Came in from a rainy Thursday
On the avenue Thought I heard you talking softly
I turned on the lights, the TV
And the radio Still I can't escape the ghost of you
What has happened to it all?
Crazy, some'd say
Where is the life that I recognize?
Gone away
But I won't cry for yesterday
There's an ordinary world
Somehow I have to find
And as I try to make my way
To the ordinary world
I will learn to survive
Passion or coincidence
Once prompted you to say
"Pride will tear us both apart"
Well now pride's gone out the window
Cross the rooftops
Run away
Left me in the vacuum of my heart
What is happening to me?
Crazy, some'd say
Where is my friend when I need you most?
Gone away
But I won't cry for yesterday
There's an ordinary world
Somehow I have to find
And as I try to make my way
To the ordinary world
I will learn to survive
Papers in the roadside
Tell of suffering and greed
Here today, forgot tomorrow
Ooh, here besides the news
Of holy war and holy need
Ours is just a little sorrowed talk
And I don't cry for yesterday
There's an ordinary world
Somehow I have to find
And as I try to make my way
To the ordinary world
I will learn to survive
Every one Is my world, I will learn to survive
Any one Is my world, I will learn to survive
Any one Is my world
Every one Is my world
Sementara dosen penguji masih membahas perihal revisi yang harus gua kerjakan pada bab kesimpulan, mata gua mencoba mencari-cari sosok Larissa yang sepanjang gua sidang terlihat di sudut ruangan. Sosoknya kini telah pergi. Bukan, bukan benar-benar ‘pergi’. Kata pergi hanya digunakan bagi sesuatu yang nyata, sosok Larissa yang sebelumnya gua lihat bukanlah sesuatu yang nyata, hanya ilusi. Jadi, sepertinya kurang tepat jika menggunakan kata ‘pergi’.
“Abian Richard…” Panggil salah satu dosen penguji, matanya menatap ke arah lembaran skripsi gua sementara tangan kanannya membetulkan letak kacamata.
“Ya pak…” Jawab gua, sambil mencoba mengembalikan pandangan ke arah para dosen penguji di depan gua.
“Ini bagian kesimpulannya nggak usah di revisi semua, revisi bagian yang saya tandain aja…” Tambah salah satu dosen penguji sambil memberi coretan pada lembar skripsi gua.
“Iya pak…”
Beberapa saat kemudian, para dosen memberikan tanda kalau sidang gua sudah selesai. Gua diperbolehkan keluar. Secara garis besar, proses sidang skripsi gua berjalan cukup lancar, terkecuali bagian awal presentasi dimana gua mungkin masih terdengar terbata-bata. Sisanya, berjalan sesuai rencana.
Gua keluar dari ruang sidang sambil bernafas lega. Salah satu mahasiswa yang mendapat giliran sidang setelah gua, terlihat berdiri sambil menatap dengan wajahnya yang pucat dan penuh kegugupan; ‘Mampus lu’ batin gua dalam hati.
Saat menjalani sidang tadi, gua sengaja mematikan ponsel agar nggak menimbulkan gangguan. Begitu gua nyalakan, terdengar suara notifikasi datang bertubi-tubi, rupanya beberapa pesan baru saja masuk; dari Mas Karlan. Gua membaca salah satu pesan paling akhir darinya yang memberikan info kalau dia dan beberapa rekan kerja yang lain tengah menunggu gua di warteg depan kampus.
Gua bergegas, berlari menuruni tangga, menuju ke lokasi yang Mas Karlan infokan. Dalam pesan yang ia kirim, tak ada penjelasan kenapa mereka ramai-ramai datang ke kampus. Hal ini tak pernah terjadi sebelumnya; ‘Ada apa gerangan?’ gua bertanya-tanya dalam hati, masih sambil berlari.
“Ada apaan mas?” Tanya gua sambil membungkuk, mencoba kembali bernafas normal setelah berlari dari lantai empat. Sementara, Mas Karlan, Mas Bobi dan rekan-rekan yang lain terlihat tengah duduk diatas kursi kayu panjang di dalam warteg.
“Wuiih… Piye? sukses po ora?” Mas Karlan balik bertanya, mungkin merujuk ke Sidang skripsi yang baru saja gua jalani.
“Sidangnya?”
