- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
AMOR & DOLOR (TRUE STORY)
TS
yanagi92055
AMOR & DOLOR (TRUE STORY)
Selamat Datang di Trit Kami
私のスレッドへようこそ
TERIMA KASIH BANYAK ATAS ATENSI DAN APRESIASI YANG TELAH GANSIS READERBERIKAN DI TIGA TRIT GUE DAN EMI SEBELUMNYA. SEMOGA DI TRIT INI, KAMI DAPAT MENUNJUKKAN PERFORMA TERBAIK (LAGI) DALAM PENULISAN DAN PACKAGING CERITA AGAR SEMUA READER YANG BERKUNJUNG DI SINI SELALU HAPPY DAN TERHIBUR!
Quote:
Spoiler for MUARA SEBUAH PENCARIAN (TAMAT):
Spoiler for AKHIR PENANTIANKU (ONGOING):
Spoiler for PERATURAN:
1. Cerita ini adalah kisah nyata yang terjadi di hidup gue dan Emi (@dissymmon08), tapi mohon maaf kami nggak menulis keseluruhan kejadian aslinya demi kepentingan privasi. Namun semua cerita di sini telah kami pilah sebagaimana mestinya agar tidak merusak jalannya cerita.
2. Ikuti peraturan standar H2H ya!
3. Agan sista bebas memberikan komentar baik berupa masukan atau kritikan buat kami, tapi hapunten pisan mohon untuk tidak memberikan komentar yang mengandung kebencian terkait dengan suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA).
4. Semua nama dan tempat kejadian akan disamarkan untuk kepentingan privasi. Jika agan sista mengetahui nama atau tempat kejadian yang kami ceritain di trit ini, mohon untuk disimpan untuk agan sista aja ya! Kami mohon dengan sangat!
5. Trit ini mengandung konten 18+ (dan tidak selalu berasiosiasi dengan dunia lendir ya), mohon agar jadi perhatian agan sista disini untuk lebih bijak ya dalam menyikapinya.
6. Kalau agan sista puas dengan cerita ini, mohon keikhlasannya untuk memberikan cendol
dan bintang 5 
7. Selamat membaca dan mohon maaf apabila ada salah-salah kata!
2. Ikuti peraturan standar H2H ya!
3. Agan sista bebas memberikan komentar baik berupa masukan atau kritikan buat kami, tapi hapunten pisan mohon untuk tidak memberikan komentar yang mengandung kebencian terkait dengan suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA).
4. Semua nama dan tempat kejadian akan disamarkan untuk kepentingan privasi. Jika agan sista mengetahui nama atau tempat kejadian yang kami ceritain di trit ini, mohon untuk disimpan untuk agan sista aja ya! Kami mohon dengan sangat!
5. Trit ini mengandung konten 18+ (dan tidak selalu berasiosiasi dengan dunia lendir ya), mohon agar jadi perhatian agan sista disini untuk lebih bijak ya dalam menyikapinya.
6. Kalau agan sista puas dengan cerita ini, mohon keikhlasannya untuk memberikan cendol
dan bintang 5 7. Selamat membaca dan mohon maaf apabila ada salah-salah kata!
Spoiler for FAQ, INDEX, MULUSTRASI, TEASER:
HAPPY READING! 
Quote:
Original Posted By yanagi92055►
TERIMA KASIH BANYAK GANSIS READERS SEMUANYA. DENGAN APRESIASINYA TRIT INI BERHASIL HT UNTUK PERTAMA KALINYA. SEMOGA PRESTASI INI DAPAT MENJADI SEMANGAT UNTUK KAMI MENGEMAS CERITA MENJADI SEMAKIN SERU UNTUK DIBACA DAN DIIKUTI.
SEKALI LAGI, TERIMA KASIH BANYAK!
SEKALI LAGI, TERIMA KASIH BANYAK!
Diubah oleh yanagi92055 01-10-2020 14:23
al.galauwi dan 90 lainnya memberi reputasi
81
174.3K
3K
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
dissymmon08
#473
MENJALANKAN AMANAH(PART 02)
(POV @dissymmon08)
(POV @dissymmon08)
Bener kata gue, gue ga bisa istirahat sebentar. Kami ribut tentang banyak hal sepanjang persiapan bahkan di sepanjang perjalanan. Ada aja yang kami ributin. Mulai dari ribut karena orang tua gue ikutan di trip kita kali ini, sampe ke urusan nyetel musik di mobil. Belum juga sampe ke tujuan, bawaannya gue udah cape fisik dan mental aja.
Gue paham, dia juga pasti ngerasain hal yang sama. Tapi kadang gue pengen banget mohon sama dia buat ga selalu ngedahuluin amarah dia. Kadang, gue pengen dia bersikap lebih tenang kalau ngadepin hal yang ga sesuai sama ekspektasi dia. Gue pengen dia ga kalah sama emosi negatif dia sendiri. Karena ngadepin dia yang begitu dan berusaha buat ngademin dia itu bener-bener ngabisin energi positif gue sendiri. Dan itu sangat amat melelahkan.
Karena di sini, gue ga cuma ngejaga emosi dan perasaan dia. Gue juga harus mikirin emosi dan perasaan bokap nyokap gue yang masih berusaha kenal sosok Firzy itu sendiri. SOSOK ASLI dari Bang Firzy. Mungkin mereka selama ini ngerasa udah kenal Bang Firzy karena dia udah ngabisin hampir seluruh waktunya di rumah gue. Tapi apa mereka paham dan kenal Bang Firzy kayak gue kenal dia? Bahkan gue ragu ibu dan adiknya dia sepaham dan sekenal gue pada kakak tercinta mereka ini.
Andai Bang Firzy juga mikir dari sudut pandang gue juga, kalau gue ga mau sampe bokap nyokap gue memperlakukan dia, kayak gimana nyokapnya dia memperlakukan gue. Gue pribadi ngerasa ga enak dituduh-tuduh sama nyokapnya. Gue ga suka dianggep bad influencesama nyokapnya. Gue juga ga mau kalau ternyata nyokapnya nerima gue jadi calon istri dari anak laki-lakinya secara terpaksa. Gue ga mau bokap nyokap gue begitu ke Bang Firzy.
