- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
Petaka Tambang Emas Berdarah


TS
benbela
Petaka Tambang Emas Berdarah

Salam lekum agan sista semua.
Ane balik lagi dengan cerita baru masih dengan latar, mitos, budaya, urban legen maupun folklore Kalimantan.
Thread kali ini kayaknya lebih ancur dari cerita sebelumnya 🤣🤣🤣. Genrenya juga gak jelas. Entah horor, thriler, misteri, drama atau komedi 🤣
Semoga thread kali ini bisa menghibur gansis semua yang terdampak PKKM, terutama yang isoman moga cepat sehat.
Ane juga mohon maaf apabila dalam cerita ini ada pihak yang tersinggung. Cerita ini tidak bermaksud untuk mendeskreditkan suku, agama, kelompok atau instansi manapun. Karena semua tokoh dan pihak yang terlibat adalah murni karena plot cerita, bukan bermaksud menyinggung.
Quote:
beberapa gambar ane comot dari google sebagai ilustrasi, bukan dokumentasi pribadi.
Quote:
Update teratur tiap malam Senen dan malam Jumat pukul 19.00. wib
Quote:
Dilarang keras untuk memproduksi ulang cerita ini baik dalam bentuk tulisan, audio, visual, atau gabungan salah satu atau semua di antaranya tanpa perjanjian tertulis. Terima kasih
Quote:
Diubah oleh benbela 16-01-2022 19:25



bruno95 dan 141 lainnya memberi reputasi
138
91.2K
Kutip
2.7K
Balasan


Komentar yang asik ya
Tampilkan semua post


TS
benbela
#490
Quote:
Original Posted By benbela►
Mang Soleh memutar badan, menyoroti sudut-sudut goa dengan senter yang mulai redup. Ia tampak gelisah dan keringat sebesar jagung menetes di dahinya.
Seeshhh...seesshh...
Suara desisan menggema di setiap sudut goa. Kami bertiga terdiam, tidak berani mengeluarkan suara. Kami tahu persis monster sungai itu ada di sekitar kami tapi entah dimana.
Ular raksasa itu sepertinya sengaja mengintimidasi kami dari dalam gelap, membuat nyali ciut sebelum akhirnya menyeret kami satu-persatu.
Mang Soleh mundur perlahan ke arah mulut goa diikuti kapten yang cemas. Pistol yang ia genggam terus mengikuti bulatan cahaya senter yang menyorot celah demi celah dinding goa yang lembab.
Kapten Anang juga tidak tinggal diam. Tiga granat ia genggam, entah bisa ia gunakan atau tidak.
Tidak mau mati konyol,tertatih aku bergerak pelan, keluar dari celah tempatku meringkuk kedinginan.
Berpegang pada dinding goa yang licin, aku berhasil berpijak pada dua kaki. Belum sempat bergerak mang Soleh sudah menodongkan pistol ke arahku.
"Ikuti kata-kataku, Hamid. Atau kau yang lebih dahulu mati," gertak mang Soleh dengan nada mengancam.
Dengan terpaksa aku mengikuti perintahnya. Melangkah tertatih, aku bergerak di bawah ancaman pistol yang siap menyalak kapan saja. Aku berdiri tepat di depan mereka berdua, menatap kosong ke sudut gelap di ujung lorong yang tak terlihat.
Celaka ! Rupanya aku hendak dijadikan umpan. Di kegelapan, suara desis semakin menjadi-jadi. Kadang terdengar kencang, kadang lirih. Suara desisan terus menggema di lorong tanpa cahaya dan berpindah-pindah. Kadang suara itu terdengar di samping, kadang di belakang.
Gugup dan panik, mang Soleh dan kapten mundur perlahan menuju mulut goa serta memaksaku ikut melangkah tanpa menoleh sedikitpun.
Door...!
Pistol di tangan mang Soleh meletus ketika kelebatan hitam muncul dari dalam aliran air. Apa yang dilakukan mang Soleh ternyata membuat keadaan tambah buruk.
Air tiba-tiba bergemuruh, menimbulkan suara menggelegar seolah goa ini akan runtuh.
