Pikiranku menerawang, mencoba mengingat kembali semua peristiwa yang sudah aku dan putriku lalui. Masih teringat jelas dalam ingatanku semua peristiwa tidak masuk akal yang selalu menjadi santapanku sehari-hari. Bersinggungan dengan peristiwa gaib yang hampir membuat otakku menjadi gila!
Malam itu terasa aura mistis yang berhembus sampai membuat bulu kuduk merinding. Suasana di dalam rumah terasa begitu mencekam dan menegangkan.
Suara itu... Ya suara itu!!!
Suara denting piano mulai terdengar menggema di seluruh ruangan, seingatku piano mainan putriku sudah kumatikan dari sebelum adzan magrib berkumandang. Gendis yang sedang tertidur lelap tiba - tiba terbangun, dirinya tampak gelisah dan mulai terdengar tangisan dari bibir mungilnya.
"Aaarrghh...!!! Kenapa kalian tidak pernah berhenti mengganggu anakku? Apa kesalahan putriku terhadap kalian?"
Kehidupanku dulu berjalan normal hingga kehadiran putriku membuat semuanya berubah. Mereka sangat menantikan kehadiranmu, mereka begitu menyambutmu! Apa yang membuat mereka begitu tertarik denganmu putri kecilku?
Gendis adalah nama yang kuberikan untuk putriku tercinta. Anak yang sudah kutunggu hampir sepuluh tahun lamanya. Dari awal kelahirannya, banyak peristiwa aneh yang terjadi. Kehadiran Gendis seperti sudah sangat ditunggu oleh mereka. Putriku sangat rewel, dia selalu menangis dan menjerit histeris ketakutan setiap saat.
Bagaimanakah proses perjalanan hidup Gendis selanjutnya? Bisakah ia terbebas dari semua rasa ketakutan yang selalu menghantui dirinya? Akankah putriku bisa menjalani hidup normal seperti anak kecil lainnya? Dan kapankah semua ujian ini akan berakhir?
Ini kisah Gendis anakku yang akan menjadi bagian dari perjalanan hidupku...
Thread ini aku dedikasikan untuk putriku tercinta yang bernama "Gendis". Semoga kelak ketika dirimu sudah tumbuh dewasa, kamu bisa membaca kisah yang mama tulis berdasarkan pengalaman yang kita lewati setiap harinya. Cerita ini merupakan kisah perjuangan seorang Ibu dalam membesarkan dan mendidik anaknya yang indigo.
Dulu aku hampir menyerah, aku sudah terlalu lelah menghadapi semua peristiwa yang tidak masuk akal. Mentalku sudah tidak kuat menghadapi semua gangguan-gangguan itu sendirian. Namun aku salah! Ternyata aku lebih kuat dari dugaanku selama ini! Itu semua karena rasa kasih sayang seorang Ibu yang begitu besar terhadap anaknya tercinta.
Pesan mama untuk Gendis "Jika saatnya tiba tolong pergunakan kemampuanmu untuk membantu sesama". Enjoy the process dan ingat kamu tidak pernah sendirian! Mommy loves u!
Terima kasih ya Ndis sudah mengijinkan mama untuk menuliskan kisahmu.
Quote:
Doa dari Mas Yus untuk Gendis
Kisah ini berdasarkan kisah nyata yang aku dan Gendis alami.
Untuk update diusahakan setiap hari Senin dan Kamis ( dikondisikan dengan RL).
Mohon maaf kalau susunan kalimatnya kurang enak dibaca. Karena ini pertama kalinya aku menulis cerita.
Selamat menikmati thread ini, jangan lupa ratenya, komen n ... Terima kasih.
Quote:
Saya mohon dengan sangat untuk tidak meng Copy Paste cerita ini. Semoga agan dan sista yang budiman bersikap bijaksana, dan bisa menghargai karya orang lain. Terima kasih
"Seolah membaca pikiran suamiku, Gendis menoleh ke arah kami. Ia tersenyum manis.
"Dis au yah agi ikil apa?" (Gendis tahu ayah lagi mikir apa) ucapnya sambil mengerlingkan mata.
