menyapu seluruh ruangan, mencari keberadaan putriku. Selama beberapa saat mataku tertuju pada pintu ruang tamu yang tidak tertutup rapat. Aku segera melangkah ke ambang pintu dan netraku tertuju ke arah perosotan berwarna hijau cerah. Kulihat anakku sedang duduk termenung di atasnya. Dengan wajah tertunduk lesu, raut mukanya yang selalu ceria tampak begitu sedih. Ia tampak sedang memikirkan sesuatu.
"Ndis, ngapain diam disitu? Ayo masuk ke dalam sayang..!" Panggilku.
Tak ada jawaban!
Senyap!
Anakku tidak mau menjawab pertanyaanku. Bibirnya tampak terkatup rapat. Matanya menatap kosong dan hampa ke lantai berwarna coklat muda. Wajahnya tertunduk dalam dengan kedua tangan yang tampak mengepal erat di atas paha. Bola matanya yang indah tampak berkaca-kaca. Menahan batinnya yang sedang bergejolak.
Ia berusaha sekuat tenaga menahan bulir-bulir air mata agar tidak jatuh membasahi kedua pipinya yang ranum. Tak lama kemudian putriku mulai menangis sesegukan. Jerit tangisnya mendadak pecah bersamaan dengan pundaknya yang berguncang hebat. Suara tangisannya terdengar dalam seperti seseorang yang kehilangan semangat dan harapan.
"Ayah..! Ayah...!" Bisiknya lirih di antara isak tangis yang semakin menjadi-jadi.
Aku segera berlari dan memeluknya. Dengan segera, ia membenamkan wajahnya dalam pelukanku dan menangis histeris. Dengan rasa pilu, aku mengusap kepalanya lembut. Berusaha meredakan tangisannya. Hatiku bergemuruh hebat.
Pelukanku bertambah erat, membiarkan anakku meluapkan emosinya. Sambil terus menangis meraung-raung, Gendis terus memanggil-manggil nama ayahnya.
"Ayah..! Ayah Dis..!" Ia bergumam seorang diri.
Sesaat aku termenung.
"Apa telah terjadi sesuatu yang menimpa suamiku? Kenapa Gendis tampak begitu sedih seperti orang yang kehilangan?" Batinku.
Mataku menatap kosong ke arah Gendis yang masih terus menangis. "Atau.. jangan-jangan, suamiku akan segera pergi bertugas dalam jangka waktu yang lama? Dan itu membuat Gendis merasa kehilangan?"
Aku terdiam terpaku, memikirkan berbagai kemungkinan yang terjadi.
Setelah putriku meluapkan semua beban dihati, ia mendongakkan wajahnya. Menatapku dengan matanya yang terlihat sembab. Bibirnya bergetar pelan "Ma.. Ayah au elgi. Ama..!" (Ma. Ayah mau pergi. Lama) Ujarnya dengan nafas tersengal-sengal.
"Dis cedih. Dis ga au picah cama ayah" (Gendis sedih. Gendis nggak mau pisah sama ayah) bisiknya lirih.
Aku menepuk pelan punggungnya yang bersimbah keringat selama beberapa kali. Seraya menatap seraut wajah mungil yang sedang terduduk di hadapanku. Aku mengusap lembut air mata yang tumpah ruah membasahi ke dua pipinya yang selalu merona merah. Dengan ujung baju, kuseka kotoran yang keluar dari lubang hidungnya.
"Ndis.. jadi tadi Gendis menangis karena melihat ayah mau berangkat tugas?" Tanyaku lembut.
Ia mengangguk cepat.
"Iya ma. Di cini, Dis iat ayah!" (Iya ma. Disini, Gendis melihat ayah) tunjuknya ke kepala.
"Gendis mau mengobrol sama ayah?"
"Au ma. Dis au omong ama ayah!" (Mau ma. Gendis mau ngomong sama ayah) tukasnya cepat.