Bruuk...
Tendangan mang Soleh di punggung membuatku terjungkal kedepan. Tanpa aba-aba mereka berdua sontak berlari, meninggalkanku yang berkubang dalam air.
Meski gelap, jelas sekali gelombang air menerpa tubuhku. Kelebatan mahluk raksasa lewat persis di samping.
Cahaya senter bergerak cepat menuju mulut goa diiringi suara langkah terburu-buru.
Senter tiba-tiba terlempar dan membentur dinding goa lalu terjatuh di salah satu sudut lorong yang dingin. Terdengar suara benturan cukup keras di dinding goa, lalu pekik kematian yang mengerikan kembali menggema.
Entah siapa yang jadi korban, lututku terasa lemas dan badanku gemetar. Perlu beberapa saat bagiku menyadari bahwa aku belum mati.
Di salah satu sudut, senter terus berputar menyorot cipratan darah di dinding lalu perlahan tergeletak dengan cahaya redup.
Beberapa saat berlalu, goa kembali hening dan sunyi hanya terdengar tetes-tetes air yang jatuh dari stalaktit. Dengan sisa tenaga aku bangkir berdiri, berjalan terseok di aliran air hingga kakiku berhasil menapak di lumpur kering.
Beberapa kali aku terjerembab karena tidak melihat tempat berpijak, sedangkan cahaya senter menyorot ke arah lain sisi goa.
Perlu waktu cukup lama bagiku hingga akhirnya berhasil meraih senter itu. Sambil memegang perut yang luka, aku bergerak pelan menuju mulut goa yang hanya beberapa langkah di depan mata.
Baru beberapa langkah melewati mulut goa, terdengar suara cukup keras di belakang. Seperti suara benda jatuh menghantam tanah. Sontak aku kaget dan refleks menyorot ke arah suara tadi.
Tiba-tiba bulu kudukku berdiri dan perutku terasa mual. Tepat di depan tergeletak tubuh mang Soleh yang sudah tidak bernyawa.
Matanya melotot dan mulut terganga. Lendir kental bagai ingus menutupi tubuhnya yang berantakan.
Tidak mau celaka, aku berlari kencang tanpa arah.
Heekk....!!!
Seketika dadaku sesak dan tulang rusukku terasa remuk. Belitan kencang melilit pinggangku diiringi suara desis yang menjadi-jadi. Tubuhku diseret di udara dengan lilitan yang semakin kencang. Senter yang kugenggam terlempar ke semak belukar yang tidak begitu jauh.
Samar-samar diterpa cahaya bulan, kepala ular raksasa berwarna hitam mendekat ke arahku. Lidahnya yang bercabang terus menjulur keluar, mengecap udara untuk memastikan diriku yang sebentar lagi jadi mangsa.
Buuk...
Lemparan batu sebesar kepalan tangan menghantam kepala ular itu dengan keras. Tambun meradang dengan desisan yang tak berhenti.
Kepala Tambun berbalik arah, mengincar kapten Anang yang bersimbah darah. Hanya beberapa meter dari mulut goa, kapten berdiri terpincang dengan granat di tangan.
Seolah menantang, kapten terus memancing agar Tambun itu menyerangnya.
"Ke sini kau, naga sialan ! Lawan aku kalau berani !"
Kapten berteriak-teriak seraya terus melempar batu ke arah Tambun.
Seketika Tambun melepaskan belitan dan bergerak cepat mengincar kapten yang diam di tempat. Aku hempas di atas bebatuan, menahan perih di seluruh sendi.
Beberapa saat sebelum Tambun menyergap, kapten menatap tajam kearahku. Tatapan penyesalan dan permintaan maaf. Aku mengangguk pelan dengan mata berkaca-kaca.
Kulirik, tangan kapten bergetar sembari menggenggam erat granat di tangan.
Seesshh...seeesshhh...
Tambun melejit dalam gelap dengan mulut menganga lebar, mencengkram tubuh kapten dengan cepat.
Duuaarr...!!!
Terdengar suara ledakan tiga kali diiringi percikan seperti kembang api raksasa. Api menyala-nyala dalam gelap diikuti gemuruh mulut goa yang runtuh.
