- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
Petaka Tambang Emas Berdarah


TS
benbela
Petaka Tambang Emas Berdarah

Salam lekum agan sista semua.
Ane balik lagi dengan cerita baru masih dengan latar, mitos, budaya, urban legen maupun folklore Kalimantan.
Thread kali ini kayaknya lebih ancur dari cerita sebelumnya 🤣🤣🤣. Genrenya juga gak jelas. Entah horor, thriler, misteri, drama atau komedi 🤣
Semoga thread kali ini bisa menghibur gansis semua yang terdampak PKKM, terutama yang isoman moga cepat sehat.
Ane juga mohon maaf apabila dalam cerita ini ada pihak yang tersinggung. Cerita ini tidak bermaksud untuk mendeskreditkan suku, agama, kelompok atau instansi manapun. Karena semua tokoh dan pihak yang terlibat adalah murni karena plot cerita, bukan bermaksud menyinggung.
Quote:
beberapa gambar ane comot dari google sebagai ilustrasi, bukan dokumentasi pribadi.
Quote:
Update teratur tiap malam Senen dan malam Jumat pukul 19.00. wib
Quote:
Dilarang keras untuk memproduksi ulang cerita ini baik dalam bentuk tulisan, audio, visual, atau gabungan salah satu atau semua di antaranya tanpa perjanjian tertulis. Terima kasih
Quote:
Diubah oleh benbela 16-01-2022 12:25



bruno95 dan 141 lainnya memberi reputasi
138
91.2K
Kutip
2.7K
Balasan


Komentar yang asik ya
Tampilkan semua post


TS
benbela
#477
Quote:
Original Posted By benbela►
Doorr...!!!
Suara letusan terdengar Cumiakkan telinga, membuat telingaku sakit dan pandangan terlihat berputar-putar.
Tepat sebelum jari mang Soleh menarik pelatuk, mang Atak menerjang membuat peluru melesat beberapa senti di samping telinga. Keduanya lantas bergumul di tanah, mencoba saling melumpuhkan.
Tanpa pikir panjang, aku berlari kencang ke arah hutan menyelamatkan diri. Seribu langkah kupacu menembus belukar berduri.
Door...doorr...
Kembali terdengar suara letusan di belakang. Entah apa yang terjadi, yang ada dipikiranku hanyalah menyelamatkan diri.
Sambil terus berlari, kupukul-pukul kuping kanan untuk mengurangi dengung yang tak berhenti.
Di kejauhan, terdengar sayup-sayup suara rintihan mang Atak mengantar nyawa lalu menghilang ditelan riuhnya hutan.
"Kejaaarr !!!" Jangan sampai lolos !!!"
Teriakan Kapten menggema, diiringi suara-suara langkah kaki yang bergerak cepat menerobos tumbuhan pakis dan ilalang.
Sialan, rupanya mereka memburuku. Dengan kondisi penuh luka, tak mungkin aku bisa berlari jauh. Aku harus mencari tempat bersembunyi agar bisa selamat. Bagai kijang terluka, kesana kemari aku mencari tempat aman untuk menghindari perburuan Kapten Anang dan mang Soleh.
Di langit, senja kuning sudah terlihat. Aku harus bisa bertahan setidaknya hingga langit berubah jadi gelap.
Beberapa meter di depan, tanah terlihat miring menurun. Kupercepat langkah kaki karena di belakang suara Kapten dan mang Soleh semakin dekat.
"Tidak mungkin ia pergi jauh. Pasti di sekitar sini." seru mang Soleh di antara rimbun pepohonan.
Aku terpaku.
Tepat dua langkah di depan, tanah miring ternyata lebih curam dari yang kukira. Beberapa meter di bawah, terhampar barisan batu tajam, seperti aliran sungai yang telah kering.
Tidak jauh dari hamparan batu, terdapat sebuah lubang menganga yang sangat besar. Sebuah goa dengan mulut yang lebih besar dari rumah. Mungkin di situ bisa jadi tempat sembunyi meski gelap dan terlihat tidak aman. Bisa saja goa itu sarang binatang buas.
