Came in from a rainy Thursday
On the avenue Thought I heard you talking softly
I turned on the lights, the TV
And the radio Still I can't escape the ghost of you
What has happened to it all?
Crazy, some'd say
Where is the life that I recognize?
Gone away
But I won't cry for yesterday
There's an ordinary world
Somehow I have to find
And as I try to make my way
To the ordinary world
I will learn to survive
Passion or coincidence
Once prompted you to say
"Pride will tear us both apart"
Well now pride's gone out the window
Cross the rooftops
Run away
Left me in the vacuum of my heart
What is happening to me?
Crazy, some'd say
Where is my friend when I need you most?
Gone away
But I won't cry for yesterday
There's an ordinary world
Somehow I have to find
And as I try to make my way
To the ordinary world
I will learn to survive
Papers in the roadside
Tell of suffering and greed
Here today, forgot tomorrow
Ooh, here besides the news
Of holy war and holy need
Ours is just a little sorrowed talk
And I don't cry for yesterday
There's an ordinary world
Somehow I have to find
And as I try to make my way
To the ordinary world
I will learn to survive
Every one Is my world, I will learn to survive
Any one Is my world, I will learn to survive
Any one Is my world
Every one Is my world
Gua meninggalkan apartemen Resti dan berangkat ke kantor saat jam menunjukkan pukul 8 tepat. Biasanya, gua bangun pagi-pagi buta dan mulai berangkat kerja saat matahari bahkan belum sepenuhnya bersinar. Sengaja berangkat pagi-pagi sekali, untuk menghindari macet yang pada prakteknya; sama sekali nggak bisa dihindari.
“Tumben, baju lo klimis banget cad?” Tanya Wawan begitu gua memasuki ruangan.
Gua menunduk, menatap kemeja dan celana kerja yang gua kenakan; Wangi dan rapi setelah semalam Resti mencuci dan baru saja tadi sebelum berangkat, ia menyetrikanya.
“Iya” Jawab gua singkat sambil tersenyum. Kemudian duduk bersandar di kursi kerja sambil menatap layar laptop yang baru saja gua nyalakan.
Sebuah ketukan di pintu ruangan terdengar, disusul derit pintu yang terbuka. Sosok Feli muncul, kepalanya menyembul dari balik pintu, sementara sebagian tubuhnya berada di luar ruangan.
“Yaudah, aku balik ke ruangan yah…” Ujarnya, kemudian pergi.
—
Gua menatap layar ponsel; gelisah.
Jam digital pada layar menunjukkan hampir pukul 12 siang. Dan sampai saat ini belum ada kabar dari Resti. ‘Ah, mungkin ia sibuk meeting. Sehingga nggak sempat mengirim makan siang buat gua’ Batin gua dalam hati.
Akhirnya gua putuskan untuk mengirimkan pesan instan. “Dimana Res?”
Gua meletakkan ponsel di atas meja sambil kembali menatap layarnya. Berharap balasan dari Resti. Namun, setelah menunggu cukup lama tak ada pesan balasan maupun panggilan darinya. Gua berpaling, memandang kotak makan siang bermotif pinguin dari Feli dan perlahan membuka tutupnya; Nasi dan mie goreng instan lengkap dengan telur dan sosis.
Wawan sedang tak ada di ruangan, sejak tadi ia sibuk meeting untuk membahas instalasi jaringan untuk kantor baru di lantai atas.
Terdengar ketukan pintu disusul sosok Feli yang muncul sambil membawa sebuah kotak makan siang bermotif sama.
“Belom makan kak?” Tanyanya.
“Belum…” Jawab gua singkat.
“Mau makan bareng?”
Gua tersenyum, kemudian mengambil kursi kerja milik Wawan, menariknya ke arah Feli yang tengah berdiri tepat di sebelah kursi kerja gua.