“Iyoo…”
Gua lalu menjawabnya dengan mengacungkan ibu jari ke arahnya.
Melihat respon gua barusan, Mas Karlan lalu berdiri dan menepuk-nepuk pundak gua. Tatapannya terlihat berbeda; ada binar kebanggaan di matanya. Ia menggeser posisi duduknya, memberikan tanda agar gua duduk di sebelahnya.
“Pesen cuk, pilih opo wae, aku sing bayar…” Ujarnya sambil menunjuk ke arah etalase warteg, dimana berjajar aneka lauk rumahan.
“Ayam boleh mas?” Tanya gua ragu, sambil menatap ke arah Mas Karlan. Lalu dijawab dengan anggukan kepala olehnya.
“Yang laen udah pada makan?” Tanya gua sambil menoleh ke arah Mas Bobi dan rekan-rekan yang lain satu persatu.
“Udah, nungguin kamu kelamaan…” Jawab Mas Bobi sambil menyeruput kopi hitam dari gelasnya.
Sementara mbak-mbak penjaga warteg menyiapkan pesanan makan gua, Mas Karlan kembali berdiri dan menambahkan segelas susu ke dalam pesanan. “Karo susu yo mbak..”
“Buat siapa mas?” Tanya gua.
Mas Karlan menunjuk ke arah gua, sambil berkata; “Biar tambah cerdas…”
—
Pagi itu, gua berdiri di depan sebuah bangunan dengan dinding yang tinggi menjulang. Pada bagian atas dinding terdapat kawat berduri yang sengaja dipasang melingkar, hampir sepanjang mata memandang, tak ada sejengkal pun bagian dinding yang tak tertutup kawat. Sementara, tepat di hadapan gua berdiri sebuah pintu dengan lebar 10 meter dan tingginya nyaris serupa dengan dinding yang mengapitnya.
Pintu besi berukuran raksasa tersebut memiliki potongan kecil seukuran pintu rumah pada umumnya. Yang mana bagian pintu kecil tersebut bisa digunakan untuk keluar masuk orang, tanpa harus menggeser pintu besar. Sementara, di salah satu sisi pintu terdapat sebuah pos penjagaan yang juga tertutup rapat. Hanya sebuah jendela berjeruji besi, berukuran 60cm, yang menjadi akses bagi para penjaga untuk memantau situasi di luar, juga sebagai sarana keluar masuk surat.
Gua mengisi daftar kunjungan melalui buku panjang ala tukang kredit yang tadi disodorkan oleh petugas melalui jendela berjeruji dalam pos. Beberapa menit berikutnya, gua dan beberapa pengunjung lain dipersilahkan masuk, melalui pintu besi kecil.
Kami, para pengunjung, kembali dipersilahkan menunggu di ruang terbuka yang mirip seperti teras atau lobi di kebanyakan bangunan pemerintah daerah di Indonesia. Kursi kayu panjang yang hampir rusak, lantai keramik yang pecah dan aksesoris pendukung lain yang terlihat nggak keurus.
Saat jam menunjukan pukul 10 pagi, barulah seorang sipir berseragam coklat membuka pintu untuk kunjungan. Gua dan beberapa pengunjung lain segera masuk.
Ini merupakan kali pertama gua ‘berkunjung’ ke Lapas. Dan, kali pertama juga gua mengunjungi bokap.
Gua duduk disalah satu kursi kayu panjang yang menghadap ke arah taman. Para sipir dan warga binaan menyebut area ini sebagai ‘Artap’, kependekan dari ‘Area Ratap’. Disebut Area Ratap, karena di area ini para warga binaan bertemu dengan pengunjungnya; yang notabene merupakan kerabat atau keluarga, kemudian meratapi nasib mereka sebagai tahanan. Secara resmi, tempat ini disebut; Area kunjungan. Sebuah tempat yang (tentu saja) masih berada di area lapas, memiliki beberapa bagian, diantaranya; ruang kunjungan, toilet, dan taman; tempat saat ini gua duduk.
Mata gua terus berkeliling, memperhatikan senyuman para warga binaan yang terlihat sumringah karena dikunjungi kerabatnya. Pandangan gua lalu terhenti pada sosok pria paruh baya, bertubuh kurus, dan dengan rambut yang mulai memutih. Tak banyak yang bisa gua ingat dari penampilannya, kecuali wajahnya yang teduh. Wajah yang kini terlihat semakin menua dengan banyak keriput di sekitar dahi dan matanya. Wajah yang mungkin nyaris gua lupakan.
