Pikiranku menerawang, mencoba mengingat kembali semua peristiwa yang sudah aku dan putriku lalui. Masih teringat jelas dalam ingatanku semua peristiwa tidak masuk akal yang selalu menjadi santapanku sehari-hari. Bersinggungan dengan peristiwa gaib yang hampir membuat otakku menjadi gila!
Malam itu terasa aura mistis yang berhembus sampai membuat bulu kuduk merinding. Suasana di dalam rumah terasa begitu mencekam dan menegangkan.
Suara itu... Ya suara itu!!!
Suara denting piano mulai terdengar menggema di seluruh ruangan, seingatku piano mainan putriku sudah kumatikan dari sebelum adzan magrib berkumandang. Gendis yang sedang tertidur lelap tiba - tiba terbangun, dirinya tampak gelisah dan mulai terdengar tangisan dari bibir mungilnya.
"Aaarrghh...!!! Kenapa kalian tidak pernah berhenti mengganggu anakku? Apa kesalahan putriku terhadap kalian?"
Kehidupanku dulu berjalan normal hingga kehadiran putriku membuat semuanya berubah. Mereka sangat menantikan kehadiranmu, mereka begitu menyambutmu! Apa yang membuat mereka begitu tertarik denganmu putri kecilku?
Gendis adalah nama yang kuberikan untuk putriku tercinta. Anak yang sudah kutunggu hampir sepuluh tahun lamanya. Dari awal kelahirannya, banyak peristiwa aneh yang terjadi. Kehadiran Gendis seperti sudah sangat ditunggu oleh mereka. Putriku sangat rewel, dia selalu menangis dan menjerit histeris ketakutan setiap saat.
Bagaimanakah proses perjalanan hidup Gendis selanjutnya? Bisakah ia terbebas dari semua rasa ketakutan yang selalu menghantui dirinya? Akankah putriku bisa menjalani hidup normal seperti anak kecil lainnya? Dan kapankah semua ujian ini akan berakhir?
Ini kisah Gendis anakku yang akan menjadi bagian dari perjalanan hidupku...
Thread ini aku dedikasikan untuk putriku tercinta yang bernama "Gendis". Semoga kelak ketika dirimu sudah tumbuh dewasa, kamu bisa membaca kisah yang mama tulis berdasarkan pengalaman yang kita lewati setiap harinya. Cerita ini merupakan kisah perjuangan seorang Ibu dalam membesarkan dan mendidik anaknya yang indigo.
Dulu aku hampir menyerah, aku sudah terlalu lelah menghadapi semua peristiwa yang tidak masuk akal. Mentalku sudah tidak kuat menghadapi semua gangguan-gangguan itu sendirian. Namun aku salah! Ternyata aku lebih kuat dari dugaanku selama ini! Itu semua karena rasa kasih sayang seorang Ibu yang begitu besar terhadap anaknya tercinta.
Pesan mama untuk Gendis "Jika saatnya tiba tolong pergunakan kemampuanmu untuk membantu sesama". Enjoy the process dan ingat kamu tidak pernah sendirian! Mommy loves u!
Terima kasih ya Ndis sudah mengijinkan mama untuk menuliskan kisahmu.
Quote:
Doa dari Mas Yus untuk Gendis
Kisah ini berdasarkan kisah nyata yang aku dan Gendis alami.
Untuk update diusahakan setiap hari Senin dan Kamis ( dikondisikan dengan RL).
Mohon maaf kalau susunan kalimatnya kurang enak dibaca. Karena ini pertama kalinya aku menulis cerita.
Selamat menikmati thread ini, jangan lupa ratenya, komen n ... Terima kasih.
Quote:
Saya mohon dengan sangat untuk tidak meng Copy Paste cerita ini. Semoga agan dan sista yang budiman bersikap bijaksana, dan bisa menghargai karya orang lain. Terima kasih
"Suamiku tersenyum kecil. Sepertinya ia sudah tidak heran lagi mendengar celotehan putrinya yang suka menjadi kenyataan. Kehadiran Gendis benar-benar telah membuat duniaku penuh warna. Semua ucapan dan tingkah lakunya yang di luar nalar telah berhasil membuat aku dan suamiku terkesima. Memandang takjub akan ciptaan-Nya yang sungguh luar biasa.