Andai Bang Firzy mau mikir kesana.
Gue sebagai penengah. Gue di sini sebagai perantara mereka. Gue di sini berusaha menjembatani kemauan mereka semua, walaupun jadinya Bang Firzy yang lebih banyak ngalah. Gue tau kenapa dia sangat amat emosi. Tapi emang lebih mudah ngasih penjelasan ke dia daripada nurunin ego bokap gue. Entah kenapa. Rasanya gue selalu (terpaksa harus) ngalah dan nurut. Susah untuk bilang tidak ke bokap gue.
Gue juga ngerti banget concern Bang Firzy. Dia pribadi kepikiran sama kondisi nyokap gue yang kayak dipaksa buat ikut perjalanan kita. Nyokap gue itu lagi sakit. Walaupun beliau bisa dibawa pake mobil dan nanti juga beliau duduk di kursi roda, cuma pasti ada rasa cape dan lelah bukan?
Gue paham, dia peduli sama calon ibu mertua dia sendiri. Tapi siapa yang bisa ngebujuk bokap gue? Terus yakin, ini emang maunya bokap gue sendiri? Bukan nyokap gue sendiri yang minta ke bokap gue? Jujur, gue juga ga tau… Gue ga pernah dikasih tau, apalagi urusan kayak begini.
Bang Firzy itu udah pernah punya pengalaman harus ngerawat bokap yang sakit dan harus stay di rumah. Almarhum bokap dia, bener-bener ga kemana-mana. Bener-bener di rumah doang karena mungkin kepikiran juga kasian kalau harus diangkut sana sini sama nyokapnya. Tapi bokapnya sakit beberapa bulan aja, sebelum beliau pergi untuk selamanya. Sementara nyokap gue udah sakit cukup lama dan mungkin udah mulai ngerasa bosen. Makanya bokap bilang ‘sekalian refreshing’.
Sumpah! Gue ga tau harus gimana… Gue cuma bisa nurutin kemauan mereka dan berusaha ngademin Bang Firzy. Gue bener-bener orang ga guna! Ya Alloh…
Ketika gue ngerasa di posisi mental terendah gue, emosi negatif dari Bang Firzy nular ke diri gue. Gue jadi ikut emosi. Gue jadi nanya balik ke dia tentang apa yang dia mau? Apa solusi dari dia? Selalu begitu.
Tiap kali dia mulai ngeluarin emosi negatif yang udah ga kuat gue bendung, kami bakal berujung sama-sama emosi. KECUALI, ketika gue masih kuat untuk mempertahankan emosi positif gue buat nenangin dia.
Percayalah, emosi negatif itu nular lebih cepet daripada infeksi zombie-zombie Korea.
Gue pikir, ngurus pendaftaran nikah di KUA itu ga akan seribet itu. Kenapa? Soalnya kan kita ngedaftarin pernikahan yang kita pribadi inginkan. Bukan paksaan orang ataupun ada aturan tertentu yang bikin pernikahan kita itu ilegal. Tanggal pernikahan itu jadi tertunda bisa banget kejadian, cuma ya itu HANYA bisa kejadian kalau administrasi belum lengkap atau ada permasalahan yang belum selesai di pernikahan sebelumnya. Tapi kan gue sama Bang Firzy masih sama-sama baru pertama kali nikah, HARUSNYA ga ada masalah sama sekali.
HARUSNYA!
Tapi... Ketika kami baru aja dateng di KUA, ga ada satupun bapak atau ibu ASN yang kerja di KUA sana standbydi tempat. NO ONE! KOSONG MELOMPONG!
Gue paham kok, keinginan orang untuk nikah itu belum karuan ada setiap hari. Jadi KUA mereka yang ngurus ke KUA kayaknya ga akan sebanyak jumlah mereka yang ada urusan di Disdukcapil. Tapi masa iya sih harus sekosong itu kantor? Mereka tetep digaji bukan walaupun kantor mereka kosong?
Déjà vu banget gue sama kejadian waktu kami ngurus penelitian Bang Firzy dulu. Bener-bener déjà vu. Kantor-kantor kosong dan orang-orangnya sibuk Kunker (Kunjungan Kerja) atau entah kelayapan kemana. Gue cuma bisa berharap, segala urusan hari itu bisa selesai dengan baik.
Setelah sekian lama nunggu, akhirnya ada bapak ASN dateng. Iya, beliau kerja di sana dan HARUSNYA MASIH ada di dalam kantor karena ini masih jam kerja mereka. Saat itu belum genap jam 2 siang baidewei. Beliau dateng make sendal jepit sambil ngerokok. Kebayang ga sih gimana malesnya gue ngeliat dia?
Ya oke, beliau sempet matiin rokoknya dulu di asbak yang ada di hadapan kami sebelum beliau ngomong. Tapi, for real? Kenapa harus banget bawa-bawa rokoknya ke ruang kerja? Terus KENAPA HARUS KELAYAPAN GA JELAS BEGITU DI JAM KERJA SIH?!
Cuma ya, gue bersyukur akhirnya ada yang dateng buat bantu ngurus administrasi kami.
Sebenernya sebelum kami, masih ada pasangan lain yang juga nunggu kedatengan si bapak ASN ganteng yang satu ini. Tapi kesabaran mereka ga sekuat kami dan pasangan bapak-ibu-yang-kayaknya-udah-ga-tahan-buat-nikah-lagi di hadapan kami ini. Iya, nikah lagi. Gue bisa liat dari keberadaan anak kecil di pangkuan si ibu. Pilihannya kalau bukan nikah lagi ya ngurusin nikahan anaknya? Tapi anak yang mana? Ah gue bodo amat. Bukan urusan gue juga. Jadi intinya, hari itu yang perlu dilayani cuma kami dan satu pasangan lainnya.
