- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
AMOR & DOLOR (TRUE STORY)
TS
yanagi92055
AMOR & DOLOR (TRUE STORY)
Selamat Datang di Trit Kami
私のスレッドへようこそ
TERIMA KASIH BANYAK ATAS ATENSI DAN APRESIASI YANG TELAH GANSIS READERBERIKAN DI TIGA TRIT GUE DAN EMI SEBELUMNYA. SEMOGA DI TRIT INI, KAMI DAPAT MENUNJUKKAN PERFORMA TERBAIK (LAGI) DALAM PENULISAN DAN PACKAGING CERITA AGAR SEMUA READER YANG BERKUNJUNG DI SINI SELALU HAPPY DAN TERHIBUR!
Quote:
Spoiler for MUARA SEBUAH PENCARIAN (TAMAT):
Spoiler for AKHIR PENANTIANKU (ONGOING):
Spoiler for PERATURAN:
1. Cerita ini adalah kisah nyata yang terjadi di hidup gue dan Emi (@dissymmon08), tapi mohon maaf kami nggak menulis keseluruhan kejadian aslinya demi kepentingan privasi. Namun semua cerita di sini telah kami pilah sebagaimana mestinya agar tidak merusak jalannya cerita.
2. Ikuti peraturan standar H2H ya!
3. Agan sista bebas memberikan komentar baik berupa masukan atau kritikan buat kami, tapi hapunten pisan mohon untuk tidak memberikan komentar yang mengandung kebencian terkait dengan suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA).
4. Semua nama dan tempat kejadian akan disamarkan untuk kepentingan privasi. Jika agan sista mengetahui nama atau tempat kejadian yang kami ceritain di trit ini, mohon untuk disimpan untuk agan sista aja ya! Kami mohon dengan sangat!
5. Trit ini mengandung konten 18+ (dan tidak selalu berasiosiasi dengan dunia lendir ya), mohon agar jadi perhatian agan sista disini untuk lebih bijak ya dalam menyikapinya.
6. Kalau agan sista puas dengan cerita ini, mohon keikhlasannya untuk memberikan cendol
dan bintang 5 
7. Selamat membaca dan mohon maaf apabila ada salah-salah kata!
2. Ikuti peraturan standar H2H ya!
3. Agan sista bebas memberikan komentar baik berupa masukan atau kritikan buat kami, tapi hapunten pisan mohon untuk tidak memberikan komentar yang mengandung kebencian terkait dengan suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA).
4. Semua nama dan tempat kejadian akan disamarkan untuk kepentingan privasi. Jika agan sista mengetahui nama atau tempat kejadian yang kami ceritain di trit ini, mohon untuk disimpan untuk agan sista aja ya! Kami mohon dengan sangat!
5. Trit ini mengandung konten 18+ (dan tidak selalu berasiosiasi dengan dunia lendir ya), mohon agar jadi perhatian agan sista disini untuk lebih bijak ya dalam menyikapinya.
6. Kalau agan sista puas dengan cerita ini, mohon keikhlasannya untuk memberikan cendol
dan bintang 5 7. Selamat membaca dan mohon maaf apabila ada salah-salah kata!
Spoiler for FAQ, INDEX, MULUSTRASI, TEASER:
HAPPY READING! 
Quote:
Original Posted By yanagi92055►
TERIMA KASIH BANYAK GANSIS READERS SEMUANYA. DENGAN APRESIASINYA TRIT INI BERHASIL HT UNTUK PERTAMA KALINYA. SEMOGA PRESTASI INI DAPAT MENJADI SEMANGAT UNTUK KAMI MENGEMAS CERITA MENJADI SEMAKIN SERU UNTUK DIBACA DAN DIIKUTI.
SEKALI LAGI, TERIMA KASIH BANYAK!
SEKALI LAGI, TERIMA KASIH BANYAK!
Diubah oleh yanagi92055 01-10-2020 14:23
al.galauwi dan 90 lainnya memberi reputasi
81
175K
3K
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
TS
yanagi92055
#455
Jelang Final_Part 2
Alarm HP gue berbunyi. Pertanda gue harus segera bergegas mempersiapkan diri untuk acara besar hari ini. Kota gue memang bukan daerah yang adem di pagi hari. Tetapi bukan juga daerah yang sumpek-padahal-masih-pagi. Alhamdulillah, cuaca hari ini sepertinya akan cerah sepanjang hari. Udaranya sejuk, namun tidak panas juga. Sangat mendukung untuk mereka yang ingin berolahraga di pagi hari.
Tetapi tidak dengan gue.
Pagi ini banyak yang perlu gue siapkan. Kopi susu, sandwich, dan gue ada janji dengan kang cukur langganan gue untuk buka lebih pagi hari itu. Gue ingin terlihat “Ih calonnya Emi tambah ganteng aja!” di mata seluruh keluarga besar (gue maupun Emi). Hahaha.
Mood gue sedang bagus-bagusnya nih. Semoga terus demikian. Gue akan hadapi dengan ketenangan dan keceriaan hati. Hari ini akan jadi hari bersejarah dalam hidup gue, yang harusnya tidak akan pernah terulang kembali. Gue hanya berharap semoga Tuhan memudahkan jalan gue.
Baru saja gue keluar dari kamar, dan gue sudah melihat pemandangan yang amat sangat merusak mood. Mama dan Dania sudah mulai ngomel-ngomel di pagi hari yang harusnya ceria bagi gue ini.