Di belakang, derap langkah kaki dan ranting patah semakin jelas terdengar.
Aku menimbang-nimbang, apakah melompat atau berlari ke tempat lain. Kurasakan detak jantung semakin tidak karuan, ketika suara gaduh kapten dan mang Atak semakin dekat.
Bruukk...
Tubuhku meluncur di tanah miring bagai anak kecil main pelosotan.
"Di sana !" teriak mang Soleh lantang.
Braakk...
Tersangkut kayu, aku terjungkal ke depan. Tubuhku menggelinding, berputar-putar tanpa henti di atas rerumputan dan belukar berduri.
Braak...
Tubuhku membentur sebuah batu yang cukup besar dan luncuran tubuhku terhenti seketika. Menjerit tertahan, kurasakan sakit luar biasa di bagian pinggang. Luka di perut kembali menganga, mengucurkan darah kental kehitaman.
Di atas, samar-samar terlihat bayang-bayang tubuh kapten Anang dan mang Soleh berdiri di tepian tanah miring.
Mereka terlihat berdebat, tapi jelas sekali kalau mang Soleh bersikeras menyusulku kebawah.
Dalam satu tarikan nafas, mang Soleh melompat. Tubuhnya mendarat sempurna di atas rerumputan, meluncur deras menerobos semak belukar lalu disusul kapten Anang.
Bergegas aku bangkit, terbirit menyelamatkan diri menuju goa yang gelap gulita.
*****
Aku meringkuk di salah satu celah bebatuan di dalam gua. Bau kotoran kelelawar terasa menyengat, bercampur lumpur kering yang membalur tubuhku.
Separuh tubuhku berada dalam air setinggi lutut. Untung saja goa ini memiliki aliran air, sehingga jejak langkahku bisa tersamar.
Aku memutar otak, bagaimana caranya agar bisa kabur dari buruan kapten dan mang Soleh.
Samar-samar cahaya dari luar goa semakin gelap dan sebentar lagi matahari terbenam.
Trap...trap..trap...
Derap langkah kaki yang menyusuri lorong goa membuatku semakin cemas. Aku menahan nafas, takut desahan nafasku akan terdengar kapten dan mang Soleh.
"Haamiid..." Suara mang Soleh menggema, memantul-mantul di dinding goa yang dingin.
"Hamid, keluarlah. Percuma kau sembunyi. Cepat atau lambat kau akan menyusul si Atak."
Trap...trap...trap...
Suara langkah-langkah kaki menapak di lumpur kering semakin menciutkan nyali. Suara itu semakin dekat, mungkin hanya beberapa meter dari tempatku bersembunyi.
Bulatan cahaya senter segera menerangi lorong goa, menggantikan cahaya matahari yang sudah sepenuhnya tenggelam. Sepertinya senter itu mereka dapatkan dari tas mang Atak yang mereka rebut.
Cahaya senter bergerak ke kiri dan kanan, menyusuri lorong goa jengkal demi jengkal untuk mencari keberadaanku.
Darahku berdesir dan jantungku berdegub kencang, saat bulatan cahaya itu bergerak pelan menyisir tempatku bersembunyi.
Aku semakin panik, saat cahaya terang itu menyinari gundukan tanah yang hanya beberapa jengkal dari ujung kakiku.
Aku bergerak sangat pelan, berusaha tidak menimbulkan suara. Untung saja celah lubang ini cukup dalam, hingga tidak terjangkau sorotan senter.
"Bocah itu pintar juga. Jejaknya hilang di aliran air ini," desis mang Soleh menggema di dalam goa.
"Sebaiknya biarkan saja ia kabur, Soleh. Lebih baik kita segera pergi dari tempat ini. Firasatku goa ini berbahaya, bisa saja di sini adalah liang naga."
"Kepalang tanggung, Kapten. Dia sudah terlanjur tahu semuanya, lebih baik dituntaskan sekalian."
Terdengar hela nafas kapten, seolah berat hati mengikuti keinginan mang Soleh.
"Kalau kau tidak mau mengotori tanganmu, tunggulah di luar. Biarkan aku yang menyelesaikan, dia pasti tidak bisa pergi jauh tanpa cahaya. Dia pasti sembunyi di suatu tempat di dalam sini." lanjut mang Soleh.
