Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

uniekirdpanAvatar border
TS
uniekirdpan
Insting Wanita




Part 1



"Jenuh." Sebuah WA masuk ke gawai Bang Rizal. Dari kontak tak berfoto bernama Samsudin.


"Bang, ini ada WA!" pekikku. Kebetulan Bang Rizal sedang di kamar mandi.


"Dari siapa?" sahutnya, menggema dari kamar mandi.


"Namanya, sih, Samsudin," jawabku. Jujur agak aneh, kok cowok ngirim pesan gak jelas gitu? 


Tak lama, Bang Rizal sudah berdiri di hadapan. Tampak terburu-buru, merebut gawai dari tanganku. Di tubuhnya masih tersisa busa-busa sabun. "Gak jelas!" ucapnya saat melihat pesan tersebut.


Dahiku seketika berkerut. "Kenapa, sih, harus buru-buru gitu? Itu busa masih belum bersih. Emang si Samsudin itu siapa?" tanyaku curiga.


"Kirain penting, gitulo! Dia itu, em, itu ... pelanggan di toko," jawabnya gelagapan, dengan ekspresi yang dibuat-buat santai.


Hanya pelanggan di toko? Sungguh aku ragu. Berbagai pikiran buruk mulai bermunculan.


"Masa, sih? Ngapain pake nge-WA kayak gitu? Kok aneh."


"Entahlah, Maya, abang juga aneh. Salah kirim barangkali."


Melihat mimik Bang Rizal yang santai, aku berusaha berpikir positif. Lagipula, selama lima tahun menjalani biduk rumah tangga, tak ada sekali pun Bang Rizal berbuat aneh-aneh. Namun, tiba-tiba terbersit rasa penasaran untuk menyadap WA Bang Rizal.


Dan nyatanya, pesan-pesan tidak jelas terus bermunculan dari kontak bernama Samsudin itu. Sehingga menimbulkan kecurigaan di benakku.


"Kesel!"


"Sepi."


"Lagi ngapain?"


"Lagi di mana?"


"Udah makan, belum?"


Pantaskah, seorang pria mengirimkan pesan-pesan tersebut ke sesama pria? Sekuat mungkin kutahan rasa gelisah, dan bersikap seolah tak ada apa-apa di hadapannya. Aku harus mendapatkan titik yang lebih terang lagi, untuk mengungkap hubungan Bang Rizal dengan si Samsudin itu.


"Maya, kamu nyadap WA abang, ya?" tanya Bang Rizal akhirnya.


Ah, sial! Kok dia bisa tau, sih? Baru juga dua hari kusadap WA-nya.


"Mm ... kalo iya, emang kenapa?" 


"Ya gak usah aneh-anehlah, apaansih? Risih, tau, gak, diperlakuin berlebihan kayak gini!" ujarnya sewot. Wajah putihnya memerah. Baru kali ini Bang Rizal sewot begini, biasanya selalu santai dengan tindak-tandukku terhadapnya. Apa pun yang aku lakukan terhadapnya, Bang Rizal selalu manut.


"Lah, emang kenapa? Wajar, dong, seorang istri pengen tahu siapa aja yang interaksi sama suaminya," sanggahku dengan nada meninggi.


"Ya tapi gak kaya gini juga, Maya! Kamu ini berlebihan. Gak percaya sama abang? Coba pikir, gimana rasanya gak dipercaya sama pasangan, padahal kita gak ada salah apa-apa!" cerocosnya penuh penekanan.


"Ya kalo gak ada salah, harusnya gak usah sewot gitulah!" Aku tak mau kalah.


"Ah, sudahlah, males debat sama kamu. Bebel!" 


Dan semenjak itu, gawai Bang Rizal dikunci pola. Memang sebelumnya, aku bukan tipikal istri yang kepo dengan gawai suami. Sehingga jarang membuka-buka gawainya. Namun, pesan tempo hari membangkitkan rasa penasaran di benak ini.


