Pikiranku menerawang, mencoba mengingat kembali semua peristiwa yang sudah aku dan putriku lalui. Masih teringat jelas dalam ingatanku semua peristiwa tidak masuk akal yang selalu menjadi santapanku sehari-hari. Bersinggungan dengan peristiwa gaib yang hampir membuat otakku menjadi gila!
Malam itu terasa aura mistis yang berhembus sampai membuat bulu kuduk merinding. Suasana di dalam rumah terasa begitu mencekam dan menegangkan.
Suara itu... Ya suara itu!!!
Suara denting piano mulai terdengar menggema di seluruh ruangan, seingatku piano mainan putriku sudah kumatikan dari sebelum adzan magrib berkumandang. Gendis yang sedang tertidur lelap tiba - tiba terbangun, dirinya tampak gelisah dan mulai terdengar tangisan dari bibir mungilnya.
"Aaarrghh...!!! Kenapa kalian tidak pernah berhenti mengganggu anakku? Apa kesalahan putriku terhadap kalian?"
Kehidupanku dulu berjalan normal hingga kehadiran putriku membuat semuanya berubah. Mereka sangat menantikan kehadiranmu, mereka begitu menyambutmu! Apa yang membuat mereka begitu tertarik denganmu putri kecilku?
Gendis adalah nama yang kuberikan untuk putriku tercinta. Anak yang sudah kutunggu hampir sepuluh tahun lamanya. Dari awal kelahirannya, banyak peristiwa aneh yang terjadi. Kehadiran Gendis seperti sudah sangat ditunggu oleh mereka. Putriku sangat rewel, dia selalu menangis dan menjerit histeris ketakutan setiap saat.
Bagaimanakah proses perjalanan hidup Gendis selanjutnya? Bisakah ia terbebas dari semua rasa ketakutan yang selalu menghantui dirinya? Akankah putriku bisa menjalani hidup normal seperti anak kecil lainnya? Dan kapankah semua ujian ini akan berakhir?
Ini kisah Gendis anakku yang akan menjadi bagian dari perjalanan hidupku...
Thread ini aku dedikasikan untuk putriku tercinta yang bernama "Gendis". Semoga kelak ketika dirimu sudah tumbuh dewasa, kamu bisa membaca kisah yang mama tulis berdasarkan pengalaman yang kita lewati setiap harinya. Cerita ini merupakan kisah perjuangan seorang Ibu dalam membesarkan dan mendidik anaknya yang indigo.
Dulu aku hampir menyerah, aku sudah terlalu lelah menghadapi semua peristiwa yang tidak masuk akal. Mentalku sudah tidak kuat menghadapi semua gangguan-gangguan itu sendirian. Namun aku salah! Ternyata aku lebih kuat dari dugaanku selama ini! Itu semua karena rasa kasih sayang seorang Ibu yang begitu besar terhadap anaknya tercinta.
Pesan mama untuk Gendis "Jika saatnya tiba tolong pergunakan kemampuanmu untuk membantu sesama". Enjoy the process dan ingat kamu tidak pernah sendirian! Mommy loves u!
Terima kasih ya Ndis sudah mengijinkan mama untuk menuliskan kisahmu.
Quote:
Doa dari Mas Yus untuk Gendis
Kisah ini berdasarkan kisah nyata yang aku dan Gendis alami.
Untuk update diusahakan setiap hari Senin dan Kamis ( dikondisikan dengan RL).
Mohon maaf kalau susunan kalimatnya kurang enak dibaca. Karena ini pertama kalinya aku menulis cerita.
Selamat menikmati thread ini, jangan lupa ratenya, komen n ... Terima kasih.
Quote:
Saya mohon dengan sangat untuk tidak meng Copy Paste cerita ini Tanpa Seijin Gendis. Terima kasih
"Mba Desi meraih remote tv yang tergeletak di sofa dan menyalakannya. Ia mengganti channel beberapa kali, kini matanya terpaku menonton acara talkshow dimana tiga orang paranormal kondang yang menjadi bintang tamunya.