"Ya sudah. Kalau begitu turun dulu dari perosotan dan masuk ke dalam rumah"
Aku menggenggam jemari putriku dan membantunya menuruni anak tangga. Setelah kedua kakinya menapak di ubin, kami segera melangkah masuk ke dalam rumah. Sesampainya di ruang tamu, aku segera menyerahkan segelas air mineral untuk diminum.
"Gendis minum air putih dulu biar lebih tenang ya sayang"
Dengan perlahan-lahan, bibirnya yang tampak mengering mulai meminum air dalam gelas sampai tandas. Pergelangan tangannya tampak mengusap bibirnya yang sedikit basah.
"Amuilah" (Alhamdulillah) ujarnya seraya menyerahkan gelas plastik kosong ke dalam tanganku.
"Gendis tunggu disini sebentar ya. Mama mau ambil handphone di kamar"
Putriku tersenyum dan merebahkan tubuhnya di atas sofa.
Aku segera beranjak dari ruang tamu dan menuju ke kamar. Aku mengambil ponselku yang tergeletak tak jauh dari buku gambar yang tampak berserakan di atas lantai. Dengan tergesa-gesa aku melangkah keluar dan menuju ke arah Gendis yang kulihat kedua matanya tampak mulai mengantuk.
Aku duduk di sampingnya dan langsung menelpon suamiku.
Setelah bunyi dering yang kedua kalinya, terdengar suara mas Dedi.
"Assalamu'alaikum Ma. Kok kita kontak batin ya? Mas baru saja mau menelpon Ima!" Cakapnya dari ujung sana.
"Wa'alaikumsalam mas. Se-serius mas tadi mau nelpon Ima?" Tanyaku gugup.
"Iya, mas serius! Tadi pas lagi rapat tiba-tiba selintas mas melihat wajah Gendis. Makanya begitu meetingnya selesai, mas langsung mengambil ponsel. Eh tahu-tahunya Ima malah menelpon duluan!" Jawabnya dengan serius.
"Mmm.. kok bisa ya" gumamku pelan.
""Gendis mana Ma?"
"Ini lagi rebahan di samping Ima. Mas...!"
"Apa? Kenapa bicaranya sepotong begitu?"
"Ngg... barusan anaknya menangis. Gendis bilang, dia melihat mas mau pergi tugas ke tempat yang jauh dan lama"
Hening. Yang kudengar hanyalan hembusan nafas berat suamiku.
"Jadi begini Ma. Tadi pas rapat, mas beaok ditugaskan berangkat ke pulau terpencil di Sulawesi. Kemungkinan besar, mas disana sampai sebulan"
Aku menaeik nafas dalam-dalam, menatap sendu wajah putriku dan menggenggam erat tangannya. "Yang kuat ya Ndis..!" Desisku lirih.
"Ma..! Ima..! Kenapa diam??" Teriaknya panik.
"Eh iya mas. Maaf..! Ima cuma kasihan sama Gendis, hati Ima nggak tega kalau ia harus berpisah lama sama ayahnya."
"Ya mau bagaimana lagi? Tidak mungkin mas mengajak Gendis ikut serta, karena lokasi yang mas tuju berada di pulau terpencil" Jawabnya dengan perasaan bersalah.
"Ya sudah, biar nanti Ima yang menjelaskan ke Gendism Semoga ia dapat mengerti" hiburku berusaha meringankan beban pikiran suamiku.
"Terima kasih banyak ya ma! Mas berhutang budi sama Ima"
"Jangan bilang begitu mas. Semua yang kita lakukan demi masa depan Gendis. Ya sudah Ima mau bicara sama Gendis dulu ya"
Aku mengucapkan salam dan mengakhiri panggilan.
Aku memejamkan mata, terbersit rasa kasihan di hati kepada anakku satu-satunya. Perlahan aku membuka kedua kelopak mataku dan menghela nafas pelan.
"Ndis..!" Suaraku terdengar parau.
"Apa ma?"