Terjangan angin kencang beserta debu dan kerikil membuatku terpental beberapa meter di udara lalu membentur tanah yang penuh belukar berduri.
Aku terkapar muntah darah, kepalaku terasa berat hingga tak sanggup lagi bertahan untuk tetap terjaga.
Tubuhku terasa kaku dan lecet-lecet di sekujur badan terasa perih. Aku mencoba bergerak tapi badanku terasa remuk. Terdengar suara yang cukup ramai hingga membuatku berada di antara sadar dan terlelap.
Hal pertama yang kulihat adalah balutan perban di bagian perut, lutut serta di beberapa bagian tubuh lainnya.
Sebuah jarum menusuk punggung tapak tanganku, dengan infus tergantung pada tiang besi tua yang telah karatan.
Aku belum sepenuhnya sadar berada di mana, seorang laki-laki dengan seragam perawat tiba-tiba membuka pintu. Melihatku telah sadarkan diri, perawat itu lantas keluar ruangan dengan berisik lalu kembali lagi dengan beberapa orang pria.
Seorang pria dengan pakaian loreng bergegas menghampiri dan menyuruhku tetap berbaring.
"Tenang saja, kau ada di puskesmas desa. Aku Danramil daerah sini. Sementara jangan banyak bicara, sebentar lagi kau akan di rujuk ke rumah sakit di Kabupaten," ucap pria itu dengan sorot mata tajam.
Seorang laki-laki berpakaian polisi, menyuruh polisi lainnya untuk mengambil fotoku yang masih terbaring lesu. Rupanya ia adalah Kapolsek dan menyuruh anak buahnya untuk segera mengirimkan laporan ke pimpinan mereka.
Aku masih bingung dan belum sepenuhnya mengerti apa yang terjadi,
ketika seorang ibu-ibu dengan pakaian dokter, yang kemudian kuketahui kepala puskesdes, memeriksa luka-luka di tubuhku. Katanya untuk evaluasi sebelum aku dibawa ke Kabupaten.
Tubuhku yang terbaring terguncang-guncang saat berada dalam speed boat menuju ibu kota Kabupaten. Aku melihat sekeling, ada beberapa orang pria berseragam loreng, berseragam polisi, berseragam oranye dan seorang lelaki paruh baya yang berpakaian biasa.
Saat aku mencoba bangun, beberapa orang mencoba membantuku. Bersandar pada bantal, kulihat langit sangat cerah dengan beberapa burung yang terbang rendah. Beberapa orang mengajakku bicara dan menanyakan apa yang telah terjadi.
Aku hanya terdiam dan menggelengkan kepala. Aku masih trauma dan sulit berkata-kata atas peristiwa nahas yang kualami.
"Untung kau selamat. Kau ditemukan pemburu di dekat liang naga. Sedangkan jasad dua orang lainnya sudah dikirim terlebih dahulu untuk segera dikubur."
Aku menoleh ke arah suara, rupanya lelaki yang berpakaian biasa.
"Aku kepala desa," lelaki itu menjulurkan tangan dan memperkenalkan namanya.
"Daerah tempatmu ditemukan, dari jaman dahulu memang diketahui tempat bersemayam Raja Tangkaluluk. Naga Tambun penguasa sungai."
Kepala desa lalu bercerita, sehari sebelum menemukan kami para pemburu juga menemukan jasad lelaki muda yang telah membusuk dan penuh lendir di dalam hutan.
Dari ciri-cirinya, jasad lelaki itu sepertinya Dayat. Aku hanya tertunduk menyeka air mata. Rasa sedih dan sesal membuat hatiku rasanya ngilu.
"Sepertinya ini milikmu."
Pak Kades mengeluarkan benda berwarna hitam dari kantong celana. Kupandang lekat-lekat gps itu, benda yang telah membuat celaka. Tanpa pikir panjang, gps itu kulempar ke sungai Barito karena hanya mengingatkan kenangan pahit.
Aku kembali berbaring untuk menenangkan pikiran yang kalut. Pertanyaan dari polisi dan tentara yang mencatat keterangan, kujawab seadanya.