“Kamu mau ngapain, Kak?” tanya Mama dari arah ruang tamu.
“Bikin kopi sama sarapan.”
“Itu Mama udah bikin nasi goreng. Sarapan itu aja.”
“Lah? Ija mana bisa sarapan nasi pagi-pagi, Ma. Yang ada moncor entar pas perjalanan ke rumah Emi.”
“Masa kamu minum kopi doang pagi-pagi?”
“Kan Ija bilang ‘bikin KOPI sama SARAPAN’. Ija udah beli roti kemaren. Ija mau bikin roti ini…”
“Udah nasi goreng aja.”
“Nggak mau!” Gue membuka bungkus roti tawar yang gue beli. Biar gue mempersiapkan sarapan gue sendiri. “Ija bisa kok bikin sarapan sendiri.”
“Aa, kamu kenapa bengong gitu? Cepetanlah mandi! Kan mandinya mesti ganti-gantian. Ini Kakak udah bangun. Kelamaan entar. Keburu siang!” kata Dania sembari dandan di kamar dia yang sengaja terbuka pintunya namun sama sekali tidak mematikan AC kamar dia. Bagaimana dengan Mama? Mama sedang berkutat dengan HP beliau, entah mengurus apa. Gue harap, itu bukan pekerjaan lain yang tidak ada hubungannya dengan acara hari ini.
“Iya, ini aku lupa bawa anduk tadi. Mau ambil anduk dulu.”
“Dari tadi ngapain aja? Sarapan doang kok ya klamar-klemer(lambat) banget toh, Le? Buruan dong. Mama kan mau minta tolong.” Mama celingukan sendiri. “Loh? Ini ciput Mama dimana? Kok nggak ada? Mama kan udah siapin di sini tadi.” kata Mama sembari melongok ke arah bawah meja ruang tamu.
“Lah? Mama gimana sih? Itu kan ciput baru. Masa lupa nyimpennya?”
“Ya nggak lupa lah! Mama inget kok. Kan Mama sendiri yang simpen barusan. Wong mau Mama pake ini sekarang. Tadi ngecek HP dulu. Ah kebiasaan nih.” Mama masih berusaha nyari ke kamar beliau bahkan ke kamar gue. “Bantuin dong, Kak.”
Teriakan di sana sini membuat mood gue anjlok seketika. “Ini bisa tenang sedikit nggak sih? Yang mau punya hajat itu Ija, Ma. Mama sama Dania itu kan dampingin Ija, kenapa jadi heboh banget sih?” kata gue dengan suara parau khas orang baru bangun tidur. Gue melihat jam dinding dan masih menunjukkan pukul 06.00.
“Ya kamu gimana sih, Kak? Mama sama Dania itu kan harus dandan dulu. Kita nggak pake make up artist kayak waktu Dania lamaran dulu kan. Makanya jadi rempong nggak karuan ini.” cetus Mama sembari terus menatap cermin dan menggoreskan blush on di pipi. Sepertinya beliau sedang mengesampingkan pencarian ciput beliau.
“Tau lo, Kak. Lo kan enak, anak laki mah nggak perlu banyak dandan. Baju udah siap tinggal pake. Paling lo kan ntar tinggal pake pomade aja di rambut. Selebihnya? Beres udah. Nggak kayak gue. Mesti dandan dulu, harus pas dan on point. Rambut gue juga mesti di catok dulu biar rapi. Biar nggak jelek. Lo bayar fotografer kan? Belum lagi Dian yang mesti di urus juga.” adik gue menambahkan.
“Rambut dicatok? Please, Dan! Lo dan Mama itu make kerudung kan? Kenapa harus catokan dulu sih padahal juga entar rambutnya ditutup juga?”
“Udah deh, ini rambut gue juga. Nggak usah rempong komentar!”
“Dih, siapa yang komentar?” jawab gue sembari duduk di meja makan dan menikmati kopi dan roti yang sudah siap untuk gue santap. “Gue abis ini mau potong rambut dulu.”
“POTONG RAMBUT? KAMU BARU MAU POTONG RAMBUT JAM SEGINI? MAU UDAHAN JAM BERAPA? EMANG TUKANG CUKURNYA UDAH BUKA HAH?” Mama keliatan emosi dengan pernyataan gue.
“Ija udah janjian sama tukang cukurnya. Itu ada di depan komplek! Biar Ija rambutnya rapih dan dapet gratis pomade. Kenapa dibikin perkara banget sih? Sekali lagi Ija bilang, ini acara Ija bukan? Ya HARUSNYA, yang on-point penampilannya ya Ija sama Mama. Bukan Dania. Heran…”
“Ya gue juga ga mau malu-maluin lah dandanannya, Kak. Gimana sih lo?”
“Ah terserah deh. Ija mau pergi ke tukang cukur dulu.”
“Ya udah…” Mama mendadak ngasih uang cash ke gue. “Abis itu tolong ambil kue ya di toko kue langganan deket SD kamu. Mama udah pesen. Tinggal diambil. Soalnya kalo dianterin takut lama terus takut mahal ongkirnya. Mending kamu aja yang ambil.”
“Ija mau potong rambut, Ma. Kenapa jadinya harus Ija juga yang ambil kue sih? Kenapa nggak Adit aja yang udah beres mandi?”
“Ya masa Adit sih, Kak? Mana tau dia tempatnya?”