“Makasih…” Ucapnya, kemudian duduk. Sementara kotak bekal makan siang miliknya ia letakkan di pangkuan. Gua menutup laptop dan menggesernya hingga ke ujung meja dan merapikan tumpukan kertas yang berserakan di atas meja, membuat ruang agar kami bisa makan disana.
“Nggak bawa minum?” Tanya gua.
“Oiya, bentar aku ambil minum dulu..”
“Udah gua aja, sekalian ngambil sendok…” Ucap gua sambil meraih gelas kosong di meja dan bergegas menuju ke pantry.
Siang itu, tubuh gua makan bersama Feli. Sementara, hati dan pikiran gua menerawang, terbang melayang mencari-cari ribuan alasan kenapa Resti masih belum memberi kabar.
—
Menjelang Sore. Gua buru-buru turun ke bawah dan berjalan cepat menuju ke belakang gedung. Berharap, melihat Resti duduk di salah satu kursi plastik, di sebelah abang tukang ketoprak, seperti biasanya. Namun, yang gua temui hanya sekumpulan pelanggan berpakaian kantoran yang tengah menikmati ketoprak porsinya masing-masing.
Gua mengambil ponsel dari saku celana, dan mulai menghubungi Resti; Tak ada jawaban. Beberapa kali gua mencoba kembali menghubunginya; hasilnya tetap sama; Tak ada jawaban.
‘Kemana sih lo?’ Tanya gua dalam hati. Kemudian mencoba mengirimkan SMS kepadanya.
Sepulang kerja, gua memutuskan untuk mampir sebentar ke apartemen Resti. Namun, tentu saja gua nggak berhasil. Boro-boro bisa mengetuk pintunya, untuk bisa sampai ke dalam lobby lift saja butuh kartu akses yang nggak gua miliki. Tak menyerah, gua menuju ke meja resepsionis dan memintanya untuk menghubungi Resti melalui intercom; “Nggak ada yang jawab, nggak ada orang kayaknya mas…” Ucap perempuan yang berdiri di balik meja resepsionis.
“Coba sekali lagi mbak…” Pinta gua.
Perempuan resepsionis di depan gua tersenyum sambil mengangguk. Kemudian kembali mencoba menghubungi Resti melalui intercom. Lagi-lagi, gua mendapatkan jawaban yang sama.
Gua mengeluarkan ponsel, dan (lagi) mencoba menghubunginya; Kali ini tak terdengar nada sambung sama sekali. Panggilan gua langsung di alihkan ke operator selular yang bicara kaku; ‘Nomor yang anda hubungi sedang tidak aktif atau berada diluar jangkauan’
“Mobil?” Gua bicara sendiri, kemudian bergegas keluar dari lobby apartemen dan menuju ke basement parkiran mobil.
Tiga lantai basement gua kelilingi dengan berjalan kaki, sambil menatap ke arah satu persatu mobil yang terparkir di sana. Setelah hampir satu jam berkeliling basement parkiran, alih-alih menemukan mobil Resti, gua malah tanpa sengaja melihat sesuatu yang jauh diluar dugaan.
Langkah gua terhenti tepat di depan sebuah mobil sedan hitam yang sangat gua kenali. Gua berlutut di depan mobil, meraba bagian plat nomor dengan tangan; Mobil Bokap.
Gua berdiri, berbalik dan bergegas pergi. Daripada balik ke kosan, malam itu gua memutuskan untuk kembali ke kantor. Berencana untuk melakukan riset tentang Tile, aktor utama yang berperan penting dalam penjualan mobil bokap dulu.
Apesnya, saat hendak keluar dari Basement parkiran, beberapa petugas keamanan memanggil dan mulai menginterogasi gua. Kata mereka; gerak-gerik mereka terlalu mencurigakan. Dan gua pun nggak mampu menjelaskan alasan kenapa gua berada disana.
Wawan datang dengan mengetuk pintu kantor keamanan apartemen. Ia lalu terlihat berbicara santai dengan salah satu chief petugas keamanan yang bertanggung jawab. Sementara gua, hanya duduk di kursi lipat sambil menatap mereka berdua.