Kini terdengar suara cipratan air. Rupanya mereka telah melangkah menyusuri aliran air dengan sedikit kesulitan.
Aku bergidik ngeri, saat siluet tubuh mereka melewati tempatku bersembunyi. Persis hanya beberapa meter di samping, membuatku menahan nafas dan tidak bergerak sedikitpun.
Mereka terus bergerak, belum menyadari keberadaanku yang hanya beberapa meter dari punggung mereka.
Peluh bercucuran meski badanku mulai menggigil menahan dingin. Aku menggigit bibir agar tetap tersadar dan tidak menimbulkan gerakan tiba-tiba.
Dengan tangan kiri, mang Soleh mengarahkan senter ke setiap celah goa, sedangkan tangan kanannya menggenggam pistol. Di samping, kapten tampak kesusahan mengikuti langkah mang Soleh. Luka di tubuh membuat pergerakannya sedikit lebih lambat.
"Kenapa tidak tunggu di luar saja, Soleh ?"
"Terlalu berisiko, Kapten. Bisa saja ujung goa ini tembus ke suatu tempat. Atau, kita akan disergap oleh Tambun itu bila menunggu di luar."
"Tak bisa kah kau lepaskan saja ? Ia sudah cukup menderita."
Mang Soleh menghentikan langkah, berdiri di aliran air setinggi lutut. Setelah mengatur nafas, ia lalu berbalik dan menatap wajah kapten.
"Kapten, kau sendiri tahu apa yang telah dilakukan Madhan, ayahnya Hamid. Karena ulahnya, anak lelakiku meninggal mengenaskan. Kalau saja ia tidak menggelapkan emas kita, pastilah anakku bisa diselematkan. Pastilah ia bisa menjalani operasi di rumah sakit di Banjarmasin. Tapi..."
Suara mang Soleh tertahan, menahan perih dan juga dendam. Ucapannya terdengar getir menyayat hati. Aku tahu, ada kebencian mendalam di situ.
Seketika hatiku rasanya teriris menyadari kebejatan mendiang ayahku di masa lalu. Aku rasanya ingin tidak percaya atas dosa yang telah ia lakukan. Lagi-lagi duniaku rasanya runtuh seketika.
"Karena kematian anakku, istriku menjadi gila. Bertahun-tahun ia kupasung di dalam kamar reot penuh kotoran. Suatu ketika, ia berhasil kabur saat aku lengah. Berhari-hari aku mencarinya. Namun, begitu ketemu hanyalah tambahan derita yang kualami. Kau tahu, kapten, apa yang terjadi. Kau tahu kan !?"
Mang Soleh mengguncang-guncang bahu kapten Anang yang hanya tertunduk lesu.
"Ya, kapten. Istriku yang gila jadi korban kebiadaban manusia. Entah siapa yang tega merudapaksa wanita gila. Dan kini...aku harus membesarkan anak yang bukan darah dagingku. Sedangkan istriku, ia malah mati saat melahirkan. Tidak pantaskan aku menuntut balas ? Tidak pantas kah, hah !?"
Suara mang Soleh bergetar dalam cucuran air mata. Lagi-lagi aku terdiam, aku merasa memang pantas untuk menebus kesalahan ayahku.
"Soleh, Hamid bukanlah ayahnya. Madhan sudah mendapat ganjaran. Sebaiknya kita tinggalkan saja Hamid di sini. Lebih baik kita pikirkan bagaimana caranya bisa selamat."
"Tidak, kapten," mang Soleh menggeleng," wajah Hamid terlalu mirip dengan ayahnya. Tidak kuat aku melihatnya. Setiap menatapnya, darahku rasanya mendidih."
Kapten menghela nafas panjang. Ia mulai putus asa untuk membujuk mang Soleh yang penuh dendam.
"Soleh, dengarkan aku. Bila kita bersikeras mengejar Hamid sekarang, sama saja bunuh diri. Pikirkan anakmu, ia butuh kamu. Biarkan saja Hamid membusuk di goa ini. Dengan kondisi lukanya, ia takkan bertahan hingga esok pagi. Kalaupun selamat, ia akan mati jadi santapan Tambun."
