- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
Petaka Tambang Emas Berdarah


TS
benbela
Petaka Tambang Emas Berdarah

Salam lekum agan sista semua.
Ane balik lagi dengan cerita baru masih dengan latar, mitos, budaya, urban legen maupun folklore Kalimantan.
Thread kali ini kayaknya lebih ancur dari cerita sebelumnya 🤣🤣🤣. Genrenya juga gak jelas. Entah horor, thriler, misteri, drama atau komedi 🤣
Semoga thread kali ini bisa menghibur gansis semua yang terdampak PKKM, terutama yang isoman moga cepat sehat.
Ane juga mohon maaf apabila dalam cerita ini ada pihak yang tersinggung. Cerita ini tidak bermaksud untuk mendeskreditkan suku, agama, kelompok atau instansi manapun. Karena semua tokoh dan pihak yang terlibat adalah murni karena plot cerita, bukan bermaksud menyinggung.
Quote:
beberapa gambar ane comot dari google sebagai ilustrasi, bukan dokumentasi pribadi.
Quote:
Update teratur tiap malam Senen dan malam Jumat pukul 19.00. wib
Quote:
Dilarang keras untuk memproduksi ulang cerita ini baik dalam bentuk tulisan, audio, visual, atau gabungan salah satu atau semua di antaranya tanpa perjanjian tertulis. Terima kasih
Quote:
Diubah oleh benbela 16-01-2022 12:25



bruno95 dan 141 lainnya memberi reputasi
138
91.2K
Kutip
2.7K
Balasan


Komentar yang asik ya
Tampilkan semua post


TS
benbela
#449
Quote:
Original Posted By benbela►
Kakiku tiba-tiba lemas hingga tidak sanggup lagi menopang tubuhku yang bermandi peluh.
Duduk tersungkur di lantai, aku menggenggam pistol itu gemetaran. Sungguh, sulit kupercaya atas apa yang telah kulakukan. Hatiku tercabik-cabik karena penyesalan yang mendalam.
"Sudahlah, Hamid. Kau memang bukan pembunuh."
Mang Atak menepuk pundakku lalu meraih pistol dari genggamanku.
Tepat di depan, kapten Anang melotot hingga matanya hampir keluar. Urat-urat lehernya menonjol dan tarikan nafasnya terdengar kencang. Rupanya ia masih tidak percaya bahwa nyawanya masih kuampuni.
Peluru yang seharusnya bersarang di kepala kapten, justru kuarahkan beberapa jengkal ke samping. Peluru itu melubangi lantai, melesat ke dalam tanah di kolong pondok.
Selama beberapa detik, Kapten tercekat dan terdiam. Ia bahkan terkencing-kencing karena ketakutan.
"Sebaiknya kau ikut aku. Ada dusun di hilir sungai. Kalau bergegas, kita bisa tiba sebelum gelap. Berharap saja Tambun tidak mengejar. Tempat itu sudah terlalu jauh dari sarangnya."
Aku mengangguk setuju dengan ajakan mang Atak. Setelah menyeka air mata, aku bangkit berdiri.
"Biarkan aku yang menyelesaikan."
Mang Atak mengarahkan pistol ke tubuh kapten, tepat menyasar jantung. Terdengar suara kokangan dan jarinya siap menarik pelatuk.
"Sudahlah mang. Biarkan dia di sini. Sudah cukup nyawa terbuang. Sebaiknya kita pikirkan caranya agar bisa selamat dari hutan ini."
Kuturunkan perlahan tangan mang Atak yang terasa dingin. Jujur, aku merasa ngeri melihat wajahnya. Dingin dan beringas. Membunuh, sepertinya bukan hal baru baginya.
"Kita seret saja tubuhnya keluar, jadikan ia umpan. Tambun tidak suka memakan bangkai. Dengan begitu, kita punya waktu untuk melarikan diri."
Meski berat hati, aku setuju dengan usul mang Atak. Aku harus tega mengorbankan orang lain agar bisa pulang dengan selamat, termasuk mang Atak.
Kapten berontak saat tubuh ringkihnya kami seret keluar pondok. Mulutnya terpaksa harus kembali disumpal sebab terus memaki dan menjerit.
Mang Atak beberapa kali memukul lantaran kapten terus melawan. Begitu di depan pintu, kapten Anang kami lempar begitu saja ke tanah.
Buuk...
