Pikiranku menerawang, mencoba mengingat kembali semua peristiwa yang sudah aku dan putriku lalui. Masih teringat jelas dalam ingatanku semua peristiwa tidak masuk akal yang selalu menjadi santapanku sehari-hari. Bersinggungan dengan peristiwa gaib yang hampir membuat otakku menjadi gila!
Malam itu terasa aura mistis yang berhembus sampai membuat bulu kuduk merinding. Suasana di dalam rumah terasa begitu mencekam dan menegangkan.
Suara itu... Ya suara itu!!!
Suara denting piano mulai terdengar menggema di seluruh ruangan, seingatku piano mainan putriku sudah kumatikan dari sebelum adzan magrib berkumandang. Gendis yang sedang tertidur lelap tiba - tiba terbangun, dirinya tampak gelisah dan mulai terdengar tangisan dari bibir mungilnya.
"Aaarrghh...!!! Kenapa kalian tidak pernah berhenti mengganggu anakku? Apa kesalahan putriku terhadap kalian?"
Kehidupanku dulu berjalan normal hingga kehadiran putriku membuat semuanya berubah. Mereka sangat menantikan kehadiranmu, mereka begitu menyambutmu! Apa yang membuat mereka begitu tertarik denganmu putri kecilku?
Gendis adalah nama yang kuberikan untuk putriku tercinta. Anak yang sudah kutunggu hampir sepuluh tahun lamanya. Dari awal kelahirannya, banyak peristiwa aneh yang terjadi. Kehadiran Gendis seperti sudah sangat ditunggu oleh mereka. Putriku sangat rewel, dia selalu menangis dan menjerit histeris ketakutan setiap saat.
Bagaimanakah proses perjalanan hidup Gendis selanjutnya? Bisakah ia terbebas dari semua rasa ketakutan yang selalu menghantui dirinya? Akankah putriku bisa menjalani hidup normal seperti anak kecil lainnya? Dan kapankah semua ujian ini akan berakhir?
Ini kisah Gendis anakku yang akan menjadi bagian dari perjalanan hidupku...
Thread ini aku dedikasikan untuk putriku tercinta yang bernama "Gendis". Semoga kelak ketika dirimu sudah tumbuh dewasa, kamu bisa membaca kisah yang mama tulis berdasarkan pengalaman yang kita lewati setiap harinya. Cerita ini merupakan kisah perjuangan seorang Ibu dalam membesarkan dan mendidik anaknya yang indigo.
Dulu aku hampir menyerah, aku sudah terlalu lelah menghadapi semua peristiwa yang tidak masuk akal. Mentalku sudah tidak kuat menghadapi semua gangguan-gangguan itu sendirian. Namun aku salah! Ternyata aku lebih kuat dari dugaanku selama ini! Itu semua karena rasa kasih sayang seorang Ibu yang begitu besar terhadap anaknya tercinta.
Pesan mama untuk Gendis "Jika saatnya tiba tolong pergunakan kemampuanmu untuk membantu sesama". Enjoy the process dan ingat kamu tidak pernah sendirian! Mommy loves u!
Terima kasih ya Ndis sudah mengijinkan mama untuk menuliskan kisahmu.
Quote:
Doa dari Mas Yus untuk Gendis
Kisah ini berdasarkan kisah nyata yang aku dan Gendis alami.
Untuk update diusahakan setiap hari Senin dan Kamis ( dikondisikan dengan RL).
Mohon maaf kalau susunan kalimatnya kurang enak dibaca. Karena ini pertama kalinya aku menulis cerita.
Selamat menikmati thread ini, jangan lupa ratenya, komen n ... Terima kasih.
Quote:
Saya mohon dengan sangat untuk tidak meng Copy Paste cerita ini. Semoga agan dan sista yang budiman bersikap bijaksana, dan bisa menghargai karya orang lain. Terima kasih
"Aku mempererat pelukanku ke tubuh putriku. Menciumi pucuk kepalanya dengan penuh cinta kasih. Gendisnya mama, kamu begitu peka dan mampu membedakan mana manusia yang baik dan jahat. Gendis tidak menyukai manusia yang memakai topeng palsu di wajahnya. Manusia berwajah malaikat tetapi memiliki hati yang disesatkan oleh setan!