Menyeka air mata, mang Soleh terdiam memikirkan ucapan kapten. Setelah menimbang-nimbang, ia sepertinya setuju.
"Baiklah, Kapten. Tapi bila ia berhasil selamat dan bertemu di kampung, aku takkan ragu menghabisinya."
Kapten mengangguk sembari menepuk pundak mang Soleh.
Keduanya lantas berbalik, kembali berjalan menyusuri genangan air ke arah mulut goa. Bulatan cahaya senter kembali bergerak ke kiri dan kanan, menyorot lantai dan dinding-dinding goa.
Aku tercekat, saat sorotan cahaya putih menyilaukan itu tepat mengarah ke tempatku bersembunyi. Aku duduk terdiam dan terpaku, benar-benar mati langkah.
"Rupanya kau sembunyi di sini, Hamid. Habis sudah peruntunganmu."
Mang Soleh bergerak mendekat, mengarahkan moncong pistol menyasar tubuhku. Tangannya bergetar penuh amarah, sedangkan matanya melotot penuh kebencian.
Kapteng Anang bergegas hendak menahan, namun langkahnya yang ringkih kalah cepat.
Menarik nafas, aku hanya bisa pasrah menanti nasib. Entah kenapa aku sedikit lega, siap menebus kesalahan ayahku.
"Baiklah, mang. Bila kematianku bisa menebus kesalahan ayahku, lakukan saja."
Tanpa terasa mataku berkaca-kaca. Aku memalingkan wajah, menatap mata kapten dalam-dalam.
"Kapten, aku titip anak, istri juga ibu. Jagalah mereka untukku."
Tak sanggup lagi kubendung air mata, sedangkan kapten hanya mengangguk pelan dengan raut wajah sedih.
Untuk terakhir kali, aku mengucap kalimat syahadat sebelum nyawaku benar-benar lepas. Dunia terasa sunyi, bahkan suara jangkrik pun tidak terdengar.
Hening sejenak.
Pistol di tangan mang Soleh bergetar hebat. Entah ia ragu, atau mengumpulkan keberanian untuk kembali mengotori tangannya dengan darah.
"Maaf, Hamid. Saatnya kau menyusul ayahmu !"
Kali ini mang Soleh tidak ragu. Genggaman tangannya telah mantap. Bagai gerak lambat, jemarinya yang siap menarik pelatuk terlihat sangat jelas di depan mata.
Seesshh....seesshhh...
Kami semua tersentak. Suara desisan yang sudah sangat kami kenal kembali terdengar di dalam goa yang gulita.
Entah dimana, rupanya Tambun telah kembali menghampiri.
...bersambung...
Bab 23. Liang Naga
Doorr...!!!
Suara letusan terdengar Cumiakkan telinga, membuat telingaku sakit dan pandangan terlihat berputar-putar.
Tepat sebelum jari mang Soleh menarik pelatuk, mang Atak menerjang membuat peluru melesat beberapa senti di samping telinga. Keduanya lantas bergumul di tanah, mencoba saling melumpuhkan.
Tanpa pikir panjang, aku berlari kencang ke arah hutan menyelamatkan diri. Seribu langkah kupacu menembus belukar berduri.
Door...doorr...
Kembali terdengar suara letusan di belakang. Entah apa yang terjadi, yang ada dipikiranku hanyalah menyelamatkan diri.
Sambil terus berlari, kupukul-pukul kuping kanan untuk mengurangi dengung yang tak berhenti.
Di kejauhan, terdengar sayup-sayup suara rintihan mang Atak mengantar nyawa lalu menghilang ditelan riuhnya hutan.
"Kejaaarr !!!" Jangan sampai lolos !!!"
Teriakan Kapten menggema, diiringi suara-suara langkah kaki yang bergerak cepat menerobos tumbuhan pakis dan ilalang.
Sialan, rupanya mereka memburuku. Dengan kondisi penuh luka, tak mungkin aku bisa berlari jauh. Aku harus mencari tempat bersembunyi agar bisa selamat. Bagai kijang terluka, kesana kemari aku mencari tempat aman untuk menghindari perburuan Kapten Anang dan mang Soleh.