Tubuh kapten mendarat sempurna di atas rerumputan. Suara jerit tertahan kembali keluar dari mulutnya yang berbekap kain.
Membayangkan perlakuannya pada abah, terbersit rasa puas melihat keadaan kapten saat ini. Meski aku tidak sanggup membunuhnya, melihatnya tersiksa menimbulkan rasa kepuasan tersendiri.
Aku dan mang Atak kemudian meniti tangga, lalu mendekati kapten Anang yang tidak berdaya. Apapun yang dilakukan mang Atak, untuk sementara aku mengikuti segala rencananya.
Bagaimana pun juga, mang Atak tak kalah liciknya. Aku harus waspada dengan gerak-geriknya, atau bisa-bisa aku yang dijadikan umpan berikutnya.
Tiba-tiba terdengar suara gaduh di belakang. Seorang pria dari arah semak langsung menerjang dengan sebuah kayu di tangan.
Buuukk...buukkk...
Tanpa sempat menghindar, hantaman di kepala membuatku dan mang Atak terpelanting di tanah. Seketika pandanganku kabur dan berkunang-kunang.
Belum sadar apa yang terjadi, sebuah tendangan mendarat di daguku. Aku kembali terkapar tidak berdaya dengan mulut berdarah. Gusi terasa ngilu dan perih, dua gigi depan bergoyang dan siap terlepas akibat hantaman tadi.
Tapak-tapak cap sepatu membekas di dada, aku diinjak-injak tanpa ampun.
Setelah yakin aku tak bisa melawan, pria tadi lalu menyasar mang Atak yang tengah merangkak mencari pistolnya.
Baakk...buukk...baakk...buukk...
Dengan baju basah karena cucuran keringat, pria itu menghantam tubuh dan kepala mang Atak membabi buta.
Hantaman demi hantaman membuat mang Atak tak berdaya bermandikan darah. Menekuk tersungkur di tanah, mang Atak benar-benar takluk atas kebrutalan laki-laki yang menghajarnya. Bibirnya pecah penuh darah, wajahnya bengkak tidak karuan dengan kantung mata menebal dan membiru.
Hari itu, hatiku gentar demi melihat kekejaman di depan mata. Aku berusaha bangkit namun kondisiku juga tak jauh lebih baik.
Puas menuntaskan amarah, lelaki itu lantas mengambil pistol mang Atak yang terlempar beberapa meter di atas rerumputan.
Diraihnya pistol itu, diperiksanya jumlah butir peluru yang tersisa. Pistol lalu ia selipkan di pinggang layaknya jagoan di film. Kemudian ia melangkah ke dalam pondok.
Sejurus kemudian, lelaki itu telah kembali sambil memapah tubuh kapten. Kapten ia dudukan perlahan di tanah, lalu disandarkan pada tangga pondok.
Setelah itu dengan wajah beringas lelaki untuk mendekat ke arahku. Tubuhku ia seret lalu di jejerkan di samping mang Atak.Terkulai lemas, aku mencoba berontak tapi keadaanku benar-benar kacau.
Aku sudah bisa menebak apa yang akan dilakukan pria itu, hukuman mati.
Dugaanku tidak meleset. Lelaki itu mencabut pistol yang terselip di pinggang, dan diarahkan tepat ke pelipisku.
Memejam mata, aku memalingkan wajah. Ada rasa ngeri yang tiba-tiba menjalari tubuhku. Wajahku terasa lebih pucat dan dingin menyelimuti. Aku terus berdoa dalam hati, berharap pertolongan Tuhan. Sedangkan di samping, mang Atak terus merintih kesakitan.
Ceklek...
Terdengar suara kokangan. Jantungku berdegub kencang dan bulu kudukku merinding. Tiba-tiba dadaku terasa sesak. Dalam hitungan detik, nyawaku akan melayang.
"Saatnya kau menyusul ayahmu !"
"Soleh, tahan dulu !" cegah Kapten.
Kapten beranjak dari duduk, menghampiri mang Soleh yang terlihat tidak sabar ingin menghabisiku dan mang Atak.
Berjalan tertatih,kapten Anang melucuti tas yang dipanggul mang Atak. Isinya ia bongkar lalu dikeluarkan satu-persatu. Ternyata mang Atak menyimpan beberapa botol air mineral, makanan ringan, sebuah benda berwarna hitam seperti telpon genggam, serta 3 granat tangan berbentuk seperti tabung gas melon tapi berukuran mungil.