Terkadang aku tak habis pikir dengan orang-orang yang dengan seenak hatinya berkata kasar kepada anak-anak seperti Gendis. Toh mereka tidak pernah meminta dilahirkan seperti ini. Seandainya mereka memang tidak memahami dunia mereka, alangkah baiknya untuk tetap diam. Dari pada berbicara namun menyakitkan hati.
"Huuff.. Kasihan sekali kamu Ndis karena harus dikelilingi oleh orang-orang yang kurang paham dan tidak bisa menerima anak-anak yang mempunyai kemampuan bertinteraksi dengan mahluk astral" desisku halus seraya membelai lembut rambutnya yang hitam bergelombang.
Hatiku sesak, terasa panas. Emosiku membara ketika terngiang-ngiang ucapan Ibu Dwi. Aku menutup mataku dan mengatur kembali ritme nafas yang membuncah akibat menahan amarah.
"Nah dari situ saja Gendis sudah bisa membedakan mana orang yang baik dan jahat. Gendis itu semenjak lahir tidak nyaman jika berada dekat-dekat dengan orang yang memiliki hati tidak baik. Setan itu sifatnya negatif dan jahat. Jadi bagaimana mungkin Gendis mau berteman dengan setan? Ndis pahamkan maksud mama?"
"Iya ma.."
"Good...! Jadi tolong jangan pernah berpikir kalau Gendis berteman dan suka mengobrol sama setan ya nak"
Gendis menganggukkan kepalanya.
"Gendis itu temannya mama! Ingat itu baik-baik Ndis"
"Took..! Took..!!" Terdengar ketukan di pintu kamar.
"Siapa..??" Teriakku sambil mengangkat tubuhku dari kasur dan perlahan melangkahkan kaki menuju pintu hotel. Aku mengintip dari celah pintu. Ternyata suamiku yang datang. Aku pun segera memutar gagang pintu.
"Dari mana saja mas?" Tanyaku sambil melihat ke arah keresekan yang di jinjing suamiku.
"Ini.. tadi mas keluar sebentar beli lumpia. Mumpung masih di Semarang"
"Owhh"
Langkah kaki suamiku segera memasuki ruangan dan ia langsung menuju ke meja. Dengan lahap, suamiku segera memakan lumpia yang terlihat masih hangat.
"Mas tadi ketika ibu Dwi bilang ke Gendis kalau dia temannya setan, kenapa mas tidak mengucap sepatah katapun? Gendis kan anakmu, masa tidak kamu bela sama sekali?" gerutuku kesal.
Seketika suamiku menghentikan makannya, kini pandangannya menatap lurus tajam ke arahku.
"Ima seperti tidak paham dengan sifat ibunya Dwi! Mau dibantah bagaimana pun, beliau tidak akan pernah mau mendengar pendapat orang lain. Jadi dari pada buang-buang energi, lebih baik jangan terlalu di ambil pusing ucapannya!" Jawab suamiku sambil melanjutkan makannya kembali.
Aku menatap kosong ke arah suamiku. Terbengong keheranan mendengar jawabannya yang begitu enteng. Tapi bagaimana pun juga ada benarnya juga ucapan suamiku Ibu Dwi memiliki sifat yang keras dan egois jadi percuma saja kalau harus berdebat dengan beliau.
"Ma tadi Dwi minta sama mas untuk pergi ke Lawang Sewu" ujarnya seraya mengunyah lumpia.
"Lawang Sewu??" Keningku mengerenyit mendengar tempat pariwisata yang terkenal menyeramkan di Semarang.
"Iya.. Lawang Sewu. Tadi Dwi minta jalan-jalan kesana"
"Nggak! Ima tidak akan mengijinkan Gendis ke sana. Terserah kalau mas dan Dwi yang mau ke Lawang Sewu. Tapi tidak dengan Gendis!"
"Ma..! Ma..! Apa Awang Ewu??" (Ma. Ma. Apa Lawang Sewu) Tanya Gendis dengan tatapan penuh rasa ingin tahu.
"Sudah.. bukan apa-apa. Gendis di hotel saja sama mama. Biar ayah dan keluarga Dwi yang pergi ke sana"
"Took..! Took..!!" Suara orang mengetuk pintu menghentikan ucapanku.