YA TUHAN! “Kan ada Google Maps, Ma! Kenapa dibikin ribet sih?”
“Saya yang ambil aja nggak apa-apa kok, Ma.” jawab Adit yang baru keluar dari kamar mandi.
“Dih. Adit mana ngerti jalannya, Kak! Mana ngerti juga dia baca Google Maps Depok? Dia kan taunya Bandung doang!”
“Ma, dia ini kerjanya di lapang, Ma. Dia ada visit klien juga, sama kayak Ija. Masa iya dia nggak ngerti baca peta? Jangan ngerendahin Adit begitu terus dong, Ma!”
“Ah ribet kamu, Kak! Udah pokoknya ambil abis kamu potong rambut. Orang sebentar doang, deket pulak. Jangan dibikin ribet. Ini buat acara kamu loh. Mama udah sengaja pesenin.”
“Tau sih lo, Kak. Kan Mama masih harus dandan sama make baju. Terus Adit ya ngurus Dian lah. Dian belom mandi sama sarapan. Ini aja nggak tau nih, bangun jam berapa. Kita berangkatnya sebangun dia aja kali ya?” tanya Dania ke Mama.
“Iya, kasian kalau dibangunin paksa. Semalem kan dia begadang sampe malem banget tuh. Ga mau tidur-tidur.”
Gue yang mendengar hal tersebut mendadak naik pitam. Mereka tau kalau hari ini ada acara besar yang perlu mereka datangi. Mereka bahkan sadar juga kalau mereka membawa nama keluarga besar Papa untuk hadir ke hadapan keluarga besar Emi. Terus mereka malah membiarkan Dian untuk tidur lebih malam dan menjadikan Dian sebagai alasan kami untuk mengulur acara hari ini?!
“Maksudnya gimana ‘berangkatnya sebangun dia’?” tanya gue sembari menggunakan helm gue.
“Nanti Mama yang ngehubungi Emi atau sini minta nomor bapaknya Emi. Mama juga deh yang ngomong ke keluarga kalau kita datengnya agak telat. Paling lama juga telat 30 menitan. Dian kan nggak pernah bangun siang, Kak.”
“Jadi acara lamaran Ija HARUS TELAT cuma karena kasian sama Dian yang belum bangun tidur? Nggak bisa gitu Dian coba dibangunin pelan-pelan buat siap-siap?”
“Kamu kok tega mikir begitu sih, Kak? Dian itu masih kecil loh, Kak!”
“Kalau Dian ngamuk-ngamuk terus tantrum di acara lamaran lo, lo yang tanggung ya, Kak!”
“Loh kok jadi gue sih? Lo sama Adit lah yang mikir.”
“Ya kan Mama lagi sibuk sama lo. Dian siapa yang mau nenangin kalau tantrum?”
“LO SAMA ADIT LAH! Gimana sih, Ya Tuhan! Udahlah terserah! Gue mau cabut dulu!” Gue mengeluarkan motor gue.
“Jangan lupa ambil kuenya, Kak.”
“IYA!!!” teriak gue sembari menggeber gas motor gue.
Emosi gue semakin terbakar ketika gue melihat mobil yang akan kami gunakan MASIH BELUM dibuka cover mobilnya dan belum ‘dipanaskan’. Gue tidak mengerti lagi kalau nantinya, masih gue juga yang harus mempersiapkan mobil bahkan mengendarainya.
----
Sebelum pergi mandi, gue mengecek lagi apa-apa saja yang akan dibawa, takutnya nanti ada butuh lebih banyak lagi barang. Pengecekan gue lakukan secara perlahan dan teliti, karena biasanya gue adalah orang yang ceroboh, dan itu pula sebabnya gue sangat beruntung memiliki Emi yang selalu mengerjakan serta menyiapkan segala sesuatu sistematis dan detail.
“Kak, kamu itu nggak mau mandi apa gimana? Udah siang loh ini.” kata Mama dari dalam kamarnya entah beliau sedang apa karena AC kamar beliau masih juga hidup pertanda beliau masih mempersiapkan sesuatu di dalam kamar.
“Nggak mau mandi?” Ini adalah pertanyaan yang sangat tidak membutuhkan jawaban. “Ya mandilah, Ma. Ini Ija lagi ngecek barang-barang. Ija kan kalo mandi nggak pernah lama-lama banget, Ma. Santai aja kenapa sih?”
“Itu kan bisa nanti dulu. Kalo udah mandi, seger, kan enak mau ngapain juga.”
“Ya nggak gitu juga, Ma. Ini Ija lagi meriksain barang-barang semuanya. Udah deh, jangan ribet sendiri kenapa, Ma. Nanti malah ada yang kelewatan, Ma. Mama fokus aja udah sama dandan, nggak usah mikirin yang lain dulu. Nanti kebiasaan yang satu belum selesai tapi udah mikirin yang lain, ada aja yang ketinggalan.”
“Mama cuma mau mastiin kalo semuanya itu udah beres gitu loh, Kak.”
“Iya udah kenapa sih, Ma. Ini Ija lagi cek barang-barang, Mama fokus aja dandan.” Gue tidak mau lagi terlibat perdebatan.
Gue memeriksa barang yang sebetulnya tidak banyak juga. Sebabnya, hantaran utama sudah ada di rumah Emi yang nantinya akan gue ambil di mobil gue sendiri. Gue kesana nanti dengan mobil Mama beserta keluarga kecil gue ini. Nantinya RENCANANYA, yang menyetir adalah Adit. Gue tidak mau ambil resiko kalau nanti gue kecapekan.