"Granat...dari mana kau dapatkan alat militer ini ?" selidik kapten bernada tinggi.
Bukannya menjawab, mang Atak hanya tersenyum sinis sembari meludahi wajah Kapten.
"Banggsaatt !!!"
Baak...buuk...
Spontan pukulan demi pukulan kembali meremukkan wajah mang Atak yang sudah babak belur.
"Kenapa kau bisa memiliki alat-alat militer ini? Dapat dari mana, hah !?"
Kapten membentak sambil mencengkram kerah baju mang Atak. Matanya melotot penuh emosi.
Mang Atak masih bergeming, membuat mang Soleh yang tadi hanya berdiri di samping mulai emosi. Mang Soleh mengacungkan pistol, tepat membidik pelipis mang Atak dan siap meletus kapan saja.
Hening. Hanya terdengar suara daun-daun bergoyang tertiup angin.
Mang Soleh makin geram melihat gertakannya tak membuahkan hasil.
Meski nyawanya sisa di tenggorokan, mang Atak masih enggan buka suara, membuat kemarahan mang Soleh semakin menjadi.
Ceklek...
"Dari orang China daratan."
Mang Atak buka suara tepat sebelum jari mang Soleh menarik pelatuk. Ia masih mencari celah untuk menyambung nyawa.
"Jangan main-main. Untuk apa militer China di sini." sanggah Kapten tak percaya.
"Bukan militer. Pasukan bayaran." balas mang Atak sembari menyeka darah di mulut.
"Untuk apa mereka kemari ?" cecar mang Soleh.
Mang Atak kembali bungkam, seakan sengaja mengulur waktu.
"Sebaiknya kau bicara atau kubuat diam selamanya !" bentak mang Soleh berapi-api.
Pukulan gagang pistol di pelipis membuat mang Atak terpaksa buka suara. Menahan perih, kata demi kata kembali terucap dari mulutnya dengan suara bergetar.
"Kau tahu kenapa laksamana Cheng Ho datang ke Majapahit ?"
Kapten dan mang Soleh saling tatap. Terlihat jelas raut kebingungan di wajah mereka.
"Huuhh... Dasar udik ! Terlalu lama di hutan membuat otakmu tumpul. Pelajaran sejarah saja kau tidak tahu."
"Jangan banyak bacot ! Kenapa orang-orang China itu kemari ?"
Mang Atak mengatur nafas, membuatku yang ikut mendengar juga jadi penasaran.
"10 tahun lalu, peneliti China menemukan lembaran catatan Ma Huan yang hilang. Kuduga, otak tumpulmu itu tidak mengenal siapa Ma Huan."
Mang Atak menghentikan kalimatnya. Ditatapnya wajah Kapten dan mang Soleh bergantian, membuat kedua orang itu semakin geram.
"Ma Huan adalah sekretarisnya Cheng Ho. Dalam catatan itu, dijelaskan kedatangan Cheng Ho dan ribuan pasukan ke Majapahit bukanlah untuk menghukum karena pembantaian orang-orang China akibat perang saudara sebelumnya. Bukan pula sekedar unjuk kekuatan dan menarik upeti, tapi mencari telur naga."
"Te-telur naga ? Telur Tambun ?" potongku tak percaya.
Mang Atak mengangguk sembari membenarkan duduknya.
"Ratusan tahun sebelum kedatangan Cheng Ho, pasukan Tar Tar berhasil kabur membawa telur naga setelah dikalahkan Raden Wijaya di tanah Jawa. Mereka mengira, telur naga berada di tanah Jawa. Setelah tiba di Majapahit, Cheng Ho baru menyadari bahwa tidak ada naga di sana. Mereka kemudian menyebar ke penjuru nusantara, salah satunya adalah Tanjung Pura, tanah Kalimantan.
Tapi upaya mereka gagal, karena Tambun sulit ditaklukan. Menghilangkan malu pada Kaisar, Cheng Ho melanjutkan penjelajahan ke daerah lain untuk mencari hadiah pada Kaisar agar dimaafkan."
"Dongeng yang menarik," timpal mang Soleh, "untuk apa mereka mencari telur Tambun ?"
"Apa peduliku Soleh, selama aku mendapat bayaran." sahut mang Atak dengan nada merendahkan.
"Dari dahulu, orang-orang China itu suka memakan hewan langka. Gajah Thailand, Harimau Sumatra, apa saja yang langka semuanya lari ke China. Semakin langka, semakin tinggilah gengsi mereka. Semakin langka, semakin dipercaya akan memberi kekuatan kepada yang memakannya."