"Tolong duduk sebentar, mama mau bicara sana Gendis"
Dengan mata terkantuk-kantuk, Gendis mengangkat tubuhnya dan bersender di bantalan sofa.
"Mama au omong apa?" (Mama mau ngomong apa) Tanyanya dengan mata setengah terpejam.
"Tadi mama habis menelpon ayah. Kata ayah, besok ia harus berangkat tugas ke pulau yang jauh selama tiga puluh hari. Mama minta Gendis harus ikhlas! Anak mama tidak boleh sedih! Kuat ya nak!" Tuturku sambil menatap raut wajahnya dalam-dalam.
Gendis membuka sesikit kelopak matanya, dengan tatapan lesu, ia mengangguk pelan.
"Iya ma. Dis klas!" (Iya ma. Gendis ikhlas)
"Alhamdulillah.. nanti kalau ayah cuti, kita langsung pergi liburan ya sayang" hiburku berusaha menyemangati anakku tercinta.
"Benel ma?" (Benar ma) Wajahnya yang sempat mengantuk berubah ceria.
"Insya Allah. Kalau kita semua sehat!"
"Holeee...! Dis appy!!" (Hore. Gendis happy) Sebuah senyuman terukir di wajahnya.
"Good..!! Anak mama hebat! Selalu bahagia ya Ndis" Ucapku sambil mencium kedua pipinya.
Tellin' you that I've had it with you and your career,
Me and the rest of the family here singing "Where'd you go?
***
Sekitar pukul dua malam, suamiku berangkat ke bandara menggunakan mobil jemputan. Sebelum keberangkatannya bertugas ke luar kota, suamiku menatap lekat-lekat wajah putrinya yang sedang terlelap dalam tidur. Ia mencium dengan penuh cinta kasih kening dan kedua pipi Gendis. Hatinya tampak tidak rela jika harus berpisah dalam jangka waktu yang sangat lama dengan putrinya yang masih kecil.
Aku memegang bahu suamiku, menguatkannya. Kini ia menatapku hangat. Menggenggam erat jemariku, berpesan agar aku bisa menjaga diriku dan Gendis baik-baik selama ia tidak berada di sisiku. Ia juga memintaku untuk tidak berpikir macam-macam jika ponselnya tidak dapat dihubungi karena pulau yang ia kunjungi masih susah signal handphone. Sambil menahan rasa sesak di dada, aku mengangguk pelan dan mencoba untuk tetap terlihat tegar.
Dengan perasaan sedih aku mengantar keberangkatannya sampai di pelataran rumah. Dari balik jendela mobil, ia tersenyum dan melambaikan tangan. Mataku berkabut menatap kendaraan yang membawa suamiku menghilang di balik tikungan jalan. Kuseka air mata ini dan segera masuk ke rumah untuk melanjutkan kembali tidurku.
Dari pinggir tempat tidur kupandangi wajah putriku yang masih tampak pulas di alam mimpi. Kubelai pipinya yang menggemaskan dan kucium pucuk kepalanya dengan penuh kasih sayang "Bismillah Ndis. Gendis pasti kuat walau harus pisah sama ayah selama sebulan" desisku lirih.
Aku segera menaiki tempat peraduan dan merebahkan diri disamping Gendis. Sambil membetulkan posisi tidur, aku telentang menatap langit-langit kamar. Kelopak mataku semakin terasa berat dan tanpa butuh waktu lama aku tertidur pulas.
Entah sudah berapa lama aku tertidur, tiba-tiba aku di kejutkan oleh notifikasi pesan masuk di ponsel. Aku mengerjapkan mata beberapa kali dan mengusap wajah. Dengan rasa malas, aku segera turun dari tempat tidur meraih handphone yang ku taruh di atas meja.
Segera kuusap layar ponsel dan kubaca pesannya. Ternyata dari suamiku. Ia memberi kabar jika sudah sampai di bandara dan sebentar lagi akan take off. Aku segera membalas pesannya "Jangan. lupa berdoa mas. Bismillah. Kalau sudah sampai langsung kabari Ima ya!"