Di langit, senja kuning sudah terlihat. Aku harus bisa bertahan setidaknya hingga langit berubah jadi gelap.
Beberapa meter di depan, tanah terlihat miring menurun. Kupercepat langkah kaki karena di belakang suara Kapten dan mang Soleh semakin dekat.
"Tidak mungkin ia pergi jauh. Pasti di sekitar sini." seru mang Soleh di antara rimbun pepohonan.
Aku terpaku.
Tepat dua langkah di depan, tanah miring ternyata lebih curam dari yang kukira. Beberapa meter di bawah, terhampar barisan batu tajam, seperti aliran sungai yang telah kering.
Tidak jauh dari hamparan batu, terdapat sebuah lubang menganga yang sangat besar. Sebuah goa dengan mulut yang lebih besar dari rumah. Mungkin di situ bisa jadi tempat sembunyi meski gelap dan terlihat tidak aman. Bisa saja goa itu sarang binatang buas.
Di belakang, derap langkah kaki dan ranting patah semakin jelas terdengar.
Aku menimbang-nimbang, apakah melompat atau berlari ke tempat lain. Kurasakan detak jantung semakin tidak karuan, ketika suara gaduh kapten dan mang Atak semakin dekat.
Bruukk...
Tubuhku meluncur di tanah miring bagai anak kecil main pelosotan.
"Di sana !" teriak mang Soleh lantang.
Braakk...
Tersangkut kayu, aku terjungkal ke depan. Tubuhku menggelinding, berputar-putar tanpa henti di atas rerumputan dan belukar berduri.
Braak...
Tubuhku membentur sebuah batu yang cukup besar dan luncuran tubuhku terhenti seketika. Menjerit tertahan, kurasakan sakit luar biasa di bagian pinggang. Luka di perut kembali menganga, mengucurkan darah kental kehitaman.
Di atas, samar-samar terlihat bayang-bayang tubuh kapten Anang dan mang Soleh berdiri di tepian tanah miring.
Mereka terlihat berdebat, tapi jelas sekali kalau mang Soleh bersikeras menyusulku kebawah.
Dalam satu tarikan nafas, mang Soleh melompat. Tubuhnya mendarat sempurna di atas rerumputan, meluncur deras menerobos semak belukar lalu disusul kapten Anang.
Bergegas aku bangkit, terbirit menyelamatkan diri menuju goa yang gelap gulita.
*****
Aku meringkuk di salah satu celah bebatuan di dalam gua. Bau kotoran kelelawar terasa menyengat, bercampur lumpur kering yang membalur tubuhku.
Separuh tubuhku berada dalam air setinggi lutut. Untung saja goa ini memiliki aliran air, sehingga jejak langkahku bisa tersamar.
Aku memutar otak, bagaimana caranya agar bisa kabur dari buruan kapten dan mang Soleh.
Samar-samar cahaya dari luar goa semakin gelap dan sebentar lagi matahari terbenam.
Trap...trap..trap...
Derap langkah kaki yang menyusuri lorong goa membuatku semakin cemas. Aku menahan nafas, takut desahan nafasku akan terdengar kapten dan mang Soleh.
"Haamiid..." Suara mang Soleh menggema, memantul-mantul di dinding goa yang dingin.
"Hamid, keluarlah. Percuma kau sembunyi. Cepat atau lambat kau akan menyusul si Atak."
Trap...trap...trap...
Suara langkah-langkah kaki menapak di lumpur kering semakin menciutkan nyali. Suara itu semakin dekat, mungkin hanya beberapa meter dari tempatku bersembunyi.
Bulatan cahaya senter segera menerangi lorong goa, menggantikan cahaya matahari yang sudah sepenuhnya tenggelam. Sepertinya senter itu mereka dapatkan dari tas mang Atak yang mereka rebut.
Cahaya senter bergerak ke kiri dan kanan, menyusuri lorong goa jengkal demi jengkal untuk mencari keberadaanku.
Darahku berdesir dan jantungku berdegub kencang, saat bulatan cahaya itu bergerak pelan menyisir tempatku bersembunyi.