“Nanti lo aja yang nyetir, Kak.” Dania tiba-tiba mengagetkan gue dari belakang. Dia sudah rapih dandan dan hendak mengeluarkan 2 goodie bag berisi cemilan dan barang kebutuhan Dian. Entah apa aja itu. Di punggungnya, dia sudah menggendong tas backpack yang berisi barang kebutuhan Dian juga. Ini tuh hanya perjalanan setengah hari ke kota yang tidak jauh dari rumah. Entah kenapa mereka harus membawa segala macam.
“Kan gue yang mau lamaran, kenapa gue juga yang nyetir?” tanya gue keheranan. “Kenapa nggak Adit aja sih? Semalem juga Adit bilang kan mau Adit aja. Toh dia udah bisa.”
“Iya, Adit kan belum lancar banget nyetirnya. Takutnya nggak bisa ngebut juga kan. Kita juga nggak tau nanti medan jalannya kayak apaan. Mana Adit juga nggak hapal jalan ke rumah Emi. Ribet deh entar.”
“Lah kan ke rumah Emi mah tinggal lewat tol. Ngapain ngeributin soal medan jalan sih? Komplek rumahnya juga nggak jauh dari pintu tol. Jadi nggak akan ada macem-macem dan aneh-aneh. Kenapa ketakutan begitu sih? Udah, kasih kesempatan dia nyetir kenapa sih?”
“Ya tetep aja gue khawatir, Kak.”
“Khawatir kenapa? Takut celaka lo emang? Buset deh, nggak percayaan banget sama suami sendiri itu gimana sih, Dan.”
“Bukan nggak percaya, cuma khawatir aja nanti dia malah jadi nyusahin.”
“Hah? Nyusahin apaan? Dia itu kan mau nyetir bukan bangun candi. Kenapa jadi nyusahin sih?” Sepertinya adik gue ini hanya mencari-cari alasan agar merasa aman dan nyaman kalo yang menyetir mobil nanti adalah gue, bukan suaminya. Dia juga sepertinya tidak berkenan menjadi navigator karena kalo suaminya ada di depan kemudi, berarti dia yang bertugas menjadi navigator.
“Ya pokoknya lebih enak aja kalo lo yang nyetir, Kak.” Alibi.
“Nggak. Pokoknya udah sesuai rencana. Adit yang nyetir. Lo duduk depan, gue duduk belakang sama Mama dan Dian. Gue mau fokus untuk lamaran gue hari dan gue nggak mau keganggu sama urusan lain, capek mikirin urusan lain, apalagi capek fisik.”
“……..” Dania tidak meneruskan lagi obrolannya dengan gue. Sepertinya dia masih ada rasa khawatir. Namun, ini Dania. Dia selalu punya cara agar segala hal berjalan sesuai keinginan dia. Gue perhatikan dia berjalan ke arah kamar Mama dimana Dian berada. Soalnya Adit sedang memanaskan mobil di garasi.
Gue pun bergegas masuk ke dalam kamar mandi untuk membersihkan diri. Semuanya sudah siap. Keluarga besar gue yang sebagian besar berdomisili di lokasi yang lebih jauh dari kami sudah menuju ke rumah Emi lebih dulu. Kalau sesuai prediksi, kami akan tiba di waktu yang sama. Gue sudah memberikan kabar kepada saudara-saudara yang hendak ikut dalam acara lamaran gue ini. Setelah mengkonfirmasi jumlah mobil dan orang yang akan ikut, gue membagikan lokasi rumah Emi. Semalam gue juga memberikan informasi kalau acara dimulai jam 9, bukan jam 10 seperti seharusnya. Ini bertujuan agar tidak ada lagi keterlambatan seperti waktu perkenalan keluarga. Apalagi ini melibatkan lebih banyak orang, sehingga kemungkinan untuk tidak tepat waktu akan lebih besar.
---
“Halo bro!” Gue menyapa Arko yang sudah lebih dulu hadir di rumah Emi. “Anak-anak udah siap?”
“86, Ndan!” Sahut Arko di seberang sana.
“Gue 5 menit lagi sampe nih. Barusan gue ketemu sama sodara gue dulu di jalan. Mastiin nggak ada yang ketinggalan. Ini gue mobil paling depan kok.”
“Gue udah ngobrol sama Pak Satpam. Mereka siap nerima mobil keluarga lo buat diarahin ke parkir yang udah disediain pihak bapake Emi.”
“Mantab!”
“Drian jadi udah ngambil hantaran di rumah tetangga doi?”
“Udeh, ini hantarannya ada di Pos Satpam. Udah tinggal diangkut sama keluarga lo aja nih.”
“Sip deh. Wait ya!”
“Joss lah!”
Ingin rasanya gue menjawab Arko dengan kalimat “Joss mah nanti, Ko. Pas malem pertama. Kalo sekarang maen jas jos jas jos, malem pertama kita mesti nge-joss siapa lagi?” TAPI, karena gue sedang memangku Dian dan Mama ada di sebelah gue. Gue urungkan niat bodoh gue tersebut. “Tengkiu bro!” adalah jawaban terbaik dari gue.
“Arko udah siap, Kak?” tanya Mama ketika memastikan gue sudah menutup teleponnya.
