"Dengan gugup, aku mengedarkan tatapanku berusaha mencari keberadaan Gendis. Hatiku diliputi rasa kalut dan bingung, tidak tahu harus kemana mencari putriku di hotel sebesar ini. Wajahku tegang. Perasaanku mulai diselimuti rasa was-was. Aku takut kalau harus kehilangan putriku untuk kedua kalinya. Nafasku mulai tak beraturan. Rasanya aku seperti kehilangan tempat untuk berpijak.
Seperti orang gila, aku terus berlarian di sepanjang koridor hotel seraya meneriakkan nama anakku. Tak terasa buliran kristal bening mulai tumpah membasahi ke dua pipi. Suasana hatiku benar-benar kacau dan diliputi rasa takut. Ku perhatikan di sudut lorong, keluargaku juga mulai sibuk memanggil-manggil nama putriku.
"Gendis..! Gendis...!" Suara mereka terdengar bersahut-sahutan memanggil nama putriku. Namun hasilnya nihil. Tidak terdengar sama sekali jawaban dari bibirnya yang mungil.
Otakku berpikir cepat. Memikirkan kemungkinan kemana perginya Gendis. Tapi seingatku di lantai tujuh tidak terdapat playground dan tidak ada tempat yang menarik perhatian untuk anak seusianya. "Jadi kemana perginya putriku?" Pikirku sambil terus mencari sosok keberadaan anakku.
"Mas dan Dwi, kalian tolong tetap berada di depan pintu kamar. Berjaga-jaga kalau Gendis menuju ke sini. Ima khawatir jika Gendis kembali dan tidak ada seorang pun disini, ia malah akan kebingungan" usulku dengan nafas terengah-engah.
Sebenarnya hati kecilku sedikit ragu kalau putriku bisa menemukan jalan untuk kembali. Hotel yang sekarang ku tempati begitu besar dan luas. Dengan banyak lorong di setiap bangunannya. Bagaimana mungkin anak sekecil Gendis bisa mengetahui dimana letak kamarnya jika semua pintu terlihat sama?
"Mama dan om, tolong cari Gendis ke arah lorong sebelah kanan. Biar Ima mencari Gendis ke arah kiri!" Teriakku dengan bahu berguncang pelan.
Orangtua Dwi menganggukkan kepala menyetujui usulku. Dengan bergegas mereka segera menuju ke lorong sebelah kanan dan berpencar untuk mencari cucunya.
Tubuhku kini terasa lemas, lunglai tak bertenaga. Aku berlutut, terdiam. Mengatur nafasku yang semakin tak karuan. Aku berusaha mencoba berpikir tenang dan tidak gugup. Berusaha mengembalikan semua akal sehatku. Seketika terlintas beberapa tempat di hotel ini dalam benakku. Ruangan yang sangat aku takuti jika putriku terjebak di dalamnya.
"Ah..! Tempat itu..! Mungkin saja saat ini Gendis berada disana..!" Pekikku sambil berlari secepat kilat menuju ke arah gedung sebelah kiri.
Aku melesat secepat anak panah menuju ke arah pintu yang biasa dipergunakan khusus untuk tamu hotel jika terjadi kebakaran.
"Pintu itu..! Ya pintu itu.. !!"
Kakiku terus berlari menuju ke arah pintu yang letaknya lumayan jauh dari letak kamarku. Tak ku hiraukan derap langkah kakiku yang terdengar memenuhi seluruh penjuru lorong hotel. Kalau sampai ada tamu hotel yang merasa terganggu dan melapor ke pihak penginapan karena aku telah membuat keributan, aku tak peduli! Prioritasku saat itu hanyalah menemukan anakku terlebih dahulu!!
Dengan nafas terengah-engah, aku berlari dan terus berlari menuju ke arah tangga darurat. Langkah kakiku terhenti. Kini ku pandangi pintu berwarna putih tulang yang berdiri angkuh tepat di hadapanku. Ia seperti tengah mentertawakanku yang sedang kebingungan!
Aku mengusap bulir-bulir peluh yang membasahi kening dan pelipisku "Emergency Exit" kubaca berulang-ulang dalam hati tulisan yang berhuruf kapital dan berwarna merah menyala.