“Ayo…” Ajak Wawan, begitu mereka selesai berbicara.
Gua berdiri dan mengikuti Wawan melangkah keluar dari ruang kantor keamanan apartemen yang terletak di halaman belakang gedung.
“Ngapain lo?” Tanya Wawan.
“Nggak ngapa-ngapain…” Jawab gua santai.
“Muter-muter basement kayak orang mau maling mobil, lo bilang nggak ngapa-ngapain” Ucap Wawan.
“Lo bisa bantuin gua nyari orang nggak?” Tanya gua mengalihkan topik pembicaraan.
“Siapa?”
“Temen gua…”
“Ya kalo nyari orang, telpon polisi atau nyewa detektif… ngapain nyari orang pake keliling parkiran?”
“Bukan, ini beda lagi…”
“Oh, lo jadi detektif sekarang?”
“Bukan…” Ucap gua kemudian menghentikan langkah.
Wawan ikut menghentikan langkahnya dan berbalik menatap gua; “Ada apaan sih sebenernya?” Tanyanya, kali ini wajahnya mulai terlihat kesal.
Gua lalu mulai bercerita ke Wawan sambil berjalan menuju ke kantor. Agak sulit buat gua untuk bercerita ke ‘orang lain’ yang nggak begitu dekat. Ya, walaupun gua dan Wawan sudah kenal cukup lama, namun level pertemanan kita hanya berada di lingkup ‘rekan kerja’, tak lebih dan tak kurang. Kami bahkan, praktis hanya bertemu saat berada di lingkungan kerja. Gua nggak pernah berusaha menggali kehidupan pribadinya, begitupun Wawan yang nggak pernah mau tau tentang kehidupan pribadi gua.
Dan, mungkin ini kali pertama gua bercerita tentang masa lalu kepadanya.
“Ngomong lo blepotan dah…” Keluh Wawan sambil kemudian menyeruput kopi dari gelas plastik.
“Sorry… Gua emang gini kalo cerita panjang…” Jawab gua, beralasan.
Namun, setelah hampir dua jam, melalui banyak miskomunikasi, dan revisi-revisi kalimat dari Wawan, akhirnya cerita gua selesai. Ia menarik bagian lengan jaketnya, melirik ke arah jam tangan; “Besok kita bahas lagi, udah malem… gua balik dulu…”
“Ok..” Jawab gua singkat, sambil memainkan batang rokok di jari tangan.
—
Gua masih tertidur di lantai ruangan kerja dengan alas tumpukan kardus bekas laptop saat kehadiran Wawan membangunkan gua.
Ia duduk di mejanya, mengeluarkan laptop dari dalam tas dan mulai menyalakannya. “Gua udah nemu nih temen lo…” Ucapnya.
Gua bangun, kemudian bergegas menghampirinya. Wawan buru-buru berdiri dan mencoba menghentikan gua; “Ya kan lo bisa mandi, gosok gigi, atau cuci muka dulu..” Ucapnya.
“Oh, Ok…” Jawab gua sambil menunduk, melihat tubuh gua yang telanjang dada, hanya berselimut sarung.
Setelah cuci muka dan gosok gigi, gua bergegas kembali ke ruangan. Kali ini sudah tampil dengan setelan kerja; Kemeja dan celana panjang yang sudah tiga hari gua kenakan. Jangan takut, nggak bakal bau dan lecek karena tempo hari baru saja dicuci dan disetrika oleh Resti.
“Nggak mandi lo ya?” Tanya Wawan begitu gua masuk ke ruangan.
“Cuci muka…” Jawab gua santai.
“Rambut lo tuh…” Ucap Wawan sambil menunjuk ke arah rambut gua yang acak-acakan dan berminyak. Maklum, dengan perban di kepala gua agak kesulitan untuk nyisir apalagi keramas. Dengan jari tangan gua mulai merapikan rambut dan menghampiri Wawan yang sudah duduk di depan laptopnya.