“Udah kok.”
“Itu Om Reza malah nyalip duluan. Nggak bakalan bablas kan?” tanya Dania.
“Ya nggak lah. Di dalem mobilnya Om Reza itu ada Emran dan Edmiral yang punya Maps dari gue. Masa iya mereka masih nyasar juga? Gokil amat.”
“Ya siapa tau, Kak.”
“Percaya aja, Ma. Nggak usah ngeribetin apa yang seharusnya nggak perlu diribetin deh.”
“Kan Mama bilang, SIAPA TAU. Bukan ngeribetin namanya.” jawab Mama ketus.
“Mama nanti janji ya, fokus sama Ija. Jangan malah sibuk gendong Dian. Hari ini Mama itu mewakilkan Papa untuk ngelamar wanita pilihan Ija. Mama bawa nama baik keluarga besar Papa juga. Jadi, please, Mama jangan malah nunjukin kalau Mama nggak peduli sama acaranya Ija. Kali ini sampe rangkaian nikahan Ija beres, peduli dan fokus sedikiiit aja buat Ija.”
Hening. Tidak ada jawaban tambahan setelah gue menyelesaikan omongan gue tersebut. Mama, Dania, dan Adit tidak membalas satu patah katapun untuk kalimat gue tersebut. Sepertinya mereka sadar kalau mereka terlalu meremehkan acara gue ini. SEPERTINYA LOH YA, entah apa yang mereka rasakan sebenarnya.
“Mantab, Dit! Gitu dong buat Abang Ipar!” sapa Om Reza ketika Adit membuka kaca dari sisi kemudi dia.
“Ayo calon manten buruan turun. Om nyapa Om Dani dulu ya. Kita jalan barengan paling depan.” Senyum dan semangat Om Reza ketika menyapa kami, membuat mood gue kembali baik. Beliau sangat mengingatkan kami pada sosok Papa yang tegas dan siaga. Gue sangat merindukan sosok beliau ketika momen tersebut.
“Bismillah ya, Kak. Biar lancar acara hari ini.” kata Mama dan tidak lupa mengecup kening gue.
“Biar lancar sampe seluruh rangkaian acara Ija selesai.” tambah gue.
“Amiiin, Le.”
Tetapi tidak dengan gue.
Pagi ini banyak yang perlu gue siapkan. Kopi susu, sandwich, dan gue ada janji dengan kang cukur langganan gue untuk buka lebih pagi hari itu. Gue ingin terlihat “Ih calonnya Emi tambah ganteng aja!” di mata seluruh keluarga besar (gue maupun Emi). Hahaha.
Mood gue sedang bagus-bagusnya nih. Semoga terus demikian. Gue akan hadapi dengan ketenangan dan keceriaan hati. Hari ini akan jadi hari bersejarah dalam hidup gue, yang harusnya tidak akan pernah terulang kembali. Gue hanya berharap semoga Tuhan memudahkan jalan gue.
Baru saja gue keluar dari kamar, dan gue sudah melihat pemandangan yang amat sangat merusak mood. Mama dan Dania sudah mulai ngomel-ngomel di pagi hari yang harusnya ceria bagi gue ini.
“Kamu mau ngapain, Kak?” tanya Mama dari arah ruang tamu.
“Bikin kopi sama sarapan.”
“Itu Mama udah bikin nasi goreng. Sarapan itu aja.”
“Lah? Ija mana bisa sarapan nasi pagi-pagi, Ma. Yang ada moncor entar pas perjalanan ke rumah Emi.”
“Masa kamu minum kopi doang pagi-pagi?”
“Kan Ija bilang ‘bikin KOPI sama SARAPAN’. Ija udah beli roti kemaren. Ija mau bikin roti ini…”
“Udah nasi goreng aja.”
“Nggak mau!” Gue membuka bungkus roti tawar yang gue beli. Biar gue mempersiapkan sarapan gue sendiri. “Ija bisa kok bikin sarapan sendiri.”
“Aa, kamu kenapa bengong gitu? Cepetanlah mandi! Kan mandinya mesti ganti-gantian. Ini Kakak udah bangun. Kelamaan entar. Keburu siang!” kata Dania sembari dandan di kamar dia yang sengaja terbuka pintunya namun sama sekali tidak mematikan AC kamar dia. Bagaimana dengan Mama? Mama sedang berkutat dengan HP beliau, entah mengurus apa. Gue harap, itu bukan pekerjaan lain yang tidak ada hubungannya dengan acara hari ini.
“Iya, ini aku lupa bawa anduk tadi. Mau ambil anduk dulu.”
“Dari tadi ngapain aja? Sarapan doang kok ya klamar-klemer(lambat) banget toh, Le? Buruan dong. Mama kan mau minta tolong.” Mama celingukan sendiri. “Loh? Ini ciput Mama dimana? Kok nggak ada? Mama kan udah siapin di sini tadi.” kata Mama sembari melongok ke arah bawah meja ruang tamu.
“Lah? Mama gimana sih? Itu kan ciput baru. Masa lupa nyimpennya?”
“Ya nggak lupa lah! Mama inget kok. Kan Mama sendiri yang simpen barusan. Wong mau Mama pake ini sekarang. Tadi ngecek HP dulu. Ah kebiasaan nih.” Mama masih berusaha nyari ke kamar beliau bahkan ke kamar gue. “Bantuin dong, Kak.”
