Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

uniekirdpanAvatar border
TS
uniekirdpan
Dijodohkan dengan Setan


By Unie Kirdpan


'Gedebuk ... gedebuk' 


Ranjang bergoyang-goyang seperti gempa. Suara bergedebug dan berkriut saling bersahutan. Jendela kayu tiba-tiba terbuka, angin kencang seketika masuk dan berputar-putar di ruang kamar. 


Gadis itu meringkuk ketakutan menutup kuping di atas ranjang. Tubuhnya berguncang hebat dengan keringat dingin bercucuran.


Suara desau angin semakin membuat bulu kuduk meremang. Sosok misterius berdiri mematung di sudut kamar. Menatap dengan netra merah menyala. Sosok dengan postur tubuh, pakaian dan potongan rambut hampir serupa dengan si gadis di atas ranjang. Namun, dengan wajah yang hancur mengerikan. 


"Kh ... kh ... kh ... kh ...," ceracaunya tak jelas. 


Gadis yang ketakutan setengah mati itu melihat dengan ekor mata, hingga netra mereka berserobok.


"P-per-gi! J-jangan ganggu a-ak-ku!" ucapnya terbata. Namun sosok itu semakin mendekat dengan langkah terseret-seret, bau darah busuk semakin kuat tercium. Seketika gadis itu merasa sangat mual. Ia beringsut menjauh menuju pintu yang sedikit terbuka. Namun ....


Brugg!! 


Pintu seketika tertutup, bertepatan dengan lolongan kesakitan yang mengerikan.


Malam kembali hening. Hanya terdengar suara desau angin dan daun jendela kayu yang terbanting-banting.


____



"Berapa usiamu sekarang, Syam?" tanya pria setengah baya itu tanpa menoleh kepada pemuda di hadapannya.




"Mmh ... 29 tahun kalau tidak salah, Pak," jawab pemuda bertubuh kekar itu, setelah sebelumnya menghitung dengan jari. Ia agak aneh, kenapa bosnya tiba-tiba menanyakan usia?





"Sudah pantas berumah tangga!" ucap Burhan tiba-tiba.





Seketika, Syam tersedak kopi yang tengah diteguknya. "Uhuk!"





"Kenapa?" tanya Burhan datar.





"T-tidak, Pak. Kaget aja," ujar Syam setelah rasa perih tersedaknya hilang.





Burhan bangkit dan berjalan membelakangi Syam. Berdiri bertumpu pada pagar kayu pembatas. Mereka tengah berada di area belakang rumah Burhan. Di sana terdapat sebuah kolam, dan saung kecil di atasnya. Tempat mereka berada.





"Aku ingin menikahkanmu dengan putriku ... kalau kau mau."





Syam semakin dibuat terkejut dengan pernyataan bosnya itu.





"Bapak jangan becanda. Kedua putri Bapak, 'kan sudah menikah?" Padahal, ia tau betul, majikannya itu bukan tipikal pria yang humoris.




"Aku serius, Syam. Sebenarnya, aku memiliki tiga putri. Satu di antaranya, belum berumah tangga."




"T-tapi, kenapa saya, Pak?" tanya Syam hati-hati.





"Kenapa? Kau keberatan?"




"B-bukan begitu, Pa---"





"Sepuluh tahun mempekerjakanmu, aku rasa cukup menilai, bahwa kau pantas menikahi putriku. Terlepas dari apa pun masa lalumu."





Setelahnya, mereka diam. Menatap kosong riak air kolam, dengan pikiran masing-masing.





Syam masih dalam keterkejutannya. Bagaimana bisa sepuluh tahun ini ia tidak tahu bahwa majikannya memiliki satu putri lagi selain Desi dan Ratih. Lalu, di mana gadis itu? Kenapa tak pernah tampak di rumah majikannya? Apakah ia diasingkan karena suatu kondisi? Berbagai tanya berkecamuk di kepalanya.





Ia tak habis pikir, bagaimana bisa, Burhan merelakan putrinya untuk diperistri orang sepertinya. Jambret yang sepuluh tahun silam diselamatkan pengusaha bordir itu dari amukan masa. Bahkan, latar belakang keluarganya pun Burhan tidak tahu. Syam dilahirkan tanpa bapak dari seorang wanita malam, yang kemudian meninggal saat usia Syam menginjak 14 tahun. 





"Ini putriku." Burhan mengulurkan secarik kertas. Lamunan Syam pun buyar.





Syam meraih potret itu, dan ... semakin tenggelam dalam keterkejutan mendapati gadis cantik rupawan yang tersenyum samar di potret.