Ini membuatku uring-uringan tak jelas. Kuputar otak, bagaimana caranya mencari tahu pola kunci gawainya. Sampai sebuah ide terlintas di kepala.


Aku pura-pura tertidur, saat Bang Rizal merebahkan tubuh di sampingku. Tampak ia memastikan bahwa aku tertidur lelap, dengan mengelus lengan, serta pipiku. Mencurigakan!


Setelah yakin, aku tertidur, diraihnya gawai di nakas yang terletak di sisi pembaringan. Dengan seksama, kuamati pola yang ia tekan. Yes! Dapat.


Entah kebetulan, hari ini Bang Rizal sepertinya lupa meninggalkan gawai. Mungkin karena kesiangan bangun, dia jadi terburu-buru. Waktu menunjukan pukul 05.30 pagi saat kami bangun. Sementara, toko kue sudah mulai produksi dari subuh. Baru kemudian jam 09.00 buka. Dari sebelum menikahiku, Bang Rizal memang mengelola sebuah toko kue. Dari mulai menyewa stand di sebuah plaza, hingga kini membuka toko sendiri di pusat kota yang strategis.


Berdebar, kubuka pola, dan membuka aplikasi berlogo gagang telepon berwarna hijau itu. Nihil, tidak ada pesan yang mencurigakan. Tidak ada pula percakapan dengan kontak bernama Samsudin itu. Sepertinya sudah dihapus. Aarggh ... gemas. Makin curiga. Ngapain dihapus, coba?


Masih dongkol, aku bergegas mandi dan mengenakan kemeja kotak-kotak dan celana jeans yang sedikit koyak di bagian lutut. Setelah disisir, rambut kucepol asal. Bekerja sebagai staf TI di sebuah kantor surat kabar, aku terbiasa berpenampilan santai. Meski terkadang mendapat teguran juga.


Ting


Sebuah pesan masuk ke gawai Mas Rizal. Segera kusambar benda pipih persegi panjang itu. Benar saja, dari Samsudin.


"Izal, kangen, nih. Udah sampe toko, belum, sih?" 


Degh! Kecurigaanku terbukti juga. Memang ada apa-apa di antara Bang Rizal dan orang itu. Sialan! Seketika emosiku memuncak. Ingin rasanya kucakar-cakar wajah baby face Bang Rizal. Apa mungkin, nama Samsudin itu hanya sebagai samaran, dan orang di balik kontak itu seorang wanita selingkuhan Bang Rizal? Atau ... dia memang pria yang ... ah! I hate my mind. Memang sebagai lelaki, Bang Rizal terkesan lembek dan kurang jantan, meskipun tidak kemayu. Itulah yang membuatku tidak pernah berpikiran macam-macam terhadapnya. Tidak ada ciri-ciri tukang selingkuh dalam dirinya.


"Maya ... k-kamu belum berangkat kerja?" Tiba-tiba, Bang Rizal sudah berada di ambang pintu dengan napas ngos-ngosan. Ia menggigit bibir mendapati gawainya berada di genggamanku.


Cerita akan dilanjut di kolom komentar. Buat yang mau baca lebih cepat sampai tamat, bisa mampir ke akun KBM app ane. Username UnieVejvongsa24 dengan judul Insting Wanita. Jangan lupa tinggalkan komentar dan cendolnya, ya. Terimakasih.
Diubah oleh uniekirdpan 22-12-2021 02:48
bukhorigan
MyWildSide9
mmuji1575
mmuji1575 dan 3 lainnya memberi reputasi
4
1.5K
10
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
uniekirdpanAvatar border
TS
uniekirdpan
#2
Part 3
Sungguh, aku bagai disambar petir mendengar ucapan Bang Rizal. Lidah ini seketika kelu. Aku mencari jawaban dari sorot netranya, berharap ini semua hanya candaan belaka. Namun, hanya ada raut serius di wajah tampan pria berdarah minang itu.