Penjelasan mang Atak membuat kami mengernyitkan dahi. Setengah percaya setengah tidak. Aku memang pernah mendengar kalau orang China daratan sangat menyukai memamakan hewan aneh. Bahkan, sarang burung walet hanyalah mereka yang bersedia membayar mahal.
"Karena itulah banyak pekerja China di sini. Mereka hanya pura-pura bekerja, tujuan utama mereka adalah mencari keberadaan telur Tambun. Telur itu pastilah harganya mahal di tempat mereka." lanjut mang Atak.
Mang Soleh kemudian duduk di depan mang Atak. Badan ia condongkan sembari memainkan pistol di tangan.
"Berapa bayaranmu ?" tanya mang Soleh dengan nada berat.
"Rupanya kau tertarik juga Soleh. Dasr licik, ha...ha...ha..."
Buuk...
Pukulan gagang pistol kembali menghantam wajah mang Atak hingga hidungnya patah dan mengeluarkan darah.
"Baanggsaaatt !!!"
Mang Soleh kembali hendak menghajar tapi keburu ditahan Kapten.
Mang Atak merintih seraya mengucapkan sumpah serapah. Setelah sakitnya cukup reda, barulah ia buka suara.
"Dua milyar bila berhasil. Entah berapa mereka jual di pasar gelap. Bagiku dua milyar sudah lebih dari cukup."
Dengan geram mang Atak menyeka cucuran darah di wajah.
Kapten lalu mengambil sebuah benda berwarna hitam tadi yang mirip telepon genggam. Benda itu ia timang-timang lalu melirik ke arah mang Atak.
"Rupanya kau memang licik, Atak. Kau korbankan kami demi telur Tambun. Dan sepertinya, dimana telur itu kau sembunyikan tersimpan di GPS ini."
Kapten tersenyum licik dan melirik ke arah mang Soleh. Mang Soleh mengangguk kemudian keduanya berdiri tepat di dapan mang Atak.
Ceklek...
Doorr !!!
Pistol meletus kencang, mengagetkan burung-burung dan monyet. Suara riuh kembali terdengar di tengah hutan.
Aku terlonjak kaget, merasa ngeri sekaligus takut.
Tepat disamping, mang Atak berkelojotan meregang nyawa. Darah merah bersimbah di perutnya bagian samping, membasahi baju yang ia kenakan.
Dengan mata melotot dan mulut keluar darah, mang Atak berusaha bertahan hingga akhirnya secara perlahan tidak bergerak.
Dengan tenang, mang Soleh mengarahkan moncong pistol ke dahiku.
"Saatnya kau menyusul ayahmu ke neraka." ujarnya datar.
Ceklek...
Kembali terdengar suara kokangan, membuat bulu kudukku tiba-tiba merinding.
...bersambung...
Bab 22 : Amarah
Kakiku tiba-tiba lemas hingga tidak sanggup lagi menopang tubuhku yang bermandi peluh.
Duduk tersungkur di lantai, aku menggenggam pistol itu gemetaran. Sungguh, sulit kupercaya atas apa yang telah kulakukan. Hatiku tercabik-cabik karena penyesalan yang mendalam.
"Sudahlah, Hamid. Kau memang bukan pembunuh."
Mang Atak menepuk pundakku lalu meraih pistol dari genggamanku.
Tepat di depan, kapten Anang melotot hingga matanya hampir keluar. Urat-urat lehernya menonjol dan tarikan nafasnya terdengar kencang. Rupanya ia masih tidak percaya bahwa nyawanya masih kuampuni.
Peluru yang seharusnya bersarang di kepala kapten, justru kuarahkan beberapa jengkal ke samping. Peluru itu melubangi lantai, melesat ke dalam tanah di kolong pondok.
Selama beberapa detik, Kapten tercekat dan terdiam. Ia bahkan terkencing-kencing karena ketakutan.
"Sebaiknya kau ikut aku. Ada dusun di hilir sungai. Kalau bergegas, kita bisa tiba sebelum gelap. Berharap saja Tambun tidak mengejar. Tempat itu sudah terlalu jauh dari sarangnya."
Aku mengangguk setuju dengan ajakan mang Atak. Setelah menyeka air mata, aku bangkit berdiri.
"Biarkan aku yang menyelesaikan."