Ia menghentikan langkahnya begitu melihat gua. Matanya berbinar, senyumnya terkembang, ia lalu mempercepat langkah, kemudian perlahan duduk di sebelah gua.
“Apa kabar, cad?” Tanyanya, sementara matanya menatap kosong ke depan.
“Baik… papah?”
“Well, hari ini mungkin hari paling bahagia, karena anak papah satu-satunya akhirnya nengokin papah…” Jawabnya pelan.
“...”
“... Gimana kuliah kamu, udah wisuda?” Tanyanya lagi, sementara pandangannya masih kedepan.
“Icad baru aja di wisuda kemarin… Tapi, kok papah tau?” Gua balik bertanya.
Bokap gua nggak langsung menjawab, ia tersenyum sebentar kemudian menatap gua; “Papah bangga…” Ujarnya, seraya menepuk pelan pundak gua.
“...”
“... Tanpa papah, kamu bisa lanjutin hidup, bahkan sampai kuliah dan lulus…” Tambahnya.
“...”
“... Papah minta maaf kalau nggak bisa nemenin kamu…”
“Icad yang harusnya minta maaf, karena baru sekarang nengokin papah…”
Bokap menghela nafas panjang, sambil menyandarkan tubuhnya pada kursi, ia mulai bercerita.
“Dia rutin kesini, nengokin papah. Kadang dia bawain makanan, kadang bawain pakaian, atau hanya sekedar membawa kabar tentang kamu. Awalnya, papah pikir saking bencinya kamu sama papah, kamu yang nyuruh dia datang kesini. Tapi, ternyata papah salah… Dia kesini, nengokin papah karena nggak bisa ketemu sama kamu…”
“Siapa?” Tanya gua penasaran.
Bokap gua kembali tersenyum, kemudian menyebutkan sebuah nama. Sebuah nama yang membangkitkan kenangan lama.
Sebelum pergi, gua menyerahkan bungkusan kepada bokap. Sebuah bungkusan yang berisi toga dan foto wisuda gua yang baru saja dicetak oleh Mas Bobi kemarin.
“Wah, anak papah udah Sarjana sekarang… Papah bisa pamerin ke temen-temen sel yang lain nih…” Ujarnya penuh kebanggaan. Sementara, gua hanya bisa menatapnya sambil tersenyum; ‘Icad udah nggak marah lagi sama papah kok’ ucap gua dalam hati.
—
Sehari Sebelumnya.
Antrian untuk foto wisuda semakin panjang, sementara gua terus menerus mempersilahkan orang di belakang gua untuk maju; mengambil posisi antrian gua.
Saat para mahasiswa lain berfoto dengan para orang tua, kerabat dan keluarganya, gua hanya bisa berdiri diam mematung, bersandar pada salah satu pilar di gedung pertemuan yang megah. Gua melempar potongan voucher untuk berfoto ke arah tong sampah, kemudian bergegas meninggalkan balai pertemuan.
Tak diduga, tepat didepan pintu utama balai pertemuan, Mas Karlan dan rekan-rekan terlihat duduk-duduk di salah satu anak tangga yang menuju ke pintu utama. Gua bergegas menghampiri mereka.
Mirip seperti saat gua selesai menjalani sidang skripsi. Tepat setelah gua wisuda, Mas Karlan dan rekan-rekan kembali menyambangi gua. Kali ini mereka semua tampil rapi dengan menggunakan batik yang dipadukan dengan celana bahan dan sepatu pantofel; “Biar keren pas di foto?” kata Mas Bobi sambil mengeluarkan kamera poket dari tas kecilnya.
Tak apa, tak harus berfoto dengan background rak buku ala perpustakaan yang biasa digunakan saat foto wisuda. Berfoto dengan latar parkiran mobil, asal bersama orang-orang terdekat, sungguh sesuatu yang luar biasa buat gua.
“Kebanggaan kita” Salah satu kata yang selalu diucapkan oleh Mas Karlan. Kata-kata yang ditujukan buat gua.