"A-abang becanda?" tanyaku terbata.


"Abang serius, Maya."


"Tapi kenapa tiba-tiba begini? Apa alasannya karena masalah keturunan? Bukankah sampai sekarang kita belum cari tahu, siapa yang bermasalah di antara kita." Netraku terasa memanas. Teganya dia mengatakannya di malam aniversary pernikahan kami.


"Buat kamu ini tiba-tiba, tapi buat abang enggak, May. Udah lama abang mikirin ini. Abang ... abang lelah dengan rumah tangga kita. Kamu terlalu sibuk dengan karier kamu. Dengan dunia kamu sendiri. Pekerjaan, karier menulismu itu. Kamu gak pernah ada waktu buat hubungan kita." Wajah putih bersihnya kini memerah.


"Bang, aku selama ini selalu berusaha memenuhi kewajiban sebagai istri di samping kesibukanku, 'kan? Bukan cuma aku, abang sadar, gak? Abang sendiri gak pernah ada waktu buat aku. Sibuk dengan toko kue. Ayolah, Bang, kita bisa bicarakan ini baik-baik. Aku bisa resign, kok, buat memperbaiki hubungan kita," cicitku panjang lebar. Kugenggam jemarinya dengan air mata yang mulai berdesakan di sudut netra.


"Itu awalnya demi masa depan kita. Tapi, maaf, Maya. Abang gak mau semakin mendzalimi kamu. Kamu, abang talak!" Dilepaskannya genggamanku perlahan.


Kini, luruh sudah bulir bening yang kutahan-tahan sejak tadi. Setangguh apa pun, aku wanita. Hati ini begitu rapuh dengan kenyataan ini.


"J-jadi, abang ngajak aku ke sini cuma buat bilang ini? Tega, kamu. Sampai hati memberikan hadiah sebuah perpisahan di malam aniversary kita," sahutku penuh penekanan.


"Maya, maaf. Abang sama sekali gak ingat kalau hari ini adalah aniversary kita. Sungguh! Abang ajak kamu ke sini supaya suasananya lebih kondusif. Tolong mengertilah, Maya!" Ia menangkupkan tangan.


Persetan! Lantas apa maksudnya menyuruh Vani memake overku? Tipuannya sungguh sangat keterlaluan.


"Apa orang ketiga, jadi salah satu alasannya?" tanyaku seraya menatap dalam netranya.


Ia menggigit bibir bawah, tak lama mengangguk ragu. "Kamu wanita baik, Maya. Sepantasnya mendapatkan pria yang mencintaimu sepenuhnya."


Setelah itu, ia memanggil pelayan, meminta tagihan, kemudian bangkit meninggalkanku sendiri dengan luka dalam yang baru saja ia torehkan. 


Semudah itu, baginya mengakhiri semua ini? Sakit hati, marah, kecewa dan yang lainnya berkecambuk di benak, hingga menjadi sebuah rasa tanpa nama. Dengan sisa tenaga yang tersisa, aku bangkit menyusul langkahnya.


"Abang, tunggu!"


Bang Rizal menghentikan langkahnya, meski dari belakang, aku bisa melihat ia menghela napas berat. Dan saat ia berbalik ....


Bugh! 


Sebuah bogem mentah kulayangkan tepat ke tulang hidungnya sekuat tenaga. Darah segar mengucur deras dari hidungnya. Ia mundur beberapa langkah dan limbung. Suasana riuh. Kami menjadi pusat perhatian seluruh pengunjung.


Rasakan! Untung saja, ia bicara setelah aku selesai makan. Hingga ada tenaga untukku menyalurkan amarah yang memanas.


_____


Aku membawa motor seperti orang kesetanan. Pipi yang basah oleh air mata terasa dingin tersapu angin malam.


Bayangan demi bayangan perjalanan hubungan kami silih berganti bergantian di memori. Saat pertama pertemuan kami, adalah di plaza tempat ia berjualan, sebelum memiliki toko seperti sekarang.