Setelah puas mengajak Gendis berkeliling, akhirnya aku kembali ke rumah. Wajah putriku terlihat sumringah karena tadi mas sempat mampir ke toko mainan dan membelikan beberapa puzzle untuk putrinya. Berkali-kali Gendis tertawa riang dan menciumi ke dua pipi ayahnya sambil mengucapkan terima kasih.
"Yah.. yah.. ain ama Dis" (Ayah. Ayah. Main sama Gendis) teriak putriku sambil membuka bungkus mainannya.
"Sebentar ya Ndis" sahut suamiku sambil berjalan menuju ke atas karpet dimana putriku berada.
Dengan anteng suamiku langsung bermain puzzle bersama Gendis. Sesekali terdengar suara canda tawa yang terlontar dari bibir keduanya. Aku yang terduduk di sofa hanya diam dan tersenyum bahagia melihat pemandangan yang langka ini.
Karena merasa suntuk, aku segera meraih ponselku dan berselancar di dunia maya. Aku membuka aplikasi belanja online dan segera memesan dua buah puzzle alphabet untuk Gendis. Setelah itu aku melanjutkan melihat-lihat dari salah satu aplikasi ke aplikasi lainnya.
Hingga akhirnya mataku tertuju pada salah satu produk kecantikan. Hatiku langsung terpikat saat melihatnya. Sesuatu yang begitu mungil dan berwarna lucu. Aku benar-benar menginginkannya. Aku segera mengecek harganya dan aku terkejut. Ternyata cukup mahal juga uang yang harus aku keluarkan untuk benda semungil itu.
Mataku berputar, aku benar-benar ingin membelinya. Namun aku takut. Takut kalau suamiku marah jika ia tahu aku membeli barang semahal itu. Namun jika tidak kubeli maka aku yang akan kepikiran.
Aku merenung, memikirkan apa yang sebaiknya aku lakukan.
Pikiran jahatku mulai beraksi "Aah.. lebih baik aku bilang ke suamiku kalau aku menginginkan benda itu. Tapi tidak akan kusebutkan harga aslinya. Aku cukup bilang kalau harganya murah. Toh suamiku tidak akan pernah mengecek mutasi rekeningku!" Aku menyeringai nakal.
Aku melangkah pelan menuju suamiku yang masih menemani putrinya bermain.
"Yaahh" ucapku manja.
Gendis dengan wajah menunduk karena fokus menyusun potongan puzzle langsung bereaksi.
"MAMA ANGAN OONG!" Bentaknya kencang.
Ucapan spontan putriku berhasil membuat jantungku ketar-ketir. Walau perutku juga terasa sakit karena harus menahan tawa.
"DAH UJUL AJA MA YAH" (Sudah Jujur saja sama ayah)
"ANGAN OONGI CUAMI!!" (Jangan bohongi suami) Bentaknya lagi.
Seketika suamiku menghentikan susunan puzzlenya. Ia menatapku tajam.
"Apa Ma? Ima mau bilang apa? Kok tiba-tiba Gendis bilang jangan bohong?"
"Ya tu yah.. Mama au oong yah" (Iya tu yah. Mama mau bohongin ayah)
"Kok malah ketawa Ma?" Suamiku terlihat kebingungan dengan situasi yang sedang ia hadapi.
"Iya mas. Aduhh.. Maaf banget ya mas. Tolong maafin Ima! Maaf banget" aku segera menciumi kedua pipi suamiku dengan rasa bersalah.
"Kenapa Ima minta maaf? Memangnya benar yang Gendis ucapkan kalau Ima mau membohongi mas?"
Aku menundukkan kepalaku dan mengangguk pelan.
Suamiku menggeleng sambil tersenyum manis.
"Ima.. Ima.. memangnya kamu mau bohongin mas apa?"
