Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

yanagi92055Avatar border
TS
yanagi92055
AMOR & DOLOR (TRUE STORY)
Selamat Datang di Trit Kami

私のスレッドへようこそ


AMOR & DOLOR (TRUE STORY)


TERIMA KASIH BANYAK ATAS ATENSI DAN APRESIASI YANG TELAH GANSIS READERBERIKAN DI TIGA TRIT GUE DAN EMI SEBELUMNYA. SEMOGA DI TRIT INI, KAMI DAPAT MENUNJUKKAN PERFORMA TERBAIK (LAGI) DALAM PENULISAN DAN PACKAGING CERITA AGAR SEMUA READER YANG BERKUNJUNG DI SINI SELALU HAPPY DAN TERHIBUR!


Quote:


Spoiler for MUARA SEBUAH PENCARIAN (TAMAT):


Spoiler for AKHIR PENANTIANKU (ONGOING):


Spoiler for PERATURAN:


Spoiler for FAQ, INDEX, MULUSTRASI, TEASER:



HAPPY READING! emoticon-Cendol Gan


Quote:
Diubah oleh yanagi92055 01-10-2020 14:23
sotokoyaaa
santet72
al.galauwi
al.galauwi dan 90 lainnya memberi reputasi
81
175K
3K
GuestAvatar border
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
yanagi92055Avatar border
TS
yanagi92055
#462
Jelang Final_Part 4a
“Nothing is better than going home to family and eating good food and relaxing” – Irina Shayk

“Home is not where you live but where they understand you” – Christian Morgenstern

“Home is where we should feel secure and comfortable” – Catherine Pulsifer


….dan masih banyak lagu dengan quotespositif tentang rumah yang bisa ga muat kalau gue tulis semua di sini. Walaupun banyak juga quotes negatif tentang rumah, terutama bagi mereka yang mengalami atau merasa broken home kayak “You go home. You cry and you want to die.

Kalau saat itu gue tidak kenal atau memiliki Emi, mungkin gue tidak akan pernah mau pulang lagi ke rumah. Namun, kadang gue berpikir apakah Mama dan Dania akan bersikap seperti sekarang kalau misalnya gue menikah dengan Dee atau cewek lain? Sebenarnya, mereka yang ‘bermasalah dengan diri mereka sendiri’ atau mereka ‘bermasalah dengan pendatang baru di keluarga kami’? Karena gue yakin, tidak ada yang salah pada diri Emi.

Sepulang dari rumah Emi, keluarga besar Papa mengundang keluarga Om Dani sekalian untuk makan sore (karena kami sudah makan siang di rumah Emi) bersama di luar. Ya hitung-hitung pra-makan malam atau makan malam yang lebih cepat. Om Dani mengiyakan ajakan dari Om Reza dan kami pun menuju rumah makan favorit keluarga Papa.

Terakhir kali kami berkumpul bersama hanya untuk arisan keluarga. Itu pun hanya dihadiri oleh sepupu-sepupu gue. Tanpa Om dan Tante gue. Tapi kali ini berbeda. Seluruh kakak dan adik Papa hadir untuk ikut hadir di acara lamaran gue. Hanya Bang Ozy, Emran, dan Edmiral yang hadir sebagai perwakilan dari sepupu-sepupu gue. Walaupun demikian, gue sudah sangat bahagia. Di sana gue merasa berarti. Apalagi fokus bahasan mereka full tentang gue.

Bukan kesuksesan Bang Ozy. Bukan bisnis barunya Edmiral. Bukan juga mulusnya pendidikan si jenius Emran. Mereka membahas tentang bagaimana gue memperkenalkan Emi sebagai cewek pertama yang dibawa ke keluarga besar, ke Mbah di Jawa sana, dan pada akhirnya Emi adalah cewek terakhir yang jadi pelabuhan hati gue.

Ada sih mereka sempat membandingkan gue, bukan pada sepupu gue. Tetapi pada Papa yang bolak balik membawa cewek ke keluarga tapi tak kunjung nemu ‘the chosen one’, sampai akhirnya ketemu Mama. Papa dan Mama sangat berterima kasih pada Om Reza yang berhasil membujuk dan mewujudkan pernikahan mereka. Hanya itu, selebihnya kembali lagi pada gue. Mereka bangga dan berkata kalau gue lebih berani dari Papa.

“Iya, lebih berani. Tapi mungkin gue nggak akan seberani ini kalau bukan karena cewek yang gue kejar itu Emi. Well, gue juga nggak pernah kepikiran tuh ‘Gimana ya kalau calon istri gue itu bukan Emi?’…” kata gue di dalam hati.