"Yah agi ingung ama Dis" (Ayah lagi bingung sama Gendis) ujarnya tertawa riang.
Sambil tersenyum kikuk, suamiku melirik ke putrinya. Ke dua bola matanya memandang takjub dan kagum ke arah Gendis yang meneruskan kembali bermain dengan bonekanya.
"Gendis ternyata memang benar kalau kamu ini anak yang istimewa" desisnya lirih.
"Ndis.. Gendis tahu dari mana kalau ayah sedang bingung sama kelakuan Ndis?"
Sambil terus memainkan boneka di tangannya, Gendis tersenyum.
"Cini yah" (Sini yah) tunjuknya ke kepala.
"Hmm... ternyata dari pikiranmu ya nak"
"Sudah mas biarkan saja Gendis. Jangan ditanya-tanya terus. Kasihan! Ima takut kalau Gendis merasa tidak nyaman"
"Iya Ma"
Suamiku terdiam sejenak.
"Mas cuma heran. Kok bisa ya, Allah mempercayakan kita untuk merawat anak seperti Gendis. Kita yang banyak dosa malah mendapat titipan ciptaan-Nya yang sangat istimewa" ujarnya dengan mata menerawang.
"Alhamdulillah, Ima senang banget mendengarnya. Pikiran dan hati mas sudah terbuka dan bisa menerima kalau putri kita memang berbeda" aku menepuk pelan jemari suamiku.
"Coba mas bayangkan apa yang akan terjadi jika anak seperti Gendis tumbuh di lingkungan keluarga yang tidak mendukungnya. Kira-kira apa yang akan terjadi?"
Suamiku menatap dalam mataku. Ia menggindikkan bahunya lemah.
"Entah lah Ma. Saat ini mas tidak bisa berpikir jernih. Mas masih heran dengan kemampuan Gendis dalam hal membaca pikiran. Asli Ma, mas kaget banget sama semua ucapan dan sikapnya ketika berusaha mendamaikan kita"
"Nih mas.. Ima kasih tahu ya. Seandainya anak-anak sepeti Gendis tumbuh dalam lingkungan keluarga yang tidak memahaminya. Mereka bisa tumbuh menjadi anak yang rendah diri dan mengganggap diri mereka aneh. Kasihan kan?"
Suamiku menggangguk pelan.
"Bisa jadi Ma" gumamnya.
"Seandainya mas memang tidak mempercayai ucapan Gendis. Cukup mas simpan saja dalam hati. Tolong hormati dan jaga perasaan anak kita. Jangan sampai mas berkata kasar kepada Gendis. Dengarkan dan pahami apa yang Gendis katakan walaupun kita tidak bisa meilhat dan merasakan apa yang ia rasakan. Jangan lupa juga, kita harus sering menasehatinya agar jangan sampai salah jalan"
"Iya Ma. Mas paham dengan ucapan Ima..Mas juga tidak mau kalau Gendis tumbuh menjadi anak minderan. Mas sayang banget sama Gendis..." ucapnya seraya menitikkan air mata.
"Syukurlah kalau begitu. Hati Ima sekarang sudah lega. Karena Gendis akan selalu mendapat support dari orangtuanya. Kita harus kompak dalam mendidik Gendis ya mas. Biar Gendis menjadi anak solehah, hidup penuh berkah dan selalu lurus jalannya"
"Aamiin.."
Aku menghela nafas berat.
"Jujur, sebenarnya Ima sendiri justru merasa sedikit was-was"
"Memangnya apa yang Ima takutkan?" Telisik suamiku.
"Bayangkan saja mas, dari lahir Gendis sudah bisa melihat mereka. Seiring bertambah usia, kemampuannya semakin bertambah. Bagaimana nanti kalau ia dewasa? Apa lagi yang bisa Gendis lakukan? Anak kita ini benar-benar penuh kejutan!"
"Benar juga kata Ima. Mungkin pilihannya hanya dua. Seiring berjalannya waktu, emampuan Gendis perlahan-lahan akan menghilang atau mungkin malah akan bertambah kuat. Hanya Allah yang tahu" gumam suamiku.