Mang Atak mengarahkan pistol ke tubuh kapten, tepat menyasar jantung. Terdengar suara kokangan dan jarinya siap menarik pelatuk.
"Sudahlah mang. Biarkan dia di sini. Sudah cukup nyawa terbuang. Sebaiknya kita pikirkan caranya agar bisa selamat dari hutan ini."
Kuturunkan perlahan tangan mang Atak yang terasa dingin. Jujur, aku merasa ngeri melihat wajahnya. Dingin dan beringas. Membunuh, sepertinya bukan hal baru baginya.
"Kita seret saja tubuhnya keluar, jadikan ia umpan. Tambun tidak suka memakan bangkai. Dengan begitu, kita punya waktu untuk melarikan diri."
Meski berat hati, aku setuju dengan usul mang Atak. Aku harus tega mengorbankan orang lain agar bisa pulang dengan selamat, termasuk mang Atak.
Kapten berontak saat tubuh ringkihnya kami seret keluar pondok. Mulutnya terpaksa harus kembali disumpal sebab terus memaki dan menjerit.
Mang Atak beberapa kali memukul lantaran kapten terus melawan. Begitu di depan pintu, kapten Anang kami lempar begitu saja ke tanah.
Buuk...
Tubuh kapten mendarat sempurna di atas rerumputan. Suara jerit tertahan kembali keluar dari mulutnya yang berbekap kain.
Membayangkan perlakuannya pada abah, terbersit rasa puas melihat keadaan kapten saat ini. Meski aku tidak sanggup membunuhnya, melihatnya tersiksa menimbulkan rasa kepuasan tersendiri.
Aku dan mang Atak kemudian meniti tangga, lalu mendekati kapten Anang yang tidak berdaya. Apapun yang dilakukan mang Atak, untuk sementara aku mengikuti segala rencananya.
Bagaimana pun juga, mang Atak tak kalah liciknya. Aku harus waspada dengan gerak-geriknya, atau bisa-bisa aku yang dijadikan umpan berikutnya.
*****
Tiba-tiba terdengar suara gaduh di belakang. Seorang pria dari arah semak langsung menerjang dengan sebuah kayu di tangan.
Buuukk...buukkk...
Tanpa sempat menghindar, hantaman di kepala membuatku dan mang Atak terpelanting di tanah. Seketika pandanganku kabur dan berkunang-kunang.
Belum sadar apa yang terjadi, sebuah tendangan mendarat di daguku. Aku kembali terkapar tidak berdaya dengan mulut berdarah. Gusi terasa ngilu dan perih, dua gigi depan bergoyang dan siap terlepas akibat hantaman tadi.
Tapak-tapak cap sepatu membekas di dada, aku diinjak-injak tanpa ampun.
Setelah yakin aku tak bisa melawan, pria tadi lalu menyasar mang Atak yang tengah merangkak mencari pistolnya.
Baakk...buukk...baakk...buukk...
Dengan baju basah karena cucuran keringat, pria itu menghantam tubuh dan kepala mang Atak membabi buta.
Hantaman demi hantaman membuat mang Atak tak berdaya bermandikan darah. Menekuk tersungkur di tanah, mang Atak benar-benar takluk atas kebrutalan laki-laki yang menghajarnya. Bibirnya pecah penuh darah, wajahnya bengkak tidak karuan dengan kantung mata menebal dan membiru.
Hari itu, hatiku gentar demi melihat kekejaman di depan mata. Aku berusaha bangkit namun kondisiku juga tak jauh lebih baik.
Puas menuntaskan amarah, lelaki itu lantas mengambil pistol mang Atak yang terlempar beberapa meter di atas rerumputan.
Diraihnya pistol itu, diperiksanya jumlah butir peluru yang tersisa. Pistol lalu ia selipkan di pinggang layaknya jagoan di film. Kemudian ia melangkah ke dalam pondok.
Sejurus kemudian, lelaki itu telah kembali sambil memapah tubuh kapten. Kapten ia dudukan perlahan di tanah, lalu disandarkan pada tangga pondok.
Setelah itu dengan wajah beringas lelaki untuk mendekat ke arahku. Tubuhku ia seret lalu di jejerkan di samping mang Atak.Terkulai lemas, aku mencoba berontak tapi keadaanku benar-benar kacau.
Aku sudah bisa menebak apa yang akan dilakukan pria itu, hukuman mati.
Dugaanku tidak meleset. Lelaki itu mencabut pistol yang terselip di pinggang, dan diarahkan tepat ke pelipisku.