"Ini mas, Ima pengen beli ini. Tapi harganya mahal banget. Tadinya Ima mau bilang ke mas kalau harganya murah. Eh, Gendis malah baca pikiran Ima" aku menepuk keningku.
"Gagal deh rencana Ima mau bohongin mas" uajrku sambil tertawa cekikikan.
"Ima.. Ima.. Ada-ada saja sih kamu. Sudah tua tapi kelakuan masih saja seperti anak kecil" suamiku tertawa pelan.
"Au ni mama! Aya nak ecil!!" (Tau nih mama. Kaya anak kecil)
"Ya Allah... Mas kira kamu bohongin apa. Ternyata cuma untuk sebuah barang seperti ini?" Tunjuk mas ke layar ponselku.
"He-eh..! Ima suka banget mas, lucu" rayuku.
Suamiku terdiam dan mengamati aplikasi belanja online yang kini berada dalam genggamannya.
"Lucu juga dan warnanya bagus. Sudah langsung beli sana. Jangan sampai kehabisan! Kalau sampai tidak dibeli, bisa-bisa nanti malam ada tidak bisa tidur karena kepikiran!" Godanya seraya mengusap lembut pucuk kepalaku.
Aku menatap suamiku dengan tatapan tidak percaya.
"Serius mas? Ima boleh beli?"
"Iya.. tinggal beli saja kok. Ngapain dibikin rumit? Sampai harus berbohong segala? Ima seperti tidak paham sama sifat mas!"
Aku tertunduk malu.
"Iya mas. Maafin Ima ya"
"Alhamdulillah ada Gendis jadi mama tidak bikin dosa ya nak?" Mas tertawa kecil sambil menatap putrinya.
"Mama oong..! Huu.. Mama oongin yah" (Mama bohong. Huum. Mama bohongin ayah) Ejeknya sambil tertawa.
"Iya nih Ndis. Masa mama tega mau bohongin ayah" gurau suamiku.
"Kan kita sudah janji tidak boleh berbohong ya Ndis?"
"YA..!! NO OONG!! NO..! NO..!!" (Ya. No bohong. No.No) Teriaknya lantang.
"Tan a oleh oong ya yah. Alus ujul" (Kan nggak boleh bohong ya yah. Harus jujur)
"Alah da cuka olang oong tan?" (Allah mggak suka orang bohongkan)
"Betul nak! Pintar anak ayah! Mama, Gendis dan ayah harus saling jujur. Tidak boleh ada rahasia antara kita oke?"
Gendis mengancungkan jempolnya.
"Dis ujul ya yah?" (Gendis jujur ya yah)
"Insya Allah selamanya Gendis akan tumbuh menjadi pribadi yang jujur ya sayang" ucap mas sambil menciumi ke dua pipi putrinya.
"Yee.. Dis ujul! Mama No!!" (Yee. Gendis jujur. Mama No)
Aku hanya bisa menyengir melihat kelakuan Gendis yang terus menggodaku karena telah berusaha membohongi ayahnya.
"Gendis.. Gendis.. bahaya nih. Sekarang mama sudah tidak bisa berbohong lagi" batinku sambil tersenyum simpul.
"Dis, ayah mau tanya ke Gendis, boleh tidak?"
Sambil terus menyusun potongan puzzle, Gendis menjawab pertanyaan yang diberikan oleh ayahnya.
"Yah au ana apa?" (Ayah mau tanya apa)
"Ayah mau tahu tapi ayah minta Gendis harus jujur sama ayah"
"He-eh. Dis ujul" (He-eh, Gendis jujur)
"Di hati mama ada pria lain ngga?"
"Deegg..!!" Darahku berdesir kencang dan jantungku terasa berhenti saat mendengar pertanyaan yang diberikan suamiku kepada Gendis.
Putriku menaruh potongan puzzle yang berada dalam genggamannya. Ujung ekor matanya yang tajam kini beralih menatap ke dalam mataku dan suamiku. Ia tampak tengah menggali informasi sebanyak-banyakmya dari pikiranku.