Menjelang magrib, aku sudah berada di rumah sakit Kabupaten. Beberapa wartawan yang menunggu di depan ruang IGD, langsung berhamburan begitu melihat tubuhku di gotong dari Ambulance.
Namun, tidak ada seorang pun yang bisa mendekat karena langsung dihalangi oleh aparat.
Hampir tiga minggu aku dirawat di rumah sakit dengan penjagaan ketat dari kepolisian dan prajurit TNI. Aku tidak diijinkan bicara dengan wartawan, begitu juga keluargaku. Bahkan, kudengar rumahku juga setiap hari ada petugas yang berjaga agar tidak ada wartawan yang datang.
Di koran-koran lokal dan media online, wajahku yang sedang ditandu terpampang jelas di halaman depan. Tentu saja hanya menggunakan keterangan dari kepolisian, tanpa ada sedikit pun keterangan dariku, kades atau warga yang menyelamatkan.

Isi beritanya tidak ada satupun yang membahas Tambun. Isi beritanya hanya mengatakan telah terjadi kecelakaan yang menimpa para pekerja tambang emas ilegal. Judulnya pun tak kalah bombastis, yaitu "Petaka Tambang Emas Berdarah."
Beberapa hari setelah itu, tersiar berita penangkapan para pekerja asing ilegal oleh petugas gabungan. Para pekerja yang tersebar di beberapa perusahaan itu lalu dipulangkan ke negara asalnya di Tiongkok daratan.
Setahun berlalu, semua orang sudah lupa perihal kejadian di sungai Busang. Aku sudah berhenti total bekerja sebagai penambang emas.
Untuk kebutuhan sehari-hari, aku menjadi motoris kelotok milik haji Idris. Sesekali aku menjadi tukang untuk membangun gedung walet, atau menebang pohon di hutan untuk dijadikan papan.
Suatu malam, rumahku yang sempit kedatangan dua pria tamu asing. Mereka datang dengan sebuah mobil double gardan. Seorang lelaki bermata sipit dan tubuh sedang, turun dari mobil. Penerjemahnya bergegas menyusul dengan menjinjing tas koper di tangan.
Lelaki asing itu bernama Mr.Kho, seorang investor perusahaan batu bara dari negeri China. Sedangkan penerjemahnya adalah China peranakan yang berasal dari Pontianak.
Setelah memperkenalkan diri, mereka berdua kupesilakan masuk ke ruang tamu yang tidak begitu luas. Begitu duduk, penerjemahnya celingak celinguk menatap daun pintu yang terbuka sambil memeluk tas koper yang dari tadi selalu ia bawa.
Tanpa aba-aba, istri yang sedang menggendong putriku bergegas menutup pintu lalu ke dapur untuk membantu ibu menyiapkan minuman hangat. Sepertinya tamu asing ini membawa sesuatu yang penting, namun aku tidak terlalu peduli.
Usai berbincang dengan Mr.Kho, penerjemahnya langsung membuka tas koper di hadapanku. Seketika mataku terbelalak, melihat tumpukan uang ratusan ribu tersusun rapi memenuhi isi tas.
Entah berapa jumlahnya, tas koper di hadapanku terlihat sesak hingga tidak ada celah kosong.
"Uang ini akan jadi milikmu," ucap penerjemahnya tenang, "asal kau serahkan GPS milik tuan Atak."
"G-GPS !?" sahutku terbata.
"Iya, GPS. Kau tahu maksud kami. Cukup serahkan GPS itu, maka kau tak perlu lagi bekerja seumur hidup."
Seketika aku merasa lemas kehilangan tenaga. Tiba-tiba saja aku menangis sambil tertawa.
"GPS itu telah hilang di Barito." jawabku sambil menggelengkan kepala.
Penerjemah itu tersentak kaget, tidak percaya yang kukatakan barusan. Mereka lalu berdiskusi dengan bahasa yang tak ku mengerti, lalu pamit undur diri.
Dengan berat hati mereka kuantar hingga depan pintu. Langkah demi langkah mereka menuju mobil, semakin jauh pula anganku menjadi orang kaya mendadak. Aku hanya menggigit bibir dan mengernyitkan dahi menatap pungung dua orang asing itu.