"Apa mungkin putriku berada di dalam sana?" batinku menimbang-nimbang.
Dengan ragu, kupandangi pintu yang terlihat menyeramkan itu sejenak. Lalu kucoba mendorong pintu bertulisan Exit itu perlahan. Berat..!
Nampaknya tidak mungkin putriku memasuki ruangan ini. Karena aku sendiri saja begitu kesulitan untuk membuka pintunya. Apa lagi jemari mungil anakku! Pastinya ia tidak akan sanggup! Namun tidak ada salahnya jika aku mengecek ke dalam terlebih dahulu. Berusaha memastikan keberadaan putriku di ruangan tersebut.
"Bismillah" doaku dalam hati.
"Kriieettttt...!!" Akhirnya setelah ku dorong dengan sekuat tenaga, pintu tangga darurat berhasil terbuka.
Kakiku mulai melangkah masuk ke dalamnya.
"Kriieet....!!" Perlahan-lahan pintu itu kembali tertutup.
Gelap..!!
Pengap..!!
"Uhuuk..! Uhhuuk...!!" Aku terbatuk beberapa kali. Paru-paruku harus menyesuaikan dengan udara di dalam ruangan yang terasa lembab.
Retinaku berusaha untuk beradaptasi dalam tempat yang pencahayaannya begitu redup. Atau bahkan cenderung tidak terlihat apapun!! Mataku berpendar mencoba mencari tubuh putriku di antara deretan tangga-tangga yang menjulang ke lantai atas dan lantai bawah.
"Ndis..! Gendis..!" Panggilku pelan dan menggema.
Hening... Tidak ada sahutan. Tak ada siapapun disana. Hanya desah nafas dan detak jantungku saja yang terdengar. Tampaknya tempat ini tidak pernah disentuh atau didatangi oleh seorang pun.
"EHEEMMM...!" Dari balik kegelapan terdengar suara parau seseorang berdeham dengan suaranya yang serak dan kencang.
Aku terperanjat kaget dan segera berlari berhambur keluar dari ruangan yang menurutku begitu kurangnya sirkulasi udara. Aku menutup kembali pintu tangga darurat rapat-rapat dan segera menyenderkan tubuhku di balik pintu bercat putih. Jantungku berdebar cepat. Pandanganku berkunang-kunang dan badanku lemas. Rasanya tadi jantungku hampir saja copot! Dengkulku terasa lemas sekali.
Aku menarik nafas dalam-dalam. Berusaha mengatur nafasku yang kembali memburu seketika.
"Si-siapa tadi yang berdeham? Manusia atau kah mahluk yang mendiami tangga darurat? Entahlah..! Siapa pun itu, aku tak peduli..!! Yang pasti sudah ku pastikan kalau putriku tidak berada di dalam tempat gelap itu!"
Aku mengusap wajahku beberapa kali saking takutnya. Terus berusaha mengatur nafasku, membuatnya kembali normal. Aku mengalihkan pandangan, memperhatikan dengan seksama ke sudut hotel yang terbuat dari kaca tembus pandang.
"Disini tidak ada Gendis. Kemana lagi harus ku mencari putriku." Aku berusaha berpikir keras.
"Jangan-jangan putriku...!!!"
"Aahh ...!! Bodohnya aku!! Kenapa aku tidak berpikir kesana!!" Aku merutuki diriku sendiri.
Aku kembali berlari di antara lorong-lorong hotel yang sepi.
"Lift....!!!" Desisku tajam.
Langkah kakiku kini menuju dengan cepat ke arah lift berada.
Sesampainya di ujung lorong bangunan hotel yang semuanya terbuat dari kaca, aku memalingkan wajah ke arah pintu lift.
Sambil mengatur nafasku yang tersengal-sengal tak beraturan, layaknya seorang pelari yang sudah kehabisan nafas. Aku meningkatkan kewaspaadan, tak mengalihkan pandangan sedetikpun dari putriku yang tampak asik tertawa sendirian. Aku mengedipkan mataku beberapa kali, berusaha memastikan kalau aku tidak sedang bermimpi. Aku menyeka buliran keringat yang terasa perih mengenai bola mataku
Akhirnya ku temukan kembali sosok tubuh mungil putriku yang sedang asik duduk bersila di atas hamparan karpet permadani berwarna merah darah. Kulihat Gendis sedang bertepuk tangan dengan riang layaknya sedang merayakan pesta ulang tahun. Bola matanya yang bulat besar tampak menatap penuh takjub ke arah lift yang sedari tadi ku perhatikan pintunya asik terbuka dan menutup sendiri. Seolah-olah ada yang sedang memainkan tombolnya dari dalam.