Aku tersenyum kecut. Walau debaran jantungku terasa begitu kencang dan membuat seluruh persendianku terasa lemas. Setelah ia puas membaca isi hati dan pikiranku, Gendis kembali melanjutkan bermain dengan puzzle-puzzle yang berserakan di atas karpet.
"No yah! Ati mama da ada owo ain" (No yah. Di hati mama nggak ada cowok lain)
Suamiku terperanjat mendengar jawaban Gendis.
"Terus di hati mama ada siapa nak?"
"Ndis! Uma ada Ndis !" (Gendis. Cuma ada Gendis)
Putriku melanjutkan kembali ucapannya.
"Ati dan otak mama uma ada Dis! Da ada apa-apa agi!" (Di hati dan otak mama cuma ada Gendis. Nggak ada siapa-siapa lagi)
Suamiku menarik nafas lega.
"Mama sayang sama ayah nggak Ndis?"
"NO!!!" Gelengnya cepat.
"Kalau mama nggak sayang sama ayah, kenapa mama masih mau hidup sama ayah?" Cecar suamiku penuh rasa ingin tahu
"Uit yah! Mama uma au uit yah oang!" (Duit yah. Mama cuma mau duit ayah doang)
Aku tertawa ngikik mendengar jawaban polos Gendis.
Suamiku menatap ke arahku.
"Benar Ma yang Gendis bilang?"
Aku tersenyum sinis "Betul kok. Kan dulu kamu pernah menghina Ima. Mas bilang Ima cuma sayang duit mas? Ya sudah, Ima kabulkan ucapanmu itu" jawabku tanpa merasa bersalah.
Suamiku tertunduk malu, menyadari kesalahannya terdahulu yang pernah menghina diriku. Ia paham benar dengan sifatku yang pendendam.
Gendis yang merasakan perubahan aura di sekelilingnya segera berdiri, ia berjalan menuju ke arahku yang terduduk angkuh. Secara spontan Gendis meletakkan tangan kanannya di dadaku. Ia menatapku hangat.
"Angan endam ma yah agi. Angan endam ma olang-olang ang cuka aatin mama! No! No!" (Jangan dendam sama ayah lagi. Jangan dendam sama orang-orang yang suka jahatin mama. No.No) Pintanya lembut.
"Alo mama acih endam tal adi atit. Dis ga au mama atit" (Kalau mama masih dendam ntar jadi penyakit. Gendis nggak mau mama sakit)
Rasa sakit itu datang lagi, seakan menyergapku. Orang-orang yang telah menyakitiku. Mereka yang telah membuat aku menjadi seorang pendendam. Darahku bergejolak mendengar ucapan Gendis. Wajahku seperti ditampar dengan ucapannya yang begitu dewasa dan bijaksana.
Hatiku luruh..
Perlahan-lahan Gendis menurunkan tangannya. Ia memelukku dengan dekapan yang hangat dan penuh cinta kasih. Ia mencium keningku dengan penuh kasih sayang. Seolah-olah ia ingin aku melupakan semua rasa sakit yang telah begitu lama ku tanggung sendiri.
Tak terasa aku menitikkan air mata.
Aku menangis tersedu-sedu dalam dekapan hangatnya. Beban yang menghimpitku perlahan-lahan sirna.
"Maafin mama ya Ndis. Tolong maafin mama" ucapku berlinang air mata.
"Terima kasih nak, sudah mengingatkan mama untuk tidak menjadi pribadi yang jahat. Terima kasih..." bisikku sambil menciumi ke dua pipinya.
"Ya Allah, terima kasih banyak sudah mengirimkan malaikat kecil ini ke dalam hidupku" batinku.
Hari itu merupakan titik balik dalam hidupku. Gendis, putri kecilku yang masih berusia dua tahun. Ia yang telah mengajarkanku untuk menjadi pribadi yang pemaaf. Anakku tidak rela jika penyakit hati menggerogoti jiwa dan raga serorang wanita yang telah bersusah payah melahirkannya ke dunia.