"Hahaha.. ini namanya bukan cengeng nak tapi bahagia"
"Ia??" (Bahagia)
"Iya ini namanya tangis bahagia"
"Dis da au" (Gendis tidak tahu)
"Sini Ndis, ayah mau mangku Gendis. Sayang banget ayah sama Gendis"
Sambil memeluk boneka, putriku berjalan mengampiri mas dan duduk di pangkuannya. Suamiku merengkuh tubuh mungilnya. Membelai lembut rambutnya dan menciumnya dengan penuh cinta kasih.
"Terima kasih ya Ndis. Terima kasih.." bisiknya pelan. Seperti paham dengan yang dirasakan suamiku, Gendis mengangguk pelan dan menggenggam erat jemari ayahnya.
***
Pagi itu terlihat begitu cerah. Secerah hatiku yang sedang diliputi perasaan bahagia.
"Ndis, Ima, mumpung cuaca lagi bagus, kita jalan keliling kompleks yuk" ajak mas sambil menatap ke hamparan langit yang berwarna biru.
Dengan berlari kecil, Gendis segera menuju ke rak sepatu dan mengambil sendal favoritnya. Tangannya menunjuk ke arah pintu gerbang yang masih terkunci rapat.
"Uka yah, uka. Dis au ual. Alan-alan" (Buka yah. Gendis mau keluar. Jalan-jalan)
Sambil tersenyum, mas segera membukakan pintu gerbang untuk putri kesayangannya.
"A'acih yah" (terima kasih yah) ujarnya sambil berlari menuju jalanan.
"Pelan-pelan Ndis" teriak ku dari arah garasi.
Dengab tergesa-gesa, aku segera menyusul putriku.
"Ndis sini gandengan tangan sama mama dan ayah"
Gendis yang sedang asik mengamati pohon nangka milik tetanggaku langsung berlari ke arahku dan memegang tangan ku serta ayahnya.
Sambil bergandengan tangan, kami pun mulai berjalan mengelilingi kompleks. Sesekali langkah putriku terhenti dan menatap ke arah deretan pohon jati yang berdiri kokoh di pinggir jalan.
"Kenapa nak? Gendis lihat apa?" Tanyaku pelan.
"No ma..! Ame!" (No ma. Rame) Ucapnya sambil menunjuk ke atas pohon jati yang berdaun cukup rimbun.
"Oh... disana rame. Ya sudah cuekin aja Ndis. Kan tidak ada yang mengganggu ini"
Gendis pun melanjutkan kembali jalannya. Sesekali ia tertawa geli ketika melihat sesuatu yang hanya bisa dilihat oleh mata ketiganya. Mas hanya bisa menggaruk kepalanya setiap melihat tingkah putrinya yang terlihat tidak wajar. Mungkin suamiku masih beradaptasi menerima perbedaan putrinya yang bisa melihat dunia lain.
Ketika sampai di pertigaan jalan, kami berpapasan dengan tetanggaku yang baru keluar dari rumahnya.
"Eh.. Gendis. Lagi jalan pagi sama ayah dan mama ya?" Sapanya sopan dan ramah.
Putriku melirik dengan tatapan sinis ke arah tetanggaku dan ia tidak mau menjawab sapaannya. Gendis langsung membuang wajahnya dan menarik tanganku dengan kencang.
Aku yang merasa tidak enak hati langsung tersenyum "Eh iya nih bu. Mumpung cuaca lagi cerah. Permisi bu..!" jawabku sambil menundukkan sedikit kepala dan berlalu dari hadapan tetanggaku.
"Silahkan mba" jawab beliau sambil terus mengamati putriku.
Setelah agak jauh, aku langsung menasehati Gendis.
"Ndis kalau disapa orang harus menjawab sayang. Jangan malah buang muka. Itu namanya tidak sopan"
"No" jawabnya datar.
"Kok No?" Tanyaku heran.
"Dis ga cuka!" (Gendis nggak suka)
"Gendis nggak suka apa?"
Putriku termenung sejenak.
"Dis ga cuka ibu tu ma" (Gendis nggak suka Ibu itu ma)
"Memangnya kenapa sama ibu tadi? Kok Ndis bisa tidak menyukai beliau?" Tanyaku penuh rasa ingin tahu.
