Came in from a rainy Thursday
On the avenue Thought I heard you talking softly
I turned on the lights, the TV
And the radio Still I can't escape the ghost of you
What has happened to it all?
Crazy, some'd say
Where is the life that I recognize?
Gone away
But I won't cry for yesterday
There's an ordinary world
Somehow I have to find
And as I try to make my way
To the ordinary world
I will learn to survive
Passion or coincidence
Once prompted you to say
"Pride will tear us both apart"
Well now pride's gone out the window
Cross the rooftops
Run away
Left me in the vacuum of my heart
What is happening to me?
Crazy, some'd say
Where is my friend when I need you most?
Gone away
But I won't cry for yesterday
There's an ordinary world
Somehow I have to find
And as I try to make my way
To the ordinary world
I will learn to survive
Papers in the roadside
Tell of suffering and greed
Here today, forgot tomorrow
Ooh, here besides the news
Of holy war and holy need
Ours is just a little sorrowed talk
And I don't cry for yesterday
There's an ordinary world
Somehow I have to find
And as I try to make my way
To the ordinary world
I will learn to survive
Every one Is my world, I will learn to survive
Any one Is my world, I will learn to survive
Any one Is my world
Every one Is my world
Tepat setelah kami menyelesaikan makan malam yang sedikit terlambat, sosok pria setengah baya berjalan mendekat, menghampiri kami. Perbincangan singkat terjadi antara Mas Karlan dengan pria tersebut, yang kemudian diakhiri dengan penyerahan kunci Ruko beserta Surat Perintah Kerja ke Mas Karlan.
Begitu masuk ke dalam bangunan Ruko yang masih kosong, Mas Bobi langsung menggelar lembaran kertas besar yang merupakan blueprint rencana jaringan listrik dan internet.
“Cad, bobok tembok yang di lantai dua dulu ya…” Mas Bobi memberikan instruksi sambil menunjuk ke atas, sementara matanya masih sibuk melihat ke arah blueprint. Gua mendekat ke arahnya, kemudian ia menjelaskan lebih detail tentang titik yang harus di bor.
“Ok…” Jawab gua singkat, kemudian membongkar tas besar berisi perkakas, mengeluarkan Bor tangan dari dalamnya dan bergegas menuju ke atas.
Banyak yang bilang kalau jenis pekerjaan yang gua lakoni sekarang ini merupakan ‘pekerjaan mudah’, karena dianggap bukan pekerjaan kasar dan nggak terlalu memeras otak. Nyatanya, keduanya salah. Adakalanya kami harus melakukan pekerjaan pertukangan seperti pembobokan dinding dan lantai. Kemudian, setelah selesai kami diharuskan untuk merapikan kembali dinding atau lantai seperti semula.
“Rampung cad?” Tanya Mas Karlan sambil menyulut rokok di bibirnya, kemudian meletakkan kardus berisi gulungan kabel di lantai.
“Udah nih…” Gua menjawab, sambil menggulung kabel bor.
“Langsung tarik aja kabelnya…” Ucapnya santai, kemudian kembali ke bawah.
“Siap…” Jawab gua singkat, dan bergegas melanjutkan pekerjaan.
Ponsel di saku celana gua bergetar, nama Sekar muncul di layarnya. Gua mengabaikan panggilannya dan kembali memasukkan ponsel ke dalam saku celana. Setelah beberapa saat getaran di ponsel gua berhenti, namun kembali bergetar. Gua kembali meraih ponsel dari dalam saku dan menjawabnya.
“Halo…”
“Lama banget ngangkatnya?” Suara Sekar terdengar dari ujung sana.
“Ya gua kan lagi kerja, kar…” Jawab gua.
“Yaudah lo lanjut kerja aja, tapi jangan di tutup…”
“Bentar, gua masang headset dulu…” Jawab gua seraya mengambil headset dari dalam tas, menyambungkannya ke ponsel dan memasangnya ke telinga.
“Halo.. Udah Bi?” Tanya Sekar.
“Iya, udah…”
“Lo lanjutin aja kerjanya, gw mau cerita…”
“Cerita apa?”
“Ya lo dengerin aja…”
“This is a story about a girl named Indira Sekar, gadis cantik yang lahir dengan berat 3kg dan panjang 50cm. Gadis ini dibesarkan oleh keluarga kecil bahagia dan berkehidupan cukup. Saking cukupnya Sekar kecil nggak pernah kekurangan satu apapun, sampai segala kecukupan itu terasa hampa saat SMA….”