Dengan malas, aku kembali berjalan ke ambang pintu, mengintip dari celahnya dan melihat sesosok tubuh Dwi yang memakai jaket abu-abu sedang berdiri di sana. Aku segera membukakan pintu untuk sepupuku. Sambil menyengir kuda, Dwi segera melangkah memasuki kamar.
Tanpa berbasa-basi, ia segera menghempaskan tubuhnya di atas sofa.
"Uwwwiii....!!" Pekik Ndis kegirangan ketika melihat kedatangan Dwi.
"Apa?" Tanya Dwi sambil memajukan mulutnya.
"Aiin Wi..! Cini ain ama Dis!" (Main Wi. Sini main sama Gendis) Pinta putriku dengan tatap penuh harap.
"NO..!! Uwi kemari mau ngobrol sama mama. Bukan main sama Ndis. Gendis main sendiri dulu ya?"
"Yaaa... Uwwwiii..!! Uwii ga cayang Dis"(Ya Uwi. Uwi nggak sayang Gendis) tersirat raut kecewa dari wajah putriku karena mendapat penolakan dari Dwi.
"Mbaaa..." pekik Dwi manja.
"Apa? Lawang Sewu?" Tatapku tajam ke arah sepupuku.
Dwi menatapku dengan matanya yang melebar, meminta persetujuanku.
Aku mengatupkan rahang erat-erat, berusaha keras agar tidak berbicara kasar ke Dwi. Entah apa yang akan terjadi jika aku mengajak putriku ke tempat wisata yang terkenal dengan aura mistisnya. Bisa-bisa sepulang dari sana akan ada banyak mahluk halus yang mengikuti Gendis.
Aku menyilangkan ke dua tanganku di depan dada.
"Nggak!! Sekali tidak tetap tidak..!!" Ketusku dengan wajah masam.
"Tapi mba, masa kita sudah jauh-jauh datang ke Semarang tapi tidak mengunjungi Lawang Sewu?" Protesnya berusaha merubah pendirianku.
"Terserah kalau kamu dan ayah Gendis mau ke sana. Tapi mba dan Gendis tidak akan ikut! Kita akan stay di hotel aja."
"Yaaa..! Mana seru kalau aku cuma berdua sama om Dedi ke sana. Kita kan sama-sama penakut! Nggak lucu kalau sampai sana terus kita lihat penampakan. Bisa-bisa aku dan om malah menjerit-jerit ketakutan" pipi Dwi yang putih merona merah saat tertawa terpingkal-pingkal.
Dwi memutar bola matanya dengan cepat. Tampaknya ia sedang memikirkan ide cemerlang lainnya setelah ku tolak permintaannya mentah-mentah.
"Hmm.. Terus aku sudah rapi begini mau kemana dong?" Dwi mulai pasrah dengan keputusanku yang tidak mau menemani dirinya mengunjungi Lawang Sewu.
Bibirnya yang mengerucut karena kesal kembali terseyum merekah. Sepertinya sepupuku sudah menemui ide brilian di dalam otaknya!
"Kita ke alun-alun kota Semarang saja yuk mba. Sekalian cari makan malam. Aku lapar nih!"
Aku mengerenyit, berpikir sejenak. Menimbang ingin menerima atau menolak ajakan Dwi.
"Boleh juga. Jauh nggak alun-alunnya? Dan ada apa saja disana?"
"Mana aku tahu. Ini kan pertama kalinya aku ke Semarang" Dwi menggindikkan bahunya.
"Sudah.. sudah. Mending sekarang saja kita ke alun-alun. Sekalian jalan-jalan dan lihat kota Semarang di malam hari. Ayo buruan mumpung belum terlalu malam" ajak suamiku sambil mengambil kunci mobil yang tergeletak di atas meja.
"Eh, ibu dan bapak tidak diajak?" Tanyaku berbasa basi.
"Nggak mba. Mereka bilang mau istirahat. Mba...."
"Hmm.. Apa?"
"Ucapan ibu yang pas di lorong jangan dimasukkin ke hati ya" ucapnya berhati-hati.
"Tumben sepupuku berempati dengan perasaan orang lain. Biasanya ia tidak pernah peduli" batinku.