---

SMA – Sudah Makan Assalamualaikum buat pamit pulang. Hahaha. Kalian tau istilah itu? Entah itu singkatan yang populer di angkatan gue saja atau mungkin masih populer hingga saat ini. Kebiasaan keluarga besar Papa ya SMA ini, Sudah Makan Assalamualaikum. Ya soalnya mau apa lagi? Nginep di salah satu rumah saudara? Mungkin si empunya rumah tidak keberatan. Hanya saja, mereka yang mau menginap jadi mempertanyakan “Ngapain gue nginep kalau rumah gue jaraknya nggak nyampe 30 menit dari sini. Mending pulang malem aja.”

Iya, bagi mereka yang tinggal di Ibukota. Kalau gue, bisa 1-2 jam di perjalanan pulang. Itupun kalau tidak macet. Tapi karena kebiasaan SMA dan tidak ada menginap di salah satu rumah keluarga di keluarga besar Papa, kami pun ikut beradaptasi dengan kebiasaan tersebut.

Sesampainya di rumah, kalian pasti bisa menebak kemana fokus Mama. Yup. Benar sekali. Mama kembali ke realita kehidupannya. Mama kembali fokus pada Dian. Mama sibuk mengurus segala kebutuhan tidur Dian dan merapikan barang-barang yang dibawa sepanjang hari ini.

Untungnya, Dania dan gue punya kebiasaan baik yang sama yaitu selalu segera merapikan barang-barang kami sendiri walaupun selelah apapun kami saat itu. Mama merapikan perlengkapan makan kotor dan baju kotor Dian, sedangkan Dania merapikan ulang barang-barang wasting yang tidak terpakai tapi dibawa kemana-mana hari ini. Fokus mereka tidak lagi pada gue. Sudah biasa. Gue sudah menghadapi kehidupan real gue kembali.

“A, kamu tuh kalau abis dari mana-mana kenapa malah leha-leha gitu sih? Mbok ya buruan mandi. Bersih-bersih dulu. Beresin barang kamu. Buruan. Aku cape loh seharian gendong. Kamu mah nyetir doang aja capek.”

Percayalah, tidak ada istilahnya ‘nyetir DOANG AJA capek’. Yang namanya beraktivitas tanpa henti sepanjang hari, ya melelahkan pastinya. Apalagi harus mengendarai kendaraan yang bukan pegangan kita yang di sisi lain kita juga tidak terbiasa mengendarai kendaraan. Pasti sangat melelahkan. Ingin rasanya gue menegur Dania atas perkataannya, tapi…gue lelah. Jadi, bye.

“Kak, kamu sekalian siap-siapin tuh barang buat besok berangkat. Jadi kan berangkat besok pagi?” tanya Mama sembari menggendong Dian yang sudah mulai tidak betah dengan popok penuh yang ia pakai.

“Jadi, Ija berangkat abis Subuh dari rumah.”

“Ya udah coba dicek lagi semua kebutuhan administrasinya, jangan sampe ada yang ketinggalan. Cuma administrasi doang apa gimana?” Tumben banget Mama peduli sama persiapan acara pernikahan gue.

“Administrasi doang sekalian nentuin lokasi akad nikahnya. Paling sekalian mastiin MUA, penginapan, sama segala macemnya. Ija kan 2 hari di sana…”

“Hmm. Ya udah. Mau pake koper sekalian?”

“Ngapain make koper? Kan cuma 2 hari doang dikata.”

“Kita mah sehari aja make koper, apalagi 2 hari.” celetuk Dania tanpa sedikitpun lepas dari HPnya dia.

“Eh iya, Kak. Abis nikah, lo nggak apa-apa nanti tinggal berdua di kamar lo? Tadi gue liat, kamar Emi gede bener anjir. 2 kalinya kamar kita tuh. Emi nggak claustrophobic tuh kalau mendadak tidur di kamar lo?” tanya Dania mendadak.

Gue cukup terkejut dengan pertanyaan dia yang satu ini. Sepertinya gue belum membahas mengenai dimana gue akan tinggal setelah menikah nanti pada Mama dan Dania. Walaupun BIASANYA, istri pasti ikut tinggal di rumah keluarga suami (kalau mereka belum memiliki rumah tinggal sendiri). Tetapi masalahnya, gue tidak berpikir demikian. Gue memutuskan akan tinggal di rumah keluarga Emi.

Tapi… gue tidak akan membahas hal ini saat ini. Gue memikirkan mental Mama. Walaupun Mama lebih banyak memikirkan Dian saat ini, tapi proses lamaran hari ini pasti cukup mengena di hati Mama. Gue adalah anak laki-laki beliau yang selama ini menggantikan sosok Papa di hidup Mama. Tapi nanti gue akan memiliki cewek lain yang akan gue cintai sebesar cinta gue pada Mama. Mungkin Mama kepikiran apakah prioritas dan perhatian gue terbagi? Walaupun cinta gue pada Mama tidak akan pernah putus seumur hidup gue. Tapi mana tau Mama mengkhawatirkan hal itu bukan?