Hanya centrang satu, sepertinya mas Dedi sudah mematikan ponselnya. Aku menaruh kembali handphoneku di atas meja. Mataku kini terpaku pada jam di dinding kamar.
"Sudah pukul empat, sebentar lagi adzan subuh akan berkumandang. Sebaiknya aku segera bersiap-siap menjalankan kewajibanku sebagai umat muslim"
Sambil menahan rasa kantuk yang luar biasa, aku memaksakan kedua kakiku berjalan menuju ke kamar mandi.
***
"Ma..! Ma..! Cini deh cebental!" (Ma. Ma. Sini deh sebentar) Panggil Gendis yang pagi itu sedang asik menonton film kartun.
Aku segera menutup buku yang sedang kubaca dan menghampiri putriku.
"Ada apa Ndis?"
"Dis au anya ama mama!" (Gendis mau tanya sama mama)
"Anak mama mau tanya apa sih?'
"Umlah aki amuk belapa?" (Jumlah kaki nyamuk berapa)
Aku melongo mendengar petanyaan yang diajukan oleh Gendis. Aku tidak menduga mendapat pertanyaan yang cukup aneh untuk anak yang masih berusia dua tahun.
"Mmm.. jumlah kaki nyamuk ya?" Aku benar-benar bingung menjawabnya. Karena aku sendiri tidak pernah mengamati berapa jumlah kaki nyamuk.
Aku berpikir keras.
Gendis menatap ke arahk, menanti jawabannya.
"Ayo pikil ake otak mama! Mama unya otak tan?" (Ayo pikir pakai otak mama. Mama punya otak kan)
Aku menatap pasrah.
"Ndis, mending kita lihat di youtube saja yuk? Soalnya mama benar-benar tidak tahu jawabannya!"
"No..! No .!" Ia menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Alus ake otak mama! Awoh ipta otak uat mikil! No utube!' (Harus pakai otak mama. Allah menciptakan otak buat mikir. No Youtube)
Aku meraba keningku. "Ya Allah, kok ribet banget pertanyaan anakku" gumamku.
Aku berpikir sejenak, mencoba mencari alasan.
"Ndis, mama ke kamar sebentar ya?"
"Au apa?" (Mau apa) Tatapnya tajam.
"Mau cek hape dulu. Takut ada pesan masuk dari ayah"
"Oke! Epet ya ma!" (Oke. Cepat ya ma)
Dengan tergesa-gesa, aku segera menuju ruang tidur. Sesampainya disana dengan cepat aku segera mengambil ponsel dan membuka menu browsing. Aku memasukkan kata kunci "berapa jumlah kaki nyamuk".
Tanpa butuh waktu lama, aku sudah mendapatkan jawaban yang kuinginkan. Aku tersenyum. Segera kutaruh kembali ponsel di tempat semula dan angsung menghampiri anakku yang masih anteng menonton film kesukannya.
"Ndis, mama sudah tahu dong jawabannya"
"Yang enel ma? Emang belapa umlah na ma?" ( Yang bener ma. Memang berapa jumlahnya ma)
"Jumlah kaki nyamuk itu ada enam. Mama hebatkan?" Aku bertolak pinggang, membusungkan dada. Menyombongkan diri di hadapan anakku.
Gendis memincingkan matanya, pandangannya menusuk mataku. Aku terdiam, tak berani berbicara.
"Mama oongin Dis ya?" (Mama bohongin Gendis ya)
Aku memasang raut wajah terkejut.
"Nggak ah, mama nggak bohongin Ndis" sahutku cepat.
Gendis menggerak-gerakkan jari telunjuknya ke kanan dan ke kiri dengan cepat.
"No..! No..! Mama ie u me!!' (No. No. Mama lie to me)
"Ayo jujul ma! Adi mama ke kamal iat ape tan? Mama ontek?" (Ayo jujur ma. Tadi ke kamar lihat hape kan. Mama nyontek)
Aku menghela nafas dan menggaruk tengkukku. Aku merasa menjadi rtangtua yang jahat karena sudah tidak berkata jujur kepada anakku sendiri.