Aku membalas ucapan Dwi dengan tersenyum kecut.
"Ima..! Dwi..! Jadi tidak kita ke alun-alun?" Teriak mas dari ambang pintu.
"Jadi dong om" jawab Dwi manja.
"Ya sudah buruan! Jangan sampai kemalaman!" Teriak suamiku lagi.
Dengan bergegas, kami berempat segera turun ke lobi dan menaiki kendaraan menuju ke alun-alun yang terletak di Simpang Lima. Ternyata suasana malam hari di sana begitu ramai. Banyak becak yang dihias lampu warna warni yang bisa disewa untuk mengelilingi alun-alun. Di pinggir jalan juga terdapat banyak warung kaki lima yang menjual berbagai macam makanan.
Setelah puas menyewa becak hias dan makan malam di pinggir jalan, kami pun segera kembali ke hotel untuk beristirahat. Ketika mobil sudah terparkir di area hotel, kami bergegas turun. Baru saja anakku menapakkan kakinya di parkiran, tatapan Gendis tampak mengarah ke arah area parkir yang terlihat gelap. Mata bulatnya melotot ketakutan dan kakinya mundur beberapa langkah.
"Ma..Yo ma.. Epetan..!!" (Ma, ayuk ma. Cepetan) Ujarnya seraya menarik tanganku untuk menuju ke lobi hotel.
"Eh kenapa Ndis? Gendis melihat apa?" Tanyaku yang sadar akan perubahan raut wajah anakku
"No..! No..! Ma..!" Ujarnya dengan mata penuh rasa takut.
Aku berlutut di samping putriku, mengusap pelan wajahnya, berusaha menghilangkan pemandangan buruk yang saat ini sedang ia lihat. Namun sepertinya itu tidak berhasil. Wajah putriku tampak pias.
"Ma tuh..! Elap..! Ceyem..! Big..!" (Ma itu. Gelap. Serem. Big) Bisiknya di telingaku.
"Yuk ma, No cini. Cana aja eyang" (Yuk ma..No disini. Disana saja terang) Pintanya lagi seraya menarik tanganku dengan kencang. Mas dan Dwi saling berpandangan melihat kelakuan Gendis. Tanpa banyak bicara, mereka berjalan mengikuti ku dari belakang. Dengan tergesa-gesa, aku dan Gendis menuju ke lobi hotel. Sesekali netranya yang tajam menoleh ke arah area parkir yang remang-remang. Mungkin anakku ingin memastikan kalau mahluk yang ia lihat tidak mengikutinya.
Setelah sampai di lobi, Gendis mulai tersenyum lega.
Putriku terdiam, menatap kosong ke arah lantai marmer yang tengah ia pijak dengan sepatu birunya.
"No ma! Elem! Dis akut" (No ma. Serem. Gendis takut) ucapnya lirih.
"Ya sudah kalau Gendis tidak mau memberitahu mama. Tapi kalau Gendis melihat sesuatu yang menakutkan, tolong kasih tahu mama ya. Gendis bisa cerita apapun ke mama" ucapku seraya mengusap lembut punggungnya.
Sambil tersenyum manis, putriku mengangguk lemah.
"Ma, Gendis..! Ayo langsung ke kamar. Biar besok pagi kita langsung check out!" Teriak mas dari depan lift yang pintunya sudah terbuka lebar.
Dengan bergandengan tangan, aku dan Gendis melangkah memasuki lift. Pintu lift menutup dan membawaku ke atas menuju lantai 7.
***
Keesokan paginya setelah sarapan di restoran, kami segera meninggalkan Semarang dan kembali ke Jakarta. Setelah menempuh hampir delapan jam perjalanan, akhirnya kendaraan memasuki kompleks perumahan keluarga Dwi.
Setelah melewati pos satpam, ku lihat sesosok tubuh pria berkulit putih sedang berdiri di pelataran halaman rumah Dwi. Wajahnya celingukan, seperti orang yang sedang kebingungan.
Setelah mas memakirkan kendaraan. Kami bergegas turun dan menghampiri pria tersebut.
"Wa'alaikumsalam. Eh, kakek Gendis! Saya perhatikan rumahnya kosong terus ya?" tanya pak Ali sambil menyambut uluran tangan ayah Dwi.