Ia menggeser Laptop dan menunjukkan hasil pencariannya. Terlihat, wajah Tile di laman media sosialnya. “Ini kan orangnya?” Tanya Wawan.
“Iya…” Jawab gua.
Wawan lalu menggeser tab pada browsernya, menampilkan sebuah layar hitam dengan deretan kode-kode campuran angka dan huruf. Jarinya lalu bergerak lincah diatas keyboard, nggak sampai hitungan menit, layar pada laptopnya berubah; menampilkan lokasi paling sering digunakan Tile untuk mengakses laman sosial media miliknya, lengkap dengan jam posting, gadget bahkan hingga provider yang ia gunakan.
Salah satu lokasi cukup menarik perhatian; Tempat latihan Taekwondo gua dulu.
Wawan melakukan screenshot pada layar yang ia tampilkan lalu mengirimkan hasil screenshot ke alamat email gua.
“Kalo Resti gua nggak nemu apa-apa…” Ucap Wawan.
“Maksudnya?” Tanya gua.
“Entah si Resti ini nggak punya akun apa-apa di internet atau dia emang nggak pernah pake nama aslinya…” Jelas Wawan.
“Masa dia nggak punya sosmed?” Tanya gua lagi.
“Lah, emang lo punya?” Wawan balik bertanya. Dan tentu saja gua jawab dengan gelengan kepala.
—
Sementara masih belum ada kabar dari Resti, beberapa pesan yang gua kirim sampai saat ini nggak ada balasan. Sementara, ponselnya nggak bisa dihubungi sama sekali. Gua sempat berpikir untuk mencari Resti ke rumah Papinya, namun gua urungkan. Karena, hal ini cuma bakal membangkitkan kenangan lama, kenangan akan Larissa.
Tapi, bagaimana mungkin memisahkan keduanya. Resti dan Larissa kan ‘satu paket’ dengan kepribadian yang berbeda.
Selepas jam kerja berakhir, gua buru-buru ke bawah, bergegas untuk menuju ke tempat latihan Taekwondo untuk menemui Tile. Mungkin nanti gua sempatkan untuk mampir ke rumah Resti yang memang jaraknya nggak begitu jauh.
“Tumben buru-buru banget Kak?” Tanya Feli saat kami tak sengaja bertemu di lobby lift.
“Iya ada urusan..” Jawab gua singkat.
Feli berjinjit, menatap ke arah perban di kepala gua; “Itu perbannya belom di ganti kak?” Tanyanya. Yang lalu gua jawab dengan gelengan kepala sambil tersenyum kepadanya. Untuk saat ini, sepertinya perkara perban nggak masuk dalam skala prioritas gua.
‘Ting’ Pintu lift terbuka. Gua bergegas menyeruak masuk ke dalam himpitan orang-orang yang memenuhi lift. “Bye kak…” Ucap Feli sambil melambaikan tangannya.
—
Tak banyak yang berubah dari tempat ini; selain beberapa aksesoris dan perabotan baru yang kini membuatnya terlihat lebih ‘modern’. Gua berdiri tepat di sisi dojang sambil menatap ke sekumpulan remaja usia belasan tengah berlatih tendangan. Sementara, Tile terlihat berdiri tepat di depan para remaja tersebut. Sama seperti dojang ini, Tile juga nggak banyak berubah, hanya terlihat sedikit lebih tua dan lebih gemuk.
Saat tengah memperagakan teknik Dwi Huryeo Chagi; tendangan dengan berputar ke belakang, ia melihat kehadiran gua. Tile memberikan instruksi kepada para muridnya untuk melakukan latihan sendiri, kemudian berlari pelan menghampiri gua.
“Wuih… Apa kabar?” Tanyanya sambil mengulurkan tangan.