"Ibu tu ipatnya ga agus ma" (Ibu itu sifatnya nggak bagus ma)
"Nggak bagus gimana Ndis?" Celetuk suamiku yang sedari tadi hanya mendengarkan pembicaraanku dan putrinya.
"Olangnya aat yah" (Orangnya jahat yah)
"Atina aat" (Hatinya jahat)
"Jahat??" Suamiku keheranan dengan jawaban yang diberikan oleh putrinya.
"He-eh, bu tu aat! Ipatna ga agus" (He-eh. Ibu itu jahat. Sifatnya nggak bagus)
"Nggak bagus bagimana?"
"Olangna ilian yah. Cuka omongin olang. Dis ga cuka!! Aat! Ia aat!!" (Oranfnya irian yah. Suka ngomongin orang. Ndis nggak suka. Jahat. Dia jahat)
"Loh memangnya Gendis tahu dari mana kalau sifat ibu tadi irian? Ndis dapat bahasa irian dari mana?" Cecar suamiku.
"Cini..!!" Tunjuknya ke kepalanya.
Suamiku tidak melanjutkan pertanyaannya. Kini tatapannya beralih ke arahku dan ia terkekeh pelan.
"Kok bisa ya, anak kita tahu kalau ibu yang baru saja menyapanya memiliki karakter yang kurang bagus?"
Aku tersenyum simpul.
"Ima juga kaget pas mendengar penjelasan Gendis. Ibu tadi kan memang terkenal dengn sifatnya yang irian. Tipe snake lah, manis di depan, busuk di belakang" ujarku pelan.
"Iya, mas juga tahu banget karakter beliau yang terkenal toxic. Herannya, kok Gendis bisa memakai kalimat irian? Memangnya dia paham artinya?"
Aku menggindikkan bahuku.
"Entah mas. Hanya Gendis yang tahu. Yang pasti Ima tidak pernah mengajari kalimat itu ke Gendis"
"Iya.. mas percaya kok" ujarnya seraya menatap hangat ke dalam bola mataku.
"Ma..."
"Apa?"
"Terima kasih ya"
"Terima kasih untuk apa?"
"Terima kasih karena sudah merawat dan mendidik Gendis menjadi anak yang baik"
Aku mengerling ke arah suamiku dan memberikan senyum terbaikku.
"Kalau itu mah nggak perlu berterima kasih. Memang sudah tugas seorang ibu untuk mendidik anaknya. Lagian dari pada cuma ngucapin terima kasih mending mas transfer lagi ke Ima" godaku sambil tertawa kencang.
Dengan geli, aku dan suamiku saling berpandangan satu sama lain dan langsung tertawa lepas.
Setelah puas berjalan mengelilingi kompleks. Mas segera mengajakku pulang. Dengan hari riang dan bernyanyi kecil, kami melangkah pelan menuju ke rumah.
Sesampainya di rumah, aku dan suamiku langsung selonjoran di teras. Sedangkan Gendis tanpa merasa letih sedikitpun langsung naik ke atas trampolin dan meloncat kegirangan.
"Lumayan juga ya keliling kompleks sambil jalan kaki" ujar suamiku sambil mengusap peluh yang membasahi keningnya.
"Tapi badan menjadi segarkan mas?"
"Iya Ma, segar dan sehat. Mumpung mas masih di rumah, kita harus sering jalan pagi bersama"
Aku mengacungkan jempolku "Sipp!! Ima setuju mas!"
"Yah..! Yah..!" Pekik putriku sambil terus meloncat-loncat di atas trampolin.
"Apa Ndis?"
"Yah etal agi au elgi auh ya?" (Ayah sebentar lagi mau pergi jauh ya) Tanya Gendis dengan rambut ikalnya yang sebahu bergerak kesana kemari.
"Nggak Ndis, ayah nggak pergi kok. Ayah masih cuti" sahut suamiku dengan kening mengerenyit.
"No..! No..! Tal agi yah egi!!" (No. No. Sebentar lagi ayah pergi)
Suara dering ponsel dari dalam rumah mengagetkanku.