"Ole.. Ole.. Ucu..!!" (Hore. Hore. Lucu) Ucapnya riang.
"Agi..!! Agii..!! Ayoo agi!! Dis cuka!" (Lagi. Lagi. Ayo lagi. Gendis suka) pekiknya kegirangan.
Saat itu seperti sedang ada atraksi yang menghibur putriku di dalam lift. Entah siapa dan mengapa. Hatiku mengucap syukur karena Gendis tidak ikut masuk ke dalam lift. Aku tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi jika putriku sampai masuk ke sana dan terjebak sendirian di dalamnya.
"GENDIISSSS...!!" Teriakku kencang sambil berlari ke arah putriku yang terus menerus menatap lurus ke arah lift sambil bertepuk tangan.
Aku segera merengkuh tubuh putriku yang terdiam mematung. Disertai tatapan keheranan dari bola matanya yang jernih.
Aku tersenyum getir karena berhasil menemukan putriku kembali.
"Mama apa?" (Mama kenapa)
"Mama apa angis??" (Mama kenapa menangis) Tanyanya dengan tatapan lugu.
Tak ku hiraukan celoteh yang terlontar dari bibir merahnya. Aku terus memeluk dan menghujani wajahnya dengan ciuman. Hanya air bening yang kurasakan semakin banyak menggenang di pelupuk mataku.
"Gendis..! Gendis kenapa bisa ada disini nak?? Katanya tadi mau ke ayah??" Tanyaku sambil menatap netra coklat mudanya lekat-lekat.
"Iya ma.. adi Dis au e ayah. Api ayah acik obol ama kekek" (Iya ma. Tadi Gendis mau ke ayah. Tapi ayah asik ngobrol sama kakek)
"Kalau ayah asik ngobrol, kenapa Gendis malah kesini?? Mama khawatir Ndis!!"
"Aap ya ma..!!" (Maaf ya ma)
"Iya mama maafin Gendis. Tapi kan mama sudah pernah bilang sama Gendis, kalau Ndis tidak boleh pergi kemana-mana kalau tidak sama mama dan ayah?"
"Ya maa... api Dis ini aja ama emen-emen Dis" (Iya ma. Tapi Gendis disini saja sama teman-teman Gendis) ujarnya seraya mengusap pucuk kepalaku dengan penuh rasa cinta.
"Teman-teman...???""
"Iya ma.. tuh eman-eman Dis. Anyaakk..!!" (Iya ma. Tuh teman-teman Gendis. Banyak) Telunjuk putriku menunjuk ke dalam lift yang kini pintunya terbuka sepenuhnya.
Aku menatap ragu ke arah pintu lift. Kosong. Tak ada bayangan siapapun di dalam sana. Entah kegilaan apa lagi yang akan aku temui jika para mahluk yang berada di dalam lift menunjukkan jati dirinya kepadaku. Mungkin aku bisa menjerit-jerit histeris saking takutnya.
"Di-di situ banyak teman Gendis?" Tanyaku berusaha melawan rasa gugup.
"He-eh" Gendis mengganggukkan mahkotanya yang hitam legam.
"Tuuhh.. ada akak, adik. Emuna aik-aik ama Dis. Ada ayang Dis. Au ain ama Dis "
(Tuh. Ada kakak, adik. Semuanya baik-baik sama Gendis. Pada sayang sama Gendis. Mau main sama Ndis) ujarnya sambil memamerkan gigi kelincinya.
"Aka antttiiikk..! Ajuna wite!' (Kakak cantik. Bajunya white)
"Eman-eman ini mama Dis. Mama antik kan?" (Teman-teman ini mama Ndis. Mama cantik kan) celoteh Gendis yang berusaha memperkenalkan ku kepada teman-teman barunya. Teman yang hanya bisa dilihat oleh mata batin putriku.