"Loh, kok udah pergi ? Padahal tehnya baru saja selesai dibikin."
Suara istri yang sudah di samping membuatku kaget.
"Sudahlah...memang takdir kita jadi orang miskin, mau gimana lagi."
Kurangkul kepala istriku dan kubenamkan di dada lalu kukecup kening.
Breemm....breem...
Mobil double gardan yang ditumpangi Mr.Kho mulai meraung, seolah menertawakan nasib kami yang fakir harta.
Diiringi suara jangkrik, mobil itu menghilang di ujung jalan yang gelap.
Bab 24 : Petaka Tambang Emas Berdarah
Mang Soleh memutar badan, menyoroti sudut-sudut goa dengan senter yang mulai redup. Ia tampak gelisah dan keringat sebesar jagung menetes di dahinya.
Seeshhh...seesshh...
Suara desisan menggema di setiap sudut goa. Kami bertiga terdiam, tidak berani mengeluarkan suara. Kami tahu persis monster sungai itu ada di sekitar kami tapi entah dimana.
Ular raksasa itu sepertinya sengaja mengintimidasi kami dari dalam gelap, membuat nyali ciut sebelum akhirnya menyeret kami satu-persatu.
Mang Soleh mundur perlahan ke arah mulut goa diikuti kapten yang cemas. Pistol yang ia genggam terus mengikuti bulatan cahaya senter yang menyorot celah demi celah dinding goa yang lembab.
Kapten Anang juga tidak tinggal diam. Tiga granat ia genggam, entah bisa ia gunakan atau tidak.
Tidak mau mati konyol,tertatih aku bergerak pelan, keluar dari celah tempatku meringkuk kedinginan.
Berpegang pada dinding goa yang licin, aku berhasil berpijak pada dua kaki. Belum sempat bergerak mang Soleh sudah menodongkan pistol ke arahku.
"Ikuti kata-kataku, Hamid. Atau kau yang lebih dahulu mati," gertak mang Soleh dengan nada mengancam.
Dengan terpaksa aku mengikuti perintahnya. Melangkah tertatih, aku bergerak di bawah ancaman pistol yang siap menyalak kapan saja. Aku berdiri tepat di depan mereka berdua, menatap kosong ke sudut gelap di ujung lorong yang tak terlihat.
Celaka ! Rupanya aku hendak dijadikan umpan. Di kegelapan, suara desis semakin menjadi-jadi. Kadang terdengar kencang, kadang lirih. Suara desisan terus menggema di lorong tanpa cahaya dan berpindah-pindah. Kadang suara itu terdengar di samping, kadang di belakang.
Gugup dan panik, mang Soleh dan kapten mundur perlahan menuju mulut goa serta memaksaku ikut melangkah tanpa menoleh sedikitpun.
Door...!
Pistol di tangan mang Soleh meletus ketika kelebatan hitam muncul dari dalam aliran air. Apa yang dilakukan mang Soleh ternyata membuat keadaan tambah buruk.
Air tiba-tiba bergemuruh, menimbulkan suara menggelegar seolah goa ini akan runtuh.
Bruuk...
Tendangan mang Soleh di punggung membuatku terjungkal kedepan. Tanpa aba-aba mereka berdua sontak berlari, meninggalkanku yang berkubang dalam air.
Meski gelap, jelas sekali gelombang air menerpa tubuhku. Kelebatan mahluk raksasa lewat persis di samping.
Cahaya senter bergerak cepat menuju mulut goa diiringi suara langkah terburu-buru.
Senter tiba-tiba terlempar dan membentur dinding goa lalu terjatuh di salah satu sudut lorong yang dingin. Terdengar suara benturan cukup keras di dinding goa, lalu pekik kematian yang mengerikan kembali menggema.
Entah siapa yang jadi korban, lututku terasa lemas dan badanku gemetar. Perlu beberapa saat bagiku menyadari bahwa aku belum mati.
Di salah satu sudut, senter terus berputar menyorot cipratan darah di dinding lalu perlahan tergeletak dengan cahaya redup.