Aku semakin panik, saat cahaya terang itu menyinari gundukan tanah yang hanya beberapa jengkal dari ujung kakiku.
Aku bergerak sangat pelan, berusaha tidak menimbulkan suara. Untung saja celah lubang ini cukup dalam, hingga tidak terjangkau sorotan senter.
"Bocah itu pintar juga. Jejaknya hilang di aliran air ini," desis mang Soleh menggema di dalam goa.
"Sebaiknya biarkan saja ia kabur, Soleh. Lebih baik kita segera pergi dari tempat ini. Firasatku goa ini berbahaya, bisa saja di sini adalah liang naga."
"Kepalang tanggung, Kapten. Dia sudah terlanjur tahu semuanya, lebih baik dituntaskan sekalian."
Terdengar hela nafas kapten, seolah berat hati mengikuti keinginan mang Soleh.
"Kalau kau tidak mau mengotori tanganmu, tunggulah di luar. Biarkan aku yang menyelesaikan, dia pasti tidak bisa pergi jauh tanpa cahaya. Dia pasti sembunyi di suatu tempat di dalam sini." lanjut mang Soleh.
Kini terdengar suara cipratan air. Rupanya mereka telah melangkah menyusuri aliran air dengan sedikit kesulitan.
Aku bergidik ngeri, saat siluet tubuh mereka melewati tempatku bersembunyi. Persis hanya beberapa meter di samping, membuatku menahan nafas dan tidak bergerak sedikitpun.
Mereka terus bergerak, belum menyadari keberadaanku yang hanya beberapa meter dari punggung mereka.
Peluh bercucuran meski badanku mulai menggigil menahan dingin. Aku menggigit bibir agar tetap tersadar dan tidak menimbulkan gerakan tiba-tiba.
Dengan tangan kiri, mang Soleh mengarahkan senter ke setiap celah goa, sedangkan tangan kanannya menggenggam pistol. Di samping, kapten tampak kesusahan mengikuti langkah mang Soleh. Luka di tubuh membuat pergerakannya sedikit lebih lambat.
"Kenapa tidak tunggu di luar saja, Soleh ?"
"Terlalu berisiko, Kapten. Bisa saja ujung goa ini tembus ke suatu tempat. Atau, kita akan disergap oleh Tambun itu bila menunggu di luar."
"Tak bisa kah kau lepaskan saja ? Ia sudah cukup menderita."
Mang Soleh menghentikan langkah, berdiri di aliran air setinggi lutut. Setelah mengatur nafas, ia lalu berbalik dan menatap wajah kapten.
"Kapten, kau sendiri tahu apa yang telah dilakukan Madhan, ayahnya Hamid. Karena ulahnya, anak lelakiku meninggal mengenaskan. Kalau saja ia tidak menggelapkan emas kita, pastilah anakku bisa diselematkan. Pastilah ia bisa menjalani operasi di rumah sakit di Banjarmasin. Tapi..."
Suara mang Soleh tertahan, menahan perih dan juga dendam. Ucapannya terdengar getir menyayat hati. Aku tahu, ada kebencian mendalam di situ.
Seketika hatiku rasanya teriris menyadari kebejatan mendiang ayahku di masa lalu. Aku rasanya ingin tidak percaya atas dosa yang telah ia lakukan. Lagi-lagi duniaku rasanya runtuh seketika.
"Karena kematian anakku, istriku menjadi gila. Bertahun-tahun ia kupasung di dalam kamar reot penuh kotoran. Suatu ketika, ia berhasil kabur saat aku lengah. Berhari-hari aku mencarinya. Namun, begitu ketemu hanyalah tambahan derita yang kualami. Kau tahu, kapten, apa yang terjadi. Kau tahu kan !?"
Mang Soleh mengguncang-guncang bahu kapten Anang yang hanya tertunduk lesu.
"Ya, kapten. Istriku yang gila jadi korban kebiadaban manusia. Entah siapa yang tega merudapaksa wanita gila. Dan kini...aku harus membesarkan anak yang bukan darah dagingku. Sedangkan istriku, ia malah mati saat melahirkan. Tidak pantaskan aku menuntut balas ? Tidak pantas kah, hah !?"