"Ma..! Ma..! Ata eman-eman Dis, mama antik. Mam aik" (Ma. Ma. Kata teman-teman Gendis, mama cantik. Mama baik) ucapnya antusias.
"Yaaa.. eman-eman Dis ga au ain ama mama!!" (Yaa. Teman-teman Gendis tidak mau main sama mama) wajahnya menunjukkan raut kecewa.
Kini putriku terdiam. Ia tampak tengah berkomunikasi dengan mereka melalui batin. Sejenak kemudian, raut wajah putriku berubah dari yang tadinya ceria menjadi muram. Tampak mendung menggelayuti paras cantiknya.
"Yaa.. maa..!! Eleka au elgi. Yaaa Dis ga ada emen agi!" (Ya ma. Mereka mau pergi. Yaa Gendis nggak ada teman lagi) seketika raut wajah putriku berubah murung.
Ia terdiam mengamati ke arah pintu lift yang perlahan-lahan pintunya tertutup sendiri. Anakku mendesah pelan "Byee...!" ucapnya sambil melambaikan tangannya dengan tak bersemangat.
"Hiikkss... Dis ga ada emen agi" (Hiiks. Gendis nggak ada teman lagi) ujar suaranya yang cadel sambil diiringi isak tangis perlahan.
Tampaknya putriku merasa sedih karena harus berpisah dengan teman-teman barunya.
"Sayang.. jangan sedih. Kan masih ada mama, ayah, keke, nini dan mba Dwi yang bisa jadi teman Gendis" hiburku berusaha mengembalikan keceriaan putriku.
"No..! No..!" Ujarnya seraya menatap ke hamparan permadani merah.
"Dis uka eleka" (Gendis suka mereka) ucap bibirnya yang mungil.
Aku menatap bayangan diriku dan Gendis yang terpantul dari pintu lift. Segera aku mengulurkan tangan ke arah Gendis dan mengusap buliran air matanya. Anakku masih tertunduk lesu menantap ke arah hamparan karpet.
"Gendis main di kamar sama mama yuk. Jangan bermain disini. Bahaya!" Dengan sekuat tenaga, aku berusaha membujuk putriku untuk segera beranjak dari depan lift. Namun wajah putriku terus terlihat murung.
"Sayang.. coba lihat ke mama sebentar. Gendis sayang sama mama tidak?"
Wajahnya yang sedari tadi tertunduk lesu, perlahan-lahan mulai mengangkat wajahnya dan menatap ke arahku. Matanya yang sendu tampak berbinar ceria.
"Dis ayang mama" (Gendis sayang mama)
"Nah kalau Gendis sayang mama, ayo kita kembali ke kamar. Jangan cuma duduk disini. Kan karpetnya kotor bekas kena kaki orang yang lalu lalang? Kalau badan Gendis nanti gatal-gatal gimana? Mama kan jadi sedih"
Tampaknya kali ini bujuk rayuku mulai membuahkan hasil. Gendis menjulurkan tangannya yang mungil untuk ku genggam. Ia mengangkat tubuhnya. Sambil bergandengan tangan, aku dan Gendis mulai berjalan meninggalkan tempat itu. Dari kejauhan, kulihat keluargaku sudah berkumpul di depan pintu kamar. Dengan wajah berseri-seri mereka melihat kedatanganku bersama Gendis. Mereka segera berlari berhamburan ke arah anakku.
"Gendis....!! Ya Allah kamu dari mana saja??? Semua sampai khawatir gara-gara kecarian Gendis tapi tidak ketemu-ketemu!" Jerit ibu Dwi dengan mata berkaca-kaca.
"Alhamdulillah.. Akhirnya Gendis ditemukan. Tadi Gendis ketemu dimana Ma?" Tanya suamiku sambil mendekap erat tubuh putrinya yang tampak kebingungan karena dikelilingi tatapan panik keluargaku.
"Di depan lift mas" jawabku terbata-bata.
"Lift??? Kenapa Gendis bisa sampai kesana?" Tanya mas keheranan.