Pada awalnya, memang aku yang pertama menaruh hati padanya. Wajah baby face dan pembawaannya yang kalem, berhasil mencuri perhatianku. Hingga pada satu kesempatan, kami berkenalan, bertukar kontak dan menjalin kedekatan.


Kuakui, dalam pendekatan itu, memang aku yang selalu gencar. Sementara Bang Rizal terkesan pasif. Pun saat aku mengutarakan perasaanku, dan bertanya, hendak dibawa ke mana kedekatan kami. Ya, aku memegang prinsip, tidak ada yang salah wanita mengungkapkan perasaan duluan.


"Kamu maunya gimana? Pacaran? Sebut aja kita pacaran kalau kamu mau," jawabnya santai. Dan cinta buta membuatku kehilangan akal sehat.


Sekali tiga uang dengan saat berkomitmen untuk pacaran, saat menikah pun demikian. Bang Rizal cenderung cuek, dan iya-iya saja dengan kemauanku. Dia bukan juga pria yang romantis. Tak ada panggilan sayang, beb, cinta, honey, bunda, sweety, DLL. Ia memanggilku dengan nama saja.


Kupikir, itu karena memang sifatnya begitu, lagipula, aku juga bukan orang yang romantis. Sehingga selama ini tak mempermasalahkan semua itu, selama semuanya baik-baik saja.


 


Namun nyatanya, malam ini semua tak seperti yang dikira. Bisa-bisanya Bang Rizal mengkambinghitamkan kesibukanku. Bukankah dia lebih tidak ada waktu dariku? Aku hanya bekerja sampai sore, sedangkan dia kadang pulang sangat larut, Subuh sudah berangkat kembali. Bahkan seringkali tak pulang dan tidur di toko. Untuk mengisi kejenuhan saat Bang Rizal tak di rumah itu yang kugunakan untuk mengerjakan salah satu hobby. Yaitu menulis.


Ah, sial! Sial! Bodoh sekali aku ini. Harusnya dari awal sadar, bahkan mengatakan kalau dia mencintaiku pun tidak pernah. Selama ini, aku yang menjalankan rumah tangga ini sendiri. Lantas, untuk apa dulu dia menikahiku? 


"Aaarghhh!" Hampir saja aku menabrak pengendara lain di depan, karena tidak fokus. Ya ampun ... sadarlah, Maya!


"Woy, kahade atuh mawa motor teh! Dasar ibu-ibu!" (kahade; hati-hati) maki dua pria yang hampir kutabrak tadi.


Ibu-ibu? Sialan! Ingin rasanya kumaki balik mereka hitung-hitung untuk menuntaskan amarah yang masih tersisa, tapi, untungnya masih ada pula sisa kesadaran kalau yang salah aku.


"Punten, Kang!" sahutku seraya menyalip mereka dengan kecepatan tinggi. Air mata terus mengalir memburamkan pandangan.  Payah! Kenapa jadi cengeng gini, sih? Aku menepikan motor di sebuah jembatan. Kemudian mendekati besi jembatan, mencondongkan kepala menikmati sejuknya angin malam, dan suara aliran sungai dengan tangan tertumpu. Ada sedikit rasa damai mengobati laraku.


"Teh, jangan kayak ginilah! Istighfar!" Tiba-tiba, tubuhku ditarik paksa dalam dekapan seseorang.


"Eh, apaansih?" Aku berusaha lepas dari dekapannya. "Eh, kamu! Gimana bisa, ada di sini?" ucapku terkejut, saat berhasil melepaskan diri, dan mendongak, menatap sosok tinggi di hadapan.


"A-aku, tadi kebetulan lewat, liat Teteh kayak mau lompat gitu," ungkapnya dengan mimik serius.


"Aku? Lompat? Enggak, kok. Enak aja!" 