Teriakan di sana sini membuat mood gue anjlok seketika. “Ini bisa tenang sedikit nggak sih? Yang mau punya hajat itu Ija, Ma. Mama sama Dania itu kan dampingin Ija, kenapa jadi heboh banget sih?” kata gue dengan suara parau khas orang baru bangun tidur. Gue melihat jam dinding dan masih menunjukkan pukul 06.00.
“Ya kamu gimana sih, Kak? Mama sama Dania itu kan harus dandan dulu. Kita nggak pake make up artist kayak waktu Dania lamaran dulu kan. Makanya jadi rempong nggak karuan ini.” cetus Mama sembari terus menatap cermin dan menggoreskan blush on di pipi. Sepertinya beliau sedang mengesampingkan pencarian ciput beliau.
“Tau lo, Kak. Lo kan enak, anak laki mah nggak perlu banyak dandan. Baju udah siap tinggal pake. Paling lo kan ntar tinggal pake pomade aja di rambut. Selebihnya? Beres udah. Nggak kayak gue. Mesti dandan dulu, harus pas dan on point. Rambut gue juga mesti di catok dulu biar rapi. Biar nggak jelek. Lo bayar fotografer kan? Belum lagi Dian yang mesti di urus juga.” adik gue menambahkan.
“Rambut dicatok? Please, Dan! Lo dan Mama itu make kerudung kan? Kenapa harus catokan dulu sih padahal juga entar rambutnya ditutup juga?”
“Udah deh, ini rambut gue juga. Nggak usah rempong komentar!”
“Dih, siapa yang komentar?” jawab gue sembari duduk di meja makan dan menikmati kopi dan roti yang sudah siap untuk gue santap. “Gue abis ini mau potong rambut dulu.”
“POTONG RAMBUT? KAMU BARU MAU POTONG RAMBUT JAM SEGINI? MAU UDAHAN JAM BERAPA? EMANG TUKANG CUKURNYA UDAH BUKA HAH?” Mama keliatan emosi dengan pernyataan gue.
“Ija udah janjian sama tukang cukurnya. Itu ada di depan komplek! Biar Ija rambutnya rapih dan dapet gratis pomade. Kenapa dibikin perkara banget sih? Sekali lagi Ija bilang, ini acara Ija bukan? Ya HARUSNYA, yang on-point penampilannya ya Ija sama Mama. Bukan Dania. Heran…”
“Ya gue juga ga mau malu-maluin lah dandanannya, Kak. Gimana sih lo?”
“Ah terserah deh. Ija mau pergi ke tukang cukur dulu.”
“Ya udah…” Mama mendadak ngasih uang cash ke gue. “Abis itu tolong ambil kue ya di toko kue langganan deket SD kamu. Mama udah pesen. Tinggal diambil. Soalnya kalo dianterin takut lama terus takut mahal ongkirnya. Mending kamu aja yang ambil.”
“Ija mau potong rambut, Ma. Kenapa jadinya harus Ija juga yang ambil kue sih? Kenapa nggak Adit aja yang udah beres mandi?”
“Ya masa Adit sih, Kak? Mana tau dia tempatnya?”
YA TUHAN! “Kan ada Google Maps, Ma! Kenapa dibikin ribet sih?”
“Saya yang ambil aja nggak apa-apa kok, Ma.” jawab Adit yang baru keluar dari kamar mandi.
“Dih. Adit mana ngerti jalannya, Kak! Mana ngerti juga dia baca Google Maps Depok? Dia kan taunya Bandung doang!”
“Ma, dia ini kerjanya di lapang, Ma. Dia ada visit klien juga, sama kayak Ija. Masa iya dia nggak ngerti baca peta? Jangan ngerendahin Adit begitu terus dong, Ma!”
“Ah ribet kamu, Kak! Udah pokoknya ambil abis kamu potong rambut. Orang sebentar doang, deket pulak. Jangan dibikin ribet. Ini buat acara kamu loh. Mama udah sengaja pesenin.”
“Tau sih lo, Kak. Kan Mama masih harus dandan sama make baju. Terus Adit ya ngurus Dian lah. Dian belom mandi sama sarapan. Ini aja nggak tau nih, bangun jam berapa. Kita berangkatnya sebangun dia aja kali ya?” tanya Dania ke Mama.
“Iya, kasian kalau dibangunin paksa. Semalem kan dia begadang sampe malem banget tuh. Ga mau tidur-tidur.”
Gue yang mendengar hal tersebut mendadak naik pitam. Mereka tau kalau hari ini ada acara besar yang perlu mereka datangi. Mereka bahkan sadar juga kalau mereka membawa nama keluarga besar Papa untuk hadir ke hadapan keluarga besar Emi. Terus mereka malah membiarkan Dian untuk tidur lebih malam dan menjadikan Dian sebagai alasan kami untuk mengulur acara hari ini?!
“Maksudnya gimana ‘berangkatnya sebangun dia’?” tanya gue sembari menggunakan helm gue.
“Nanti Mama yang ngehubungi Emi atau sini minta nomor bapaknya Emi. Mama juga deh yang ngomong ke keluarga kalau kita datengnya agak telat. Paling lama juga telat 30 menitan. Dian kan nggak pernah bangun siang, Kak.”
“Jadi acara lamaran Ija HARUS TELAT cuma karena kasian sama Dian yang belum bangun tidur? Nggak bisa gitu Dian coba dibangunin pelan-pelan buat siap-siap?”