"Ima sendiri tidak tahu mas. Ima malah bingung, kenapa pas Gendis berjalan keluar kamar, mas dan om malah tidak melihatnya sama sekali"
"Iya sama, om juga heran. Padahal selama om dan mas Dedi mengobrol di depan pintu, kami sama sekali tidak melihat Gendis berjalan meninggalkan kamar" ujar ayah Dwi.
"Ma, ngapain Gendis duduk di depan lift?" Tanya suamiku penuh rasa ingin tahu.
"Pas Ima sampai lift, yang Ima lihat Gendis cuma duduk sambil tepuk tangan saja mas"
Ayah Dwi menatap wajah putriku lekat-lekat. Tampaknya beliau merasa bersalah karena merasa telah lalai menjaga cucunya.
Tanteku langsung menyerocos tidak sabaran "Pasti Gendis disana habis main sama teman-temannya! Iya kan?" Ujarnya berapi-api.
"Ndis. Kamu tadi habis pergi dan bermain sama teman-temanmu ya? Kamu tadi berbicara sama setan kan? Teman mu itu setan semuanya kan?" Tatap Ibu Dwi tajam ke arah putriku yang hanya menatap ke arahnya dengan tatapan polos.
"Astagfirullah..!!" Hanya kalimat itu yang terlontar dari mulutku. Bagaimana mungkin tanteku bisa mengucap kalimat sejahat itu tanpa memandang perasaan putriku?
Gendis hanya termangu mendengar ucapan yang terlontar dari mulut ibu Dwi. Wajahnya terlihat kebingungan.
Aku pun terpelatuk mendengar ucapan Ibu Dwi.
"Setan katanya??" Batinku geram.
Raut wajahku seketika berubah menunjukkan rasa tidak suka dan kurang respek akan ucapan beliau. Bagaimana mungkin anakku bisa dikatakan berteman dengan setan? Yang maaf, setan itu selalu berkonotasi negatif.
Sedangkan Gendis semenjak ia lahir dan belum bisa melihat sudah peka dengan perubahan energi yang berada di sekitarnya. Gendis akan segera menangis jika ada sesuatu yang berenergi negatif mendekatinya. Ia merasa tidak nyaman. Sekarang bagaimana mungkin keluargaku sendiri bisa berkata jika teman-teman putriku adalah setan?? Akal sehat dan hati nuraniku sebagai seorang ibu benar-benar marah dan menolak mentah-mentah ucapan Ibu Dwi.
Ingin rasanya mulutku ini melawan ucapan tanteku. Namun aku takut kalau terjadi perang mulut dan permusuhan di keluarga. Aku juga masih menghormati beliau dan memandang jasa-jasa beliau ke diriku. Aku menarik nafas dalam-dalam, berusaha mengontrol emosiku yang mulai memuncak.
Dwi mencuri pandang ke arahku. Tampaknya ia paham kalau aku tersinggung dengan ucapan ibunya.
"Ndis, kita masuk ke kamar saja yuk" ajakku pada putriku sambil berlalu meninggalkan suamiku dan keluarga Dwi di lorong hotel.
Aku segera membuka pintu kamar dan membawa putriku menuju ke kamar mandi untuk membilas dirinya. Mengganti bajunya yang kotor karena sudah duduk di atas karpet.
Setelah putriku wangi dan cantik, aku segera membawanya duduk di atas kasur. Menyalakan televisi dan mencari film kartun kesukaan kami berdua. Saat tengah asik menonton film, tiba-tiba Gendis bertanya padaku.
"Ma, Dis etan?" (Ma, Gendis setan) ujarnya sambil menatapku dengan tatapan kekanak-kanan.
Aku menghela nafas ringan. Membelai rambutnya yang basah karena habis keramas. Ku tatap hangat ke dua bola mata putriku.
"Gendis itu manusia bukan setan. Gendis anak mama!" Jawabku tegas.
Aku membelai lembut ke dua pipinya. Merengkuh kepala putriku ke dalam pelukanku.
"Gendis kepikiran kata-kata nini ya?"
Putriku menatapku dalam diam. Aku merasakan tatapan putriku begitu meneduhkan dan menenangkan hatiku. Tatapan polos seorang anak kecil yang tanpa dosa.