Beberapa saat berlalu, goa kembali hening dan sunyi hanya terdengar tetes-tetes air yang jatuh dari stalaktit. Dengan sisa tenaga aku bangkir berdiri, berjalan terseok di aliran air hingga kakiku berhasil menapak di lumpur kering.
Beberapa kali aku terjerembab karena tidak melihat tempat berpijak, sedangkan cahaya senter menyorot ke arah lain sisi goa.
Perlu waktu cukup lama bagiku hingga akhirnya berhasil meraih senter itu. Sambil memegang perut yang luka, aku bergerak pelan menuju mulut goa yang hanya beberapa langkah di depan mata.
Baru beberapa langkah melewati mulut goa, terdengar suara cukup keras di belakang. Seperti suara benda jatuh menghantam tanah. Sontak aku kaget dan refleks menyorot ke arah suara tadi.
Tiba-tiba bulu kudukku berdiri dan perutku terasa mual. Tepat di depan tergeletak tubuh mang Soleh yang sudah tidak bernyawa.
Matanya melotot dan mulut terganga. Lendir kental bagai ingus menutupi tubuhnya yang berantakan.
Tidak mau celaka, aku berlari kencang tanpa arah.
Heekk....!!!
Seketika dadaku sesak dan tulang rusukku terasa remuk. Belitan kencang melilit pinggangku diiringi suara desis yang menjadi-jadi. Tubuhku diseret di udara dengan lilitan yang semakin kencang. Senter yang kugenggam terlempar ke semak belukar yang tidak begitu jauh.
Samar-samar diterpa cahaya bulan, kepala ular raksasa berwarna hitam mendekat ke arahku. Lidahnya yang bercabang terus menjulur keluar, mengecap udara untuk memastikan diriku yang sebentar lagi jadi mangsa.
Buuk...
Lemparan batu sebesar kepalan tangan menghantam kepala ular itu dengan keras. Tambun meradang dengan desisan yang tak berhenti.
Kepala Tambun berbalik arah, mengincar kapten Anang yang bersimbah darah. Hanya beberapa meter dari mulut goa, kapten berdiri terpincang dengan granat di tangan.
Seolah menantang, kapten terus memancing agar Tambun itu menyerangnya.
"Ke sini kau, naga sialan ! Lawan aku kalau berani !"
Kapten berteriak-teriak seraya terus melempar batu ke arah Tambun.
Seketika Tambun melepaskan belitan dan bergerak cepat mengincar kapten yang diam di tempat. Aku hempas di atas bebatuan, menahan perih di seluruh sendi.
Beberapa saat sebelum Tambun menyergap, kapten menatap tajam kearahku. Tatapan penyesalan dan permintaan maaf. Aku mengangguk pelan dengan mata berkaca-kaca.
Kulirik, tangan kapten bergetar sembari menggenggam erat granat di tangan.
Seesshh...seeesshhh...
Tambun melejit dalam gelap dengan mulut menganga lebar, mencengkram tubuh kapten dengan cepat.
Duuaarr...!!!
Terdengar suara ledakan tiga kali diiringi percikan seperti kembang api raksasa. Api menyala-nyala dalam gelap diikuti gemuruh mulut goa yang runtuh.
Terjangan angin kencang beserta debu dan kerikil membuatku terpental beberapa meter di udara lalu membentur tanah yang penuh belukar berduri.
Aku terkapar muntah darah, kepalaku terasa berat hingga tak sanggup lagi bertahan untuk tetap terjaga.
*****
Tubuhku terasa kaku dan lecet-lecet di sekujur badan terasa perih. Aku mencoba bergerak tapi badanku terasa remuk. Terdengar suara yang cukup ramai hingga membuatku berada di antara sadar dan terlelap.
Hal pertama yang kulihat adalah balutan perban di bagian perut, lutut serta di beberapa bagian tubuh lainnya.
Sebuah jarum menusuk punggung tapak tanganku, dengan infus tergantung pada tiang besi tua yang telah karatan.