"Iya pak soalnya kemarin kita ke luar kota! Saya masuk ke dalam rumah dulu ya mau menaruh barang-barang" pamit ayah Dwi.
"Silahkan pak"
"Waa ada si cantiik..!! Apa kabarnya?" Seru Pak Ali dengan wajah sumringah ketika melihat ke arah Gendis.
"Alhamdulillah baik pak!" Sahutku sambil menyalami tangan beliau.
Pak Ali segera meraih jemari tangan Gendis dan menciumnya.
"Eh.... !!" Ujarnya dengan mimik wajah terkejut.
"Kenapa pak?" Tanyaku khawatir.
"Nggak apa-apa bu! Cuma...."
"Cuma apa pak?? Jangan bikin Ima khawatir dong!" Sanggahku tak sabaran.
"Gendis habis menginap di hotel mana bu?" Tanya beliau sambil menilisik wajah putriku.
"Memangnya kenapa pak??"
Pak Ali terdiam sejenak. Ia tampak sedang memikirkan sesuatu.
"Maaf bu. Kemarin pas lagi menginap di hotel, Gendis sempat hilang ya?"
Ke dua alisku bertaut mendengar ucapan pak Ali. "Beliau kok bisa tahu kalau kemarin Gendis sempat hilang di hotel?" batinku.
Aku menatap lekat-lekat pria putih bersih yang berdiri di hadapanku.
"Bapak tahu dari mana?"
"Ini bu, tadi pas saya pegang tangan cantik. Di tangannya banyak terdapat helaian bulu-bulu halus berwarna hitam" senyumnya sambil mengusap lembut kepala putriku.
"Bu-bulu hitam pak?? Maksudnya bapak, di tangannya Gendis banyak terdapat bulu gunderuwo??" Aku berusaha untuk tetap tenang. Walau hatiku terkejut luar biasa saat mendengar ucapan beliau.
"Ia bu" pak Ali menyunggingkan senyumnya.
"Terus pak?? Apakah mahluk itu sekarang mengikuti Gendis?"
Pak Ali menggelengkan kepalanya.
"Nggak bu. Insya Allah cantik aman"
"Terus kenapa ada bulu gunderuwo di jemarinya Gendis??" Tanyaku penasaran.
Pak Ali tampak menghela nafas halus.
"Begini bu, yang saya lihat sepertinya mahluk ini memang penunggu di hotel yang kemarin ibu tempati. Mahluk ini tertarik berkenalan sama Gendis. Ia menyukai aura si cantik" tuturnya pelan sambil terus menatap lekat-lekat ke arah putriku.
"Berarti mahluk itu tidak mengganggu Gendis?"
Pak Ali tertawa hingga ke dua bahunya berguncang pelan.
"Nggak bu. Mahluk itu tidak berniat mengganggu atau mencelakai Gendis. Dia cuma pengen berkenalan dengan cantik" ucapnya dengan wajah berseri-seri
"Alhamdulillah kalau Gendis aman"
"Bu, mohon maaf.. saya harus undur diri. Soalnya sudah ada yang bikin janji ingin di urut sama saya" pamit pak Ali.
"Oh iya pak, silahkan. Ini Gendis juga mau langsung pulang"
"Hmm.. Kesayangannya Eyang..!" Desisnya lirih sambil berlalu dari hadapanku.
Aku dan suamiku pun segera masuk ke rumah Dwi dan berpamitan dengan keluarganya. Setelah itu melanjutkan perjalanan pulang ke rumah. Setelah menempuh jarak hampir dua jam, akhirnya aku bisa melihat kembali rumahku yang mungil.
"Alhamdulillah akhirnya sampai di rumah dengan selamat" aku mengucap syukur karena dapat kembali ke rumah tanpa kurang satu apapun.
Dengan perasaan letih, aku segera membersihkan diri dan beristirahat di kamar. Liburan bersama putriku kali ini benar-benar begitu memberi kesan mendalam pada diriku.
***
Sudah empat hari mas berada di rumah karena ia masih cuti. Awalnya semua tampak baik-baik saja, sampai suatu hari ketika keluargaku sedang asik bersantai di ruang tamu, tiba-tiba Gendis berjalan menghampiri ayahnya.