Suara mang Soleh bergetar dalam cucuran air mata. Lagi-lagi aku terdiam, aku merasa memang pantas untuk menebus kesalahan ayahku.
"Soleh, Hamid bukanlah ayahnya. Madhan sudah mendapat ganjaran. Sebaiknya kita tinggalkan saja Hamid di sini. Lebih baik kita pikirkan bagaimana caranya bisa selamat."
"Tidak, kapten," mang Soleh menggeleng," wajah Hamid terlalu mirip dengan ayahnya. Tidak kuat aku melihatnya. Setiap menatapnya, darahku rasanya mendidih."
Kapten menghela nafas panjang. Ia mulai putus asa untuk membujuk mang Soleh yang penuh dendam.
"Soleh, dengarkan aku. Bila kita bersikeras mengejar Hamid sekarang, sama saja bunuh diri. Pikirkan anakmu, ia butuh kamu. Biarkan saja Hamid membusuk di goa ini. Dengan kondisi lukanya, ia takkan bertahan hingga esok pagi. Kalaupun selamat, ia akan mati jadi santapan Tambun."
Menyeka air mata, mang Soleh terdiam memikirkan ucapan kapten. Setelah menimbang-nimbang, ia sepertinya setuju.
"Baiklah, Kapten. Tapi bila ia berhasil selamat dan bertemu di kampung, aku takkan ragu menghabisinya."
Kapten mengangguk sembari menepuk pundak mang Soleh.
Keduanya lantas berbalik, kembali berjalan menyusuri genangan air ke arah mulut goa. Bulatan cahaya senter kembali bergerak ke kiri dan kanan, menyorot lantai dan dinding-dinding goa.
Aku tercekat, saat sorotan cahaya putih menyilaukan itu tepat mengarah ke tempatku bersembunyi. Aku duduk terdiam dan terpaku, benar-benar mati langkah.
"Rupanya kau sembunyi di sini, Hamid. Habis sudah peruntunganmu."
Mang Soleh bergerak mendekat, mengarahkan moncong pistol menyasar tubuhku. Tangannya bergetar penuh amarah, sedangkan matanya melotot penuh kebencian.
Kapteng Anang bergegas hendak menahan, namun langkahnya yang ringkih kalah cepat.
Menarik nafas, aku hanya bisa pasrah menanti nasib. Entah kenapa aku sedikit lega, siap menebus kesalahan ayahku.
"Baiklah, mang. Bila kematianku bisa menebus kesalahan ayahku, lakukan saja."
Tanpa terasa mataku berkaca-kaca. Aku memalingkan wajah, menatap mata kapten dalam-dalam.
"Kapten, aku titip anak, istri juga ibu. Jagalah mereka untukku."
Tak sanggup lagi kubendung air mata, sedangkan kapten hanya mengangguk pelan dengan raut wajah sedih.
Untuk terakhir kali, aku mengucap kalimat syahadat sebelum nyawaku benar-benar lepas. Dunia terasa sunyi, bahkan suara jangkrik pun tidak terdengar.
Hening sejenak.
Pistol di tangan mang Soleh bergetar hebat. Entah ia ragu, atau mengumpulkan keberanian untuk kembali mengotori tangannya dengan darah.
"Maaf, Hamid. Saatnya kau menyusul ayahmu !"
Kali ini mang Soleh tidak ragu. Genggaman tangannya telah mantap. Bagai gerak lambat, jemarinya yang siap menarik pelatuk terlihat sangat jelas di depan mata.
Seesshh....seesshhh...
Kami semua tersentak. Suara desisan yang sudah sangat kami kenal kembali terdengar di dalam goa yang gulita.
Entah dimana, rupanya Tambun telah kembali menghampiri.
...bersambung...
Mpe jumpa last update ye gan, karena cerita dah mau tamat. Jangan lupa sakrep, komeng dan syer ewer-ewer 😁
Diubah oleh benbela 13-01-2022 12:45



bruno95 dan 56 lainnya memberi reputasi
57
Kutip
Balas
Tutup