Karena ga ada buku tamu, bapak ASN ini jadi ga bisa nentuin mana yang harus dilayani duluan karena datang lebih dulu. Jadi susah buat first come, first served. Efeknya? Siapa yang berani bacot dan ngotot duluan akan dilayani duluan. Kalian tau lah, siapa yang lebih berani bacot dan ngotot?
Seperti dugaan gue, ketika gue ngeliat si ibu langsung nyapa bapak ASN dengan ramah, Bang Firzy langsung nyamber dengan bilang, “Saya kan datang duluan, Pak. Saya jauh dari Jakarta.” ucap dia cukup kenceng dan mungkin bisa kedengeran sama mereka yang lewat di depan KUA.
“Sabar ya, A. Iya saya tau dari bapaknya Aa kalau Aa dateng duluan dan dari jauh. Tapi ini saya coba cek kelengkapan berkas masing-masing dulu ya. Kalau Aa lengkap, bisa langsung dilayani sama saya. Nanti ibu sama bapak bisa dibantu sama bagian admin saya. Ini udah jalan kesini kok, Bu.” jelas bapak ASN itu. Kayaknya beliau juga agak kaget dan sedikit dibikin takut sama Bang Firzy. We’ll see.
Di sisi lain, gue bisa ngeliat kalau si ibu tadi murka dan membara. Beliau sangat ga terima kalau kami dilayani lebih dulu daripada dia yang udah bersikap (sok) ramah ke bapak ASN itu. Ya mau gimana? Akamsi (anak kampung sini) ga selalu dapet privilege, bos!
“SUDAH LENGKAP KAN YA, PAK? JADI SAYA BISA DILAYANI DULUAN, PAK?” Kali ini gue ngomong cukup kenceng biar kedengeran sama si ibu-ibu tadi.
Tapi gue bisa ngeliat di sudut mata gue kalau bokap gue ga suka dengan sikap gue. Beliau melototin gue sambil bilang “Apa-apaan sih kamu?!” tanpa suara. Gue langsung diem dan kembali fokus sama apa yang lagi gue urus. Gue kayaknya ga akan bisa seberani dan sebebas berekspresi Bang Firzy. Ga akan pernah bisa. Ya setidaknya tadi gue udah usaha.
“Tolong tulisin rencana tanggal akad nikahnya di form ini ya, A. Ini buat ngecek ketersediaan penghulunya. Takutnya bentrok. Kalau bisa sekalian waktu dan lokasinya.” kata bapak ASN tadi.
Sebentar. Harusnya kita udah tau tempat dulu toh? Ga bisa ya kita booking tanggalnya dulu gitu? Soalnya kan rencananya, kami baru mau nyari tempat akadnya ya abis ngurus dari KUA ini. Kami belum sempet ngedatengin Masjid Agung dan belum nemuin masjid lain yang sekiranya pas buat akad nikah kami.
“Saya baru bisa tulisin tanggal sama waktunya aja gimana, Pak?” jawab Bang Firzy.
“Emangnya belum dapet lokasinya, A?”
“Hmm. Kita sih rencananya di Masjid Agung depan alun-alun, Pak.” jawab gue dengan sedikit nada ragu. Gue juga belum tau jawaban pastinya soalnya.
“Hah? Masjid Agung? Kenapa jadinya Masjid Agung sih, Mi?” Bokap yang tadinya berdiri agak jauh, akhirnya ngedeketin kami. Bokap kayak kaget dan ga terima sama jawaban gue. Tapi sumpah, jawaban gue itu bukan ngasal. Gue dan Bang Firzy emang berniat begitu.
“Ya emang mau di masjid mana lagi? Kalau di rumah kakek emang gapapa? Entar ribet ga mesti bayar dekorasi lagi?” tanya gue ke bokap.
“Hmm. Perlu saya kasih waktu untuk dibahas dulu, A?” Bapak ASN tadi berusaha nengahin kami.
“Ga perlu, Pak. Kalau saya kosongin dulu atau diisi sama opsi yang saya pilih dulu gimana?” Bang Firzy coba cari solusi just in case kita debat di hadapan banyak orang.
“Boleh. Kalau bisa ditulis aja daerah lokasi masjid yang Aa sama Teteh pilih. Kalau Aa sama Teteh nikah di luar KUA alias penghulu mesti datang ke lokasi akad Aa sama Teteh, ada biaya yang harus dibayarin. Tapi, kalau Aa sama Teteh nikah di KUA terus di hari Senin sampai dengan Jumat, Aa sama Teteh nikahnya gratis. Ga perlu bayar apapun lagi. Paling yaaa, kasih uang rokok aja ke penghulunya. Hehehe.”
“Emang kalo nikah di KUA sini, tempatnya dimana, Pak?” tanya gue.
Gue bisa liat Bang Firzy kaget dengan jawaban gue. Tapi gue cuma penasaran aja kayak gimana sih kalau mau ngadain pernikahan di dalem KUA itu. Sumpah, gue ga akan mendadak nyerah sama rencana kami cuma karena takut dimarahin bokap gue. Gue juga paham banget kok, Zy.
“Coba sini. Aa sama Teteh liat dulu ruang serba guna kami yang biasa dipake buat akad nikah.” Beliau ngajak gue, Bang Firzy, dan bokap untuk ikutin beliau.
Beliau ngajak kami ke ruangan yang letaknya agak di lebih ke dalem kantor mereka. Di sana ada semacam ruang serba guna yang cukup bersih dan lumayan gede ukurannya. Di sana juga udah ada beberapa bangku dan meja plus udah dilengkapi AC. Not bad kok. Bersih juga bagi gue. Tapi ya ini bukan bagian dari rencana kami. Kami mau nikah di masjid. Titik.
“Hmm. Oke.” adalah jawaban gue ketika beliau nanyain gimana pendapat kami.
Beliau akhirnya ngajak kami masuk lagi ke ruangan lain. Tapi, kali ini kami masuk ke ruangan yang tertutup. “Emang kalau nikah di luar KUA kena berapa, Pak?” tanya Bang Firzy ketika kami baru sama-sama duduk di depan beliau.