“Wah bakalan panjang ceritanya nih…” Potong gua sambil berusaha naik ke atas plafon langit-langit.
“Ih, diem dulu sih… lo udah kerja aja, sambil dengerin…”
“...”
“...Sampe mana tuh tadi, jadi lupa kan…”
“Terasa hampa saat SMA…” Gua mengulang kalimat terakhir Sekar sebelum kalimatnya gua potong.
“Sampai segala kecukupan itu terasa hampa saat SMA, saat pertama gua mengenal seorang cowok, saat gua ikut-ikutan cewek lain berpura-pura ke kelasnya hanya sekedar untuk bisa melihat cowok itu dan saat akhirnya gua sadar kalo cowok itu terlalu jauh buat gua gapai. Kecukupan yang selama ini selalu ada buat gua, jadi benar-benar terasa hampa, semua terasa ‘kurang’....”
“Siapa cowok itu?” Tanya gua, saking penasarannya gua sampai menghentikan semua kegiatan.
“Idih, idih, nggak peka banget… Ya elo lah…” Sekar menjawab, setengah berteriak.
“Eh, gua ternyata… Terus, terus gimana?”
“Sampai suatu saat lo ngelarang gw buat ikut acara lulus-lulusan SMA, terus kita sering ketemuan buat belajar bareng, perlahan kehampaan gua hilang…”
“...”
“Sekarang, kehampaan ini kayaknya datang lagi…” Suara Sekar melemah.
“Kenapa, karena gua?”
“Bukan…”
“Karena apa?” Tanya gua.
Sementara Sekar nggak langsung menjawab, ia terdiam cukup lama, yang terdengar hanya nafas gua yang tersengal-sengal karena harus merangkak diatas plafon.
“Gw tau, tadi elo denger omongan bokap gw kan?” Sekar mulai kembali bicara.
“...”
“Iya kan Bi? elo denger kan?” Ia mengulangi pertanyaannya.
“Iya, gua denger…” Gua menjawab sambil terus menata kabel LAN diatas traytek.
“Kita bisa kan Bi?”
“Bisa apa?”
“Kita bisa kan, ngambil hati bokap gw?” Tanyanya.
“...” Kali ini gua yang terdiam, nggak tau harus menjawab apa.
Gua bukanlah tipe orang dengan pandangan ortodok yang memandang sebuah hubungan dari kelas sosialnya. Tapi disisi lain ucapan Bokapnya Sekar ada benarnya. Saat ini, gua cuma pemuda ‘nggak jelas’, anak narapidana dan seorang ‘Berandalan’. Tapi, menyerah saat belum mencoba tentu bukan gaya gua.
“Bian…”
“Ya…”
“Kita bisa kan, ngambil hati bokap gw?” Sekar kembali mengulang pertanyaannya.
“Bisa!” Jawab gua yakin.
“...”
“Karena elo yang paling kenal sama Bokap lo sendiri, kasih tau gua gimana cara ngambil hatinya…”
“Okeeee…” Sekar menjawab, kali ini suaranya terdengar bersemangat.
“Tapi, besok aja… sekarang udah malem, malah hampir pagi… tidur sana…” Ucap gua sambil melirik ke arah jam tangan yang menunjukkan angka 2.
Sebuah pukulan mendarat di kaki gua; “Cad, bangun…”
Gua membuka mata. Terlihat Mas Bobi duduk disebelah gua, tangannya masih menepuk-nepuk kaki sementara matanya masih belum sepenuhnya terbuka. Gua melirik ke arah jam tangan, jarumnya menunjukan pukul 6 pagi.
Sambil melipat kardus yang sebelumnya gua gunakan sebagai alas tidur, gua berusaha membangunkan rekan-rekan yang lain dengan berteriak. “Bangun-bangun…”
Gua bergegas memacu motor menuju ke kos-kosan, seraya sesekali melihat ke arah jam tangan. Jalan di Jakarta pagi ini masih terlihat lengang, nggak sampai setengah jam, gua sudah tiba di kos-an. Tanpa jeda, gua langsung mandi, ganti baju dan kembali memacu motor, menembus jalan raya TB Simatupang yang kini semakin padat.