Aku belum sepenuhnya sadar berada di mana, seorang laki-laki dengan seragam perawat tiba-tiba membuka pintu. Melihatku telah sadarkan diri, perawat itu lantas keluar ruangan dengan berisik lalu kembali lagi dengan beberapa orang pria.
Seorang pria dengan pakaian loreng bergegas menghampiri dan menyuruhku tetap berbaring.
"Tenang saja, kau ada di puskesmas desa. Aku Danramil daerah sini. Sementara jangan banyak bicara, sebentar lagi kau akan di rujuk ke rumah sakit di Kabupaten," ucap pria itu dengan sorot mata tajam.
Seorang laki-laki berpakaian polisi, menyuruh polisi lainnya untuk mengambil fotoku yang masih terbaring lesu. Rupanya ia adalah Kapolsek dan menyuruh anak buahnya untuk segera mengirimkan laporan ke pimpinan mereka.
Aku masih bingung dan belum sepenuhnya mengerti apa yang terjadi,
ketika seorang ibu-ibu dengan pakaian dokter, yang kemudian kuketahui kepala puskesdes, memeriksa luka-luka di tubuhku. Katanya untuk evaluasi sebelum aku dibawa ke Kabupaten.
*****
Tubuhku yang terbaring terguncang-guncang saat berada dalam speed boat menuju ibu kota Kabupaten. Aku melihat sekeling, ada beberapa orang pria berseragam loreng, berseragam polisi, berseragam oranye dan seorang lelaki paruh baya yang berpakaian biasa.
Saat aku mencoba bangun, beberapa orang mencoba membantuku. Bersandar pada bantal, kulihat langit sangat cerah dengan beberapa burung yang terbang rendah. Beberapa orang mengajakku bicara dan menanyakan apa yang telah terjadi.
Aku hanya terdiam dan menggelengkan kepala. Aku masih trauma dan sulit berkata-kata atas peristiwa nahas yang kualami.
"Untung kau selamat. Kau ditemukan pemburu di dekat liang naga. Sedangkan jasad dua orang lainnya sudah dikirim terlebih dahulu untuk segera dikubur."
Aku menoleh ke arah suara, rupanya lelaki yang berpakaian biasa.
"Aku kepala desa," lelaki itu menjulurkan tangan dan memperkenalkan namanya.
"Daerah tempatmu ditemukan, dari jaman dahulu memang diketahui tempat bersemayam Raja Tangkaluluk. Naga Tambun penguasa sungai."
Kepala desa lalu bercerita, sehari sebelum menemukan kami para pemburu juga menemukan jasad lelaki muda yang telah membusuk dan penuh lendir di dalam hutan.
Dari ciri-cirinya, jasad lelaki itu sepertinya Dayat. Aku hanya tertunduk menyeka air mata. Rasa sedih dan sesal membuat hatiku rasanya ngilu.
"Sepertinya ini milikmu."
Pak Kades mengeluarkan benda berwarna hitam dari kantong celana. Kupandang lekat-lekat gps itu, benda yang telah membuat celaka. Tanpa pikir panjang, gps itu kulempar ke sungai Barito karena hanya mengingatkan kenangan pahit.
Aku kembali berbaring untuk menenangkan pikiran yang kalut. Pertanyaan dari polisi dan tentara yang mencatat keterangan, kujawab seadanya.
Menjelang magrib, aku sudah berada di rumah sakit Kabupaten. Beberapa wartawan yang menunggu di depan ruang IGD, langsung berhamburan begitu melihat tubuhku di gotong dari Ambulance.
Namun, tidak ada seorang pun yang bisa mendekat karena langsung dihalangi oleh aparat.
Hampir tiga minggu aku dirawat di rumah sakit dengan penjagaan ketat dari kepolisian dan prajurit TNI. Aku tidak diijinkan bicara dengan wartawan, begitu juga keluargaku. Bahkan, kudengar rumahku juga setiap hari ada petugas yang berjaga agar tidak ada wartawan yang datang.
Di koran-koran lokal dan media online, wajahku yang sedang ditandu terpampang jelas di halaman depan. Tentu saja hanya menggunakan keterangan dari kepolisian, tanpa ada sedikit pun keterangan dariku, kades atau warga yang menyelamatkan.

