Came in from a rainy Thursday
On the avenue Thought I heard you talking softly
I turned on the lights, the TV
And the radio Still I can't escape the ghost of you
What has happened to it all?
Crazy, some'd say
Where is the life that I recognize?
Gone away
But I won't cry for yesterday
There's an ordinary world
Somehow I have to find
And as I try to make my way
To the ordinary world
I will learn to survive
Passion or coincidence
Once prompted you to say
"Pride will tear us both apart"
Well now pride's gone out the window
Cross the rooftops
Run away
Left me in the vacuum of my heart
What is happening to me?
Crazy, some'd say
Where is my friend when I need you most?
Gone away
But I won't cry for yesterday
There's an ordinary world
Somehow I have to find
And as I try to make my way
To the ordinary world
I will learn to survive
Papers in the roadside
Tell of suffering and greed
Here today, forgot tomorrow
Ooh, here besides the news
Of holy war and holy need
Ours is just a little sorrowed talk
And I don't cry for yesterday
There's an ordinary world
Somehow I have to find
And as I try to make my way
To the ordinary world
I will learn to survive
Every one Is my world, I will learn to survive
Any one Is my world, I will learn to survive
Any one Is my world
Every one Is my world
Gua berdiri di beranda lobi kantor, tepat di sebelah standing ashtray yang sudah dipenuhi puntung rokok. Sesekali gua mengangguk sambil menaikan alis mata saat ada teman sekantor yang lewat dan menyapa. Gua melirik ke arah jam tangan yang menunjukan pukul 7 lewat 15 malam, kemudian meraih ponsel dari dalam saku celana, memeriksa apakah ada pesan dari Resti; nothing.
Setengah jam kemudian, gua kembali mengecek ponsel; masih belum ada kabar dari Resti. Gua akhirnya memutuskan untuk pulang.
Dari pada masuk kembali ke dalam gedung dan menggunakan lift untuk turun ke parkiran motor di basement. Gua lebih memilih melalui akses mobil dari luar gedung, selain lebih dekat, juga sepertinya lebih cepat, dan bisa sambil ngerokok. Saat tengah berjalan turun menuju ke basement melalui akses mobil, terdengar suara klakson yang sepertinya tertuju ke gua, karena nggak ada siapapun disana. Gua bergeser, menepi. Lagi, mobil yang berada di belakang gua membunyikan klakson. Gua menghentikan langkah dan mencoba merapatkan diri ke arah dinding. Mobil tersebut kemudian berjalan pelan, kemudian berhenti tepat di posisi gua berdiri. Kacanya yang gelap nggak memungkinkan gua untuk melihat ke dalam. Gua mengabaikannya, dan meneruskan langkah menuju ke arah parkiran motor.
Kaca bagian penumpang mobil tadi terbuka. “Naek…” Ujar Resti dari balik kemudi mobilnya.
Gua membuang puntung rokok, kemudian memadamkan bara-nya dengan injakan dan masuk ke mobil.
Kali ini ia nggak mengenakan sweater seperti terakhir kali gua melihatnya. Melainkan Kaos lengan panjang bergaris dan celana kargo berwarna hijau, lengkap dengan kupluk yang ia kenakan hampir menutupi matanya.
“Tempat kopi yang di lobi masih buka nggak?” Tanyanya.
“Udah tutup…” Jawab gua asal.
Cekatan Resti memutar mobilnya, menimbulkan suara decitan ban mobil yang menggema. Sesaat kemudian kami sudah berada di jalur keluar gedung.
Menit berikutnya, kami sudah bergabung dengan kemacetan Jakarta yang nggak ada obatnya. Resti mengemudikan mobil dengan gaya supir angkot yang kejar setoran. Mobilnya yang terbilang cukup besar nggak menghentikannya untuk pindah jalur dan menyerobot antrian. Beberapa kali ia membuka kaca jendela hanya untuk memaki pengendara lain.