Tile mundur beberapa langkah dan mulai menatap gua dari kaki sampai kepala. Tatapannya terhenti begitu melihat perban di kepala gua; “Masih sering berantem?” Tanyanya sambil menunjuk kepala gua.
“Nggak, ini kejedot…” Jawab gua.
“Oh..”
“Dulu, lo jual mobil bokap gua ke siapa?” Tanya gua tanpa basa-basi. Mendengar pertanyaan dari gua yang mendadak, ekspresi Tile langsung berubah. Kali ini ia menatap gua dengan serius.
“Lo kesini mau nanya itu doang?” Ia balik bertanya.
“Iya…” Jawab gua singkat.
“Sparing sama gua, abis itu gua kasih tau…” Ucap Tile.
“Gua udah tau siapa orangnya. Gua cuma pengen tau alasannya…” Jawab gua.
“Well, oke… Sparing sama gua abis itu gua ceritain semuanya…” Balas Tile.
Gua terdiam sesaat, kemudian menjatuhkan Tas, mulai melepas jaket dan sepatu. Sementara, Tile berlari kecil ke arah rak berisi peralatan dan kembali dengan pelindung tubuh dan kepala.
Beberapa saat kemudian gua dan Tile sudah saling berhadapan di arena yang sengaja dikosongkan. Beberapa murid dan pengajar lain berdiri di sudut ruangan, beberapa terlihat antusias, sisanya pergi meninggalkan ruangan karena merasa nggak bakal menyajikan sparing yang seru.
Tile bersiap dengan memasang kuda-kuda sambil memutar dan sesekali melompat kecil. Sementara gua, masih mencoba menemukan kembali irama dan mulai membiasakan diri. Tile mulai menyerang dengan jurus-jurus sederhana yang dengan mudah gua hindari, sekalipun refleks gua belum kembali seutuhnya.
Namun, serangan berikutnya; Tile nggak lagi menahan diri. Beberapa tendangannya berhasil mengenai kepala gua dengan telak. Puncaknya adalah saat ia berhasil melompat sambil mengeluarkan ap chagi yang mendarat sempurna di dada gua.
Gua mulai mendekatinya, menunggunya lengah. Kemudian dengan cepat meraih kerah seragamnya dari balik body protector yang ia kenakan dan berusaha mendorongnya sekuat tenaga. Hasilnya, Tile bergerak mundur secara sporadis dan kehilangan kuda-kudanya. Dengan cepat gua kembali mendekat sambil melancarkan Dwi Huryeo Chagi; teknik yang tadi sempat ia peragakan kepada para muridnya, dan mendarat tepat di pelipis kiri Tile.
Ia roboh. Gua dengan cepat menghampirinya. “Well, Wajar ya lo juara satu se-Jakarta” Ucapnya pelan sambil melepas pelindung kepala dan mengusap bagian pelipisnya yang kini sobek dan mulai mengeluarkan darah.
—
Beberapa saat kemudian, kami berdua sudah duduk di sudut halaman parkiran dojang.
“Look at you… Sekarang lo bahkan ngerokok” Ucap Tile sambil menekan-nekan pelan luka di pelipisnya dengan handuk basah.
Gua menghisap rokok dalam-dalam dan menghembuskan asapnya ke arah Tile. “Time flies..” Respon gua.
“Gua nggak pernah jual mobil ke Resti…”
“What? Tapi gua liat mobil bokap gua ada di parkiran apartemen Resti?” Tanya gua.
“Yang beli mobil lo Bokap Nyokapnya Sasa….” Jelasnya.
“What?!...” Rasanya seperti tersambar geledek begitu mendengar ucapan Tile.
“Gua sama Resti cuma sama-sama broker aja…” Tile menambahkan.
“Terus kenapa lo nggak pernah cerita ke gua?”
“Lo nggak pernah nanya…” Jawabnya.
Gua mencoba kembali mengingat-ingat kejadian dulu. Iya, saat itu gua nggak begitu peduli dengan siapapun yang membeli mobil bokap gua.