"Iya, mama bohongin Ndis. Tadi mama cari jawabanny di hape" aku menundukkan wajah. Aku merasa bersalah! Seperti seseorang yang tertangkap basah karena telah mencuri.
"Mama..! Mama..! Imana cih adi olang! Mama ajalin Dis ga oleh oong. Eh.. mama alah oongin Dis!" (Mama..Mama. Gimana sih jadi orang. Mama ajarin Gendis nggak boleh bohong. Eh, mama malah bohongin Gendis).
"Mama da atut ama Awoh ya?" (Mama nggak takut sama Allah ya) Aku benar-benar mati kutu mendengar nasehatnya. Ucapannya yang bijaksana begitu menghunus tepat ke jantung.
"Maafin mama ya Ndis!" Aku menatap dengan tatapan memelas, memohon belas kasih putriku.
"Oke! Dis aapin! Api anan uyang agi ya!" (Oke. Gendis maafin. Tapi jangan di ulang lagi ya)
Aku segera memeluk putriku sebagai tanda ucapan terima kasih. "Iya mama janji nggak akan bohong lagi. Tapi mama juga minta pengertian Gendis. Mama tidak mungkin tahu semua jawaban dari pertanyaan Gendis. Kalau mama tidak tahu jawabannya, mama minta ijin. untuk mencari tahu dari google ya?"
Ia terdiam sejenak. "Oke ma! Da papa!" (Oke ma. Nggak apa-apa)
Akupun mengehela nafas lega "Alhamdulillah, Gendis mau maafiin mama".
Bola mataku berputar ke kanan atas, sepertinya aku telah melupakan sesuatu.
Aku kembali meminta maaf kepada putriku karena telah membuat dirinya terkejut.
"Ndis, maj ikut mama ke warung mba Putri nggak?"
"Auu ma..! Dis cuka ke walung!" (Mau ma. Gendis suka ke warung)
"Ya sudah, ayo buruan!" Aku menjulurkan tangan, menggandeng jemari putriku.
***
Hari ini anakku terlihat sangat cantik. Rambutnya yang ikal sebahu, kubiarkan tergerai lepas. Sesekali angin memainkan rambutnya yang bergelombang, membuat anakku beberapa kali menyibakkan rambutnya yang tampak menutupi wajah. Ia juga mengenakan celana panjang yang berwarna senada dengan kaosnya.
"Cahaya mentari hangat ya Ndis. Badan mama jadi segar!" Ujarku sambil menarik nafas dalam-dalam.
"Ya ma! Cegel..!!" (Iya ma..Segar)
Setelah melewati beberapa blok, akhirnya kami pun tiba di warung mba Putri yang pagi itu tampak sepi pembeli. Di teras warung tampak seekor kucing hitam mungil yang sedang duduk terdiam. Ketika melihat kedatangan putriku, kucing itu mulai bersuara.
"Meoong..! Meeoonng..!!"
Gendis segera menghampiri kucing tersebut dan berlutut di hadapannya.
Dengan kilatan mata yang bercahaya, mata kucing itu menyorot tajam ke arah putriku. Gendis pun tak mau kalah, ia membalas tatapannya. Cukup lama anakku terdiam sambil memandang ke arah hewan bertubuh kecil itu. Mereka berdua seperti sedang berperang dalam tatapan Aku tertawa geli melihat tingkah laku mereka.
"Ndis ngapain? Ayo kemari nak!"
Namun putriku tak bergeming.
Matanya terus menatap ke arah kucing. Hingga akhirnya secara tiba-tiba Gendis merebahkan kepalanya di atas pelataran warung yang lantainya hanya berbalut semen. Seperti mendapat sebuah aba-aba, kucing hitam itu segera mengikuti gerakan anakku. Anak kucing itu merebahkan tubuhnya tak jauh dari putriku.