"Sebentar mas sepertinya ada yang menelpon Ima"
Aku segera berlari menuju ke dalam rumah dan mengambil ponsel yang tergeletak di ruang tv. Ku lihat di layarnya tertera nama adikku "Aan". Dengan cepat aku menyentuh layar ponsel yang bergambar telepon berwarna hijau. Baru saja aku ingin mengucapkan salam, terdengar suara teriakkan adikku dari ujung sana.
"Teehhh..!!"
"Sopan dikit napa sama kakaknya. Apa susahnya mengucapkan salam?" Bentakku ke Aan.
"Sorry teh, urgent nih"
"Penting apaan? Mau minjam duit?" Ketusku.
"Hahaha.. Punya kakak kok nggak sopan banget ya"
"Terus mau apa?"
"Ada ponakan Aan nggak?"
"Ya ada lah. Tuh lagi main trampolin di teras"
"Aan bisa ngomong sebentar sama Ndis nggak?"
"Sebentar. Teteh tanya dulu ke Gendis" aku segera melangkah menuju ke teras.
"Dis ini om Aan mau ngobrol sama Gendis" Tanyaku baik-baik ke putriku yang masih asik melompat-lompat di atas trampolin.
"No! Dis agi ain" (No. Gendis lagi main)
"An, Gendis nggak mau ngomong sama kamu. Dia masih asik loncat-loncatan"
"Yaa.." suara adikku terdengar lemah.
"Tolong di speaker aja deh teh biar Gendis bisa mendengar suara Aan" pinta adikku lagi.
"Sebentar" jawabku sambil menyalakan tombol speaker dan mendekatkan nya ke arah Gendis.
"Sudah teteh speaker. Emangnya mau ngomong apa sih sama Gendis? Kok sepertinya penting banget?"
"Udah.. Teteh dengerin saja ya"
"Oke. Ya udah buruan ngomong ke Gendis"
"Mba Gendis yang baik ini om Aan. Om mau tanya sama mba Gendis. Semalam pas om Aan pergi ke keluar kota, di tengah jalan tahu-tahu ada suara seperti orang jatuh menimpa atas mobil om Aan. Kira-kira itu apa ya?"
Gendis mengehentikan loncatannya. Ia terdiam menatap ke arahku.
"Ewe om. Itu ewe iceng" (Cewek om. Itu cewek iseng)
"Oh semalam yang numpang di mobil om Aan itu perempuan ya?"
Gendis mengangguk cepat.
"He-eh. Ewe. Api ga aat. Dah elgi kok" (He-eh. Cewe. Tapi nggak jahat)
"Alhamdulillah kalau nggak jahat. Berarti sekarang tu perempuan sudah nggak ngikutin om Aan ya?"
"No..! Udah elgi ulang" (No. Sudah pergi pulang)
"Mba Gendis, ceweknya cakep apa nggak? Kalau cantik, nggak apa-apa deh ikut sama om Aan" ujar adikku sambil tertawa kencang.
"Eleeek..! Ewena elek! No akep!" (Jelek. Ceweknya jelek. No cakep) Teriak Gendis dengan wajah memerah.
"Aah.. kalau jelek jangan ikut om Aan. Ya sudah ya mba. Terima kasih mau jawab pertanyaan om Aan. Bye Ndis"
"Bye om..!"
"Ya sudah teh. Aan cuma mau nanya itu doang sama Gendis. Terima kasih ya teh"
"Oke deh. Hati- hati An. Jaga diri baik-baik"
"Siap bos"
Adikku pun mengakhiri panggilannya.
Baru saja aku mau menaruh ponselku di atas meja teras, terdengar nada ringtone ponsel suamiku berbunyi kencang. Tanpa disuruh oleh mas, aku bergegas menuju ke ruang tamu dan mengambil ponselnya. Ku lihat "Office" sedang menelpon suamiku. Setengah berlari, aku menuju ke teras dan menyerahkan ponsel ke tangan suamiku.
"Siapa?" Tanya mas.
"Kantor mas yang nelpon"
Suamiku segera bangkit dari duduknya dan menjawab panggilan masuk. Ia berjalan agak menjauh dari ku yang terus memandang ke arahnya. Ku perhatikan raut wajah suamiku berubah serius dan sesekali ia menganggukkan kepalanya. Tak lama kemudian ia mengakhiri telepon dan kembali berjalan menuju ke arahku. Wajahnya terlihat begitu tegang.