Ia seperti bukan Resti yang gua kenal sebelumnya. Atau, memang gua yang sejak dahulu nggak begitu mengenalnya?
Resti menekan tombol, membuka jendela bagian penumpang yang berada tepat di sebelah gua. Ia baru saja mendapat ‘teguran’ melalui bunyi klakson oleh pengemudi lain yang berada di sebelah kiri kami, akibat berusaha memotong jalurnya.
“Apa lo!” Teriaknya sambil menatap ke arah pengemudi tersebut yang kini juga membuka jendela mobilnya.
Gua menoleh ke arah pengemudi tersebut dan mengangkat tangan, berusaha meminta maaf. Kemudian menekan tombol untuk menurunkan jendela di sisi gua. Nggak lama, Resti kembali menurunkan jendela dan berusaha untuk (lagi) memaki. Gua menghela nafas panjang kemudian kembali menekan tombol untuk menurunkan jendela.
“Kenapa si lo?” Tanya gua pelan sambil memijat area diantara kedua mata.
Resti nggak menjawab, pandangannya kembali ke depan.
“Turunin gua disana aja…” Ucap gua sambil menunjuk ke arah plang pom bensin yang berjarak beberapa puluh meter di depan kami.
Resti nggak merespon. Namun sepertinya ucapan gua barusan sedikit banyak berimbas ke gaya menyetirnya yang perlahan mulai ‘normal’. Ia memutar setirnya, masuk ke area pom bensin dan menghentikan mobil tepat didepan sebuah minimarket yang berada di dalam area pom.
Tanpa bicara, Gua membuka pintu mobil dan keluar.
Resti menyusul gua, keluar dari mobil; “Mau kemana?” Tanyanya sambil membetulkan posisi kupluk di kepalanya.
“Pulang” Jawab gua.
“Kan Kita belom ngobrol” Ucapnya sambil menarik ujung kemeja gua.
“Besok aja ngobrolnya, kalo mood lo lagi bagus dan nggak ada rencana maki-maki orang…” Balas gua.
“Sorry…” Ucapnya pelan.
Gua menghentikan langkah, kemudian berpaling ke arahnya dan bersandar pada bagian belakang mobilnya yang masih menyala. Ia menyusul, bersandar di sebelah gua. Kami berdua hanya terdiam sambil memandang barisan kendaraan yang tengah antri untuk mengisi bensin. Gua beranjak, menuju ke bagian depan mobil, membuka pintu di sisi pengemudi, dan mematikan mesin mobilnya. Lalu bergegas menuju ke minimarket untuk membeli minum.
“Belom makan kan?” Tanya gua ke Resti sambil menyodorkan kemasan roti dan minuman kaleng ke arahnya.
Ia menyambut pemberian gua.
“Kapan lo putus sama Sekar?” Ia tiba-tiba bertanya.
“Setahun setengah mungkin, atau dua tahun…” Jawab gua sambil mengangkat kedua bahu, nggak tau jawaban pastinya.
“Ooh…”
“...”
“... Kapan lo mulai suka sama Sekar?” Tanyanya lagi.
Gua mengernyitkan dahi, penasaran dengan alasan ia mengajukan pertanyaan tersebut.
“Udah jawab aja…” Tambahnya, seakan tahu akan apa yang gua pikirkan.
“Awal kuliah, mungkin…” Gua kembali menjawab sambil mengangkat kedua bahu, karena nggak tau jawaban pastinya.
“Ooh…”
“What it is all about? Gua balik bertanya.
Sementara Resti nggak langsung menjawab. Ia hanya memainkan kemasan roti dan minuman kaleng yang berada ditangannya.
“Lo udah lupa sama Sasa?” Tanyanya lagi.
Gua mengernyitkan dahi dan mendekat ke arahnya; “Kok gua rasanya kayak lagi di introgasi…?”
“Emang…” Jawabnya singkat.
“...”
“... Gw pengen tau aja, takutnya lo udah suka sama Sekar pas masih pacaran sama Sasa…” Resti mulai berasumsi.