Tetapi bukannya ngejawab pertanyaan Bang Firzy, beliau malah keluar sambil ngerangkul bokap gue. Apaan coba itu maksudnya? Mereka mau ngapain? Nego harga gitu?
Daripada gue nanti ditembak harga sama beliau, gue mutusin buat nyari di Google tentang kelengkapan administrasi buat pendaftaran nikah di KUA. Jaga-jaga aja. Walaupun harusnya ga mungkin ada ‘tembak menembak harga’ ya kan? Eh, iya ga sih? Secara kan semua transaksinya harus kecatet di pembukuan Kementerian Agama bukan? Masa iya masih harus bayar tunai lewat mereka sih? Tapi yang gue bingung itu, bapak ASN yang terhormat itu lagi ngomong apa sama bokap gue?!
Kalian tau apa yang gue dapet dari Google? Semua syarat administrasi kami udah lengkap dan sekarang kami cukup bayar Rp600.000,- ke rekening Kementerian Agama, kalau kami mau nikah di luar KUA dan bukan di hari kerja. Sesederhana itu.
Terus apa lagi yang harus dibahas sama bapak ASN itu sama bokap gue?
Gue jelasin semua informasi yang gue dapet ke Bang Firzy. Kami sama-sama ngecek ulang berkas kami buat mastiin kalau berkas kami bener-bener lengkap. Kami bahkan udah nyiapin aplikasi Mbanking kami dan coba nyari bank terdekat just in case mereka minta kami buat bayar via Teller. Di situ, gue udah cukup lega.
Tiba-tiba bokap gue ngebuka pintu ruangan dan bilang, “Udah, nikah di sini aja lah, Mi. Entar acara makan-makannya di rumah kakek. Ijab kabulnya di sini gapapa. Bayarnya mahal kalau nikah di luar KUA, kena 1jt-an. Bisa kena 1,5jt bahkan. Ribet, mesti tunai sama transfer.”
“Hah?!” Yang gue takutin terjadi. Bapak ASN tadi nipu! Doi lagi berusaha ‘main duit’ ke kami!
Bang Firzy terdiam sebentar terus mutusin buat ngehubungin nyokap doi. Gue yakin, dia bukan keberatan dengan nominal yang disebut tadi. Mau Rp600.000,- atau Rp1.500.000,- juga bisa kami bayarin! Tapi, ga gitu juga caranya.
“Rp600.000,- masuk negara, terus Rp900.000,- sisanya mau masuk kemana lagi?!” bisik Bang Firzy sebelum keluar dari ruangan.
“Om, saya keluar dulu buat ngehubungin Mama. Soalnya keluarga saya setuju aja kalau nikahnya di kampung halaman sini, tapi bukan berarti cuma di KUA aja, Om. Saya khawatir mereka kurang setuju kalau kami nikah di KUA doang.”
“Halah, sama aja, Ji. Hahaha. Kamu mau nikah aja segala milih-milih!” Bokap gue nengok ke arah bapak ASN yang mulai keliatan males ngeliat perdebatan kami. “Biasa, Pak. Anak muda suka banyak milihnya padahal mah sama aja kan ya?”
“Saya ga milih-milih, Om. Tapi saya juga kasian sama ekspektasi keluarga saya. Kasian mereka jauh-jauh dari ibukota masa nikahnya di KUA?”
“Halah. Itu si Asep dulu nikahnya itu cuma di KUA sini doang, Ji. Nih Asep baru aja kirim SMS ke Om. Kan enak kalau nikah di KUA, ntar tinggal makan-makan aja di rumah. Atau bisa bawa makanannya kesini, paling entar bayar biaya kebersihan aja paling. Gampang lah. Udah yah begitu aja?”
“Biarin saya ngomong sama keluarga saya dulu, Om. Pernikahan ini kan bukan cuma acaranya keluarganya Om aja. Keluarga besar saya juga ikut dateng kesini nanti, Om. Jadi, saya juga mikirinin kenyamanan mereka juga.”
“Hahaha. Biasa, anak muda.” Bokap gue duduk di bangku yang tadi didudukin Bang Firzy, masih aja berusaha sok ga enak di depan bapak ASN tadi.
Setelah Bang Firzy keluar, tiba-tiba bapak ASN tadi ikutan pamit untuk keluar ruangan. Entah mau ngapain dia. “Saya pamit ke belakang dulu, Pak.” Apa mungkin dia mau nguping omongan Bang Firzy?
Ditembak harga pas lagi kulineran di pinggir jalan Kota Bandung, udah pernah. Ditembak harga pas lagi parkir di pinggir jalan Gunung Padang, udah pernah. Tapi ditembak harga pas lagi ngurus di KUA? Are you f*cking kidding me?
“Siapa yang ngajarin kamu tadi ngebentak-bentak bapak tadi? Tadi Papa disindir katanya kamu kok mau nikah malah ga ada sopan santunnya? Makanya kamu disuruh ikut kelas pra-nikah dulu sama beliau. Itu tuh bayar segitu udah termasuk ikut kelas pra-nikah, biar kamu kelakuannya ga kayak begitu. Kalau si Pirji demen ngebentak-bentak ya terserah Pirji lah, yang penting kamu ga usah ikutan.” tegor bokap gue.
“Lah? Maksudnya kalau calon suami Emi ga bener, berarti Emi lepas tangan gitu? Masa Emi diem aja kalau tau ada kelakuan dia yang ga bener?”
“Emang kamu bisa negor dia buat ga marah-marah mulu? Dari berangkat aja bawaannya emosi terus. Heran Papa. Kalau ga ada Papa, ga tau deh kalian bisa ngurusin administrasi di sini apa ga.”
“Bisa kok!” jawab gue tegas.
“Halah, bisa gimana?! Perkara tempat akad nikah aja ga bisa nentuin sendiri. Padahal kalian CUMA TINGGAL MILIH LOH! Mau di KUA apa di luar? Kalian aja protes mulu mau ngadain resepsi, sok gaya lagi sekarang mau nikah di luar KUA. Kayak ada uangnya aja! Kalau uang mepet sana sini, ya jangan banyak gaya lah. Nikah gratis di sini. Titik. Ga usah banyak gaya!”