"Kenapa mas? Kok wajahmu seperti orang panik begitu?"
"Ini ma barusan kantor nelpon mas. Ada perubahan planning. Besok pagi mas disuruh datang ke kantor untuk meeting. Sepertinya dalam beberapa hari ke depan, mas sudah harus berangkat ke pulau terpencil di daerah NTB"
"Yaaa.." sungutku dengan raut wajah sedih.
"Ya mau bagaimana lagi. Ma berarti benar ya yang tadi Gendis bilang. Kalau mas sebentar lagi akan pergi jauh. Pulau yang kali ini mas tuju letaknya memang terpencil"
Aku mengusap wajahku dan menghela nafas pelan. Sedangkan suamiku berjalan menghampiri putrinya.
"Ndis sini sebentar nak"
Gendis menghentikan lompatannya dan menghampiri ayahnya.
"Apa yah?"
"Ndis besok pagi ayah harus ke kantor karena sebentar lagi ayah harus tugas ke luar pulau"
"Tu eneltan ata Dis" (Tuh benerkan kata Gendis)
"Yan ga caya cih" (Ayah nggak percaya sih)
"Bukan. Ayah bukan tidak percaya sama ucapan Gendis. Ayah cuma bingung" kelit suamiku.
"Inun apa yah?" (Bingung apa yah)
Suamiku tersenyum dan mengecup ke dua pipi Gendis yang basah terkena keringat.
"Ima, Gendis, kita jalan-jalan yuk. Besok kan mas harus ke kantor jadi tidak bisa menemani Ndis bermain lagi" ajak suamiku.
"Alan-alan ana yah?" (Jalan-jalan kemana yah)
"Kita keliling saja. Gendis mau kan?"
"Auu yah. Dis au" (Mau yah. Gendis mau)
"Ya sudah sekarang Gendis mandi dulu biar tidak bau asem. Habis itu kita langsung pergi"
Gendis segera turun dari trampolin dan berlari menuju kepadaku.
"Ma, adi ma. Ial ga au acem" (Ma. mandi ma. Biar nggak bau asem)
Aku segera membuka baju Gendis yang basah bersimbah peluh dan membawanya menuju ke kamar mandi.
"Ole.. ain ail.. Dis ain aill" (Hore. Main air. Gendis main air) pekiknya girang.
***
Setelah hampir satu jam lamanya berkutat dengan kemacetan, akhirnya kendaraanku melewati sebuah perumahan elit. Gendis tampak antusias melihat tulisan yang tertera di depan pintu gerbang perumahan.
"Ma..! Look! A fol Apple" (A for Apple) Tunjuknya ke huruf A yang berdiri tegak.
Aku terkesima mendengar ucapan Gendis. Begitupun juga suamiku.
"Sejak kapan putriku belajar tentang singkatan huruf abjad?" batinku.
"B fol Beal" (B for Bear)
"M fol Mama Dis" (M for Mama Gendis) ia menoleh sejenak melihat ke wajahku.
"Ma, kamu sudah ngajarin Gendis huruf abjad?" Tanya suamiku sambil terus fokus menyetir.
"Nggak mas. Ima belum pernah ngajarin Gendis alphabet. Ima saja heran kok dia tahu huruf abjad"
"Sekarang nambah lagi tugasmu Ma! Gendis sepertinya sudah paham huruf abjad. Mulai sekarang Ima harus membimbing Gendis biar dia bisa hafal semua huruf besar dan kecil"
"Iya mas nanti Ima akan langsung pesan puzzle alfabet besar dan kecil. Sekalian Ima tes kemampuan Gendis"
"Kalau nanti mas tugas, tolong yang sabar ya dalam mendidik dan membimbing Gendis"
"Insya Allah mas"
Tiba-tiba putriku menjerit sambil menunjuk ke arah kendaraan yang berada di depan kami.
"Ma, look! White cal! That's black cal!" (Ma, look. White car. That's black car)
"Iih.. anak mama pintar banget sih. Gendis belajar bahasa inggris sama siapa?" Tanyaku sambil menciumi pipinya dengan gemas.