Dari kejauhan, terlihat Sekar tengah berdiri tepat di depan komplek rumahnya, kepalanya menoleh ke kiri dan kanan sambil sesekali ia mengangkat tangan untuk melihat ke arah jam tangan. Gua menghentikan motor tepat di depannya; “Udah lama?”
“Ih, lama…” Keluhnya sambil meraih helm yang gua sodorkan.
“Tadi pulang dulu ke kosan…” Jawab gua mengutarakan alasan.
“Ngapain pake pulang dulu, kan jadi bolak-balik…” Ujarnya sambil naik ke boncengan.
“Mandi dulu…”
“Oiya, kalo nggak mandi dulu gw kan nggak mau meluk elo…” Sekar berbisik kemudian mulai melingkarkan tangannya dipinggang, memeluk gua dari belakang.
—
Siang itu, di tengah-tengah hiruk pikuk jam makan siang, gua dan Sekar duduk bersisian disalah satu sudut coffee-shop favoritnya. Ia terlihat sibuk membolak-balik buku filsafat sambil sesekali menandai beberapa kalimat penting dengan pensil. Gua menatapnya sambil berpangku tangan.
“Kenapa?” Tanyanya sambil melirik ke arah gua sebentar kemudian kembali menatap buku.
“Gapapa… Gua suka aja ngeliatin lo kali lagi baca” Jawab gua, masih terus menatapnya.
Sekar tersenyum, ia menutup buku yang tengah dibacanya, kemudian kembali menoleh ke arah gua. “Oke, kalo sekarang gimana? masih suka?” Tanyanya.
Gua dengan cepat mengangguk.
“Kalo gw lagi gini? gimana? masih suka?” Tanyanya lagi, sambil pasang tampang cemberut.
Gua kembali mengangguk.
“Kalo gini?” Sekar kembali bertanya. Kali ini ia tersenyum sambil meletakkan jarinya di kedua pipi, berpose layaknya seorang gadis sampul.
Lagi-lagi, gua mengangguk.
“Jangan-jangan, gua suka saat elo lagi ngapain aja. Jangan-jangan, gua suka semua tentang elo…” Ucap gua.
“Oh, wow… Abian sekarang udah bisa nge-gombal.. Latihan dimana?” Tanyanya dengan nada meledek.
“...”
“Udah sering latihan ngerayu cewek-cewek di kampus ya kayaknya…” Ia menambahkan, masih dengan gayanya yang terlihat meledek.
“...”
Sekar membetulkan posisi duduknya. Kali ini ia duduk sambil menghadap ke arah gua, air mukanya berubah menjadi serius; “Bi… gimana ya?”
“Apanya yang gimana?” Gua balik bertanya.
“Bokap?”
“Lah ya gimana? elo katanya mau ngasih kisi-kisi gimana ngerayu bokap lo…” Ucap gua mengingatkan.
“Iya, tapi masalahnya Bokap tuh orangnya kadang suka angin-anginan… Kadang baik banget, kadang ya… kayak kemaren…”
“Terus sekarang gua harus gimana?” Tanya gua.
“Ya coba ngobrol ke bokap?” Sekar menyarankan, sambil mengernyitkan dahi, menunjukkan wajah penuh keraguan.
“Oke, kapan kira-kira enaknya?”
“Nanti?”
“Nanti gua masih ada kerjaan, sabtu aja gimana?” Gua mencoba memberikan alternatif.
“Yaudah, Ok…”
Sekar lalu mulai menjelaskan secara detail tentang perilaku dan kebiasaan Bokapnya. Mulai dari gaya ngobrol hingga makanan favoritnya.
“Gua perlu bawa martabak? biar kayak orang-orang kalo lagi ngapel?” Tanya gua.
“Hmmm, jangan it’s so yesterday” Jawabnya cepat sambil menggelengkan kepala.
“Buah?”
“No…”
“Kue, Cake?”
“No.. No..”
“Ayam Cemani?”
“Haha.. Lucu lo…” Sekar menjawab dengan ekspresi datar.
“Terus apa?” Tanya gua putus asa.
“Ih, udahlah nggak usah bawa apa-apa…”
“Yaudah martabak aja kalo gitu…” Usul gua, kembali ke solusi awal.
“Yaudah…” Ucap Sekar pelan.