"BUUGH...!!!" Tanpa diduga, putriku langsung melayangkan tinjunya ke wajah mas.
Wajah mas terkesiap. Ia memegang pipi kanannya yang memerah akibat terkena pukulan Gendis. Aku yang sedang duduk tidak jauh dari mereka begitu terkejut melihat perlakuan putriku yang berubah menjadi agresif. Kulihat mata putriku tampak nanar menahan amarah ke arah suamiku. Aku segera berlari menghampiri Gendis, memeluknya dari belakang.
"HEY..!! JADI ANAK YANG SOPAN!!" Bentak mas ke Gendis.
"Sabar mas! Jangan keburu emosi! Bisakan kamu tanya ke Gendis baik-baik kenapa dia tiba-tiba memukul wajahmu?" Aku berusaha membela putriku.
"IMA LIHAT SENDIRIKAN? INI ANAK SUDAH BERLAKU KURANG AJAR KE AYAHNYA SENDIRI..!!" Bentak mas menggebu-gebu.
"Iya, Ima tahu kalau Gendis sudah bersikap tidak sopan. Tapi tidak ada salahnya kan kalau kita tanya dulu ke Gendis kenapa ia tiba-tiba memukul kamu? Gendis pasti punya alasan sendiri"
"TERSERAH KAMU!! TAPI BAGI SAYA, ANAK INI SUDAH BERANI KURANG AJAR!!"
Aku segera memegang ke dua bahu putriku dan dengan suara pelan mulai bertanya tentang perilakunya yang tidak seperti biasanya.
"Ndis, kenapa tadi Gendis memukul ayah?? Memangnya ayah salah apa?" Tanyaku dengan raut wajah bingung.
"Ayah aat ma!!! Dis enci ayah!!" (Ayah jahat ma, Gendis benci ayah) tatapnya penuh dendam ke arah mas yang tampak terkejut dengan ucapan putrinya.
"Ayah jahat?? Memangnya ayah jahat kenapa? Apa ayah ada salah sama Gendis?"
"No!! Ayah aat ama mama! Ayah uka akitin mama! Dis ga cuka ayah!!" (No. Ayah jahat sama mama. Ayah suka nyakitin mama. Ndis nggak suka)
"Astagfirullah" batinku.
"Memangnya Gendis lihat dimana??"
"Dicini ma..!!" (Disini ma) ujarnya sambil menunjuk ke kepalanya.
"Jangan sembarangan kalau bicara!! Ayah sudah berjanji tidak akan mengulangi perbuatan ayah lagi!" Teriak mas ke arah putriku
Aku menarik nafas berat dan berusaha mengatur debaran jantungku yang mulai berdetak tak karuan.
"Apakah saat ini anakku sedang melihat masa lalu ayahnya?" Gumamku lirih.
"Tuh an.. ayah ikin mama angis, cedih" (Tuh kan, ayah bikin mama nangis, sedih)
Aku menarik nafas panjang, berusaha memikirkan kalimat yang harus ku jelaskan pada putriku.
"Ma..! Ma..! Ayaah aat ya ma..! Dis uga ga cuka ama ayah..!" (Ma.Ma. Ayah jahat ya ma. Gendis juga nggak suka sama ayah)
"Ndis, tolong lihat mata mama sebentar" pintaku pelan.
Perlahan - lahan mata beningnya yang polos menatap ke dalam mataku.
"Apa ma?"
"Gendis bilang tadi melihat semua di kepala Gendis ya?"
Ia mengaangguk membuat rambut ikalnya ikut bergerak kesana-kemari.
Aku tersenyum lembut. Hatiku dilanda rasa bimbang dan ragu. Apa putriku tengah reactive setiap mengingat perlakuan ayahnya padaku? Gendis masih kecil, ia belum mampu mengontrol dirinya untuk menyaring apa yang ia lihat di dalam pikirannya.
"Sayangnya mama.. Gendis ingat tidak pesan mama? Kalau Gendis melihat sesuatu yang buruk di pikiran Gendis, Ndis harus bisa menolaknya. Mama ingin Ndis selalu melihat dan mengingat hal yang baik" ucapku sambil mengusap pucuk kepalanya dengan penuh kasih.