"No..! No..!" Gelengnya cepat.
Tak lama kemudian kendaraan kami melintasi sekolah Dwi.
"Ndis lihat itu sekolahnya mba Dwi" Tunjukku ke sekolahan yang berwarna hijau tua.
"Uwi..! Uwi..!" Teriak Gendis sambil menempelkan wajahnya di jendela mobil.
"Bagus ya sekolahnya mba Dwi"
Gendis menggeleng pelan.
"No ma! Olah Uwi ga agus. Celem ma. Celem! (No ma. Sekolah Dwi nggak bagus. Serem ma. Serem) Putriku membuang muka dan tidak mau melihat ke arah sekolah Dwi.
"Pantesan Dwi pernah cerita ke aku kalau di sekolahnya sering terjadi hal-hal yang di luar nalar" batinku.
"Eh Ndis, sekarang kan mba Dwi lagi belajar di dalam kelas"
Putriku menggeleng cepat.
"No ma..! No..!"
"Loh kok No sih?"
"Uwi agi bobo" (Uwi lagi bobo)
Aku tertawa mendengar jawaban yang Gendis berikan.
"Kok bobo? Mba Dwi lagi belajar sayang" sahutku seraya mengusap pucuk kepalanya.
Gendis langsung memperagakan posisi orang sedang tiduran.
Karena merasa penasaran dengan ucapan putriku, aku segera mengirim pesan ke Dwi.
"Wi barusan mba lewat depan sekolah kamu. Kata Gendis, sekolah kamu seram"
Tidak perlu menunggu lama, aku segera mendapat pesan balasan dari Dwi.
"Mba ngapain lewat sekolahan aku? Kan aku pernah cerita ke mba kalau sekolahku emang angker? Suka ada yang kesurupan dan masih banyak fenomena gaib lainnya"
"Mba lagi jalan-jalan saja. Soalnya besok om Dedi harus berangkat ke kantor. Eh iya, lucu deh Wi masa Gendis bilang kamu lagi tiduran sambil pake bantal"
"HAHAHA....!!" Dwi mengirim sticker orang tertawa terbahak-bahak.
"Ihss... kiwil kok tau aja sih kalau aku lagi tiduran di kelas make bantal. Payah nih adiknya Uwi...!! Iya nih mba, guruku nggak datang. Jadi dari pada gabut mending aku tiduran saja"
"Hah?? Serius Wi, kamu lagi tiduran make bantal?"
Dwi mengirimkan fotonya sedang berada di dalam kelas. Dan yang lebih mengejutkan, ku lihat ia sedang merebahkan kepalanya di atas meja menggunakan bantal yang biasa dipakai untuk bepergian.
Dengan terperanjat, aku menatap ke arah putriku.
"Kok Gendis bisa tahu apa yang sedang Dwi lakukan" batinku.
"Ya sudah Wi, mba jalan lagi ya. Belajar yang benar"
"Oke mba. Cium untuk kiwil ya" pesan Dwi dengan disisipi emoticon orang sedang mencium.
"Kenapa Ma? Mukamu kok seperti orang kaget gitu?" Tanya suamiku.
"I-ini mas, ternyata apa yang Gendis ucapkan benar. Saat ini Dwi tidak sedang belajar tapi dia lagi asik tiduran di kelasnya"
Suamiku tersenyum kecil. Sepertinya ia sudah tidak heran lagi mendengar celotehan putrinya yang suka menjadi kenyataan. Kehadiran Gendis benar-benar telah membuat duniaku penuh warna. Semua ucapan dan tingkah lakunya yang di luar nalar logika selalu berhasil membuat aku dan suamiku terkesima. Memandang takjub salah satu ciptaan-Nya yang sungguh luar biasa.
Anda akan meninggalkan Stories from the Heart. Apakah anda yakin?
Lapor Hansip
Semua laporan yang masuk akan kami proses dalam 1-7 hari kerja. Kami mencatat IP pelapor untuk alasan keamanan. Barang siapa memberikan laporan palsu akan dikenakan sanksi banned.