Jujur, saat itu gue sangat sakit hati dengan omongan bokap gue. Kita mau akad nikah di masjid aja dibilang banyak gaya? Apalagi kalau kita punya uang resepsi yang banyak? Gue sewa sekalian dah itu Istana Negara buat akad nikah gue biar gue makin keliatan banyak gaya! Gue ga nyangka bokap gue bisa-bisanya ngomong kayak begini sekarang. Papa kenapa sih?
“Lah? Yang minta resepsi bukan Emi, Pa! Tapi—”
Kring. Kring. Kring.
Handphone bokap gue bunyi. Bokap sempet ngeliatin gue seakan nunggu gue nyelesein omongan gue. Tapi karena beliau agak keganggu sama suara handphone, beliau akhirnya milih buat angkat teleponnya dulu.
“Ya, Sep? Kumaha kumaha?” Bokap gue sedikit menjeda omongannya. “Oh iya, saya telepon Yani heula.” Kemudian bokap nutup teleponnya.
“Kenapa, Pa?”
“………” Bokap sama sekali ga ngejawab pertanyaan gue. Beliau kembali angkat teleponnya, kayaknya langsung ngehubungin Om Yani.
Bokap gue cukup lama ngobrol sama Om Yani via telepon. Begitu juga sama Bang Firzy yang masih ngobrol sama nyokapnya di depan KUA. Entah apa yang dibahas sama masing-masing dari mereka. Semoga aja hal-hal yang baik. Gue ga nyangka kalau urusan di KUA sini bakal kayak begini banget.
Ga lama, bokap gue nutup teleponnya dan bilang, “Bener kata kamu, biayanya cuma Rp600.000,- kalau nikah di luar KUA dan bukan di hari kerja. Kepala KUA sini tuh sahabatnya Yani. Kalau jadi, nanti beliau yang ngurus akad nikah kamu langsung. Orangnya lagi disuruh kesini sama Yani.” jelas bokap gue.
Di sini gue nemuin bukti rasa sayang Alloh sama gue, Alloh ngejauhin gue dari orang-orang yang punya niat jahat ketika gue sedang punya niat baik. Semoga ini jadi pertanda baik kedepannya.
Gue paham, dia juga pasti ngerasain hal yang sama. Tapi kadang gue pengen banget mohon sama dia buat ga selalu ngedahuluin amarah dia. Kadang, gue pengen dia bersikap lebih tenang kalau ngadepin hal yang ga sesuai sama ekspektasi dia. Gue pengen dia ga kalah sama emosi negatif dia sendiri. Karena ngadepin dia yang begitu dan berusaha buat ngademin dia itu bener-bener ngabisin energi positif gue sendiri. Dan itu sangat amat melelahkan.
Karena di sini, gue ga cuma ngejaga emosi dan perasaan dia. Gue juga harus mikirin emosi dan perasaan bokap nyokap gue yang masih berusaha kenal sosok Firzy itu sendiri. SOSOK ASLI dari Bang Firzy. Mungkin mereka selama ini ngerasa udah kenal Bang Firzy karena dia udah ngabisin hampir seluruh waktunya di rumah gue. Tapi apa mereka paham dan kenal Bang Firzy kayak gue kenal dia? Bahkan gue ragu ibu dan adiknya dia sepaham dan sekenal gue pada kakak tercinta mereka ini.
Andai Bang Firzy juga mikir dari sudut pandang gue juga, kalau gue ga mau sampe bokap nyokap gue memperlakukan dia, kayak gimana nyokapnya dia memperlakukan gue. Gue pribadi ngerasa ga enak dituduh-tuduh sama nyokapnya. Gue ga suka dianggep bad influencesama nyokapnya. Gue juga ga mau kalau ternyata nyokapnya nerima gue jadi calon istri dari anak laki-lakinya secara terpaksa. Gue ga mau bokap nyokap gue begitu ke Bang Firzy.
Andai Bang Firzy mau mikir kesana.
Gue sebagai penengah. Gue di sini sebagai perantara mereka. Gue di sini berusaha menjembatani kemauan mereka semua, walaupun jadinya Bang Firzy yang lebih banyak ngalah. Gue tau kenapa dia sangat amat emosi. Tapi emang lebih mudah ngasih penjelasan ke dia daripada nurunin ego bokap gue. Entah kenapa. Rasanya gue selalu (terpaksa harus) ngalah dan nurut. Susah untuk bilang tidak ke bokap gue.
Gue juga ngerti banget concern Bang Firzy. Dia pribadi kepikiran sama kondisi nyokap gue yang kayak dipaksa buat ikut perjalanan kita. Nyokap gue itu lagi sakit. Walaupun beliau bisa dibawa pake mobil dan nanti juga beliau duduk di kursi roda, cuma pasti ada rasa cape dan lelah bukan?
Gue paham, dia peduli sama calon ibu mertua dia sendiri. Tapi siapa yang bisa ngebujuk bokap gue? Terus yakin, ini emang maunya bokap gue sendiri? Bukan nyokap gue sendiri yang minta ke bokap gue? Jujur, gue juga ga tau… Gue ga pernah dikasih tau, apalagi urusan kayak begini.
Bang Firzy itu udah pernah punya pengalaman harus ngerawat bokap yang sakit dan harus stay di rumah. Almarhum bokap dia, bener-bener ga kemana-mana. Bener-bener di rumah doang karena mungkin kepikiran juga kasian kalau harus diangkut sana sini sama nyokapnya. Tapi bokapnya sakit beberapa bulan aja, sebelum beliau pergi untuk selamanya. Sementara nyokap gue udah sakit cukup lama dan mungkin udah mulai ngerasa bosen. Makanya bokap bilang ‘sekalian refreshing’.
Sumpah! Gue ga tau harus gimana… Gue cuma bisa nurutin kemauan mereka dan berusaha ngademin Bang Firzy. Gue bener-bener orang ga guna! Ya Alloh…
Ketika gue ngerasa di posisi mental terendah gue, emosi negatif dari Bang Firzy nular ke diri gue. Gue jadi ikut emosi. Gue jadi nanya balik ke dia tentang apa yang dia mau? Apa solusi dari dia? Selalu begitu.