"Tapi Teteh tadi condong banget ke sungai, kayak mau lompat, dah, suer! Lagian, ngapain, sih, Teh, sendirian di sini?"


"Iyakah?" Astaga ... benarkah aku hampir melompat? Ampuni aku, Tuhan! Engkau maha tau, tak ada maksud hatiku untuk bunuh diri.


"Teteh lagi ada masalah? Ceritalah, biar agak entengan." Tiba-tiba, tangannya terulur menyentuh pipiku. Repleks kutepis kasar.


"Apaansih?" 


"Jangan salah paham, Teh. Bawa kaca, gak? Itu yang item-item di atas mata Teteh pada luber ke mana-mana," ujarnya dengan senyum dikulum. 


Secepat kilat aku melesat, berkaca pada spion motor, dan tersentak mendapati tampilan wajahku. Ya Tuhan, Maya! Kalau sampai tengah malam berdiri di sini, pasti semua orang yang lewat menyangkaku penunggu jembatan ini. Kugosok-gosok bagian menghitam yang terbawa aliran air mata, tapi malah makin berantakan, menghitam ke mana-mana.


"Ini, Teh!" Ryan mengulurkan bungkusan tissu basah, yang sebelumnya diambil dari bagasi motornya.


"Makasih!" lirihku, seraya menyambar dan menarik beberapa lembar dari dalamnya.


"Teh, selama kita masih hidup, gak ada yang namanya orang tanpa masalah. Dan seberat apapun masalah yang dipikul, inget, Teh! Bunuh diri sama sekali bukan jalan keluarnya!" 


"Walaah, anak kecil, so bijak bangetsi. Siapa juga yang mau bunuh diri?" ujarku sewot.


"Jangan panggil aku anak kecil, Paman. Hehe ... Teteh aja tingginya cuma sebatas dadaku, kok, ya, panggil aku anak kecil," selorohnya, disusul tawa renyah. Aku hanya menggedigkan bahu, dan kembali fokus membersihkan wajah.


Tapi, bagaimanapun, dari fostur badan, maupun bicaranya, sepertinya Ryan memang tidak pantas disebut anak kecil.


____


"Kopi, Teh!" Ryan menyodorkan gelas  dengan isinya yang mengepul. Kuraih, dan menghirupnya perlahan. Seketika, rasa hangat menjalari tubuh yang hampir membeku.


Ryan mengajakku mampir ke taman kota. Dan anehnya aku mau-mau saja mengekor motor besarnya menuju ke mari. Mungkin, karena beberapa saat bercengkerama dengannya membuatku menjadi rileks. Dia anak yang dewasa dan pandai membawa lawan bicara larut dalam obrolannya.


"Tengkiyu, ya! Kok tau, sih, kalau aku suka kopi item?"


Iya tersenyum seraya menatapku sekilas, kemudian menyesap susu panas di tangannya. "Kebetulan aja, kok. Kupikir, kalau lagi banyak pikiran, minum kopi item bisa bikin agak strong. 'Kan paribasanya, kopi dulu biar gak panik!" selorohnya.


Aku turut tersenyum. "Sa ae, kamu." 


"Udah baikan?"


"Apanya?"


"Perasaan Tetehlah!" 


"Lumayan. BTW, kamu gak nanya, gitu, aku kenapa?" 


"Aku, 'kan tadi udah nanya. Kalau sekali nanya, Teteh gak mau cerita, ya udah. Semua orang punya privasi masing-masing. Atau seenggaknya punya pilihan, sama siapa aja dia mau cerita," jawabnya bijak.


"Aku baru aja ditalak suamiku, tepat di malam aniversary pernikahan kami yang ke-lima." Entah apa yang membawaku tiba-tiba menceritakan ini pada Ryan. ABG yang baru sehari ini kukenal.


Ia menatapku dengan sorot, entah ... mungkin iba. Kemudian mengalihkan pandangan ke hadapan. Menatap kosong ke arah Masjid Agung yang tepat berhadapan dengan taman.