***
Keesokan harinya setelah suamiku pamit berangkat kerja. Tinggallah aku dan Gendis berduaan di rumah.
"Ndis, enaknya kita main apa ya?"
Gendis menaruh jari telunjuk di keningnya, kemudian ia menggoyang-goyangkan rambutnya. Seolah-olah ia sedang berpikir keras, permainan apa yang ingin ia lakukan.
"Ma, ain ulu akis yuk. Mau da?" (Ma, main bulu tangkis yuk. Mau nggak)
"Boleh juga Ndis. Gendis tunggu disini sebentar ya. Mama mau ambil raketnya dulu"
Aku bergegas menuju ke ruang bermain mengambil raket dan kok untuk bermain bulu tangkis.
"Yuk Ndis, ini raket untuk Ndis yang warna blue. Mama yang warna red ya?"
"Yes!! Dis cuka ilu" (Yes. Gendis suka biru)
"Terus kita mau main dimana? Kalau main di teras takutnya debu nak. Soalnya angin di luar lagi kencang"
"Ain ini aja ma" (Main disini saja ma)
"Ya sudah kita main di ruang tv"
Aku dan Gendis bersiap-siap bermain bulu tangkis.
"Siap ya Ndis"
Aku memukul kok dengan pelan ke arah putriku. Sambil berlari dan tertawa riang, Gendis mencoba memukul kok yang ku arahkan padanya. Namun tangannya yang kecil, kalah cepat. Kok bulu tangkis jatuh tepat di atas ubin.
Aku pun kembali bersiap-siap memukul kok yang berada dalam genggamanku. Dan seperti biasa, putriku selalu kalah cepat. Entah sudah berapa puluh kali pukulan servisku tidak dapat ditangkis oleh putriku.
Hingga akhirnya...
Sayangnya kali ini aku memukul bolanya terlalu kencang hingga membuat kok melambung terlalu jauh dan terjatuh di dapur.
"Yaa.. Ndis. Maafin mama ya. Bolanya jatuh di dapur. Mama kekencengan mukul bolanya" ujarku dengan rasa bersalah.
"Ga papa ma. Bial Dis ambil" (Nggak apa-apa ma. Biar Gendis yang ambil)
Dengan cekatan, putriku berlari menuju ke dapur. Ia menunduk dan jemari mungilnya meraih kok yang terjatuh dekat lemari pendingin. Aku mengamati putriku dari jauh, kulihat mata Gendis tampak melirik ke arah sudut dapur. Raut wajahnya yang ceria seketika berubah pias. Dengan berlari cepat, Gendis berlari menghampiriku.
"Mama..! Mama..! Ini olana" (Mama. Mama. Ini bolanya) Tangannya yang kecil menyerahkan sebuah bola kok[/I ke tanganku.
"Terima kasih ya sayang. Gendis pinter deh" pujiku.
Gendis berdiri di hadapanku. Menatapku penuh arti.
"Mama, Dis oleh angku mama?" (Mama, Gendis boleh dipangku mama) Pintanya lirih.
"Boleh.. Sini sayang, mama pangku Gendis"
Aku langsung terduduk di lantai yang dingin dan memangku tubuh putriku.
"Ndis cape ya?" Tanyaku sambil memeluk tubuhnya dari belakang.
"No, ma!" Gelengnya lemah.
"Terus kenapa Gendis berhenti bermain? Gendis lagi nggak mood main sama mama ya?" Godaku sambil mengelitiki pinggangnya.
Putriku tertawa kegelian. Wajahnya yang putih kini bersemu merah.
"Mama.. Sssttt!!"
Ia menaruh telunjuknya di bibir. Meminta aku untuk tidak bersuara kencang.
"Kenapa Ndis? Kok mama tidak boleh berbicara?" Bisikku di telinganya.
"Mama angan elicik ya!" (Mama jangan berisik ya) Pintanya dengan suara yang sangat pelan.
"Memangnya kenapa nak?"
Putriku memandang ke arahku. Binar matanya tersirat begitu banyak pertanyaan.