Memejam mata, aku memalingkan wajah. Ada rasa ngeri yang tiba-tiba menjalari tubuhku. Wajahku terasa lebih pucat dan dingin menyelimuti. Aku terus berdoa dalam hati, berharap pertolongan Tuhan. Sedangkan di samping, mang Atak terus merintih kesakitan.
Ceklek...
Terdengar suara kokangan. Jantungku berdegub kencang dan bulu kudukku merinding. Tiba-tiba dadaku terasa sesak. Dalam hitungan detik, nyawaku akan melayang.
"Saatnya kau menyusul ayahmu !"
"Soleh, tahan dulu !" cegah Kapten.
Kapten beranjak dari duduk, menghampiri mang Soleh yang terlihat tidak sabar ingin menghabisiku dan mang Atak.
Berjalan tertatih,kapten Anang melucuti tas yang dipanggul mang Atak. Isinya ia bongkar lalu dikeluarkan satu-persatu. Ternyata mang Atak menyimpan beberapa botol air mineral, makanan ringan, sebuah benda berwarna hitam seperti telpon genggam, serta 3 granat tangan berbentuk seperti tabung gas melon tapi berukuran mungil.
"Granat...dari mana kau dapatkan alat militer ini ?" selidik kapten bernada tinggi.
Bukannya menjawab, mang Atak hanya tersenyum sinis sembari meludahi wajah Kapten.
"Banggsaatt !!!"
Baak...buuk...
Spontan pukulan demi pukulan kembali meremukkan wajah mang Atak yang sudah babak belur.
"Kenapa kau bisa memiliki alat-alat militer ini? Dapat dari mana, hah !?"
Kapten membentak sambil mencengkram kerah baju mang Atak. Matanya melotot penuh emosi.
Mang Atak masih bergeming, membuat mang Soleh yang tadi hanya berdiri di samping mulai emosi. Mang Soleh mengacungkan pistol, tepat membidik pelipis mang Atak dan siap meletus kapan saja.
Hening. Hanya terdengar suara daun-daun bergoyang tertiup angin.
Mang Soleh makin geram melihat gertakannya tak membuahkan hasil.
Meski nyawanya sisa di tenggorokan, mang Atak masih enggan buka suara, membuat kemarahan mang Soleh semakin menjadi.
Ceklek...
"Dari orang China daratan."
Mang Atak buka suara tepat sebelum jari mang Soleh menarik pelatuk. Ia masih mencari celah untuk menyambung nyawa.
"Jangan main-main. Untuk apa militer China di sini." sanggah Kapten tak percaya.
"Bukan militer. Pasukan bayaran." balas mang Atak sembari menyeka darah di mulut.
"Untuk apa mereka kemari ?" cecar mang Soleh.
Mang Atak kembali bungkam, seakan sengaja mengulur waktu.
"Sebaiknya kau bicara atau kubuat diam selamanya !" bentak mang Soleh berapi-api.
Pukulan gagang pistol di pelipis membuat mang Atak terpaksa buka suara. Menahan perih, kata demi kata kembali terucap dari mulutnya dengan suara bergetar.
"Kau tahu kenapa laksamana Cheng Ho datang ke Majapahit ?"
Kapten dan mang Soleh saling tatap. Terlihat jelas raut kebingungan di wajah mereka.
"Huuhh... Dasar udik ! Terlalu lama di hutan membuat otakmu tumpul. Pelajaran sejarah saja kau tidak tahu."
"Jangan banyak bacot ! Kenapa orang-orang China itu kemari ?"
Mang Atak mengatur nafas, membuatku yang ikut mendengar juga jadi penasaran.
"10 tahun lalu, peneliti China menemukan lembaran catatan Ma Huan yang hilang. Kuduga, otak tumpulmu itu tidak mengenal siapa Ma Huan."
Mang Atak menghentikan kalimatnya. Ditatapnya wajah Kapten dan mang Soleh bergantian, membuat kedua orang itu semakin geram.
"Ma Huan adalah sekretarisnya Cheng Ho. Dalam catatan itu, dijelaskan kedatangan Cheng Ho dan ribuan pasukan ke Majapahit bukanlah untuk menghukum karena pembantaian orang-orang China akibat perang saudara sebelumnya. Bukan pula sekedar unjuk kekuatan dan menarik upeti, tapi mencari telur naga."