"Sini Ndis, kita ngobrol sebentar" aku mendudukkan putriku di pangkuanku. Ku peluk erat tubuhnya dari belakang. Berusaha memberikan kehangatan cintaku.
"Apa ma" ujarnya sambil memainkan jemariku.
"Mama minta tolong sama Gendis. Kalau nini atau siapa pun berkata kalau teman-teman Gendis itu setan, jangan pernah di dengar ya nak. Dan jangan simpan ucapan mereka ke hati dan pikiran Gendis. Tolong buang jauh-jauh semua ucapan jahat mereka"
"Api ma...!" (Tapi ma)
"Tapi kenapa??"
"Emana Dis emen etan?" (Emangnya Gendis itu temannya setan)
"Bukan...! Anak mama tidak pernah berteman dengan setan. Gendis dari lahir tidak suka dekat-dekat dengan mahluk ciptaan Allah yang berenergi negatif dan jahat. Jadi Gendis BUKAN temannya setan" aku memberi penekanan pada putriku. Agar ia paham kalau ia tidak pernah berteman dengan setan. Seperti yang orang awam sering lontarkan kepada putriku.
"Eyus Dis emen apa ma?" (Terus Gendis temannya siapa ma)
"Gendis temannya mama! Sahabatnya mama.. Selamanya..!!" Ujarku sambil mengeletiki tubuhnya.
Putriku tertawa kegelian "Aun ma..!! Auunn!! Eliii...!!!" (Ampun ma. Ampun. Geli)
Kami bercanda dan tertawa bersama-sama di atas tempat tidur. Ku sibak rambut ikal yang menutupi wajahnya akibat habis berguling-guling di atas kasur.
"Ndis, Gendis tahu tidak? Kalau Gendis tidak menyukai manusia yang berhati jahat?" Tatapku dalam-dalam ke netranya yang jernih.
"Apa ma?" Tanyanya kebingungan.
Aku tertawa kecil mendengar jawabannya yang polos. Ya Allah bagaimana mungkin anak sesuci ini bisa dibilang berteman dengan mahluk yang selalu berkonotasi negatif? Aku menggelengkan kepala, tak habis pikir.
"Gendis ingat tidak, waktu itu ada dua orang ibu yang menginap di rumah Gendis selama seminggu?"
"Da auu ma! Dis upa!" (Nggak tahu ma. Gendis lupa)
"Mang apa ma?" (Memangnya kenapa ma)
Aku menarik nafas panjang dan melepaskannya perlahan.
"'Waktu mereka menginap di rumah. Gendis hanya mau menegur dan mengajak ngobrol salah seorang dari mereka. Sedangkan Gendis tidak pernah mau menegur bahkan mendekat ke ibu yang satunya lagi. Kenapa hayo??" Aku memancing putriku untuk menceritakan apa yang ia rasakan.
Ke dua bola mata anakku berputar. Putriku tengah mencoba mengingat-ingat peristiwa yang sedang ku ceritakan kepadanya.
"Dis au ma!!" (Gendis tahu ma)
"Gendis tahu? Coba kasih tahu mama"
"Dis cuka ibu yang ua. Olangnya aik" (Gendis suka ibu yang tua. Orangnya baik)
"Terus kenapa Gendis tidak pernah mau mendekat dan menegur ke ibu yang satunya lagi?"
"Dis ga cuka! Aat...!" (Gendis nggak suka. Jahat)
Aku tersenyum mendengar jawabannya yang polos.
"Gendis bisa tahu kalau ibu yang satunya lagi jahat dari mana? Kan Gendis waktu itu baru pertama kali bertemu dengan dia?"
Anakku memalingkan wajahnya, menatapku tanpa berkedip sedikitpun. Matanya yang indah bagai menghipnotisku.
"Dicini. Dis au dicini" (Disini. Gendis tahu disini) jawabnya seraya menunjuk ke kepalanya.
Aku mempererat pelukanku ke tubuh putriku. Menciumi pucuk kepalanya dengan penuh cinta kasih. Gendisnya mama, kamu begitu peka dan mampu membedakan mana manusia yang baik dan jahat. Gendis tidak menyukai manusia yang memakai topeng palsu di wajahnya.
Bersambung