Netra putriku menatap ke arah layar tv. Seketika wajahnya tampak terkejut dan pucat. Ia beringsut mundur. Kepalanya menggeleng ketakutan "NO..! NO..!" Desisnya dengan wajah tegang.
Dengan tubuh bergetar, Gendis berlari dan bersembunyi di balik tubuh ayahnya. Dengan posisi membungkuk dan menekuk kakinya, ia terus mendesis ketakutan.
"Scared..! Dis scared..!" Ujarnya dengan tatapan kosong.
Aku terperaranjat melihat perubahan sikap Gendis selepas melihat ke layar tv. Aku segera menghampiri putriku.
"Dis, Gendis kenapa kaya orang takut begitu?"
Dengan wajah pias sambil kedua lututnya menopang wajahnya, telunjuk Gendis terangkat dan mengarah ke tv "Tu ma! Dis scared!" (Itu ma. Gendis scared)
Aku menoleh ke layar tv. Tidak ada yang tayangan film horor disana. Mba Desi masih tetap setia memonton acara yang tadi.
"Scared kenapa nak? Di tv nggak ada yg seram kok"
"Itu ma..! Eyakang olang tu! Iat deh!" (Itu ma. Di belakang orang itu. Lihat deh)
Sekali lagi aku menoleh ke layar tv. Masih tetap sama! Tidak ada penampakan yang menyeramkan!
"Di tv nggak ada yang seram Ndis"
Putriku mendengus kesal.
"Ma..! Di eyakang om aju utih ada wolf! Dis akut wolf! Wolfnya ceyem banget?" (Ma, dibelakang om baju putih ada wolf. Gendis takut wolf. Wolfnya serem banget)
Aku tercengang sejenak. Aku terdiam, sepertinya ucapan putriku bukanlah bualan belaka. "Bisa jadi serigala yang saat ini sedang Gendis lihat merupakan khadam dari paranormal berbaju putih" batinku.
"ATE ECi! ATIIN IVI! DIS SCARED!" (Tante Desi. Matiin tv nyam Gendis scared) Teriak Gendis histeris sambil menutup kedua matanya dengan tangan.
Mba Desi yang sedang asik menonton terperanjat mendengar jeritan putirku. Dengan spontan, ia langsung meraih remote tv yang tergeletak disampingnya dan langsung mematikan tombol off.
"Sudah Ndis, tv nya sudah dimatikan sama tante Desi. Gendis kenapa sembunyi begitu?" Tanya mba Desi keheranan.
"Ada wolf di tv!" (Ada wolf di tv)
"Wolf? Serigala?" Mba Desi terlihat berpikir.
"Iya..! Emana ante da iat?" (Iya. Memangnya tante nggak lihat)
Mba Desi menggelengkan kepalanya.
"Tante nggak bisa lihat Ndis. Mata batin Gendis bisa menembus sampai ke tv ya?" Mba Desi berdecak kagum.
Putriku tidak menjawab pertanyaan mba Desi. Dengan takut-takut, anakku mengintip dari balik tubuh mas. Ia mengelus dadanya berulang kali "Amuiyah, Ivina dah mati" (Alhamdulillah tv nya sudah mati)
"Wolf dah elgi" (Wolf sudah pergi)
Suamiku menatapku. Mungkin ia masih kebingungan dengan yang baru saja terjadi. Karena sedari tadi suamiku tampak asik dengan ponselnya, sehingga ia sedikit melupakan putrinya.
Gendis mengangkat tubuhnya dan berjalan ke arahku. Ia menciumi pipiku. "Aci ma" (Terima kasih ma) ujarnya dengan wajah lega.
"Adi Dis atut anget ma!" (Tadi Gendis takut banget ma)
Aku meraba jantungnya, merasakan debarannya yang begitu cepat. Buru-buru aku mengambil air mineral gelas yang tersedia di atas meja dan meminumkannya ke Gendis. Perlahan-lahan nafasnya yang sempat memburu mulai kembali normal. Wajahnya yang tadi pias kembali normal. Kini aku sudah bisa menghela nafas lega.
Assalamu'alaikum" terdengar suara memberikan salam. Disertai derap langkah kaki orang sedang menuju ke arah ruang tv. Sepertinya satu persatu keluarga suamiku sudah mulai berdatangan.