Aku terkesima melihatnya. Dengan cepat segera kuraih ponsel yang kutaruh di saku rok sebelah kanan dan mengabadikan perisitiwa langka ini.
Aku menggeleng-gelengkan kepala "Gendis..! Gendis..! Ada-ada saja sih kelakuanmu nak. Apa yang tadi sudah kamu ucapkan dengan kucing itu? Sampai-sampai kini kalian malah asik tiduran di depan warung!"
Aku berlutut di hadapan putriku. Ku belai lembut kepalanya.
Perlahan Gendis membuka kedua matanya. Ia mulai berdiri dan tersenyum manis kepadaku. Aku segera membersikan seluruh rambut dan wajahnya dari debu yang menempel.
"Lain kali jangan tidur di jalanan begini lagi ya sayang. Lihat tuh, tangan Gendis jadi kotor"
"Tuhh ma..! Iat tan? Ucing acih bobo!" (Tuh ma. Lihatkan kan. Kucing masih bobo) Tunjuknya ke arah kucing hitam yang kini tertidur pulas.
"Ucing olok..! Hollee!" (Kucing ngorok. Hore) Ia bertepuk tangan gembira.
Aku hanya bisa menggelengkan kepala. Entah apa yang sudah Gendis lakukan sampai hewan liar itu mau menuruti perintahnya. Dengan segera aku membeli beras, setelah itu aku dan Gendis melangkahkan kaki menuju kembali ke rumah.
Baru saja aku berjalan beberapa langkah meninggalkan warung mba Putri. Secara tiba-tiba Gendis menarik tanganku.
"Ma! Ental deh..!" (Ma. Sebentar deh) Ujarnya dengan kening mengerut dan mata terpejam. Ia tampak mempertajam indera pendengarannya.
"Ada apa lagi Ndis?"
"Ma, engelin deh! Itu cuala obil keke!" (Ma. Dengerin deh. Itu suara mobil kakek) Ujarnya sambil membuka kelopak matanya perlahan.
Di tengah kebingungan, aku mengikuti perintah anakku. Aku menutup kelopak mata dan mencoba mendengar suara-suara di sekelilingku.
Hening!!
Aku tidak mendengar suara apapun kecuali desah nafasku!
"Mana Ndis? Mama kok nggak mendengar suara kendaraan yang lewat ya?"
"Oba mama engel aik-aik. Itu cuala obil keke! Enel ma!" (Coba mama dengar baik-baik. Itu suara mobil kakek. Bener ma)
"Aduh Ndis, jangan macem-macem deh. Rumah kita kan masih jauh dan dari sini tidak kedengaran suara apapun!"
Gendis menatapku dengan pandangan tidak bersahabat.
"Mama ni, alo Dis aci tau da au elcaya!" (Mama nih. Kalau Gendis kasih tahu tidak mau percaya)
"Sudah ah! Ayo cepat pulang ke rumah, mama sudah lapar!" Aku segera meraih tangan Gendis dan mengajaknya pulang.
Saat hampir mendekati rumah, dari kejauhan kulihat pintu gerbang kediamanku sedikit terbuka. Dan tepat di depannya terparkir sebuah kendaraan yang sangat aku hafal betul plat nomernya. Aku memicingkan mata, berusaha memperjelas penglihatan.
Sesaat aku tertegun.
"Apa aku sedang tidak salah lihat? Bukankah itu mobil keluarganya Dwi??" Pikirku yang merasa hal ini sungguh tidak masuk akal.
"Berarti apa yang telah diucapkan oleh putriku itu benar?" Dengan perasaan terkejut, aku menatap keheranan ke arah Gendis yang sedang menatap lurus ke arah mobil berwarna putih.
Anda akan meninggalkan Stories from the Heart. Apakah anda yakin?
Lapor Hansip
Semua laporan yang masuk akan kami proses dalam 1-7 hari kerja. Kami mencatat IP pelapor untuk alasan keamanan. Barang siapa memberikan laporan palsu akan dikenakan sanksi banned.