“Terus lo sekarang masih kontak-kontakan sama Resti?” Tanya gua lagi.
“Sama Resti?” Tile mengulang pertanyaan gua.
“Iya..”
“Terakhir gua kontakan sama Resti pas jual beli mobil itu aja, sih… Tapi,...”
“...”
“... Kalo sama nyokapnya pernah beberapa kali ...”
Gua terdiam mencoba menelaah semua perkataan Tile barusan.
“Emang kenapa sih?” Tanya Tile, kali ini sepertinya ia yang penasaran.
“Resti…”
“Iya, Resti kenapa?” Tanyanya lagi.
“Nggak bisa gua hubungin, tau-tau ilang gitu aja…”
“Wait… Jangan bilang sekarang lo sama Resti…” Ucapnya dengan ekspresi terkejut.
“...”
“... Lo berdua nggak pacaran kan?” Tanyanya, masih dengan ekspresi yang sama seperti sebelumnya.
Gua nggak menjawab, hanya terdiam.
“What the fuck… Ini namanya turun ranjang dong…” Ucap Tile setengah berteriak. Kali ini ekspresi kembali berubah; penuh senyuman.
Gua menggelengkan kepala, kemudian mulai bicara; “Resti belom nerima gua sepenuhnya sih, Le… Katanya gua masih ngeliat dia sebagai Larissa..”
“Jujur, sebenernya gua iri sama elo, Bi…” Ucap Tile.
“Iri? Lo mau jadi yatim piatu kayak gua?” Tanya gua.
“Ya biar yatim piatu kan, banyak orang sayang sama elo…”
Gua menoleh ke arah Tile dan memandangnya dengan tatapan penuh curiga. Dari kalimatnya barusan terdengar ada hal lain yang sepertinya ia sembunyikan.
“Apaan?” Tanyanya begitu melihat tatapan gua yang penuh kecurigaan.
“Ada lagi yang seharusnya gua tau?” Gua balik bertanya.
Tile menunduk terdiam, sambil memainkan bagian ujung handuk yang sebelumnya ia gunakan untuk menyeka luka di pelipisnya.
“Gua pernah disuruh Nyokapnya Sasa ngirim makanan ke kosan lo…” Ucap Tile pelan.
“Oh Wow…” Bodohnya gua baru menyadari hal ini. Padahal, Tile merupakan satu-satunya orang dari masa lalu yang tau lokasi kos gua, karena dialah yang membantu gua pindah saat itu.
“...”
“... Lo tau nggak kalo gua nggak punya kulkas?” Tanya gua ke Tile.
“Hah? mana gua tau…”
“Lo ngirim makanan segitu banyak, pikir aja gua harus simpen dimana?” Keluh gua, sambil mengingat betapa repotnya gua dan Edot kala itu sampai harus menitipkan makanan kepada teman kos yang punya kulkas.
—
Five for Fighting - Superman
I can't stand to fly
I'm not that naïve
I'm just out to find
The better part of me
I'm more than a bird,
I'm more than a plane
I'm more than some pretty face beside a train
It's not easy to be me
I wish that I could cry
Fall upon my knees
Find a way to lie
'Bout a home I'll never see
It may sound absurd but don't be naïve
Even heroes have the right to bleed
I may be disturbed but won’t you concede
Even heroes have the right to dream
And it's not easy to be me
Up, up and away, away from me
Well, it's alright
You can all sleep sound tonight
I'm not crazy or anything
I can't stand to fly
I'm not that naïve
Men weren't meant to ride
With clouds between their knees
I'm only a man in a silly red sheet
Digging for kryptonite on this one way street
Only a man in a funny red sheet
Looking for special things inside of me
Inside of me, inside of me [2x]
I’m only a man in a funny red sheet
I’m only a man looking for a dream
I’m only a man in a funny red sheet
And it's not easy.
It's not easy to be me.