Gua meringis, miris mendengar ucapannya barusan. Namun, gua cukup maklum dengan kekhawatirannya. Rupanya, sebagian dirinya, masih Resti yang gua kenal; Kakak yang sayang sama adiknya.
“Lo tau gua kan, Res?” Gua mengajukan pertanyaan retoris kepadanya. Pertanyaan yang sebenarnya nggak butuh jawaban.
Resti mengangguk; “But, people changes…” Ucapnya pelan.
“...”
“... Look at you, Lo bahkan berubah, lo udah nggak kayak lo yang gw kenal dulu, lo sekarang udah nggak gampang canggung sama orang..” Tambahnya.
Gua nggak langsung menjawab, kembali bersandar pada mobil dan menatap kosong ke atas; “I ain't changed…”
“...”
“... but, I know I ain't the same…” Gua menambahkan.
“Mungkin lo sama kayak gw… Salah satu faktor yang sedikit banyak mengubah gw ya; perginya Sasa…” Ucap Resti, masih sambil memainkan kemasan roti dan minuman kaleng di tangannya.
“Salah satu? Berarti ada faktor lain” Tanya gua. Yang lalu dijawab dengan anggukan kepala.
“...cowok?” Gua menambahkan pertanyaan. Dan ia kembali merespon dengan anggukan kepalanya.
“Oh Wow… Cowok yang kemaren di Coffee shop?”
“Bukaaaaaan…” Jawabnya setengah berteriak.
“Duh penasaran…”
“Kenapa penasaran?” Resti bertanya sambil melipat kedua tangannya.
“Pengen tau aja, cowok yang nggak berhasil merubah lo jadi lebih baik…”
“Dia udah pergi…”
“Yah, lo di tinggalin dong sama cinta pertama lo, kasian…”
Ia dengan cepat memukul punggung tangan gua dengan kaleng minuman. “Elo juga ditinggalin kan sama Sekar!”
“...”
“... Lagian, dia bukan cinta pertama gw…” Tambahnya.
“...”
“... udah yuk, gw anterin balik…” Ucapnya.
“Lah, udah gitu doang… katanya lo mau ngasih tau sesuatu yang bikin gua nyesel?” Tanya gua sambil mengikutinya dari belakang.
“Nggak jadi, tiba-tiba mood gw jelek…” Jawabnya sambil masuk kedalam mobil dan membanting pintu mobil.
Gua membuka pintu bagian penumpang, dan mengambil tas yang tergeletak dibangku. “Gua jalan aja, motor gua masih di parkiran kantor…”
“Yaudah ayo gw anterin balik ke kantor” Ucap Resti.
“Nggak usah, muter baliknya kan jauh, macet… ntar mood lo tambah jelek…” Ucap gua sambil menutup pintu mobil dan pergi.
—
Sejak kejadian hari itu, perlahan Resti mulai kembali masuk kedalam kehidupan gua. Saat ini bukan sebagai seorang kakak yang adiknya gua pacari, melainkan sebagai seorang teman. Begitu pula Resti, yang sepertinya ‘hanya’ menganggap gua adik dari pacarnya yang kembali bertemu setelah lama hilang.
Setidaknya, itu yang gua rasakan sekarang ini.
“Mood gw lagi bagus nih, hari ini gw traktir…” Ucapnya melalui sambungan ponsel.
“Oh ok…”
“Lo mau makan apa? gw ada tiga pilihan, pilih nomor 1, nomor 2 atau nomor 3?” Tanyanya.
“Hmmm… nomor 1” Jawab gua asal.
“Ok, berarti kita makan ketoprak… Ntar sore gw jemput…”
“Nggak usah, kasih tau aja tempatnya ntar gua kesana sendiri…” Ujar gua.
“Ok…” Jawabnya, kemudian menjelaskan lokasi detailnya yang ternyata begitu familiar buat gua.