"Wa'alaikumsalam" jawab mba Indri seraya berdiri menyambut kedatangan keluarga besarnya.
Setelah adzan Zuhur, rumah mba Indri tampak penuh dengan keluarga yang berkumpul. Suasana tampak begitu ramai. Mereka tampak senang dapat melihat Gendis. Anakku yang lucu dan cerewet benar-benar menjadi pusat perhatian banyak orang.
Wajah Gendis berbinar bahagia karena dikelilingi oleh teman sebayanya. Ia asik bermain dan berlarian dengan sepupunya di area halaman rumah yang luas. Hingga akhirnya beberapa anak kecil mengadu kepada orangtuanya, mengeluhkan tentang perilaku putriku.
Gendis tampak bahagia karena dikelilingi oleh banyak orang dan teman sebayanya. Ia asik bermain dan berlarian dengan sepupunya di area halaman rumah yang luas. Hingga akhirnya beberapa anak kecil mengadu kepada orangtuanya, mengeluhkan tentang perilaku putriku
"Bu... Ibu.. Qila cape main sama dede Gendis. Dari tadi Qila diajak lari terus sama dede Gendis. Kaki Qila pegel bu! Tapi kenapa dede Gendis nggak ada capenya ya ?" Tutur Qila yang berusia tujuh tahun dengan wajah terbakar sinar matahari. Tubuhnya yang gempal tampak bersimbah peluh dan nafasnya terlihat ngos-ngosan
"Ya sudah kalau Qila cape. Qila tinggal bilang saja sama adik Gendis" jawab ibunya bijak.
"Qila sudah bilang cape bu! Tapi adik Gendis tetap ajak Qila lari-larian terus!" Ujarmya bersungut-sungut.
"Kamu juga yang salah Qila! Gendis kok dilawan! Stamina dia sama kamu itu beda jauh" celetuk mba Desi berusaha menahan tawa.
Suamiku langsung menimpali ucapan mba Desi "Gendis gitu loh!!"
Seketika semua orang tertawa mendengar gurauan suamiku. Beberapa anak kecil berlarian memasuki ruang tamu, diikuti oleh putriku yang rambutnya tampak lempek terkena keringat. Anakku menghampiri Qila yang sedang duduk di pangkuan ibunya.
"Aka..! Aka..! Ayo play agi ama Dis" (Kakak. Kakak. Ayo play lagi sama Gendis)
"Bu...! Tuh dede Gendis ajak aku main lagi! Aku cape!!" Rengeknya sambil bersembunyi dibalik tubuh ibunya.
"Ndis.. sini sayang. Mba Qila lagi cape, mau istirahat dulu" nasehatku lembut.
"NO!!" Ia menggelengkan kepalanya.
"Dis aci au play. Dis no ape!!" (Gendis masih mau play. Gendis no cape)
Mata putriku berkeliling ruangan. Ia berusaha mencari teman bermain. Kulihat beberapa anak mulai bersembunyi di balik tubuh orangtua masing-masing. Mereka tampak begitu takut kalau diajak bermain oleh putriku yang tidak pernah mengenal kata lelah. Aku yang melihat pemandangan ini hanya bisa tertawa geli di dalam hati.
"Om..! Om..! Ain yuk!" (Om. Om. Main yuk) Gendis menghampiri mas Agus yang sedang duduk tak jauh dari suamiku.
"Gendis mau main apa lagi? Memangnya Gendis tidak cape?"
"Dis ga ape kok" (Gendis nggak cape kok)
"Sini mending Gendis duduk sama om, kita makan puding buah. Mau nggak?"
"Auuuu... Dia cuka uah" (Mau. Gendis suka buah)
Gendis menghampiri om nya dan mulai duduk di pangkuan mas Agus. Dengan telaten, mas Agus mulai menyuapi anakku puding buah.
Dengan sabar mas Agus meladeni putriku. Ia tampak begitu telaten mengurus Gendis.
Hingga akhirnya..
"Om.. Om anti angan aya ayah Dis ya!" (Om. Om. Nanti jangan kaya ayah Gendis ya) Ujar putriku sambil menyenderkan kepala di dada omnya.