“Ya awalnya paling kaget. Tapi gue yakin Emi pasti bisa adaptasi lah…”

“Oh ya udah kalau gitu.” Dania kembali fokus pada kegiatan dia lagi dimana dia sedang kesal dengan suaminya sendiri. Klasik lah.

Tapi pembicaraan Dania ini, membuat gue kepikiran… “Apa gue benar-benar siap meninggalkan rumah yang selama ini menjadi zona nyaman gue?”

Rumah gue ini memang bukan rumah dimana gue dilahirkan dan pertama kali diperkenalkan yang namanya dunia oleh Papa dan Mama. Gue lahir di Jawa sana, pernah tinggal setahun di rumah Mbah, dan pernah tinggal di rumah yang jauh lebih besar serta jadi satu-satunya raja di rumah. Tapi, sebagian besar hidup gue ya tinggal di rumah gue yang sederhana ini. Jadi, rumah ini adalah satu-satunya ‘rumah’ yang gue kenal.

Namun, sebentar lagi gue akan segera meninggalkan rumah yang selama ini melindungi gue dari segala hal negatif di dunia ini. Rumah ini yang melindungi gue dari panas berlebihan matahari, rumah ini yang melindungi gue dari derasnya air hujan, dan rumah ini juga yang melindungi gue dari mereka yang berniat jahat terhadap gue. Semua dapat gue hindari karena gue memiliki rumah ini.

Iya, gue pernah senyaman itu tinggal di rumah ini.

Hanya saja beberapa tahun terakhir, terutama ketika gue memulai segalanya dengan Emi, rumah ini seolah tidak lagi ramah dan aman bagi gue. Tidak lagi menjadi zona nyaman gue. Banyak sekali intrik tidak penting yang terjadi di rumah ini sehingga menyebabkan gue berulang kali melarikan diri dari rumah ini. Gue yang tadinya berlindung di rumah ini dari mereka yang (gue anggap) toxic, malah berbalik memaksa gue keluar dari rumah ini karena mereka yang tinggal seatap dengan gue lah orang-orang yang toxic di hidup gue.

Selama Mama tinggal di sini, rumah ini akan selalu jadi rumah bersama kami. Rumah ini akan selalu jadi tempat untuk gue pulang. Tetapi tidak untuk gue tinggali. Gue ingin memiliki tempat tinggal gue sendiri. Gue ingin memiliki rumah yang gue tinggali bersama istri dan anak gue di masa depan nanti. It’s okay kalau mungkin nanti masih rumah kontrakan atau sewa apartemen dan belum jadi hak milik sendiri. Selama di sana ada Emi, insyaAllah, I’ll survive.

Mungkin hal tersebut tidak pernah terlintas di dalam benak Papa dan Mama dulu. Melihat gue struggling seperti ini untuk menikah bahkan tidak memiliki tabungan sedikitpun untuk membeli rumah gue sendiri. Hal terakhir yang Papa tahu sebelum Papa pergi untuk selamanya adalah Papa sudah mewariskan perusahaan untuk dipimpin oleh gue dimana seharusnya dengan posisi tersebut gue bisa memiliki rumah impian gue. Seperti bagaimana jalan hidup beliau dulu.

“Maaf, Pa. Jalan hidup Ija berbeda 360 derajat dengan jalan hidup Papa. Semoga Papa nggak kecewa ngeliat Ija sekarang.” ucap gue dalam hati.

Gue bisa ingat di dalam benak gue bagaimana rumah tersebut. Bentuknya sangat besar dengan lebih dari tiga kamar, garasi cukup untuk tiga hingga empat mobil, pekarangan yang cukup luas untuk jadi taman bermain anak-anak, kolam renang dengan waterboom mini, studio band, beberapa orang asisten rumah tangga, nanny, driver, gardener, dan juru masak. Pun banyak lagi fasilitas lainnya seperti smarthome yang saat ini mulai populer di Indonesia, dan mungkin bagi sebagian orang adalah sebuah impian. Namun, itu hanya sementara saja, karena semua hilang dalam sekejap, setelah perjuangan puluhan tahun.

Entah terjadi kesalahan yang dilakukan oleh Papa atau bagaimana, yang jelas orang-orang kepercayaan beliau telah mengkhianati beliau sehingga berimbas pada kehidupan keluarga kami di masa depan. Termasuk calon keluarga kecil gue dan Emi nanti. Kehidupan Mama, Dania, dan gue berubah 360 derajat. Apalagi ketika itu, kami hanya menempati rumah sederhana di komplek pinggiran ibukota.

Diubah oleh yanagi92055 12-01-2022 15:12
oktavp
kaduruk
caporangtua259
caporangtua259 dan 15 lainnya memberi reputasi
16
Tutup