Isi beritanya tidak ada satupun yang membahas Tambun. Isi beritanya hanya mengatakan telah terjadi kecelakaan yang menimpa para pekerja tambang emas ilegal. Judulnya pun tak kalah bombastis, yaitu "Petaka Tambang Emas Berdarah."
Beberapa hari setelah itu, tersiar berita penangkapan para pekerja asing ilegal oleh petugas gabungan. Para pekerja yang tersebar di beberapa perusahaan itu lalu dipulangkan ke negara asalnya di Tiongkok daratan.
*****
Setahun berlalu, semua orang sudah lupa perihal kejadian di sungai Busang. Aku sudah berhenti total bekerja sebagai penambang emas.
Untuk kebutuhan sehari-hari, aku menjadi motoris kelotok milik haji Idris. Sesekali aku menjadi tukang untuk membangun gedung walet, atau menebang pohon di hutan untuk dijadikan papan.
Suatu malam, rumahku yang sempit kedatangan dua pria tamu asing. Mereka datang dengan sebuah mobil double gardan. Seorang lelaki bermata sipit dan tubuh sedang, turun dari mobil. Penerjemahnya bergegas menyusul dengan menjinjing tas koper di tangan.
Lelaki asing itu bernama Mr.Kho, seorang investor perusahaan batu bara dari negeri China. Sedangkan penerjemahnya adalah China peranakan yang berasal dari Pontianak.
Setelah memperkenalkan diri, mereka berdua kupesilakan masuk ke ruang tamu yang tidak begitu luas. Begitu duduk, penerjemahnya celingak celinguk menatap daun pintu yang terbuka sambil memeluk tas koper yang dari tadi selalu ia bawa.
Tanpa aba-aba, istri yang sedang menggendong putriku bergegas menutup pintu lalu ke dapur untuk membantu ibu menyiapkan minuman hangat. Sepertinya tamu asing ini membawa sesuatu yang penting, namun aku tidak terlalu peduli.
Usai berbincang dengan Mr.Kho, penerjemahnya langsung membuka tas koper di hadapanku. Seketika mataku terbelalak, melihat tumpukan uang ratusan ribu tersusun rapi memenuhi isi tas.
Entah berapa jumlahnya, tas koper di hadapanku terlihat sesak hingga tidak ada celah kosong.
"Uang ini akan jadi milikmu," ucap penerjemahnya tenang, "asal kau serahkan GPS milik tuan Atak."
"G-GPS !?" sahutku terbata.
"Iya, GPS. Kau tahu maksud kami. Cukup serahkan GPS itu, maka kau tak perlu lagi bekerja seumur hidup."
Seketika aku merasa lemas kehilangan tenaga. Tiba-tiba saja aku menangis sambil tertawa.
"GPS itu telah hilang di Barito." jawabku sambil menggelengkan kepala.
Penerjemah itu tersentak kaget, tidak percaya yang kukatakan barusan. Mereka lalu berdiskusi dengan bahasa yang tak ku mengerti, lalu pamit undur diri.
Dengan berat hati mereka kuantar hingga depan pintu. Langkah demi langkah mereka menuju mobil, semakin jauh pula anganku menjadi orang kaya mendadak. Aku hanya menggigit bibir dan mengernyitkan dahi menatap pungung dua orang asing itu.
"Loh, kok udah pergi ? Padahal tehnya baru saja selesai dibikin."
Suara istri yang sudah di samping membuatku kaget.
"Sudahlah...memang takdir kita jadi orang miskin, mau gimana lagi."
Kurangkul kepala istriku dan kubenamkan di dada lalu kukecup kening.
Breemm....breem...
Mobil double gardan yang ditumpangi Mr.Kho mulai meraung, seolah menertawakan nasib kami yang fakir harta.
Diiringi suara jangkrik, mobil itu menghilang di ujung jalan yang gelap.
TAMAT
Terima Kasih buat gansis yang setia ngikutin thread ane kali ini. Wassalam 😀🙏
Diubah oleh benbela 16-01-2022 19:11



bruno95 dan 61 lainnya memberi reputasi
62
Kutip
Balas
Tutup