Tiap kali dia mulai ngeluarin emosi negatif yang udah ga kuat gue bendung, kami bakal berujung sama-sama emosi. KECUALI, ketika gue masih kuat untuk mempertahankan emosi positif gue buat nenangin dia.
Quote:
Percayalah, emosi negatif itu nular lebih cepet daripada infeksi zombie-zombie Korea.
XOXOXO
Gue pikir, ngurus pendaftaran nikah di KUA itu ga akan seribet itu. Kenapa? Soalnya kan kita ngedaftarin pernikahan yang kita pribadi inginkan. Bukan paksaan orang ataupun ada aturan tertentu yang bikin pernikahan kita itu ilegal. Tanggal pernikahan itu jadi tertunda bisa banget kejadian, cuma ya itu HANYA bisa kejadian kalau administrasi belum lengkap atau ada permasalahan yang belum selesai di pernikahan sebelumnya. Tapi kan gue sama Bang Firzy masih sama-sama baru pertama kali nikah, HARUSNYA ga ada masalah sama sekali.
HARUSNYA!
Tapi... Ketika kami baru aja dateng di KUA, ga ada satupun bapak atau ibu ASN yang kerja di KUA sana standbydi tempat. NO ONE! KOSONG MELOMPONG!
Gue paham kok, keinginan orang untuk nikah itu belum karuan ada setiap hari. Jadi KUA mereka yang ngurus ke KUA kayaknya ga akan sebanyak jumlah mereka yang ada urusan di Disdukcapil. Tapi masa iya sih harus sekosong itu kantor? Mereka tetep digaji bukan walaupun kantor mereka kosong?
Déjà vu banget gue sama kejadian waktu kami ngurus penelitian Bang Firzy dulu. Bener-bener déjà vu. Kantor-kantor kosong dan orang-orangnya sibuk Kunker (Kunjungan Kerja) atau entah kelayapan kemana. Gue cuma bisa berharap, segala urusan hari itu bisa selesai dengan baik.
Setelah sekian lama nunggu, akhirnya ada bapak ASN dateng. Iya, beliau kerja di sana dan HARUSNYA MASIH ada di dalam kantor karena ini masih jam kerja mereka. Saat itu belum genap jam 2 siang baidewei. Beliau dateng make sendal jepit sambil ngerokok. Kebayang ga sih gimana malesnya gue ngeliat dia?
Ya oke, beliau sempet matiin rokoknya dulu di asbak yang ada di hadapan kami sebelum beliau ngomong. Tapi, for real? Kenapa harus banget bawa-bawa rokoknya ke ruang kerja? Terus KENAPA HARUS KELAYAPAN GA JELAS BEGITU DI JAM KERJA SIH?!
Cuma ya, gue bersyukur akhirnya ada yang dateng buat bantu ngurus administrasi kami.
Sebenernya sebelum kami, masih ada pasangan lain yang juga nunggu kedatengan si bapak ASN ganteng yang satu ini. Tapi kesabaran mereka ga sekuat kami dan pasangan bapak-ibu-yang-kayaknya-udah-ga-tahan-buat-nikah-lagi di hadapan kami ini. Iya, nikah lagi. Gue bisa liat dari keberadaan anak kecil di pangkuan si ibu. Pilihannya kalau bukan nikah lagi ya ngurusin nikahan anaknya? Tapi anak yang mana? Ah gue bodo amat. Bukan urusan gue juga. Jadi intinya, hari itu yang perlu dilayani cuma kami dan satu pasangan lainnya.
Karena ga ada buku tamu, bapak ASN ini jadi ga bisa nentuin mana yang harus dilayani duluan karena datang lebih dulu. Jadi susah buat first come, first served. Efeknya? Siapa yang berani bacot dan ngotot duluan akan dilayani duluan. Kalian tau lah, siapa yang lebih berani bacot dan ngotot?
Seperti dugaan gue, ketika gue ngeliat si ibu langsung nyapa bapak ASN dengan ramah, Bang Firzy langsung nyamber dengan bilang, “Saya kan datang duluan, Pak. Saya jauh dari Jakarta.” ucap dia cukup kenceng dan mungkin bisa kedengeran sama mereka yang lewat di depan KUA.
“Sabar ya, A. Iya saya tau dari bapaknya Aa kalau Aa dateng duluan dan dari jauh. Tapi ini saya coba cek kelengkapan berkas masing-masing dulu ya. Kalau Aa lengkap, bisa langsung dilayani sama saya. Nanti ibu sama bapak bisa dibantu sama bagian admin saya. Ini udah jalan kesini kok, Bu.” jelas bapak ASN itu. Kayaknya beliau juga agak kaget dan sedikit dibikin takut sama Bang Firzy. We’ll see.
Di sisi lain, gue bisa ngeliat kalau si ibu tadi murka dan membara. Beliau sangat ga terima kalau kami dilayani lebih dulu daripada dia yang udah bersikap (sok) ramah ke bapak ASN itu. Ya mau gimana? Akamsi (anak kampung sini) ga selalu dapet privilege, bos!
“SUDAH LENGKAP KAN YA, PAK? JADI SAYA BISA DILAYANI DULUAN, PAK?” Kali ini gue ngomong cukup kenceng biar kedengeran sama si ibu-ibu tadi.
Tapi gue bisa ngeliat di sudut mata gue kalau bokap gue ga suka dengan sikap gue. Beliau melototin gue sambil bilang “Apa-apaan sih kamu?!” tanpa suara. Gue langsung diem dan kembali fokus sama apa yang lagi gue urus. Gue kayaknya ga akan bisa seberani dan sebebas berekspresi Bang Firzy. Ga akan pernah bisa. Ya setidaknya tadi gue udah usaha.
“Tolong tulisin rencana tanggal akad nikahnya di form ini ya, A. Ini buat ngecek ketersediaan penghulunya. Takutnya bentrok. Kalau bisa sekalian waktu dan lokasinya.” kata bapak ASN tadi.