"Memangnya kenapa sama ayah Gendis?"
"Ayah unya ewek ain! Ayah akal! No ood!" (Ayah punya cewek lain. Ayah nakal. No Good) Celotehnya keras dengan wajah tanpa dosa.
"Alusna alo una istli, No unya ewe ain" (Harusnya kalau punya istri. No punya cewek lain)
"Da oyeh om..! Oca!!" (Ngga boleh om. Dosa)
"Dis ga cuka. Tu amana aat!" (Gendis nggak suka. Itu namanya jahat)
Aku yang sedang meminum es buah hampir saja tersedak saat mendengar penuturan putriku "Nah loh" batinku.
Situasi yang semula ramai, mendadak senyap. Suara riuh orang-orang yang sedang bersenda gurau menjadi hilang seketika. Semua mata langsung tertuju ke arah suamiku yang memasang wajah datar. Ia tampak begitu cuek tanpa expresi apapun. Suamiku tidak peduli dengan tatapan ganjil keluarganya yang memandang sinis ke arahnya.
Seketika suasana mendadak menjadi hening dan canggung.
"Ded apa betul yang tadi anakmu ucapkan?" Bude Nur membuka suaranya yang menggelegar bagaikan suara gemuruh.
Suamiku termangu sejenak dan menatapku. Ia tampak ragu untuk menjawab. Kemudian ia menoleh ke arah Bude Nur dan mulai berkata jujur "Betul Bude" jawabnya sambil menundukkan kepala sedikit
Di depan mataku, kulihat beberapa keluarga mulai kasak kusuk membicarakan perangai suamiku.
"Gimana sih kamu Ded! Harusnya kamu itu bersyukur! Punya istri yang cantik dan anak yang lucu! Ini kok malah bikin ulah! Memangnya keluargamu itu kurang apa lagi hah?" Bentak Bude emosi.
"Iya.. Dedi mengaku bersalah Bude!" Jawab mas yang tidak berani menatap ke mata orang yang paling ia segani dan hormati.
Aku memandang iba ke suamiku. Walau ia pernah melakukan kesalahan, namun ia tidak berhak dihakimi dan dipermalukan di depan banyak orang. Lagi pula suamiku juga sudah berubah menjadi pribadi yang lebih baik lagi. Aku yang merasa iba, mau tidak mau harus membela suamiku di hadapan keluarga besarnya.
"Maaf Bude, masalah ini sebenarnya sudah clear. Insya Allah, mas sudah berubah menjadi lebih baik lagi. Jadi Ima minta sebaiknya ucapan Gendis tidak usah diperpanjang. Bukan begitu mas?"
Suamiku tersenyum tulus, tanda ucapan terima kasih karena aku telah membelanya.
"Awas saja kamu Ded kalau berani bikin Bude malu lagi!" Tunding Bude ke arah mas Dedi.
"Sudah..! Sudah..! Ayo istighfar! Malu ah masa lagi acara kumpul keluarga begini malah ribut-ribut!" Seru mba Indri berusaha meredam amarah Bude. Sambil terus mengelus-ngelus punggung Bude, mba Indri meminta agar Bude sebisa mungkin mengontrol emosnya.
Bude mendengus keras dan beranjak pergi menuju ke lantai dua. Mungkin beliau lagi ingin menyendiri. Karena suasana mulai canggung, aku menghampiri suamiku dan mengajaknya pulang. Mas menyetujui usulku. Kami pun segera berpamitan dengan sang empunya rumah beserta keluarga besar mas.
Ketika aku berpamitan dengan mba Desi, beliau membisikkan sesuatu di telingaku "Kalau Gendis lagi tidur atau istirahat, tolong sering-sering dipijat tangan kanannya ya mba"
Aku menatap heran ke arah wanita cantik di hadapanku.
"Memangnya kenapa ya mba?" Tanyaku keheranan.
"Itu energi Gendis besar di tangan kanannya. Jadi ia sering merasa pegal. Coba saja mba Ima perhatikan. Gendis sering banget mengepal-ngepalkan tangan kanannya"
Spontan aku segera melihat ke arah putriku. Ternyata betul apa yang mba Desi ucapkan. Ku lihat beberapa kali Gendis tampak mengepalkan jemari di tangan kanannya.