"Pak, ini serius?" Syam masih tidak percaya.





"Aku berharap banyak padamu. Pikirkan baik-baik!" Burhan menepuk pundak pemuda dengan tatto di dada dan lengan itu, kemudian berlalu.






"Pak, saya ... bersedia."



Bersambung


Part 2

Spoiler for DILARANG KERAS PLAGIAT ATAU COPAS, MESKIPUN NAMA SAYA DISERTAKAN!! :
Diubah oleh uniekirdpan 24-12-2021 04:08
japraha47
cimotnade
ididudud
ididudud dan 18 lainnya memberi reputasi
15
4.6K
38
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
uniekirdpanAvatar border
TS
uniekirdpan
#2
Part 2
Syam tak tahu, apakah keputusan yang diambilnya benar atau salah, yang jelas, Burhan baginya adalah malaikat penolong. Satu-satunya manusia yang memanusiakan dirinya yang menarik dan menyelamatkannya dari dunia hitam. Sehingga ia tak mampu menolak perjodohan ini. Meski ia tak tahu, alasan masuk akal yang membuat Burhan menjodohkan putrinya untuk Syam. Maka, ia anggap saja ini sebagai rezeki nomplok. 


Syam teringat kembali pertemuan pertamanya dengan Burhan.


"Kenapa kamu menjambret?" tanya Burhan saat itu. Syam duduk di jok belakang mobilnya dengan luka lebam penuh bekas pukulan.


"S-saya gak punya pilihan lain, Pak," jawabnya terbata. Saat ia hampir mati dikeroyok masa, tiba-tiba Burhan dan supirnya datang menahan amukan masa, dan membawa Syam ke mobil.


"Keluarga kamu?" 


"Saya tidak punya keluarga,  orang tua saya sudah meninggal."


"Tidak punya rumah?" 


"Saya mengontrak."


"Saya akan bawa kamu pulang dan bekerja pada saya kalau memang kamu menjambret karena desakan kebutuhan. Tapi, jika ketahuan panjang tanganmu itu karena kebiasaan, saya tidak akan segan polisikan kamu," ucap Burhan tegas.


"Terimakasih banyak, Pak. Terimakasih!" 


Dan sejak itu, Syam bekerja pada Burhan, hingga kini menjadi orang kepercayaan Burhan. Syam mampu membuktikan, bahwa ia bisa jadi orang yang jujur. Bagi pemuda itu, di balik sikap dingin Burhan, pria itu adalah orang yang baik hati. Burhan sudah seperti ayahnya sendiri.


Maka, perjodohan ini pun dipikirnya adalah yang terbaik. Tidak mungkin orang sebijak Burhan berlaku gegabah.


____


Syam mengira, perjodohan itu baru sebuah wacana, nyatanya ia dibuat semakin terkejut dengan pernyataan Burhan. 


"Besok siang kita berangkat ke desa Kenanga," sahut Burhan. Saat tengah bekerja, Burhan memanggil Syam ke balkon atas konveksi. Di mana Syam menempati salah satu ruangan sebagai kamarnya.


"Desa Kenanga?" Dahi Syam berkerut mendengar nama desa itu.


"Iya, desa di mana Kinanti puteriku tinggal." 


'Oh, rupanya itu nama tempat tinggal Kinanti,' batin Syam.


"Baik, Pak," sahut Syam hormat.


"Perjalanan ke sana memakan waktu sekitar 3-4 jam, kita berangkat siang, masih ada waktu beristirahat. Baru setelah Isya akad dilaksanakan."


Syam terbelalak. Secepat itu? Sedangkan ia belum pernah bertemu dengan wanita yang akan segera menjadi istrinya itu. Lalu, kenapa akad dilaksanakan malam? Berbagai pertanyaan bermunculan di kepalanya. Namun, tak satu pun berani diutarakannya pada Burhan. Syam pasrah saja mengikuti semua rencana Burhan.


"B-baik, Pak," ucapnya gugup. Tiba-tiba tangannya basah oleh keringat.


"Pasti banyak pertanyaan yang muncul di benakmu, Syam. Semuanya akan terjawab seiring berjalannya waktu." Burhan menepuk pundak pemuda di sampingnya.


Syam hanya manggut-manggut.


"Apa yang sedang kamu kerjakan di bawah?" tanya Burhan lagi.


"Mengepak barang yang akan dikirim ke Singapur, Pak."


"Intruksikan yang lain untuk menghandle. Kamu kemas pakaianmu, lalu istirahat. Sudah malam." 