"Te-telur naga ? Telur Tambun ?" potongku tak percaya.
Mang Atak mengangguk sembari membenarkan duduknya.
"Ratusan tahun sebelum kedatangan Cheng Ho, pasukan Tar Tar berhasil kabur membawa telur naga setelah dikalahkan Raden Wijaya di tanah Jawa. Mereka mengira, telur naga berada di tanah Jawa. Setelah tiba di Majapahit, Cheng Ho baru menyadari bahwa tidak ada naga di sana. Mereka kemudian menyebar ke penjuru nusantara, salah satunya adalah Tanjung Pura, tanah Kalimantan.
Tapi upaya mereka gagal, karena Tambun sulit ditaklukan. Menghilangkan malu pada Kaisar, Cheng Ho melanjutkan penjelajahan ke daerah lain untuk mencari hadiah pada Kaisar agar dimaafkan."
"Dongeng yang menarik," timpal mang Soleh, "untuk apa mereka mencari telur Tambun ?"
"Apa peduliku Soleh, selama aku mendapat bayaran." sahut mang Atak dengan nada merendahkan.
"Dari dahulu, orang-orang China itu suka memakan hewan langka. Gajah Thailand, Harimau Sumatra, apa saja yang langka semuanya lari ke China. Semakin langka, semakin tinggilah gengsi mereka. Semakin langka, semakin dipercaya akan memberi kekuatan kepada yang memakannya."
Penjelasan mang Atak membuat kami mengernyitkan dahi. Setengah percaya setengah tidak. Aku memang pernah mendengar kalau orang China daratan sangat menyukai memamakan hewan aneh. Bahkan, sarang burung walet hanyalah mereka yang bersedia membayar mahal.
"Karena itulah banyak pekerja China di sini. Mereka hanya pura-pura bekerja, tujuan utama mereka adalah mencari keberadaan telur Tambun. Telur itu pastilah harganya mahal di tempat mereka." lanjut mang Atak.
Mang Soleh kemudian duduk di depan mang Atak. Badan ia condongkan sembari memainkan pistol di tangan.
"Berapa bayaranmu ?" tanya mang Soleh dengan nada berat.
"Rupanya kau tertarik juga Soleh. Dasr licik, ha...ha...ha..."
Buuk...
Pukulan gagang pistol kembali menghantam wajah mang Atak hingga hidungnya patah dan mengeluarkan darah.
"Baanggsaaatt !!!"
Mang Soleh kembali hendak menghajar tapi keburu ditahan Kapten.
Mang Atak merintih seraya mengucapkan sumpah serapah. Setelah sakitnya cukup reda, barulah ia buka suara.
"Dua milyar bila berhasil. Entah berapa mereka jual di pasar gelap. Bagiku dua milyar sudah lebih dari cukup."
Dengan geram mang Atak menyeka cucuran darah di wajah.
Kapten lalu mengambil sebuah benda berwarna hitam tadi yang mirip telepon genggam. Benda itu ia timang-timang lalu melirik ke arah mang Atak.
"Rupanya kau memang licik, Atak. Kau korbankan kami demi telur Tambun. Dan sepertinya, dimana telur itu kau sembunyikan tersimpan di GPS ini."
Kapten tersenyum licik dan melirik ke arah mang Soleh. Mang Soleh mengangguk kemudian keduanya berdiri tepat di dapan mang Atak.
Ceklek...
Doorr !!!
Pistol meletus kencang, mengagetkan burung-burung dan monyet. Suara riuh kembali terdengar di tengah hutan.
Aku terlonjak kaget, merasa ngeri sekaligus takut.
Tepat disamping, mang Atak berkelojotan meregang nyawa. Darah merah bersimbah di perutnya bagian samping, membasahi baju yang ia kenakan.
Dengan mata melotot dan mulut keluar darah, mang Atak berusaha bertahan hingga akhirnya secara perlahan tidak bergerak.
Dengan tenang, mang Soleh mengarahkan moncong pistol ke dahiku.
"Saatnya kau menyusul ayahmu ke neraka." ujarnya datar.
Ceklek...
Kembali terdengar suara kokangan, membuat bulu kudukku tiba-tiba merinding.
...bersambung...
Update berikutnya abis taon baru ye gaess, ane mau jalan-jalan dulu. Jangan lupa sakrep, komeng dan syer ewer-ewer 😁



bruno95 dan 56 lainnya memberi reputasi
57
Kutip
Balas
Tutup