"Heeh, Dis inat ma" (Heeh, Ndis ingat ma)
"Kalau Gendis melihat ayah pernah berbuat jahat ke mama. Gendis harus bisa memaafkan ayah. Semua orang pernah berbuat salah dan kalau mereka mau berubah, kita harus memaafkan mereka oke?" Tatapku hangat ke bola matanya yang bulat.
"Aapin Dis ya ma. Aap anget" (Maafin Gendis ya ma. Maafin banget) ujarnya seraya memeluk tubuhku erat.
Aku membalas pelukannya dan mencium ke dua pipinya. Kini kupegang ke dua bahunya dan menatap lekat-lekat iris mata yang selalu menawan hatiku.
"Karena tadi Gendis sudah kasar sama ayah, sekarang Gendis harus minta maaf sama ayah ya" bujukku kepada anakku satu-satunya.
"NO..! NO..!!" Teriaknya sambil meninggalkanku dan berlari menuju ke kamar.
"Ndis....!!" Pekikku berusaha menghentikan langkah kakinya. Namun putriku tetap pada pendiriannya. Ia tidak berniat sedikitpun ingin meminta maaf kepada ayahnya.
"Tuh kamu lihat sendirikan kelakuan anakmu? Sudah tahu salah tapi tidak mau meminta maaf! Ini akibat Ima terlalu memanjakan Gendis" dengus mas kesal.
"Apa mas salah berkata begitu? Ima sudah melihat sendiri kan bagaimana kelakuan Gendis? Kalau dari sekarang ia tidak di ajari sopan santun , takutnya jika nanti ia beranjak dewasa, Gendis akan menjadi anak yang kurang ajar!"
"Sabar mas.. sabar. Tolong dimengerti. Gendis bersikap begini karena sepertinya ia sedang reactive. Anak kita terbayang-banyang dengan apa yang pernah ia lihat. Mas seharusnya lebih paham akan hal ini. Ima mohon, tolong pahami sifat Gendis!" Aku memberi argumen berusaha membela anakku.
"TERSERAH kamu!! Tapi kalau Gendis nanti semakin kurang ajar, mas tidak akan segan-segan memukul dia!!" Suamiku memberi peringatan keras. Dan aku tahu kalau suamiku tidak pernah main-main dengan ucapannya.
Aku menatap matanya tajam, berusaha menahan amarah. Aku benar-benar tidak terima dengan ucapan suamiku.
"INGAT mas! Gendis bersikap begini karena kelakuanmu sendiri!!" Kesalahanmu!! Apa yang kamu tabur, itu yang akan kamu tuai nanti! Tolong camkan itu baik-baik!!"
Suamiku terdiam, dia menundukkan kepalanya sambil mengepalkan ke dua tangannya. Sepertinya dia merasa bersalah ketika mengingat kesalahannya di masa lalu.
"Awas saja kalau sampai mas berani berbuat kasar sama Gendis! Tidak akan pernah ku maafkan kamu mas !! Aku tidak tela kalau ada orang yang menyakiti anakku! Bahkan kamu mas...!!" Aku menggertakkan gigi menahan rasa sakit yang mulai menjalar di hati.
Dengan perasaan kesal aku meninggalkan suamiku yang terdiam mematung di ruang tamu. Aku melangkah menuju ke kamar. Lebih baik aku menenangkan diri bermain dengan putriku. Dari pada emosiku harus terpancing lagi.
Semakin hari suasana di rumah semakin terasa panas seperti di neraka. Setiap Gendis melihat suamiku dan ia flashback akan masa lalu ayahnya, putriku tidak akan segan-segan menyerang mas. Tanpa merasa bersalah sedikitpun, Gendis melayangkan tamparan atau menendang kaki ayahnya. Anakku yang selalu bersikap manis kini perangainya berubah menjadi seperti mahluk buas. Di dalam jiwa dan hati putriku diselimuti amarah dan dendam membara.
Anda akan meninggalkan Stories from the Heart. Apakah anda yakin?
Lapor Hansip
Semua laporan yang masuk akan kami proses dalam 1-7 hari kerja. Kami mencatat IP pelapor untuk alasan keamanan. Barang siapa memberikan laporan palsu akan dikenakan sanksi banned.