Tak seperti karyawan lain, Syam memang bekerja tanpa terikat waktu. Apa yang sekiranya harus dikerjakan, ia sigap kerjakan.


"Baik, Pak." Kemudian beranjak ke bawah.


Tak ada persiapan apa pun selayaknya akan dilaksanakan sebuah pernikahan di rumah Burhan. Rika--istri Burhan--dan anak-anaknya tampak santai-santai saja.


Hingga siangnya, di waktu keberangkatan, nyatanya Rika dan anak-anaknya tidak ikut. Syam termangu-mangu dibuatnya.


"Hati-hati di jalan, Pa," ucap Rika saat melepas kepergian mereka. Bahkan Desi dan Ratih tak tampak sama sekali.


Di perjalanan, Burhan menjemput dua orang berpenampilan seperti ustadz. Mereka penghulu yang akan menikahkan Syam dan Kinanti.


Tak ada obrolan apa pun selama di perjalanan. Hening. Semua sibuk dengan pikiran masing-masing. Terutama Syam. Banyak pertanyaan yang timbul di benaknya. 


Mobil terus melaju ke selatan. Jalan yang dilalui semakin terjal, berbatu. Dan yang tampak hanya pepohonan rimbun. Tak ada tanda-tanda akan menuju pemukiman berpenghuni selain jalanan yang tengah dilalui. Sepi. Hanya suara deru mobil dan gemelutuk bebatuan yang beradu dengan ban.


Sudah petang saat mereka sampai di area perkebunan teh yang terhampar sangat luas. Mobil berhenti.


"Ayo, turun!" perintah Burhan. Mereka berlima pun turun.


Syam mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Hamparan hijau terhampar luas berbaur dengan oranye langit petang. Indah, tapi mencekam.


"Itu rumahnya." Burhan menunjuk sebuah rumah di atas bukit yang tampak mungil dari tempat mereka berdiri. Cukup jauh dan menanjak. Jalan menuju ke sana hanya jalan setapak. Hingga mobil ditinggal di bawah.


Semakin dekat, jantung Syam semakin berdebar tak menentu. Malam ini, ia akan memperistri wanita yang bahkan belum pernah ia temui sekali pun.


Saat sampai, ternyata rumah yang hampir seluruhnya dari kayu jati itu  cukup luas. Bau kemenyan seketika sengak menyergap indra penciuman. Syam yang tak terbiasa langsung terbatuk-batuk. Pun dua orang yang salah satunya seorang penghulu.


"Itu Asiyah, ibunya Kinanti," sahut Burhan saat seorang wanita keluar dari rumah.


Ibu Kinanti? Syam terus berpikir. Apa mungkin ibunya Kinanti ini adalah wanita simpanan Burhan? Jika seperti itu, terjawab sudah segala keanehan yang bergelayut di kepalanya. Namun, ia masih bingung, kenapa mereka tinggal di tempat terpencil seperti ini?


Asiyah menatap Syam dengan tatapan dingin. Membuat Syam merasa tidak nyaman. Pemuda itu pun menundukan pandangannya.


"Masuk!" perintah Burhan setelah Asiyah memberi isyarat.


Saat mereka masuk, tampak seorang pria tua berpakaian serba hitam bersila dengan mata terpejam dan bibir komat-kamit di depan kemenyan yang mengepulkan asap. Tak ada persiapan seolah akan diadakan sebuah pernikahan.


"Maaf, Pak, kenapa ada kegiatan seperti ini," tanya sang penghulu, mewakili isi hati Syam.


"Tidak apa-apa, Pak. Hanya jaga-jaga supaya acara berlangsung aman," jawab Burhan.


Syam hanya diam, tak sepatah kata pun keluar dari mulutnya. Banyak hal tak terduga yang selama ini tak ia ketahui mengenai Burhan. Sepuluh tahun menjadi pegawai kepercayaan, nyatanya tak cukup untuk mengenal dalam majikan yang dalam hitungan jam akan menjadi mertuanya itu. Tak disangka Syam, orang dengan wawasan dan pergaulan luas seperti Burhan bisa percaya dengan hal-hal mistis seperti ini.


Syam menatap sekeliling ruangan yang temaram. Hanya bohlam kecil berpendar kekuningan yang menerangi ruangan itu. Ia mencari keberadaan calon istrinya.


"Mana, Kinanti?" tanya Burhan, saat Asiyah datang dari ruangan sebelahnya dengan nampan berisi beberapa cangkir teh.