Entah sudah berapa rupiah yang Mas Karlan habiskan hanya untuk membantu biaya kuliah gua. Entah sudah berapa tenaga yang rekan-rekan gua korbankan demi pekerjaan yang gua tinggalkan gara-gara kuliah. Entah, sudah berapa banyak protein dari telur jatah mereka yang gua makan demi nutrisi otak untuk kepentingan belajar. Secara materi, matematika gua nggak mampu menghitungnya.
“Ojo nangis lho cuk…” Ujar Mas Karlan sambil menepuk kepala gua, saat kami hendak berfoto bersama.
“Nggak mas…” Jawab gua pelan, sambil menyeka mata gua yang berlinang dengan ujung toga.
Setelah lelah berfoto, Mas Bobi memaksa untuk mencopot toga yang gua kenakan. Ia lalu mengenakan toga tersebut dan mulai mengajak yang lain untuk berfoto; “Buat pamer ke simbok di kampung” Ujarnya.
Sementara Mas Karlan memanggil gua dan mulai memberi nasihat. Tentang amarah gua ke bokap, tentang bagaimana sosoknya yang menyesal karena nggak sempat membahagiakan orang tuanya di kampung. Tentang rehat sejenak dari rasa benci untuk sekedar berbagi kebahagiaan.
Gua tersenyum menanggapi nasihatnya, kemudian memberi anggukan setuju kala ia memberi saran untuk mengunjungi bokap ke Lapas.
—
Kunjungan pertama gua ke Bokap nyatanya menjadi kunjungan satu-satunya. Seakan menunggu gua sampai jadi sarjana, seminggu setelah gua berkunjung, sebuah panggilan telepon memberi kabar; Bokap gua meninggal.
Salah satu sipir yang bercerita ke gua, bagaimana bokap meninggal.
Saat itu menjelang subuh, Bokap gua yang biasanya bangun paling awal diantara teman-teman satu sel-nya tak kunjung bangung. Salah satu teman mencoba membangunkannya, namun tubuhnya sudah dingin dan kaku. Beberapa asumsi umum bilang kalau bokap meninggal karena penyakit ‘angin duduk’ atau dalam bahasa ilmiah disebut dengan Angina; nyeri dada yang muncul akibat adanya gangguan aliran darah ke jaringan otot jantung.
Dan yang cukup membuat dada gua seperti teriris adalah; Bokap gua meninggal sambil memeluk Toga wisuda yang baru saja gua berikan.
Gua membungkuk di kamar kos, kemudian menangis sejadi-jadinya.
Bagaimana mungkin, hidup terasa sepahit ini. Selama ini gua nggak pernah meminta agar hidup dimudahkan, gua hanya meminta agar gua dikuatkan. Apakah ini jawabannya?
Hidup gua kedepan nggak mungkin bisa lebih buruk dari ini kan?
—
Gua berdiri mematung di depan gundukan makam bokap yang masih basah. Mas Karlan dan rekan-rekan yang lain baru saja pergi, sementara kaki gua seperti kaku dan tak dapat digerakan. Benar seperti yang Mas Karlan ucapkan; Penyesalan itu datangnya belakangan.
Sosok perempuan berjalan mendekat, ia lalu berdiri di depan gua. Kedua tangannya membawa seikat bunga. Pelan, ia membungkuk, meletakkan bunga tepat di pusara Bokap dan kembali berdiri. Lalu, kami berdua saling menatap dalam diam.
“Why me?” Tanya gua lirih.
“Why not?” Ia membalas cepat, kemudian pergi.
—
Pieces - Sum 41
I tried to be perfect
But nothing was worth it
I don't believe it makes me real
I thought it'd be easy
But no one believes me
I meant all the things I said
If you believe it's in my soul
I'd say all the words that I know
Just to see if it would show
That I'm trying to let you know
That I'm better off on my own
This place is so empty
My thoughts are so tempting
I don't know how it got so bad
Sometimes it's so crazy
That nothing can save me
But it's the only thing that I have
If you believe it's in my soul
I'd say all the words that I know
Just to see if it would show
That I'm trying to let you know
That I'm better off on my own
On my own
I tried to be perfect
It just wasn't worth it
Nothing could ever be so wrong
It's hard to believe me
It never gets easy
I guess I knew that all along
If you believe it's in my soul
I'd say all the words that I know
Just to see if it would show
That I'm trying to let you know
That I'm better off on my own