—
Sabtu masih dua hari lagi, dan pikiran gua masih nggak bisa ‘move-on’ dari rencana ketemu dengan bokapnya Sekar. Deg-degan, cemas dan grogi terus melanda. Sudut terjauh di lubuk hati gua bahkan sempat berpendapat; ‘Udah batalin aja…’
Gua bahkan sempat beberapa kali kena tegur Dosen di kelas karena kedapatan bengong sambil mikirin rencana tersebut. Nggak cuma itu, di kerjaan pun gua mengalami hal serupa. Beberapa kali Mas Karlan dan Mas Bobi harus mengulang instruksi karena gua kehilangan fokus dan konsentrasi.
‘Ok, ini emang harus segera diselesaikan’ Batin gua dalam hati.
Akhirnya, hari yang ditunggu pun tiba.
Gua berdiri tepat di depan pintu gerbang rumah Sekar. Tangan kiri gua menenteng plastik putih berisi Martabak manis rasa keju dan coklat; varian termahal yang tersedia. Sementara, tangan kanan gua menggenggam ponsel; bersiap menghubungi Sekar.
“Gua di depan nih” Ucap gua melalui sambungan ponsel.
“Tunggu…” Jawab Sekar.
Nggak lama kemudian ia muncul dari balik pintu. Untuk sesaat gua terbuai akan parasnya, yang nampak jauh berbeda seperti biasa. Sekar tampil dengan gaya rambut yang berbeda; rambut panjangnya kini hilang, berganti dengan potongan a-la Demi Moore di film Ghost. Sementara, kacamata yang biasa menghias wajahnya, kali ini tak nampak. Sekar berjalan cepat menghampiri gua dan mulai membuka pagar. Sementara, matanya menatap ke arah bungkusan yang gua bawa.
Gua mengangguk pelan, masih belum berpaling menatap wajahnya; “Elo potong rambut?”
“Iya… Bagus nggak?” Tanyanya tersipu.
“You look lovely…” Jawab gua, sambil mengikutinya masuk kedalam.
Gua duduk di sofa ruang tamu. Mata gua berkeliling, memandangi aneka pajangan porselen yang terlihat antik di salah satu lemari kecil yang terbuat dari kaca. Dindingnya di dominasi dengan Foto foto berpigura ukiran, sisanya terdapat aneka sertifikat, piagam dan penghargaan yang juga ikut diberi pigura dengan gaya senada. Di sudut terjauh ruangan terdapat jam kayu besar dengan bandul logam yang tak henti-hentinya bergoyang, lokasinya bersebelahan dengan rak kayu besar berisi buku-buku yang memisahkan ruang tamu dengan ruang keluarga.
Ini merupakan kali pertama gua masuk kedalam rumah Sekar. Bertahun-tahun menjalin hubungan, gua nggak pernah masuk lebih jauh dari Teras rumahnya.
Setelah menunggu beberapa saat, Bokapnya terlihat keluar dari pintu kamar disusul oleh Sekar dan nyokapnya. Gua berdiri dan bersiap memberi salam.
“Tumben?” Tanyanya sambil duduk di salah satu sofa.
“Iya Om, anu Om…” Gua kesulitan bicara, sementara kedua kaki gua terus bergoyang, mencoba meredakan kegugupan.
“Terus kemarin, gimana kejadiannya?” Ia kembali bertanya, merujuk kepada kejadian saat Sekar menabrak pengendara sepeda motor dan nyaris diamuk massa.
Gua kemudian mulai menjelaskan detail perkara, sambil terbata-bata. Sementara, Bokapnya Sekar terlihat mendengarkan dengan khusuk sambil sesekali memejamkan matanya. Menjelang gua selesai bercerita, Sekar menghampiri kami; “Ini Bian tadi bawa martabak, pah…” Ucap Sekar sambil meletakkan martabak pemberian gua yang kini disajikan diatas piring dan dua cangkir kopi hitam. Ia lalu duduk di sebelah gua sambil memeluk nampan.
“Kamu masih kuliah?”
“Masih, Om…” Jawab gua singkat.
“Kata Sekar, Sambil kerja juga…”
“Iya Om…”
“Kerja apa?”
“Itu loh pah, ngurusin jaringan internet…” Sekar menjawab, mencoba memperhalus bidang pekerjaan yang gua geluti.
“Anu om.. Pasang-pasang kabel buat listrik, internet…” Gua menambahkan.
“Ooh… Tukang listrik…” Ujar Bokapnya Sekar.
“Iya, semacem itu lah om…”
“Hmmm…. Sekarang tinggal dimana?”