Sebentar. Harusnya kita udah tau tempat dulu toh? Ga bisa ya kita booking tanggalnya dulu gitu? Soalnya kan rencananya, kami baru mau nyari tempat akadnya ya abis ngurus dari KUA ini. Kami belum sempet ngedatengin Masjid Agung dan belum nemuin masjid lain yang sekiranya pas buat akad nikah kami.
“Saya baru bisa tulisin tanggal sama waktunya aja gimana, Pak?” jawab Bang Firzy.
“Emangnya belum dapet lokasinya, A?”
“Hmm. Kita sih rencananya di Masjid Agung depan alun-alun, Pak.” jawab gue dengan sedikit nada ragu. Gue juga belum tau jawaban pastinya soalnya.
“Hah? Masjid Agung? Kenapa jadinya Masjid Agung sih, Mi?” Bokap yang tadinya berdiri agak jauh, akhirnya ngedeketin kami. Bokap kayak kaget dan ga terima sama jawaban gue. Tapi sumpah, jawaban gue itu bukan ngasal. Gue dan Bang Firzy emang berniat begitu.
“Ya emang mau di masjid mana lagi? Kalau di rumah kakek emang gapapa? Entar ribet ga mesti bayar dekorasi lagi?” tanya gue ke bokap.
“Hmm. Perlu saya kasih waktu untuk dibahas dulu, A?” Bapak ASN tadi berusaha nengahin kami.
“Ga perlu, Pak. Kalau saya kosongin dulu atau diisi sama opsi yang saya pilih dulu gimana?” Bang Firzy coba cari solusi just in case kita debat di hadapan banyak orang.
“Boleh. Kalau bisa ditulis aja daerah lokasi masjid yang Aa sama Teteh pilih. Kalau Aa sama Teteh nikah di luar KUA alias penghulu mesti datang ke lokasi akad Aa sama Teteh, ada biaya yang harus dibayarin. Tapi, kalau Aa sama Teteh nikah di KUA terus di hari Senin sampai dengan Jumat, Aa sama Teteh nikahnya gratis. Ga perlu bayar apapun lagi. Paling yaaa, kasih uang rokok aja ke penghulunya. Hehehe.”
“Emang kalo nikah di KUA sini, tempatnya dimana, Pak?” tanya gue.
Gue bisa liat Bang Firzy kaget dengan jawaban gue. Tapi gue cuma penasaran aja kayak gimana sih kalau mau ngadain pernikahan di dalem KUA itu. Sumpah, gue ga akan mendadak nyerah sama rencana kami cuma karena takut dimarahin bokap gue. Gue juga paham banget kok, Zy.
“Coba sini. Aa sama Teteh liat dulu ruang serba guna kami yang biasa dipake buat akad nikah.” Beliau ngajak gue, Bang Firzy, dan bokap untuk ikutin beliau.
Beliau ngajak kami ke ruangan yang letaknya agak di lebih ke dalem kantor mereka. Di sana ada semacam ruang serba guna yang cukup bersih dan lumayan gede ukurannya. Di sana juga udah ada beberapa bangku dan meja plus udah dilengkapi AC. Not bad kok. Bersih juga bagi gue. Tapi ya ini bukan bagian dari rencana kami. Kami mau nikah di masjid. Titik.
“Hmm. Oke.” adalah jawaban gue ketika beliau nanyain gimana pendapat kami.
Beliau akhirnya ngajak kami masuk lagi ke ruangan lain. Tapi, kali ini kami masuk ke ruangan yang tertutup. “Emang kalau nikah di luar KUA kena berapa, Pak?” tanya Bang Firzy ketika kami baru sama-sama duduk di depan beliau.
Tetapi bukannya ngejawab pertanyaan Bang Firzy, beliau malah keluar sambil ngerangkul bokap gue. Apaan coba itu maksudnya? Mereka mau ngapain? Nego harga gitu?
Daripada gue nanti ditembak harga sama beliau, gue mutusin buat nyari di Google tentang kelengkapan administrasi buat pendaftaran nikah di KUA. Jaga-jaga aja. Walaupun harusnya ga mungkin ada ‘tembak menembak harga’ ya kan? Eh, iya ga sih? Secara kan semua transaksinya harus kecatet di pembukuan Kementerian Agama bukan? Masa iya masih harus bayar tunai lewat mereka sih? Tapi yang gue bingung itu, bapak ASN yang terhormat itu lagi ngomong apa sama bokap gue?!
Kalian tau apa yang gue dapet dari Google? Semua syarat administrasi kami udah lengkap dan sekarang kami cukup bayar Rp600.000,- ke rekening Kementerian Agama, kalau kami mau nikah di luar KUA dan bukan di hari kerja. Sesederhana itu.
Terus apa lagi yang harus dibahas sama bapak ASN itu sama bokap gue?
Gue jelasin semua informasi yang gue dapet ke Bang Firzy. Kami sama-sama ngecek ulang berkas kami buat mastiin kalau berkas kami bener-bener lengkap. Kami bahkan udah nyiapin aplikasi Mbanking kami dan coba nyari bank terdekat just in case mereka minta kami buat bayar via Teller. Di situ, gue udah cukup lega.
Tiba-tiba bokap gue ngebuka pintu ruangan dan bilang, “Udah, nikah di sini aja lah, Mi. Entar acara makan-makannya di rumah kakek. Ijab kabulnya di sini gapapa. Bayarnya mahal kalau nikah di luar KUA, kena 1jt-an. Bisa kena 1,5jt bahkan. Ribet, mesti tunai sama transfer.”
“Hah?!” Yang gue takutin terjadi. Bapak ASN tadi nipu! Doi lagi berusaha ‘main duit’ ke kami!
Bang Firzy terdiam sebentar terus mutusin buat ngehubungin nyokap doi. Gue yakin, dia bukan keberatan dengan nominal yang disebut tadi. Mau Rp600.000,- atau Rp1.500.000,- juga bisa kami bayarin! Tapi, ga gitu juga caranya.