"Di kamar," jawab Asiyah datar. Wanita yang terlihat terlalu muda untuk menjadi seorang ibu dari gadis yang akan segera menikah itu selalu bersikap kurang ramah.


"Silakan diminum, Pak!" Burhan mempersilakan.


Sama seperti Syam, penghulu dan satu orang lainnya itu tampak merasa kurang nyaman. Sementara Eman, supir pribadi Burhan terlihat sudah biasa.


Sebelum akad, mereka sejenak beristirahat di sebuah kamar yang cukup luas. Di dalam rumah itu ada tiga kamar tidur. Satu kamar Asiah, kamar Kinanti dan kamar yang mereka gunakan untuk beristirahat. Tak ada perabot apa pun di dalamnya. Hanya ada tikar yang tergelar.


"Setelah akad, aku dan yang lainnya akan pulang. Kau baik-baik di sini, Syam! Titip anak dan istriku!" pesan Burhan seraya menyesap rokok di tangannya. Mereka baru saja menunaikan solat Maghrib. Sesungguhnya, baik Burhan maupun Syam sudah lama tak pernah menunaikan solat, hanya saat ini mereka menghormati sang penghulu.


Syam terperangah.


"J-jadi, setelah menikah, saya akan tinggal di sini, Pak?"


"Iya, tentu saja."


"T-tapi, apa yang bisa saya kerjakan untuk menafkahi Kinanti di tempat terpencil ini?" tanyanya khawatir.


"Hei, Syam! Kau lihat tadi perkebunan teh yang sangat luas itu?" Syam mengangguk. "Sekarang kuwariskan padamu," lanjutnya.


"Saya masih tidak mengerti." 


"Syam, ada 25 pekerja yang tinggal di sebelah barat sana. Sebagian bekerja sebagai pemetik, yang lainnya mengolah hasil petikannya di pabrik. Aku membangun sebuah pabrik kecil dan rumah sebagai mess. Mereka berasal dari kota, di antaranya sudah berumah tangga dan membawa serta istri dan anaknya ke mari. Dua minggu sekali teh-teh kering itu dikirim ke kota. Sengaja kubeli perkebunan ini untuk istri dan anakku, serta pria yang akan menjadi suaminya," jelas Burhan panjang lebar. "Kau tidak perlu capek-capek bekerja, sudah ada orang yang kupercaya untuk mengatur semuanya," tambahnya.


"Tapi, kenapa Kinanti dan ibunya harus tinggal di tempat terpencil seperti ini? Maaf kalau saya lancang, Pak." Syam tak dapat menyimpan rasa penasarannya lebih lama.


"Tak apa, sebagai calon suami puteriku, kau pantas mempertanyakannya. Semua tanda tanya di benakmu akan terjawab seiring berjalannya waktu."


Lagi, jawaban tak memuaskan  itu yang didapat Syam.


____


Selepas Isya, setelah semua berkumpul di ruang tengah, Kinanti keluar dari kamarnya. Syam menelan saliva menetralisir kegugupan dan keterpesonaannya. 





Gadis dengan baju terusan lengan panjang dan kerudung selempang putih yang dipakai alakadarnya menampilkan rambut bagian depan. Sederhana. Namun, wajah rupawannya membuat Kinanti tampak sangat istimewa meski tanpa polesan sedikit pun. Kulit putih bak pualam, dengan pipi bersemu seolau malu-malu, netra berbola coklat dengan tatapan sayu, serta hidung mungil dan bibir tipis kemerahan itu membuat detak jantung Syam seakan terhenti.





Dengan langkah pelan dan kepala tertunduk malu, Kinanti duduk di sebelah Syam. Beberapa detik tatapan mereka berserobok, hingga keduanya saling Menundukan pandangan. Malu.





"Bisa dimulai sekarang?" tanya sang penghulu.





"Lebih cepat lebih baik," jawab Burhan.






Tepat saat tangan Burhan dan Syam berjabat, tiba-tiba angin berembus kencang berputar di ruangan. Perabotan berjatuhan. Pigura foto, vas bunga dan perabotan lainnya pecah bergelimpangan. Seketika seisi rumah itu menjadi porak poranda.





Mereka seketika terjengkungkal menutup netra, menjaga dari serpihan beling. Bahkan, kening Syam terluka.






"B-bagaimana i-ini, Pak?" sahut si penghulu gugup.







"Lanjutkan!" teriak pria tua berbaju serba hitam lantang, seraya tetap bersila dengan netra terpejam.
japraha47
bebyzha
ym15
ym15 dan 19 lainnya memberi reputasi
20
Tutup