“Lah.. itu mah…” Belum selesai gua bicara, Resti mengakhiri panggilan.
Sore itu, sepulang kerja, gua berjalan menyusuri gang kecil yang terletak di belakang kantor. Walaupun berada di area perkantoran, nggak membuat gang yang berisi deretan tempat makan ini sepi saat jam pulang kerja. Justru semakin malam, malah semakin ramai. Nyatanya, nggak hanya karyawan kantoran saja yang menikmati makanan murah di gang ini, para pegawai dari mall di seberang jalan juga banyak menghabiskan jam istirahatnya disini. Tak hanya itu, di area ini juga terdapat beberapa parkir motor liar yang diinisiasi oleh salah satu ormas kesukuan. Untuk menghindari biaya parkir didalam gedung yang mahal karena dihitung per-jam, tentu saja parkir liar di area ini lebih ekonomis, karena hanya bayar 4 ribu rupiah sepuasnya.
Gua menghentikan langkah tepat di depan gerobak ketoprak yang terdapat di sisi gang. Sementara, Resti terlihat duduk diatas kursi plastik di sebelahnya, dengan sweater hitam dan celana training biru lengkap dengan topi baseball menutup kepalanya. Ia menunduk, menatap ponsel yang berada ditangannya. Gua mengambil salah satu kursi plastik yang berada disana, meletakkannya tepat di depan Resti dan mulai duduk.
“Kalo tadi gua pilih nomor 2, kita bakal makan apa?” Tanya gua.
“Ketoprak” Jawabnya singkat, sementara matanya masih belum lepas dari ponsel.
“Kalo nomor 3?” Gua kembali bertanya.
“Ketoprak” Ia mengatakan jawaban yang sama.
“Well, emang lo pengen makan ketoprak”
“It is…” Jawabnya singkat.
Nggak seberapa lama, abang penjual menyodorkan dua porsi ketoprak ke arah kami berdua. Resti mengabaikannya, ia masih menunduk, menatap ke arah ponsel di tangannya. Gua mengambil ke dua porsi ketoprak yang sodorkan si abang penjual.
“Lo jadi mau makan nggak?” Tanya gua, sementara kedua tangan gua memegang piring berisi ketoprak.
Resti merespon dengan mengangkat tangan kanannya ke arah gua. Memberikan kode agar nggak mengganggu kegiatannya. Gua menghela nafas panjang kemudian meletakkan porsi miliknya diatas kursi plastik di sebelahnya. Dan, mulai menikmati porsi milik gua sendiri.
Ia menghentikan kegiatan berponselnya begitu gua selesai menghabiskan porsi ketoprak milik gua. Sambil memasukkan ponsel ke dalam saku sweaternya, ia menatap gua.
“Punya gw mana?” Tanyanya
“Tuh…” Gua menjawab sambil menunjuk dengan dagu ke arah porsi ketoprak miliknya di atas kursi plastik di sebelahnya.
“Punya lo?”
“Tuh…” Kali ini gua menunjuk ke arah piring kosong yang tergeletak di bawah.
“Kenapa punya lo udah abis aja?” Tanyanya sambil mengambil porsi miliknya dan mulai makan.
Ia lalu menoleh dan menatap gua tajam, kemudian menyodorkan piring berisi ketoprak miliknya ke arah gua; “Pegang…” Ujarnya.
Kemudian kembali mengambil ponsel dari saku sweaternya dan menunjukkan layar ponselnya yang besar ke arah gua. Layarnya menunjukkan foto dirinya bersama dengan sosok pria tua yang gua kenal; Bokap gua.
Gua berusaha meraih ponselnya. Namun, Resti dengan cepat memasukkan ponselnya kembali ke dalam saku sweater.
“Kenapa lo nggak pernah sekalipun nengokin bokap lo?” Tanyanya, sambil meraih kembali piring ketoprak dari tangan gua.