"Mama angan alah ya" (Mama jangan marah ya)
"Marah kenapa Ndis?"
"Anji ulu, mama ga alah" (Janji dulu, mama nggak marah)
"Iya mama janji. Emangnya Gendis mau bilang apa sih?"
Putriku terdiam sejenak. Ia menarik nafas pelan. Seolah-olah saat ini ada yang menjadi beban pikirannya.
"Dis au anya. Ini lumah ita atau utan?" (Gendis mau tanya. Ini rumah kita atau bukan)
Aku tertawa kecil mendengar pertanyaannya yang polos.
"Ini rumah kita lah. Masa rumah orang lain"
"Emangna enel ini lumah ita? Utan [I]zo?" (Emangnya bener ini rumah kita. Bukannya zoo)
"Benerlah ini rumahnya Gendis!! Masa ini kebun binatang?"
"Mama akin ini utan zoo?"(Mama yakin ini bukan zoo) Tanyanya lagi berusaha memastikan jawabanku.
"Mama yakin 100% kalau ini rumah kita. Dan ini bukan zoo! Memangnya kenapa sih Ndis?" Aku begitu penasaran dengan pertanyaan Gendis yang mempertanyakan zoo.
"Mama au ga? Di dapul ada tigel" (Mama tau nggak. Di dapur ada tiger)
Aku terhenyak mendengar jawaban putriku.
"Tiger? Di dapur?"
"He-eh. Ada big tigel di dapul" (He-eh. Ada big tiger di dapur)
"Ada berapa jumlah tigernya?" Cecarku.
"One"
"Apa warna tigernya?"
"Olange" (Orange)
Aku termenung. Kehabisan kata-kata. Belum juga hilang rasa penasaranku tentang sosok yang biasa dipanggil Ibu, sekarang muncul lagi mahluk berwujud tiger.
"Siapa sebenarnya mereka? Ada kepentingan apa sampai menampakkan wujudnya ke putriku? Cuma sekedar numpang lewat ataukah memang memiliki hubungan khusus dengan anakku?" batinku.
Perasanku mulai diselimuti rasa was-was dan takut. Aku khawatir jika kehadiran sosok tiger akan mengancam keselamatan putriku.
"Ndis, tigernya punya maksud jahat atau tidak?
Putriku terdiam sejenak, matanya menatap tajam fokus ke arah dapur. Sepertinya saat ini Gendis tengah berkomunikasi lewat batin dengan entitas berwujud tiger.
Putriku menatapku dan tersenyum lembut.
"No! Tigel baik ma. Igel ga aat kok" (No. Tiger baik ma. Tiger nggak jahat ma)
"Alhamdulillah kalau tiger tidak memiliki maksud jahat kepadaku ataupun Gendis" aku menghela nafas lega.
"Ma.. Tigelna big! Big!" (Ma. Tigernya Big. Big)
"Utunya ajem ma, like cat" (Kukunya tajam ma. Like cat)
Mataku terasa panas dan kepalaku mulai terasa pusing mendengar ucapan Gendis. Sambil melirik ke arah dapur, aku mengurut pelipisku.
"Semuanya terasa begitu tidak masuk akal. Saat ini ada tiger besar yang berada di dapurku" aku menggeleng pelan berusaha menjaga kesadaranku.
"Ma..! Stttt...!!"
"Kenapa lagi Ndis?" Bisikku.
"Tigel agi alan kemali" (Tiger lagi jalan kemari) Tunjuknya ke arah perbatasan dapur dan ruang tv.
"Tigel agi iatin Dis" (Tiger lagi lihatin Gendis) Tatapnya tajam tanpa berkedip sedikitpun ke arah dapur.
Pandanganku kembali teralihkan ke arah dapur. Bulu kudukku meremang hebat. Dingin! Sekujur tubuhku terasa begitu dingin! Aku mengusap punggungku berkali-kali untuk memberikan rasa hangat, namun tidak berhasil.
Energi ini..