“Kamu kok tega mikir begitu sih, Kak? Dian itu masih kecil loh, Kak!”
“Kalau Dian ngamuk-ngamuk terus tantrum di acara lamaran lo, lo yang tanggung ya, Kak!”
“Loh kok jadi gue sih? Lo sama Adit lah yang mikir.”
“Ya kan Mama lagi sibuk sama lo. Dian siapa yang mau nenangin kalau tantrum?”
“LO SAMA ADIT LAH! Gimana sih, Ya Tuhan! Udahlah terserah! Gue mau cabut dulu!” Gue mengeluarkan motor gue.
“Jangan lupa ambil kuenya, Kak.”
“IYA!!!” teriak gue sembari menggeber gas motor gue.
Emosi gue semakin terbakar ketika gue melihat mobil yang akan kami gunakan MASIH BELUM dibuka cover mobilnya dan belum ‘dipanaskan’. Gue tidak mengerti lagi kalau nantinya, masih gue juga yang harus mempersiapkan mobil bahkan mengendarainya.
----
Sebelum pergi mandi, gue mengecek lagi apa-apa saja yang akan dibawa, takutnya nanti ada butuh lebih banyak lagi barang. Pengecekan gue lakukan secara perlahan dan teliti, karena biasanya gue adalah orang yang ceroboh, dan itu pula sebabnya gue sangat beruntung memiliki Emi yang selalu mengerjakan serta menyiapkan segala sesuatu sistematis dan detail.
“Kak, kamu itu nggak mau mandi apa gimana? Udah siang loh ini.” kata Mama dari dalam kamarnya entah beliau sedang apa karena AC kamar beliau masih juga hidup pertanda beliau masih mempersiapkan sesuatu di dalam kamar.
“Nggak mau mandi?” Ini adalah pertanyaan yang sangat tidak membutuhkan jawaban. “Ya mandilah, Ma. Ini Ija lagi ngecek barang-barang. Ija kan kalo mandi nggak pernah lama-lama banget, Ma. Santai aja kenapa sih?”
“Itu kan bisa nanti dulu. Kalo udah mandi, seger, kan enak mau ngapain juga.”
“Ya nggak gitu juga, Ma. Ini Ija lagi meriksain barang-barang semuanya. Udah deh, jangan ribet sendiri kenapa, Ma. Nanti malah ada yang kelewatan, Ma. Mama fokus aja udah sama dandan, nggak usah mikirin yang lain dulu. Nanti kebiasaan yang satu belum selesai tapi udah mikirin yang lain, ada aja yang ketinggalan.”
“Mama cuma mau mastiin kalo semuanya itu udah beres gitu loh, Kak.”
“Iya udah kenapa sih, Ma. Ini Ija lagi cek barang-barang, Mama fokus aja dandan.” Gue tidak mau lagi terlibat perdebatan.
Gue memeriksa barang yang sebetulnya tidak banyak juga. Sebabnya, hantaran utama sudah ada di rumah Emi yang nantinya akan gue ambil di mobil gue sendiri. Gue kesana nanti dengan mobil Mama beserta keluarga kecil gue ini. Nantinya RENCANANYA, yang menyetir adalah Adit. Gue tidak mau ambil resiko kalau nanti gue kecapekan.
“Nanti lo aja yang nyetir, Kak.” Dania tiba-tiba mengagetkan gue dari belakang. Dia sudah rapih dandan dan hendak mengeluarkan 2 goodie bag berisi cemilan dan barang kebutuhan Dian. Entah apa aja itu. Di punggungnya, dia sudah menggendong tas backpack yang berisi barang kebutuhan Dian juga. Ini tuh hanya perjalanan setengah hari ke kota yang tidak jauh dari rumah. Entah kenapa mereka harus membawa segala macam.
“Kan gue yang mau lamaran, kenapa gue juga yang nyetir?” tanya gue keheranan. “Kenapa nggak Adit aja sih? Semalem juga Adit bilang kan mau Adit aja. Toh dia udah bisa.”
“Iya, Adit kan belum lancar banget nyetirnya. Takutnya nggak bisa ngebut juga kan. Kita juga nggak tau nanti medan jalannya kayak apaan. Mana Adit juga nggak hapal jalan ke rumah Emi. Ribet deh entar.”
“Lah kan ke rumah Emi mah tinggal lewat tol. Ngapain ngeributin soal medan jalan sih? Komplek rumahnya juga nggak jauh dari pintu tol. Jadi nggak akan ada macem-macem dan aneh-aneh. Kenapa ketakutan begitu sih? Udah, kasih kesempatan dia nyetir kenapa sih?”
“Ya tetep aja gue khawatir, Kak.”
“Khawatir kenapa? Takut celaka lo emang? Buset deh, nggak percayaan banget sama suami sendiri itu gimana sih, Dan.”
“Bukan nggak percaya, cuma khawatir aja nanti dia malah jadi nyusahin.”
“Hah? Nyusahin apaan? Dia itu kan mau nyetir bukan bangun candi. Kenapa jadi nyusahin sih?” Sepertinya adik gue ini hanya mencari-cari alasan agar merasa aman dan nyaman kalo yang menyetir mobil nanti adalah gue, bukan suaminya. Dia juga sepertinya tidak berkenan menjadi navigator karena kalo suaminya ada di depan kemudi, berarti dia yang bertugas menjadi navigator.