Bibirku membentuk bukan sabit. Aku tersenyum tipis.
"Terima kasih ya mba Desi untuk sarannya"
Mba Desi membalas senyumanku dan ia mengusap lembut pucuk kepala anakku.
"Sehat terus ya Ndis" bisiknya pelan.
Mba Indri dan mas Agus mengantar kami sampai halaman rumah. Suamiku meminta maaf atas insiden yang terjadi karena ucapan Gendis. Alhamdulillah mereka bisa memahami dan mengerti.
"Bye om! Bye ante! Apan-apan Dis emali agi" (Bye om. Bye tante. Kapan-kapan Gendis kemari lagi) Pamit Gendis sambil melambaikan tangannya ke arah tante Indri dan suaminya yang tampak berat hati melepas kepulangan putriku.
***
Malam harinya, setelah keluargaku selesai makan malam.
"Ma, Dis au uku abal" (Ma, Gendis mau buku gambar)
"Gendis mau belajar?"
"Iya, Dis au elajal" (Iya. Gendis mau belajar)
"Tunggu sebentar ya sayang. Mama ambilkan dulu bukunya"
Aku segera menuju ke lemari yang berisi tumpukan buku-buku Gendis. Aku mengambil buku gambar berukuran besar beserta alat untuk mewarnai.
"Ini Ndis buku yang Gendis minta" aku menata buku gambar dan pensil warna di atas meja belajar berwarna merah milik putriku.
"Aci ma" (Terima kasih ma)
Dengan bersemangat putriku langsung memilih pensil warna dan mulai mencoret-coret di halaman kertas yang masih berwarna putih bersih. Matanya tampak begitu fokus, membuatku enggan untuk bertanya apa yang sedang ia gambar.
Aku terduduk di lantai yang dingin dan menghembuskan nafas, mengalihkan pandangan ke arah suamiku yang berada di ruang tv. Mas Dedi tampak begitu sibuk dengan ponselnya. Wajahnya terlihat begitu tegang dan serius.
"Mas, kamu kenapa? Mukamu kenapa tampak cemas begitu sih?" Teriakku dari ruang tengah.
Namun sepertinya mas Dedi tidak mendengar pertanyaanku. Ia terus fokus memainkan jemarinya di atas layar ponsel.
"Ma..! Ma..! Cini deh.!" (Ma.Ma.Sini deh)
Aku beringsut ke arah putriku yang masih sibuk mewarnai.
Gendis menatapku, bibirnya terus menyunggingkan senyuman. Aku heran melihat tingkahnya yang malam ini tampak aneh.
"Gendis kenapa senyum-senyum terus?"
Putriku menaruh pensil warnanya di atas meja, kemudian ia mengambil buku gambar dan menyerahkan kepadaku.
"Ni ma. Iat deh" (Ni ma. Lihat deh)
Aku memandang buku itu untuk beberapa saat. Kulihat halaman yang tadinya kosong kini sudah terisi coretan. Untuk beberapa saat aku mengamati gambar yang sudah dibuat oleh putriku. Sepertinya putriku menggambar seseorang dengan warna-warna tertentu di beberapa bagian anggota tubuhnya.
"Ini gambar apa Ndis?"
"AYAH..!"
"Ayah??"
"He-eh ma. Ni ayah! Ayah otakna agi ucing. Umet mikil keljaan. Akana mama angan agu ayah ulu. Kacian ayah" (He-eh ma. Ini ayah. Ayah otaknya lagi pusing. Mumet mikirin kerjaan. Makanya mama jangan ganggu ayah dulu. Kasihan ayah)
Ku cermati sekali lagi gambar yang sudah dibuat oleh putriku. Disitu terlihat jelas kalau Gendis mewarnai ayahnya dengan warna coklat tanah. Dan di bagian kepalanyaa diberi warna coklat pekat. Aku yang penasaran segera meminjam buku gambar Gendis dan membawanya ke suamiku.
"Mas..! Mas..! Coba deh lihat gambarnya Gendis. Dia habis menggambar kamu!" Aku menyerahkan buku gambar itu ke tangan suamiku.