“Well, Kayaknya lo udah tau alesannya…” Jawab gua. Karena tau kalau jawabannya sudah ia ketahui melalui buku catatan milik Larissa yang sudah ia baca.
“Tapi, apa lo tau kalo ternyata bokap lo nggak seperti yang lo pikirkan sebelumnya?” Tanyanya lagi sambil sibuk melahap ketoprak miliknya.
“Tau… pada akhirnya” Jawab gua singkat.
“Pas udah terlambat?” Tambahnya.
“Iya…”
“...”
“Kapan lo mulai sering nengokin bokap gua?” Kali ini ganti gua yang bertanya.
“Setaun setelah lo lulus SMA, mungkin” Ia menjawab ragu.
“Lo tau dari mana tentang bokap gua?” Tanya gua lagi.
“Dari Tile…” Jawabnya. Menyebutkan salah satu teman gua semasa SMA.
“Tile?” Gua mengulang jawabannya, karena merasa kurang yakin. Sejauh ingatan, cukup sedikit orang yang tau tentang bokap gua. Entah apa Tile menjadi salah satu dari sedikit orang itu; gua lupa.
Resti mengangguk.
“Kenapa? Kenapa lo segitu pedulinya sama bokap gua?” Tanya gua lagi.
“Kok gua rasa-rasanya kayak lagi di introgasi…?” Resti balik bertanya.
“Emang…” Jawab gua singkat.
“...”
“Kenapa res?” Gua mengulang pertanyaan.
Resti meletakkan porsi ketoprak miliknya yang masih tersisa setengah di atas kursi plastik di sebelahnya. “Elo sendirian, Bokap lo sendirian… Saat itu lo punya Sekar dan temen kuliah, bokap lo punya siapa?”
“...”
“... iya, gw tau… Bokap lo pernah salah. Tapi, semua orang juga pernah salah. Paling enggak sekali semasa hidupnya…”
“Iya…” Jawab gua pelan sambil menundukkan kepala.
“Alamat email lo apa? Nanti gw kirimin foto-foto bokap lo…” Tambahnya sambil mengeluarkan kembali ponselnya.
Sementara gua mengeja alamat email, Resti mendengarkan dengan seksama sambil mengetik pada keypad ponselnya.
“Sent” Ujarnya.
Gua mengangguk.
“Kenapa nggak di cek?” Tanyanya sambil menatap gua bingung.
“Cek pake apa?” Gua balik bertanya.
“HP lo…” Ucapnya.
Gua mengeluarkan ponsel; “Emang bisa ngecek email disini?” Tanya gua sambil menunjukan ponsel ke arahnya.
Melihatnya, Resti sedikit terkesima, kemudian meraih ponsel dari tangan gua.
“Lo masih pake ini?” Tanyanya.
“Masih…”
“Ini yang dulu gw beliin kan?”
“Iya…”
“Iih, seneng deh…” Ucapnya sambil tersenyum dan menempelkan ponsel gua di pipinya.
—
Macy's Day Parade - Green Day
Today's the Macy's Day Parade
The night of the living dead is on its way
With a credit report for duty call
It's a lifetime guarantee
Stuffed in a coffin, 10% more free
Red light special at the mausoleum
Give me something that I need
Satisfaction guaranteed to you
What's the consolation prize?
Economy sized dreams of hope
When I was a kid, I thought
I wanted all the things that I haven't got
Oh-oh, but I learned the hardest way
Then I realized what it took
To tell the difference between thieves and crooks
Lesson learned to me and you
Give me something that I need
Satisfaction guaranteed
'Cause I'm thinking 'bout a brand new hope
The one I've never known
'Cause now I know it's all that I wanted
What's the consolation prize?
Economy sized dreams of hope
Give me something that I need
Satisfaction guaranteed
'Cause I'm thinking 'bout a brand new hope
The one I've never known, and where it goes
And I'm thinking 'bout the only road
The one I've never known, and where it goes
And I'm thinking 'bout a brand new hope
The one I've never known
'Cause now I know it's all that I wanted