“Ya pokoknya lebih enak aja kalo lo yang nyetir, Kak.” Alibi.
“Nggak. Pokoknya udah sesuai rencana. Adit yang nyetir. Lo duduk depan, gue duduk belakang sama Mama dan Dian. Gue mau fokus untuk lamaran gue hari dan gue nggak mau keganggu sama urusan lain, capek mikirin urusan lain, apalagi capek fisik.”
“……..” Dania tidak meneruskan lagi obrolannya dengan gue. Sepertinya dia masih ada rasa khawatir. Namun, ini Dania. Dia selalu punya cara agar segala hal berjalan sesuai keinginan dia. Gue perhatikan dia berjalan ke arah kamar Mama dimana Dian berada. Soalnya Adit sedang memanaskan mobil di garasi.
Gue pun bergegas masuk ke dalam kamar mandi untuk membersihkan diri. Semuanya sudah siap. Keluarga besar gue yang sebagian besar berdomisili di lokasi yang lebih jauh dari kami sudah menuju ke rumah Emi lebih dulu. Kalau sesuai prediksi, kami akan tiba di waktu yang sama. Gue sudah memberikan kabar kepada saudara-saudara yang hendak ikut dalam acara lamaran gue ini. Setelah mengkonfirmasi jumlah mobil dan orang yang akan ikut, gue membagikan lokasi rumah Emi. Semalam gue juga memberikan informasi kalau acara dimulai jam 9, bukan jam 10 seperti seharusnya. Ini bertujuan agar tidak ada lagi keterlambatan seperti waktu perkenalan keluarga. Apalagi ini melibatkan lebih banyak orang, sehingga kemungkinan untuk tidak tepat waktu akan lebih besar.
---
“Halo bro!” Gue menyapa Arko yang sudah lebih dulu hadir di rumah Emi. “Anak-anak udah siap?”
“86, Ndan!” Sahut Arko di seberang sana.
“Gue 5 menit lagi sampe nih. Barusan gue ketemu sama sodara gue dulu di jalan. Mastiin nggak ada yang ketinggalan. Ini gue mobil paling depan kok.”
“Gue udah ngobrol sama Pak Satpam. Mereka siap nerima mobil keluarga lo buat diarahin ke parkir yang udah disediain pihak bapake Emi.”
“Mantab!”
“Drian jadi udah ngambil hantaran di rumah tetangga doi?”
“Udeh, ini hantarannya ada di Pos Satpam. Udah tinggal diangkut sama keluarga lo aja nih.”
“Sip deh. Wait ya!”
“Joss lah!”
Ingin rasanya gue menjawab Arko dengan kalimat “Joss mah nanti, Ko. Pas malem pertama. Kalo sekarang maen jas jos jas jos, malem pertama kita mesti nge-joss siapa lagi?” TAPI, karena gue sedang memangku Dian dan Mama ada di sebelah gue. Gue urungkan niat bodoh gue tersebut. “Tengkiu bro!” adalah jawaban terbaik dari gue.
“Arko udah siap, Kak?” tanya Mama ketika memastikan gue sudah menutup teleponnya.
“Udah kok.”
“Itu Om Reza malah nyalip duluan. Nggak bakalan bablas kan?” tanya Dania.
“Ya nggak lah. Di dalem mobilnya Om Reza itu ada Emran dan Edmiral yang punya Maps dari gue. Masa iya mereka masih nyasar juga? Gokil amat.”
“Ya siapa tau, Kak.”
“Percaya aja, Ma. Nggak usah ngeribetin apa yang seharusnya nggak perlu diribetin deh.”
“Kan Mama bilang, SIAPA TAU. Bukan ngeribetin namanya.” jawab Mama ketus.
“Mama nanti janji ya, fokus sama Ija. Jangan malah sibuk gendong Dian. Hari ini Mama itu mewakilkan Papa untuk ngelamar wanita pilihan Ija. Mama bawa nama baik keluarga besar Papa juga. Jadi, please, Mama jangan malah nunjukin kalau Mama nggak peduli sama acaranya Ija. Kali ini sampe rangkaian nikahan Ija beres, peduli dan fokus sedikiiit aja buat Ija.”
Hening. Tidak ada jawaban tambahan setelah gue menyelesaikan omongan gue tersebut. Mama, Dania, dan Adit tidak membalas satu patah katapun untuk kalimat gue tersebut. Sepertinya mereka sadar kalau mereka terlalu meremehkan acara gue ini. SEPERTINYA LOH YA, entah apa yang mereka rasakan sebenarnya.
“Mantab, Dit! Gitu dong buat Abang Ipar!” sapa Om Reza ketika Adit membuka kaca dari sisi kemudi dia.
“Ayo calon manten buruan turun. Om nyapa Om Dani dulu ya. Kita jalan barengan paling depan.” Senyum dan semangat Om Reza ketika menyapa kami, membuat mood gue kembali baik. Beliau sangat mengingatkan kami pada sosok Papa yang tegas dan siaga. Gue sangat merindukan sosok beliau ketika momen tersebut.
“Bismillah ya, Kak. Biar lancar acara hari ini.” kata Mama dan tidak lupa mengecup kening gue.
“Biar lancar sampe seluruh rangkaian acara Ija selesai.” tambah gue.
“Amiiin, Le.”
caporangtua259 dan 14 lainnya memberi reputasi
15
Tutup