Mas menerimanya dan mengamati dengan seksama. Keningnya mengerut, menyisakan garis-garis halus.
"Kenapa Gendis menggambar ayah dengan warna coklat?" Tanyanya sambil terus menatap ke arah karya putrinya.
"Entah mas tapi tadi Gendis bilang kalau pikiran kamu lagi mumet. Kepikiran kerjaan!"
"Eh.. kok Gendis bisa tahu? Mas saat ini memang lagi mikirin kerjaan!!"
"Serius mas??"
"Iya..! Mas dari tadi wa an dengan staff mas, membahas project selanjutnya. Kira-kira warna yang Gendis gambar ini mengandung arti tidak ya Ma?"
Aku mengerenyitkan kening tanda sedang berpikir keras.
Hening lama.
"Jangan-jangan...!" Gumamku.
"Jangan-jangan apa Ma? Kalau bicara jangan setengah-setengah!"
"Ima hanya berspekulasi. Mungkin Gendis sedang menggambar aura yang terpancar dari tubuh mas??"
Mata suamiku mengecil, penuh tanya.
"Masa sih anak sekecil ini bisa melihat aura manusia?
"Lah.. bisa jadi mas. Mungkin Gendis saat ini melihat warna yang terpancar dari tubuh mas dan mengimplementasikannya dalam bentuk gambar? Sini deh mas, mana handphone mu, Ima pinjam sebentar!!"
"Untuk apa Ma?" Dengan ragu ia menyerahkan ponselnya kepadaku.
Aku tak menjawab pertanyaan suamiku. Dengan cepat aku mulai browsing mengenai warna aura. Aku mencari tahu arti warna coklat tanah. Akhirnya aku menemukan artinya. Manusia yang memiliki aura coklat tanah memiliki karakter pekerja keras dan warna coklat gelap berarti sedang banyak pikiran.
Aku menjelaskan arti warna itu kepada suamiku. Mas tampak cukup terkejut karena apa yang di gambar putriku sangat sesuai dengan kondisinya saat ini.
"Apa ini cuma kebetulan saja ya Ma?"
"Bisa jadi mas. Atau bagaimana kalau kita tes Gendis sekali lagi? Kita suruh dia menggambar Ima? Biar kita tahu hasilnya. Bagaimana mas?" Usulku.
Suamiku tampak berpikir, sedetik kemudian ia mengangguk setuju. Aku dan mas segera menghampiri Gendis yang asik mencoret coret meja belajarnya.
"Ndis..." sapaku pelan.
Ia mendongak, menatap ke arahku.
"Apa ma?"
"Mama bisa minta tolong nggak sama Gendis?
"Olong apa ma?" (Tolong apa ma)
"Mama minta Gendis untuk menggambar mama. Gendis mau tidak sayang?" Pintaku sambil meletakkan buku gambar di atas meja anakku.
Tanpa menunggu lama, putriku menganggukkan kepalanya.
"Au ma. Ental ya" (Mau ma..Sebentar ya)
Putriku mulai membuat coretan di atas kertas. Matanya tampak begitu fokus. Tak berapa lama kemudian "Ini ma" ia menyerahkan bukunya ke tanganku.
Aku dan mas serentak mengamati gambar yang baru saja dibuat oleh Gendis. Di selembar kertas itu, putriku menggambar sesosok wanita dengan warna hitam di bagian kepala dan dada. Mas menatapku berusaha meminta penjelasan akan arti gambar tersebut.
"Ndis ini gambar mama kah?"
"He-eh" angguknya pelan.
"Arti warna hitam ini apa Ndis?"
Putriku terdiam sejenak sambil menatap mataku dalam-dalam. Sejurus kemudian bibirnya yang merah, tersenyum.
"Mama agi ucing! Ada mama uga agi atit tan?" (Mama lagi pusing. Dada mama juga lagi sakitkan? Tatapnya dengan mata berbinar.
Aku tersentak kaget. Tepat sekali apa yang diucapkan oleh Gendis. Seharian ini, aku menahan rasa sakit di kepala sebelah kiri dan rasa nyeri di dada bagian kanan.