“Nge-kos deket kampus om…”
“Rumah?” Tanya Bokapnya.
“Nggak punya om…” Jawab gua pelan.
Kemudian kami bertiga tenggelam dalam keheningan. Hanya suara detak bandul jam kayu besar di sudut ruangan yang terdengar. Gua melirik ke arah Sekar yang tengah menggigit bibir sementara jari tangannya tak henti menggaruk permukaan nampan, ia terlihat sama gugupnya dengan gua.
“Hhhh… Saya cuma mau bilang makasih, udah nolongin Sekar kemarin…” Bokapnya akhirnya kembali buka suara.
“...”
“... tapi, kayaknya kalian mending nggak usah lanjut deh…” Tambahnya sambil menatap ke arah Sekar.
“...”
“... Mumpung hubungan kalian belum terlalu jauh. Nanti kalau udah semakin deket, malah susah lho pisahnya…”
“Maksudnya, gimana Om?” Gua bertanya, meminta kejelasan.
“Iya, kamu udah nggak usah sama Sekar lagi…”
Gua dan Sekar lalu saling pandang. Seakan nggak percaya dengan apa yang baru saja kami dengar.
Beberapa hari yang lalu, gua dan Sekar memang sudah membahas kemungkinan-kemungkinan terburuk dari pertemuan ini. Tapi, hal ini merupakan skenario yang bahkan nggak terpikirkan oleh gua bakal terjadi secepat ini.
“Ya, kalo cuma sekedar ketemu doang sih saya nggak keberatan. Tapi, kalo pacaran… kayaknya di udahin aja deh…” Bokapnya kembali angkat bicara, kali ini sambil menyeruput kopi yang disuguhkan Sekar.
“Tapi, Om….” Gua berusaha untuk memberikan opini. Namun, Bokapnya Sekar sepertinya nggak memberikan gua cukup ‘ruang’.
“Kamu sekarang mungkin belum paham. Tapi, nanti, saat kamu seusia saya dan punya anak gadis, kamu pasti paham deh…”
Gua menggelengkan kepala, alasan yang diberikannya benar-benar nggak mampu dicerna oleh otak gua.
“Sekar udah cerita semua kok… Tentang kamu, tentang bapak kamu yang dipenj…” Belum rampung Bokapnya bicara, gua memberanikan diri menyela kalimatnya.
“Saya masih nggak gitu paham sih Om… Bapak saya emang dipenjara. Tapi, apa dosa orang tua itu diturunkan ke anaknya? Saya bahkan nggak punya ibu. Anggap aja saya yatim-piatu, nggak punya rumah, dan hidup pas-pasan.. Lalu, apa saya jadi kehilangan hak buat hidup bahagia?”
Mengetahui gua memotong kalimatnya, bokap Sekar mengernyitkan dahi dan kali ini pasang tampang yang amat serius.
“Kamu anak bau kencur, ngomongin bahagia…” Balasnya sambil tersenyum.
“Terus saya harus gimana Om?” Tanya gua.
“Ya seperti yang udah saya bilang tadi…” Jawabnya.
Gua berpaling ke arah Sekar yang kini terlihat menundukkan kepalanya. Ia mulai terisak, air mata mengalir di kedua pipinya.
“Saya masih nggak paham sih tentang standar kebahagiaan menurut Om..” Gua membalas ucapannya. Kemudian membelai lembut tangan Sekar dan bergegas pergi.
—
Need You Now - Lady Antebellum
Picture perfect memories scattered all around the floor
Reaching for the phone 'cause I can't fight it anymore
And I wonder if I ever cross your mind?
For me it happens all the time
It's a quarter after one, I'm all alone and I need you now
Said I wouldn't call but I've lost all control and I need you now
And I don't know how I can do without
I just need you now
Another shot of whiskey, can't stop looking at the door
Wishing you'd come sweeping in the way you did before
And I wonder if I ever cross your mind?
For me it happens all the time
It's a quarter after one, I'm a little drunk and I need you now
Said I wouldn't call but I've lost all control and I need you now
And I don't know how I can do without
I just need you now
Oh, whoa
Guess I'd rather hurt than feel nothing at all
It's a quarter after one, I'm all alone and I need you now
And I said I wouldn't call but I'm a little drunk and I need you now
And I don't know how I can do without
I just need you now
I just need you now
Oh, baby, I need you now