“Rp600.000,- masuk negara, terus Rp900.000,- sisanya mau masuk kemana lagi?!” bisik Bang Firzy sebelum keluar dari ruangan.
“Om, saya keluar dulu buat ngehubungin Mama. Soalnya keluarga saya setuju aja kalau nikahnya di kampung halaman sini, tapi bukan berarti cuma di KUA aja, Om. Saya khawatir mereka kurang setuju kalau kami nikah di KUA doang.”
“Halah, sama aja, Ji. Hahaha. Kamu mau nikah aja segala milih-milih!” Bokap gue nengok ke arah bapak ASN yang mulai keliatan males ngeliat perdebatan kami. “Biasa, Pak. Anak muda suka banyak milihnya padahal mah sama aja kan ya?”
“Saya ga milih-milih, Om. Tapi saya juga kasian sama ekspektasi keluarga saya. Kasian mereka jauh-jauh dari ibukota masa nikahnya di KUA?”
“Halah. Itu si Asep dulu nikahnya itu cuma di KUA sini doang, Ji. Nih Asep baru aja kirim SMS ke Om. Kan enak kalau nikah di KUA, ntar tinggal makan-makan aja di rumah. Atau bisa bawa makanannya kesini, paling entar bayar biaya kebersihan aja paling. Gampang lah. Udah yah begitu aja?”
“Biarin saya ngomong sama keluarga saya dulu, Om. Pernikahan ini kan bukan cuma acaranya keluarganya Om aja. Keluarga besar saya juga ikut dateng kesini nanti, Om. Jadi, saya juga mikirinin kenyamanan mereka juga.”
“Hahaha. Biasa, anak muda.” Bokap gue duduk di bangku yang tadi didudukin Bang Firzy, masih aja berusaha sok ga enak di depan bapak ASN tadi.
Setelah Bang Firzy keluar, tiba-tiba bapak ASN tadi ikutan pamit untuk keluar ruangan. Entah mau ngapain dia. “Saya pamit ke belakang dulu, Pak.” Apa mungkin dia mau nguping omongan Bang Firzy?
Ditembak harga pas lagi kulineran di pinggir jalan Kota Bandung, udah pernah. Ditembak harga pas lagi parkir di pinggir jalan Gunung Padang, udah pernah. Tapi ditembak harga pas lagi ngurus di KUA? Are you f*cking kidding me?
“Siapa yang ngajarin kamu tadi ngebentak-bentak bapak tadi? Tadi Papa disindir katanya kamu kok mau nikah malah ga ada sopan santunnya? Makanya kamu disuruh ikut kelas pra-nikah dulu sama beliau. Itu tuh bayar segitu udah termasuk ikut kelas pra-nikah, biar kamu kelakuannya ga kayak begitu. Kalau si Pirji demen ngebentak-bentak ya terserah Pirji lah, yang penting kamu ga usah ikutan.” tegor bokap gue.
“Lah? Maksudnya kalau calon suami Emi ga bener, berarti Emi lepas tangan gitu? Masa Emi diem aja kalau tau ada kelakuan dia yang ga bener?”
“Emang kamu bisa negor dia buat ga marah-marah mulu? Dari berangkat aja bawaannya emosi terus. Heran Papa. Kalau ga ada Papa, ga tau deh kalian bisa ngurusin administrasi di sini apa ga.”
“Bisa kok!” jawab gue tegas.
“Halah, bisa gimana?! Perkara tempat akad nikah aja ga bisa nentuin sendiri. Padahal kalian CUMA TINGGAL MILIH LOH! Mau di KUA apa di luar? Kalian aja protes mulu mau ngadain resepsi, sok gaya lagi sekarang mau nikah di luar KUA. Kayak ada uangnya aja! Kalau uang mepet sana sini, ya jangan banyak gaya lah. Nikah gratis di sini. Titik. Ga usah banyak gaya!”
Jujur, saat itu gue sangat sakit hati dengan omongan bokap gue. Kita mau akad nikah di masjid aja dibilang banyak gaya? Apalagi kalau kita punya uang resepsi yang banyak? Gue sewa sekalian dah itu Istana Negara buat akad nikah gue biar gue makin keliatan banyak gaya! Gue ga nyangka bokap gue bisa-bisanya ngomong kayak begini sekarang. Papa kenapa sih?
“Lah? Yang minta resepsi bukan Emi, Pa! Tapi—”
Kring. Kring. Kring.
Handphone bokap gue bunyi. Bokap sempet ngeliatin gue seakan nunggu gue nyelesein omongan gue. Tapi karena beliau agak keganggu sama suara handphone, beliau akhirnya milih buat angkat teleponnya dulu.
“Ya, Sep? Kumaha kumaha?” Bokap gue sedikit menjeda omongannya. “Oh iya, saya telepon Yani heula.” Kemudian bokap nutup teleponnya.
“Kenapa, Pa?”
“………” Bokap sama sekali ga ngejawab pertanyaan gue. Beliau kembali angkat teleponnya, kayaknya langsung ngehubungin Om Yani.
Bokap gue cukup lama ngobrol sama Om Yani via telepon. Begitu juga sama Bang Firzy yang masih ngobrol sama nyokapnya di depan KUA. Entah apa yang dibahas sama masing-masing dari mereka. Semoga aja hal-hal yang baik. Gue ga nyangka kalau urusan di KUA sini bakal kayak begini banget.
Ga lama, bokap gue nutup teleponnya dan bilang, “Bener kata kamu, biayanya cuma Rp600.000,- kalau nikah di luar KUA dan bukan di hari kerja. Kepala KUA sini tuh sahabatnya Yani. Kalau jadi, nanti beliau yang ngurus akad nikah kamu langsung. Orangnya lagi disuruh kesini sama Yani.” jelas bokap gue.
Di sini gue nemuin bukti rasa sayang Alloh sama gue, Alloh ngejauhin gue dari orang-orang yang punya niat jahat ketika gue sedang punya niat baik. Semoga ini jadi pertanda baik kedepannya.
khodzimzz dan 17 lainnya memberi reputasi
18
Tutup