Suamiku menyenggol lenganku "bener nggak Ma apa yang diucapkan sama Gendis?" bisiknya pelan.
Aku mengangguk, membenarkan ucapan Gendis.
"Coba googling arti warna hitam" pinta suamiku yang begitu penasaran.
Jemariku mengusap layar yang masih hitam, Aku segera browsing mencari tahu arti aura pada tubuh manusia. Di layar ponsel tertera jika aura berwana hitam mengindikasikan suatu penyakit yang kita derita.
Aku memperlihatkan sekilas hasil jawabannya kepada suamiku. Dan ia tampak terperanjat.
"Berarti benar ya Ma kalau Gendis bisa melihat aura?"
"Sepertinya begitu mas. Cuma Gendis belum paham jika warna yang ia lihat adalah aura manusia" jawabku sambil menyunggingkan senyuman.
"Ma..! Ma..!" Panggil Gendis.
"Apa nak?"
"Mama alus ctop opi! Opi ga agus utuk mama. Opi ikin mama cakit! Ulut ma!!" (Mama harus stop kopi. Kopi nggak bagus untuk mama. Kopi bikin mama sakit. Nurut ma)
Mas Dedi menyenggol tanganku "Dengerin tuh nasehat anaknya! Jangan kebanyakan ngopi! Jadi sakitkan!" Ujarnya sambil terkekeh.
Wajahku merengut mendengar ucapan suamiku. Walau harus ku akui ada benarnya juga ucapan Gendis dan mas Dedi. Sepertinya aku terlalu banyak minum kopi dan itu tidak bagus untuk tubuhku.
"Ma.. Dis au elajal pabet" (Ma.. Gendis mau belajar alphabet) Pinta Gendis manja.
"Oh iya.. mama lupa! Mama kan sudah janji mau ngajarin Gendis belajar huruf ya? Sebentar mama ambil dulu apuzzlenya"
Aku melangkahkan kaki menuju ke kamar dan mengambil puzzle yang aku pesan secara online. Setelah itu aku bergegas melangkah ke ruang tengah. Aku menaruh susunan puzzle huruf besar di atas meja.
"Ndis ini huruf apa?" Tunjukku ke huruf C.
"C fol cal" (C for car)
Aku lantas menunjuk ke arah susunan huruf lainnya. Semua bisa dijawab dengan benar oleh putriku. Kecuali huruf Y dan X, Gendis tampak bingung dengan kedua huruf tersebut.
Suamiku yang melihat kemampuan putrinya langsung bertepuk tangan dan menciumi ke dua pipi Gendis.
"Ya Allah, anak ayah pintar banget!!" Serunya sambil memandang takjub.
"Alhamdulillah yah" jawabku tak kalah bahagia.
"Siapa yang ngajarin Gendis huruf abjad?" Tanya mas dengan tatapan tak percaya.
Aku menggindikkan bahu.
"Entah mas. Ima juga tidak tahu"
Suamiku menatap ke arah Gendis, ia memegang bahunya lembut.
"Ndis, siapa yang ngajarin Gendis huruf abjad?"
"No..!..No..!" Tukasnya cepat.
"Sudah mas biarkan saja kalau Gendis tidak mau bicara. Jangan dipaksa!"
Suamiku menghembuskan nafas pelan. "Ya sudah, lanjutkan lagi belajarnya"
Kemudian aku mengambil puzzle abjad kecil dan mulai mengajari Gendis. Tepat seperti dugaanku, aku tak butuh waktu lama untuk mengajari anakku tercinta. Daya tangkapnya luar biasa cerdas. Dengan cepat ia bisa menghapal semua huruf abjad kecil. Aku sampai ternganga keheranan dibuatnya. Aku dan suamiku memandang kagum sekaligus bangga ke arah putri semata wayang kami tercinta.
Anda akan meninggalkan Stories from the Heart. Apakah anda yakin?
Lapor Hansip
Semua laporan yang masuk akan kami proses dalam 1-7 hari kerja. Kami mencatat IP pelapor untuk alasan keamanan. Barang siapa memberikan laporan palsu akan dikenakan sanksi banned.