"Berarti, dia bukan jodoh yang terbaik buat Teteh. Emang pasti sulit, sih, tapi Teteh harus percaya, selalu ada pelangi setelah hujan itu bener. Ntar Teteh bakal ketemu kebahagiaan yang sesungguhnya kalau ikhlas jalaninnya."


"Ah, kamu mana ngerti, sih masalah orang dewasa. Ini gak semudah yang kamu bayangkan."


"Siapa bilang? Di usia anak-anak, aku udah dipaksa paham dengan kondisi hubungan mama sama papaku. Dipaksa berhenti mempertanyakan, ke mana mama pergi. Pokoknya masalahku terlalu berat untuk orang seusiaku. Lagian, 'kan udah kubilang, emang gak mudah. Intinya, jangan pernah merasa jadi orang paling malang aja. Sugesti diri aja, banyak orang yang lebih banyak masalahnya dari kita. Biar apa? Biar gak down," ucapnya bijak.


Sejenak, aku terkesima dengan tutur katanya. Bagaimana bisa jalan pikirannya bisa jauh lebih dewasa dari pikiranku? 


"Kamu dapet dari mana kata-kata mutiara itu? Dewasa banget, deh!" ejekku, dan seketika membuat Ryan tergelak.


"Dari cobaan. Masalah itu kayak soal matematika. Serumit apa pun, cari rumus dan jalan keluarnya. Dari situ ilmu dan pemahaman kita tentang kehidupan bertambah. Kedewasaan bukan diukur dari berapa lama hidup di dunia, tapi dari seberapa banyak pengalaman dan masalah yang mampu dihadapi, Teh."


Lagi-lagi, ucapannya membuatku terhanyut. "Ryan?"


"Hmm?"


"Kamu gemesin banget, sih!" Kucubit gemas pipinya, hingga ia meringis.


"Sakit, tau!"


Bersamanya, waktu terasa cepat berlalu. Banyolannya sementata membuatku lupa akan masalah yang dihadapi.


"Udah malem, Teh. Mending Teteh pulang. Besok, 'kan, kerja. Aku anter, mau?" Taman memang mulai sepi.


"Gak usah, deh. Aku pulang aja sendiri. BTW, kamu pulang ke mana?" tanyaku, seraya kami berjalan menuju parkiran.


"Gak jauh dari sini, kok. Lain kali mampir, ya!"


"Ok, deh. Kapan-kapan mampir. Tapi, ntar, emak atau bapakmu heran liat kamu dateng sama janda seumuranku."


"Wkwkwk gaklah, orang Teteh keliatan masih muda, kok. Lagian, aku tinggal bareng Nenekku di sini."


"Ya, emang masih muda. Belom 30 pun," ucapku seraya memasang helm. "See u, ya! Tengkiyu udah nemenin ngobrol." 


"Sama-sama, Teh. Hati-hati, ya!"


____



Nyatanya, sementara aku bisa melupakan masalahku. Hanya selama bercengkerama dengan Ryan. Kini, dada kembali terasa sesak. Sepertinya, aku tidak bisa pulang ke rumah, dan tersiksa dalam keterpurukan ini sendirian.





Kuputuskan untuk ke rumah Vani. Aku butuh teman ngobrol yang bisa memotivasiku untuk bangkit. Dan Vani lah orang yang tepat. Ia selalu mampu menenangkan dengan petuah-petuah bijaknya.





Namun, saat sampai, aku dibuat terkejut oleh motor yang terparkir di halaman rumah Vani. Aku hapal betul plat nomer, bahkan sedikit goresan-goresan di bodynya. 





Sedang apa, bajingan itu malam-malam di rumah Vani? Sungguh mencurigakan!



Bersambung
pohonrindang11
mmuji1575
MFriza85
MFriza85 dan 6 lainnya memberi reputasi
7
Tutup