Energi yang saat ini kurasakan terasa begitu dahsyat, membuat dadaku terasa sesak. Seperti ada yang menghimpit jantungku! Aku kesulitan bernafas. Jantungku semakin lama berpacu dengan cepat. Ujung ekor mataku melirik sekilas ke arah Gendis. Kulihat putriku tampak biasa-biasa saja. Tampakny ia tidak terpengaruh dengan kehadiran tiger yang saat ini sedang mengawasi aku dan putriku dari ambang pintu dapur.
"Ma, acuk amal yuk" ajaknya sambil mengelus lembut pipiku. Mengembalikan kesadaranku untuk tetap fokus kepada dirinya.
"Eh iya. Ayo Ndis"
Aku mulai berdiri dari dudukku dan menggandeng tangannya yang mungil. Dengan jalan berjingkat, perlahan-lahan kami menuju ke dalam kamar.
"Ndis.. kenapa kita jalannya pelan-pelan begini?"
"Sstt....!!" Lagi-lagi putriku menyuruh untuk diam.
"Mama angan anak omon. Anti tigel dengel" (Mama jangan banyak ngomong. Nanti tiger dengar)
"Alo Tigel mau itut imana?" (Kalau tiger mau ikut, bagaimana)
Aku mengangguk tanda mengerti.
Akhirnya setelah berjalan seperti layaknya seorang pencuri, aku dan putriku berhasil tiba di kamar. Dengan secepat kilat, Gendis langsung membanting pintu kamar. Hingga menimbulkan suara berisik yang membuatku terkejut.
"BRAAKK" suara pintu dibanting.
"Ndis tutup pintunya pelan-pelan. Mama sampai kaget!" Seruku sambil mengusap dadaku berulang kali.
Matanya yang bening dan polos menatap teduh ke dalam mataku.
"Aap ma! Aapin Dis!" (Maaf ma. Maafin Gendis) Pintanya sambil mengatupkan ke dua tangannya di depan dada.
"Dis uma akut alo igel acuk amal" (Gendis cuma takut kalau tiger masuk ke kamar) Tatapnya dengan raut wajah bersalah.
"Iya sudah nggak apa-apa nak. Mama tidak marah kok sama Gendis. Mama cuma minta Gendis lain kali untuk lebih pelan-pelan ya sayang. Jangan bikin jantung mama mau copot"
"Iya ma..! Aap ma!" (Iya ma. Maaf ma)
"Ma, unci itu epat" (Ma, kunci pintu cepat) Ia menarik lenganku dengan kencang.
"Iya sebentar sayang" aku segera mengunci pintu kamar.
"Sudah mama kunci Ndis. Kenapa sih nak?"
Putriku tidak menjawab pertanyaanku. Ia berjalan ke arah pintu kamar dan mendekatkan telinganya di daun pintu. Anakku tampak seperti tengah berusaha menguping sesuatu. Cukup lama anakku terdiam sampai akhirnya bibir mungilnya mengucapkan kalimat puji dan syukur.
"Amuilah Tigel nga au acuk amal" (Alhamdulillah tiger nggak mau masuk ke kamar)
Ucapnya sambil mengelus dadanya berulang-ulang.
"Dis atut alo tigel macuk amal!" (Gendis takut kalau tiger masuk ke kamar)
"Kenapa harus takut Ndis?"
"Ndis atut alo tigel akan Dis, akan mama" (Gendis takut kalau tiger makan Gendis. Makan mama) Ujarnya bergidik ngeri.
Aku tertawa geli mendengar penuturannya yang lugu. Ternyata putriku belum paham jika tiger yang ia lihat bukanlah binatang sungguhan. Tiger yang saat ini sedang asik berkeliaran di dalam rumahku adalah entitas dari dunia lain yang hanya bisa dilihat oleh mata ketiga putriku.
Anda akan meninggalkan Stories from the Heart. Apakah anda yakin?
Lapor Hansip
Semua laporan yang masuk akan kami proses dalam 1-7 hari kerja. Kami mencatat IP pelapor untuk alasan keamanan. Barang siapa memberikan laporan palsu akan dikenakan sanksi banned.